Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Berbohong atau berdusta ialah ketidaksesuaian antara sesuatu hal (keadaan, ucapan dan lain sebagainya) dengan kenyataan.

 

Seperti halnya bermain game dan shopping, ternyata berbohong juga bisa membuat kecanduan, loh! Tanpa pelakunya sadari, kebohongan yang dilontarkan sebelumnya sangat mungkin berlanjut dan menciptakan kebohongan-kebohongan lain di lain waktu. Dari kebohongan kecil, terus menumpuk, berlapis-lapis hingga menjadi kebohongan yang lebih besar. Dengan kata lain, sekali seseorang berbohong besar kemungkinan dia akan mengulangi tindakan itu di kemudian hari.

 

Tak ubahnya bom waktu yang bisa meledak kapan saja, kebiasaan berbohong memberi dampak luar biasa buruk bagi para pelakunya. Tidak hanya berdampak pada psikologis seseorang, tetapi berbohong juga bisa memengaruhi kehidupan sosialnya. Belum lagi ditinjau berdasarkan sudut pandang agama. Dalam Islam, berbohong jelas-jelas perbuatan yang dilarang karena membawa keburukan yang bisa menyeret para pelakunya ke neraka. Nauzubillah!

 

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl ayat 105; Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. 

 

Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga yaitu apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia ingkar, apabila dipercaya ia khianat.”

 

Medina mengakhiri kegiatan belajarnya. Dia yakin persiapannya untuk ujian besok sudah cukup. Buku paket Agama Islam yang tadi dibaca pun sudah ditutup lalu ditepikan ke ujung ranjang, dan telah bertukar dengan ponsel yang menampilkan boy band beranggotakan tujuh orang lelaki tampan berbibir merah jambu asal Negeri Ginseng. Kepala Medina bergerak naik turun secara teratur sementara mulutnya komat-kamit mengikuti lirik yang tidak sepenuhnya dia mengerti maknanya. Pun tidak betul pelafalan liriknya, asal terdengar pas di telinga saja. Hanya dalam hitungan menit, gadis itu sudah tenggelam dalam keasyikan barunya.

 

“Nak,” tegur Luthfi seraya menyentuh bahu Medina, membuat sang putri berjengit kaget dengan kedua mata membulat sempurna.

 

Melihat sang ayah hanya berjarak satu langkah di depan mata, dengan gelagapan Medina meraba kepalanya. Mendapati hijab instan bergo amethys sewarna piamanya terpasang apik menutupi rambutnya, embusan napas lega pun lolos dari celah bibir Medina.

 

“Papa, ih, hobi banget bikin orang jantungan! Mau cari ganti di mana coba kalau jantung Medina tiba-tiba copot terus menggelinding ke usus besar atau meledak?” omel Medina dengan bibir mencebik. Ketujuh lelaki ganteng yang banyak diminati kaum hawa masa kini itu pun tidak lagi menarik minat Medina. Perhatiannya kini terpusat pada Luthfi. Harus fokus, dong! Medina tidak mau sampai salah bicara atau bersikap yang bisa menimbulkan kecurigaan. “Tumben banget Papa datang semalam ini. Baru banget pulang kerja?”

 

Berdasarkan kesepakatan dengan Latifa, setiap hari Kamis dua minggu sekali adalah jadwal kunjungan Luthfi. Tidak hanya dipersilakan datang, tetapi Luthfi bebas berkeliaran di seluruh bagian rumah; kecuali memasuki bekas kamar tidurnya dengan Latifa. 

 

Selama itu pula Latifa tidak pernah berada di rumah. Dia akan pulang larut malam agar tidak bertemu sang mantan suami. Jika tidak mendatangi kajian, Latifa akan mengisi waktu senggangnya dengan berjaga di kios buah miliknya. Dan, hari ini hari kunjungan itu. Waktu Medina bilang jantungnya nyaris copot, dia tidak melebih-lebihkan. Memang begitulah yang dia rasakan. Bisa-bisanya dia lupa kalau papanya akan datang!

 

Di saat Medina menenangkan diri, Luthfi terkikih geli. Sambil duduk, lelaki itu menoel hidung Medina. “Asyik banget, sih! Sampai Papa ngetuk pintu sama ngucap salam aja nggak dengar. Lagi nonton apa memangnya?” tanyanya sembari melongokkan kepala dan mengintip layar ponsel Medina yang masih menyala. “Padahal Papa nggak kalah ganteng, loh, dari mereka.” 

 

Medina memutar bola matanya. “Soal gantengnya no debat, lah! Tapi … Papa, kan, nggak bisa nge-dance kayak mereka. Suara mereka juga bagus-bagus. Lah, Papa kentut aja sering fals!” ejek Medina semena-mena. Perasaannya jauh lebih baik sekarang.

 

Bukannya tersinggung, tawa Luthfi semakin pecah. Dengan gemas Luthfi mencubit hidung mancung Medina hingga sang bungsu mengaduh kesakitan.

 

“Papa KDRT, nih! Kalau hidung Medina habis ini longsor gimana? Papa harus tanggung jawab, ya!” gerutu Medina sambil mengusap-usap hidungnya yang perih.

 

Tawa Luthfi reda setelah beberapa menit. Hamparan sajadah di lantai mengingatkannya akan maksud kedatangannya ke sana. “Kamu sudah salat belum, Nak?”

 

Dengan penuh keyakinan Medina mengangguk. Tidak tampak keraguan sedikit pun di raut wajahnya. 

 

“Magrib?” tanya Luthfi meyakinkan dan seketika itu pula pertanyaannya mendapat anggukan Medina. “Isya?”

 

Medina mengacungkan kedua jempolnya. 

 

“Nggak boleh bohong, loh, ya!” tegur Luthfi. Pandangannya berpindah dari wajah Medina ke jam dinding berbentuk bunga di atas meja berlajar. “Setengah jam Papa ngobrol sama Mbak Santi di bawah, terus kamu nggak nongol dan kata Mbak Santi kamu lagi belajar. Tapi waktu Papa ke sini kamu malah lagi asyik nonton hape.” Sorot tajam Luthfi langsung menancap ke kedua mata Medina, menyelisik kejujuran sang buah hati.

 

Medina meneguk ludah. Sesaat dia diam. Di detik berikutnya, entah setan mana membisikinya jawaban. “Nggak lama habis kumandang azan tadi Medina langsung salat, Pa!” cetusnya dengan suara agak tinggi.

 

Masih dengan tatapan penuh selidik Luthfi kembali bertanya, “Beneran? Awas dosanya dobel, loh! Pertama, dosa karena sudah bohong. Kedua, dosa karena meninggalkan salat dengan sengaja. Jangan sampai—”

 

“Papa nggak percaya sama Medina?” Medina tampak terluka. Pintar sekali dia bersandiwara.

 

Dalam sekejap hati Luthfi dipenuhi rasa bersalah karena telah menaruh curiga pada putrinya. Medina yang Luthfi tahu memang sedikit keras kepala, tetapi tidak pernah berdusta. Otot-otot wajah lelaki empat puluhan tahun itu mengendur detik itu juga. “Maafin Papa, ya?”

 

Medina menunduk dalam-dalam, mengisyaratkan hatinya benar-benar terluka. Mulutnya terkatup rapat, tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menyahut permintaan maaf Luthfi. Namun, diam-diam dia menarik napas lega.

 

Sudah menjadi kebiasaan Medina menggelar sajadah menghadap kiblat, mengacak-acak mukena seolah habis dipakai sementara dia sendiri tidak melaksanakan salat sebagaimana yang orang tuanya duga. Sekali dua kali hal itu terjadi, lantas menjadi kebiasaannya kini. Medina bersyukur, menjelang malam tadi dia sudah menggelar sajadahnya itu. Tidak terbayangkan bagaimana rumitnya meyakinkan Luthfi jika realita di lapangan tidak sesuai perkataannya.

 

“Dih, malah ngambek.” Luthfi mengelus puncak kepala Medina. “Papa cuma kaget. Belum sampai setengah jam habis azan Isya, tau-tau kamu bilang sudah salat. Mana pas Papa datang tadi kamu lagi asyik banget melototin gadget.”

 

“Ya, nggak boleh asal main tuduh gitu juga kali, Pa? Sudah kayak Mama aja jadinya. Apa-apa yang Medina lakuin selalu aja nggak ada benarnya. Gini salah, gitu juga salah. Terus Medina mesti gimana?”

 

Luthfi menarik Medina ke dalam pelukan. “Iya, Papa ngaku salah. Harusnya tadi Papa tanya dulu baik-baik, bukan asal menghakimi.” Saat melerai pelukan, Luthfi mengangkat wajah Medina untuk mempertemukan pandang mereka. “Medina mau, kan, maafin Papa?”

 

Kepala Medina dipenuhi semakin banyak setan yang bersorak bangga mengapresiasi drama yang dia lakoni. Dengan pipi menggembung dan bibir mengerucut menahan senyum, Medina menjawab, “Janji sama Medina, Papa jangan ikut-ikutan kayak Mama. Dituduh yang bukan-bukan, tuh, nyebelin banget, tau? Walaupun selalu dianggap bocah, Medina juga punya perasaan. Kayak gitu itu bikin hati Medina terluka.” Medina semakin pintar mendramatisir keadaan.

 

Senyum Luthfi merekah. Sambil mengelus punggung Medina, lelaki itu memberikan petuah. “Nak, sudah jadi kewajiban Papa sama Mama sebagai orang tua kamu untuk selalu mengingatkan masalah ibadah, khususnya tentang salat. Seperti yang selalu Papa bilang, salat itu tiang agama. Dengan salat, seorang hamba bertemu dengan penciptanya. Dalam salat itu mengandung banyak doa yang menuntun kita ke jalan yang benar serta menjauhkan kita dari bala bencana. Salat juga bisa membuat hati dan pikiran kita jadi tenang. Kalau salat kamu berantakan, hidup kamu bakal kacau balau. Jauh lebih kacau dari yang bisa kamu bayangkan.”

 

Medina diam saja. Dianggapnya nasihat Papa seperti dongeng pengantar tidur. Layaknya dongeng Sang Kancil yang sering didengarnya dari sang ayah selagi dia masih berbau minyak telon dahulu kala. Kalau papa dan mamanya sudah berjalan di jalan yang benar, mana mungkin memilih perceraian hingga menjadikan dia dan Santi sebagai korban. Luthfi dan Latifa sama-sama egois, hanya kadarnya saja yang berbeda. Begitu pikir Medina.

 

“Salat itu nggak lama. Karena salat harus dengan tuma’ninah, sepuluh sampai lima belas menit juga pasti kelar. Bayangkan, itu jauh lebih singkat dibanding waktu yang kamu habiskan buat main sama teman-teman, jalan-jalan di mal, nonton di bioskop, scroll sosmed, atau jenis kegiatan lainnya.”

 

Masih bungkam, Medina tampak meresapi nasihat yang Papa berikan. Luthfi tidak tahu kalau Medina tengah menahan kantuk. 

 

“Soal Mama ….” Luthfi menghela napas panjang saat menjeda ucapannya. Ditatapnya Medina penuh harap. “Coba kamu ubah pola pikir kamu tentang Mama. Mama overprotektif begitu karena merisaukan kamu. Pergaulan anak zaman sekarang memang semengkhawatirkan itu. Kecanggihan teknologi menerpa dan menghantam dari semua sisi. Yang buruk sudah terlihat dan dinilai lazim. Nilai-nilai agama makin tergerus. Bahaya mengintai kalian generasi muda, khususnya anak-anak perempuan. Sudah banyak yang jadi korban, entah itu love bombing sampai pelecehan seksual.”

 

Medina mendengus. Kalau bicara tentang Latifa, dia tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. “Mama, tuh, nggak asyik, Pa! Terlalu banyak aturan yang nggak masuk akal. Disangkanya kita hidup di zaman prasejarah?”

 

Luthfi geleng-geleng kepala. Mode keras kepala Medina kembali aktif rupanya. “Yang kamu bilang nggak asyik itu, justru dialah yang paling banyak melangitkan doa buat kamu. Kalau dokter ngasih resep obat buat diminum dua atau tiga kali sehari supaya pasiennya lekas sembuh, lain lagi dengan seorang ibu. Nggak terhitung dalam sehari Mama menyebut kamu dalam doanya. Di antara doa-doa itu, kita nggak tau doa mana yang menjadi penjaga kamu. Entah doa mana yang menghindarkan kamu dari keburukan atau musibah. Doa yang mana juga yang bikin kamu bahagia dan dikelilingi kebaikan.”

 

Topik tentang sang mama membuat mood Medina jadi buruk. Dengan alasan ingin belajar untuk persiapan ulangan besok, Medina pun mengusir Luthfi. Tidak peduli jika Luthfi masih ingin mengobrol dan menasihatinya. Pembahasan tentang bahaya berdusta yang tadi Medina pelajari pun terlupakan. Sama sekali tidak membekas. Bagi Medina itu hanya sekadar teori yang tidak mutlak perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Trip
967      487     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
MALAM DALAM PELUKAN
645      465     3     
Humor
Apakah warna cinta, merah seperti kilauannya ataukah gelap seperti kehilangannya ?
The Spark Between Us
10286      3003     2     
Romance
Tika terlanjur patah hati untuk kembali merasakan percikan jatuh cinta Tapi ultimatum Ibunda untuk segera menikah membuatnya tidak bisa berlamalama menata hatinya yang sedang patah Akankah Tika kembali merasakan percikan cinta pada lelaki yang disodorkan oleh Sang Ibunda atau pada seorang duda yang sepaket dengan dua boneka orientalnya
Bintang Sang Penjaga Cahaya
81      72     2     
Inspirational
Orang bilang, dia si penopang kehidupan. Orang bilang, dia si bahu yang kuat. Orang bilang, dialah pilar kokoh untuk rumah kecilnya. Bukan kah itu terdengar berlebihan walau nyatanya dia memanglah simbol kekuatan?
Rumah Tanpa Dede
194      134     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Babak-Babak Drama
487      337     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Lovebolisme
230      192     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
2278      534     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Novel Andre Jatmiko
9901      2157     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Ibu Mengajariku Tersenyum
3243      1239     1     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...