Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Seminggu berlalu, Medina merasa dunianya kembali berwarna kelabu. Masa remaja penuh warna yang semula diimpikan makin jauh dari kenyataan. Zean menghilang. Teman-temannya yang sok alim makin membosankan. Kegiatan sehari-hari yang terkesan monoton membuatnya kian tertekan. Fix, Medina butuh hiburan! Dia butuh sedikit gebrakan.

 

Sambil mematut diri di depan cermin, Medina komat-kamit merapalkan mantra. Ups! Bukan mantra melainkan dialog yang sejak sepuluh menit lalu berputar riuh di dalam kepalanya. Andai Papa di sini, tentu tidak sesulit ini. Karena Papa tidak pernah sekencang Mama mengekang. Jika menginginkan sesuatu, Medina tidak perlu susah payah melewati birokrasi ini itu. Sayangnya, itu bagian dari cerita di masa lalu. Ke mana pun dia akan pergi sekarang, dia hanya bisa melewati satu pintu. Pintu dengan monster menyeramkan bernama Latifa!

 

Suara merdu seorang qari menyambut kedatangan Medina di ruang makan. Bukan hal yang baru sebenarnya. Medina tidak ingat sejak kapan pastinya Latifa memulai kebiasaan ini. Entah untuk apa pula mamanya memutar lantunan ayat-ayat suci setiap pagi. Kadang hal itu membuat Medina merasa seperti tengah di-ruqyah. Apa mungkin Latifa berupaya mengusir jin dan setan yang bersarang di rumah ini? Membayangkan itu, Medina geli sendiri. 

 

Latifa yang kuno memang berbeda dengan ibu kebanyakan. Seringnya Medina mendengar ibu-ibu lain—khususnya di lingkungan tempat tinggal mereka—menyetel dangdut koplo keras-keras buat mengawali hari. Meskipun tidak begitu menyukai jenis musik yang satu ini, tapi bagi Medina itu terdengar lebih lumrah. Apalagi mereka bukan dari keluarga agamis. Mereka cuma orang-orang biasa dengan keimanan yang jika diukur mungkin juga terbilang standard. 

 

Ransel yang tadi disandang di bahu kiri, sudah lebih dulu menempati kursi yang seharusnya ditempati Latifa, persis di sebelah Medina duduk. Namun, Latifa tidak mempermasalahkan hal itu. Alih-alih mengomel, Latifa duduk di sisi lain meja. Posisinya tepat di seberang Medina.

 

Aroma nasi goreng seafood merayu perut Medina yang melolong kelaparan. Maklum saja, gadis itu sudah beberapa hari ini melewatkan makan malam. Jika malam-malam sebelumnya Latifa heboh membujuk, tapi sejak semalam perempuan itu berhenti. Latifa lelah berkonfrontasi. Jadi, diturutinya saja kemauan si bungsu walaupun meninggalkan ganjalan di hati. 

 

“Ma, Santi berangkat dulu. Soalnya mata kuliah pertama dosennya killer. Telat semenit aja bakal nggak dibolehin tanda tangan di daftar presensi.” Dengan tergesa Santi berpamitan. Setelah mencium takzim punggung tangan Latifa dan mengucap salam, perempuan yang hari ini mengenakan terusan hitam dengan hijab motif rintik hujan itu memelesat meninggalkan ruang makan.

 

Kursi kosong di ujung meja selalu membuat hati Medina ngilu. Dengan tatapan menerawang gadis itu memandangi tempat yang dulu selalu diisi sang papa. Walaupun tanpa undangan, kenangan manis masa lampau pun dengan senang hati bertandang.

 

“Assalamu'alaikum, Cantik,” sapa Luthfi dengan nada ceria. Setelah mengecup pelipis Medina, lelaki itu menempati kursinya. 

 

“Wa’alaikumussalam, Pa,” sahut Medina dengan malas-malasan. 

 

“Jawabnya nggak boleh gitu, dong! Salam itu, kan, doa. Masa sudah didoakan yang baik-baik, kayak nggak senang hati begitu?”

 

Medina mencibir. “Lagian Papa ngapain pakai salam segala. Belum juga ke mana-mana. Kayak apa aja, deh!”

 

Luthfi terkikih. “Loh, memangnya aneh, ya? Nggak, toh?” 

 

Daripada nasi, Medina lebih memilih dua lembar roti tawar dan susu kemasan rendah gula sebagai menu sarapannya. “Kenapa nggak sekalian, ‘Jemaah, oh, jemaah!’?” ledeknya seraya memutar bola mata.

 

Gelak tawa Luthfi memeriahkan ruang makan. Sementara itu, Latifa hanya mengulum senyum, tampaknya tidak berniat masuk dalam obrolan. 

 

“Terima kasih, Cintaku,” ucap Luthfi pada Latifa usai sang istri memenuhi piring kosongnya dengan nasi goreng yang dimasak dengan sepenuh jiwa. 

 

“Lebay!” ejek Medina.

 

“Bubar jalaaan!” seru Santi.

 

Sudah, begitu saja! Sepenggal kenangan manis itu cuma singgah sebentar kemudian memilih hengkang. Bayangan Papa raib entah ke mana, menghilang bersama hadirnya yang tidak pernah lagi ada. Medina memejam rapat-rapat, menepis rasa sakit yang tertinggal dengan merapal dalam hati, ‘semua salah Mama’. Ya, kalau bukan Latifa, siapa lagi penyebabnya? 

 

Sentuhan di ujung telunjuk membuat Medina terlonjak. Di kursi seberang, Latifa menatap Medina dengan raut bingung. Tanpa suara mamanya bertanya, “Kenapa?”

 

Medina mendengus lalu menarik tangannya. Tanpa senyum dan memberi jawaban, Medina memindai meja makan. Selera makannya lenyap tak bersisa. Nasi goreng yang tadi tampak begitu menggoda sudah kehilangan pesonanya. Tersisa roti tawar sebagai pelarian. Pilihan yang tidak begitu buruk. Dua lembar sepertinya sudah cukup untuk mengganjal perut sebelum makan besar di kantin nanti siang. Medina putuskan menghindari makanan yang berpotensi membuatnya kalap. Bukannya turun, berat badannya bisa-bisa melonjak. Niat dietnya terancam gagal di garis awal. Selain itu, asupan tinggi karbo di pagi hari juga berpotensi membuatnya kekenyangan. Medina tidak mau sampai mengantuk di sekolah.

 

Latifa meneguk ludah. Sinyal permusuhan Medina masih terendus kuat. Dia tidak seperti Luthfi yang tetap bisa santai menghadapi mood Medina yang berubah-ubah. Sebagai perempuan, dia punya perasaan yang lebih peka. Dikasari sedikit saja bisa membuatnya uring-uringan, bermuram durja dan awet berhari-hari memendam lara. Kadang jika sedang sensitif atau tegangan tinggi, dia tidak segan menyaingi kekeraskepalaan Medina. Kencang urat leher pun tidak terelakkan. Hal yang tentu membuat lelah jiwa raga. Beban pikiran pun bertambah.

 

Demi membuat anak gadisnya tersenyum, Latifa mengangsurkan selembar uang berwarna biru. “Cukup, kan?” 

 

Medina menyambar uang jajannya tanpa ekspresi. Gadis yang hari ini mengenakan setelan batik Tengkawang Ampiek itu kembali menunduk, memilih memfokuskan diri pada makanannya. Setiap Kamis dua pekan sekali, SMA Nusa Pertiwi membebaskan siswa-siswinya menggunakan kemeja atau setelan batik motif apa saja dalam upaya menanamkan kecintaan para anak didik terhadap batik, budaya bangsa dan seluruh produk buatan Indonesia. 

 

Ruang makan itu pun semakin sepi. Lantunan ayat suci sudah tak terdengar lagi. Baik Medina maupun Latifa tidak ada yang sadar kalau pelantang suara yang menghantarkan merdunya suara sang qari telah mati.

 

“Hari ini aku pulang terlambat lagi,” ucap Medina setelah menghabiskan sarapannya. 

 

Latifa yang baru saja menyuap sendokan terakhirnya menatap Medina. Perempuan dalam balutan gamis hitam itu terus diam dan menunggu kelanjutan ucapan sang putri. Namun, setelah beberapa saat berlalu, Medina tidak kunjung buka mulut memberi penjelasan yang dia harapkan. “Ada acara di sekolah? Atau tugas kelompok lagi?” Mau tidak mau, akhirnya dia bertanya.

 

“Pengajian rutin bulanan.” Medina memejam sesaat, menyugesti diri sendiri kalau izin Latifa akan dengan mudah dikantongi kali ini. Dia cuma perlu rileks agar kebohongannya tidak terdeteksi. Mamanya yang kolot dan sok agamis pasti tidak keberatan jika alasan keterlambatannya terkait pengembangan spiritual.

 

Latifa mengernyit. Sungguh ini kabar mengejutkan sekaligus membahagiakan baginya. “Kamu ikut pengajian?” tanyanya setengah tak percaya.

 

Medina mengangguk. “Iya,” jawabnya singkat. Kepalanya menunduk, menekuri piring yang telah kosong. 

 

“Di mana?” Antusiasme Latifa melejit dengan cepat. 

 

“ROHIS yang ngadain. Jadi, acaranya pasti di sekolah, dong, Ma!” 

 

Latifa memekik senang sambil menggumamkan tayibah dan hamdalah secara bergantian berulang kali. Bibirnya melengkung tinggi membentuk senyum lebar. Dua jempol yang mengacung menggantikan pujian yang harusnya keluar dari mulutnya. Mata Latifa berbinar mengungkapkan rasa bangga dan syukur yang teramat besar.

 

Kegiatan positif semacam ini harusnya sejak dulu Medina ikuti. Pergaulan zaman sekarang sangat menakutkan dan Latifa lega anak gadisnya mau mengikuti kajian. Setidaknya, dia tahu Medina berkumpul dengan orang-orang baik. Cuma orang-orang baik dan tergerak hatinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. kan, yang datang ke pengajian? Tidak apa-apa terlambat, daripada tidak sama sekali. 

 

Sementara itu, Medina diam-diam meneguk ludah. Sejak kegiatan ini diadakan awal semester lalu, tidak sekali pun dia datang. Padahal cuma diadakan sekali dalam sebulan dan—menurut yang dia dengar—cuma berlangsung selama satu hingga dua jam. Kalau diadakan setiap minggu, bisa-bisa dosanya karena berdusta setinggi Puncak Mandala. 

 

Satu sisi lain hatinya justru bersorak sambil membujuk untuk meneruskan permainan. Jika benar demikian, dia akan punya lebih banyak waktu di luar menikmati kebebasan. Tidak apa-apa sendirian, tanpa Zean apalagi teman-temannya yang juga terasa makin membosankan. Yang penting lepas dari pengawasan Latifa. Dia bebas ke sana kemari. Berpakaian sesuka hati. Asalkan bermain aman, dia pasti tidak akan ketahuan.

 

“Mama senang kamu ambil bagian dari kegiatan positif seperti ini. Mama harap kamu benar-benar belajar dari setiap pertemuan,” pungkas Latifa susah payah menyelesaikan kalimatnya. Senyum di wajahnya belum juga surut. Matanya berbinar-binar menatap Medina.

 

“Iya, Ma. Aku juga senang” Ternyata Mama mudah juga dibodohi. Coba tau akan semulus ini, sejak dulu aku beralasan kayak gini.

 

-***-

 

Dengan tidak sabar Medina menantikan bel pulang berbunyi. Di benaknya yang telah dipenuhi bisikan setan, sederet rencana sudah tersusun rapi. Senyum terus menghiasi wajahnya, membuat Medina tampak seperti orang gila di mata teman-temannya. 

 

Saat waktu yang dinanti itu tiba, Medina memelesat meninggalkan kelas. Diindahkannya teriakan Cessa yang menyerukan namanya berulang-ulang.

 

Di samping Cessa, Qiqi berdiri memandang objek yang sama. Perempuan berkulit putih dengan bintik-bintik kecil kemerahan di pipinya itu berujar, “Si Mbul lari cepat amat! Kebelet ke toilet kali, ya?”

 

Cessa menggeleng. “Aku yakin ada yang nggak beres sama itu anak.”

 

Qiqi kembali menyahut, “Mungkin sudah mules banget. Nggak tahan lagi, daripada—”

 

Cessa berdecak sebal, lantas menyela, “Dia nggak ke arah toilet, Qi!”

 

“Toilet di belakang, sementara dia pergi ke arah sebaliknya.” Arwa menimbrung. Satu-satunya yang paling memungkinkan adalah gerbang sekolah. Medina sudah hilang dari pandangan, berbaur dengan siswa siswi lain yang hendak pulang. “Kali ini pun dia melewatkan kajian,” keluhnya sedih. Dari keempat temannya, Medina yang paling susah dirangkul. Meskipun Qiqi dan Cessa tidak berhijab seperti dirinya dan Fitri, tetapi kedua temannya itu tidak sekali pun melewatkan kajian yang kata mereka sebagai asupan penyeimbang kehidupan. 

 

Qiqi masih berusaha berpikiran positif. “Bisa jadi dia buru-buru pulang karena datang bulan. Khawatir kalau tembus dan ….” Ucapannya berhenti sampai di situ. Beberapa saat dia diam seperti sedang mengingat sesuatu. “Aku ingat betul tamu bulanannya datang beriringan sama aku dua minggu lalu. Apa iya si Mbul datang bulan lagi?”

 

“Apa mungkin dia janjian ketemuan sama cowok itu lagi?” Arwa menggumam, seperti bicara dengan dirinya sendiri. 

 

“Wah, masih error rupanya!” Cessa memekik gemas. Bayangan Medina malam itu saat dia temukan kembali menyapa ingatan. Tidak hanya melepas hijabnya, Medina juga memakai pakaian pas badan yang menampakkan dengan jelas bentuk tubuhnya. 

 

“Apa pun alasannya, lebih baik kalian nggak lebih jauh campur tangan.” Fitri memperingatkan. Dipandanginya Cessa, Arwa dan Qiqi secara bergiliran sebelum mengembalikan pandangnya ke arah menghilangnya Medina.

 

“Nggak boleh gitu, dong! Kita sebagai—”

 

“Maaf Ces, tapi kali ini aku sependapat sama Mpit.” Qiqi balas memotong omongan Cessa.

 

Arwa termangu. Cessa sudah bersiap buka mulut untuk adu argumen, tetapi pertanyaan Fitri membungkamnya. “Kalian nggak merasa kalau belakangan sikapnya ke aku berubah?”

 

Dengan semangat Qiqi mengangguk. Sudah seperti boneka pajangan di dashboard mobil saja. “Betul, tuh, yang Mpit bilang. Kerasa banget, loh, kalau Mbul menghindari Mpit. Nah, untuk alasannya itu yang aku nggak tau. Kamu tau nggak, Mpit?”

 

Dengan lesu Fitri mengangguk. Lirih dia bertutur, “Sebelum kalian mergokin Medina di mal waktu itu, dia cerita kalau lagi dekat sama cowok. Aku sudah memperingatkan Medina untuk berhenti karena itu cuma buang-buang waktu. Rupanya dia cuma menganggap nasihatku sebagai angin lalu. Waktu di mal juga aku secara nggak sengaja dengar dia teleponan sama cowok itu. Kata-katanya yang nggak enak bikin aku meradang. Kesannya dia terpaksa jalan bareng kita. Makanya aku suruh dia pergi. Dan … dia beneran pergi.” Fitri menjeda ucapannya. Kembali memandang temannya satu per satu. Matanya berkaca-kaca. “Hari pertama Medina masuk sekolah setelah sakit, dia bilang ke aku untuk berhenti ikut campur urusan dia. Dia menuduhku iri karena nggak bisa seperti dia yang bebas menikmati masa muda. Dia nggak sama sekali menangkap niat baikku. Ujung-ujungnya, belakangan dia makin menjaga jarak dan menganggap aku seolah musuh.”

 

Qiqi merangkul Fitri. “Kalau gitu, mending kita musuhin balik aja, deh! Biar tau rasa dia nggak punya teman.” Amarah Qiqi terpantik seperti api yang menyambar bensin. Kesabarannya nyaris tiris menghadapi Medina yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera sadar. Jangankan tobat, Medina justru makin bertingkah.

 

Arwa menggeleng tidak setuju. “Justru bahaya kalau kita balas menjauhi dia. Medina butuh kita buat menarik dia dari kesalahan ini. Jangan sampai dia terperosok makin dalam.”

 

Cessa menjentikkan jari. “Aku setuju banget sama yang Arwa bilang barusan. Jangan sampai kita abai melihat orang lain melakukan kesalahan, lebih-lebih lagi ini teman kita sendiri. Ibarat kita punya mata sehat, tapi nggak menggunakan karunia penglihatan itu sebagaimana mestinya. Apa nggak akan dimintai pertanggungjawabannya nanti di akhirat?”

 

Qiqi menimpuk bahu Cessa dengan buku paket Matematika di tangannya. “Ish, seram banget omonganmu sekarang bawa-bawa akhirat! Rambut, tuh, tutupin dulu pakai jilbab!”

 

“Yang dijauhi cukup aku, kalian jangan.” Dari caranya bicara, Fitri sudah terdengar sangat pasrah. “Kalau semuanya dibenci, dia akan makin bertindak masa bodoh. Seenggaknya, selama kalian tetap menjalin hubungan baik, bisa pelan-pelan menyisipkan nasihat. Syukur-syukur dia mau langsung dengar dan sadar.”

 

Keempat sekawan itu pun sepakat untuk sementara waktu mengikuti alur permainan Medina. “Bukan membiarkan si Mbul terbang bebas, hanya supaya dia nggak sampai terlepas,” pungkas Cessa yang langsung diamini yang lainnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Finding the Star
1152      867     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Simfoni Rindu Zindy
696      517     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
To the Bone S2
392      285     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
Imajinasi si Anak Tengah
1973      1142     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Happy Death Day
561      308     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Lost & Found Club
363      302     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
Tumbuh Layu
388      253     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
MAKE ME NEGATIVE THINGKING
1807      773     4     
Humor
Baru tahun ini aku mengalami hari teristimewa yang membuatku merasa bahagia beralih kesifat P E S I M I S. kalian ingin tahu kenapa?
Intertwined Hearts
1047      563     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
Ameteur
82      75     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...