Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Bel pulang berdentang nyaring hingga ke pelosok sekolah menutup sesi belajar mengajar hari ini. Sepekan penuh tekanan yang mencekam tanpa terasa berhasil dilalui. Plong tentunya dirasakan para siswa, meski tidak sedikit jua keluh kesah yang lolos. Yang katanya punya kecerdasan di atas rata-rata saja ada yang mengeluh sakit kepala, apalagi mereka yang tingkat kecerdasannya setipis kertas karbon. Tersisa bapak dan ibu guru yang berjuang keras menaklukkan bergunung-gunung lembar jawaban ujian tengah semester yang isinya kadang di luar nalar. Semoga para pahlawan tanpa tanda jasa itu diberi kesabaran seluas samudera dan kesehatan lahir batin agar hipertensi tidak menumbangkan mereka di tengah jalan.

 

Selesai paling cepat membereskan peralatan sekolahnya, Cessa berseru, “Pada mau langsung pulang apa bijimane, nih?” Sambil memanggul tas sebesar Gunung Merbabu, gadis itu melemparkan usulan. “Kalau ngantin dulu mau nggak?” Otaknya memang tidak jauh-jauh dari makanan. Menurut Cessa, perut kosong memengaruhi cara kerja otak juga emosi seseorang. Jadi, wajib hukumnya kenyang supaya hati dan pikiran tenang.

 

Fitri dan Arwa saling pandang beberapa saat lantas kompak mengangguk. “Kita ngikut, deh!” sahut mereka berbarengan pula.

 

Dengan tak kalah bersemangat, Qiqi berucap, “Gaskeun, Girls!” Menghabiskan waktu istirahat untuk belajar membuat cacing-cacing di perutnya menggelar konser dadakan.

 

Tersisa Medina yang belum memberi tanggapan. Merasa semua mata tertuju padanya, dengan gugup dia menjawab, “Pengin ikutan, tapi uang jajanku—”

 

“Aku traktir, deh!” potong Cessa.

 

Medina membelalak. “Serius, Ces? Nanti—”

 

“Nggak ada tapi-tapi lagi, deh, Mbul! Kalau masalah duit, tenang aja! Semua aku yang bayarin.”

 

Qiqi cemberut. “Mbul aja, nih, yang ditraktir? Nggak adil banget, sih, Ces!” protesnya.

 

“Makanya kupingnya dipasang baik-baik, Nona Manis! Tadi, kan, aku sudah bilang kalau semua aku yang bayarin,” omel Cessa.

 

Senyum Qiqi merekah. Sepasang matanya berbinar cerah. “Seriusan, kan, Ces? Nggak boleh memberi harapan palsu, loh, ya!”

 

“Kalian boleh pesan apa aja yang kalian mau, dengan syarat makannya nggak boleh nyisa. Kalau sampai nyisa, kudu ganti dua kali lipat. Nggak peduli apa pun alasannya!” putus Cessa tegas.

 

“Kita semua ditraktir, dong, Girls!” seru Qiqi makin semangat ditingkahi kikik geli Fitri dan Arwa. Siapa juga yang tidak senang sama yang namanya makan gratis?

 

Di tengah riuh sorak teman-temannya, Medina mati kutu dan justru diam-diam menyesali diri mengapa mengajukan alasan tadi untuk menolak ajakan Cessa. Namun, nasi telah menjadi bubur. Meskipun enggan dia tetap harus ambil bagian dari kesenangan ini. Lagipula, tidak baik menolak rezeki. 

 

“Sudah siap semua?” Cessa mengomando seperti seorang jenderal. “Mari kita serbu kantin!”

 

“Yuhuuu!” Secara refleks, Qiqi, Arwa dan Fitri mengangkat tinggi sebelah tangan layaknya anak buah yang mengikuti pemimpin mereka yang sudah lebih dulu bergerak maju. Medina hanya tersenyum simpul melihat kelakuan konyol teman-temannya. Sebersit kerinduan pun muncul. Ah, andai Fitri tidak sok ikut campur urusan pribadinya, mungkin mereka tidak akan secanggung sekarang.

 

Lima sekawan yang tidak lagi sekata berjalan bergerombol melewati kelas demi kelas yang mulai sepi dalam keadaan bungkam. Sudah jarang mereka terlibat obrolan seru seperti dulu. Tumben sekali personil mereka selengkap sekarang. Biasanya ada saja yang menghilang dengan alasan yang kadang terdengar terlalu dipaksakan. Yup, siapa lagi kalau bukan Fitri dan Medina? Medina yang terang-terangan menghindari Fitri, membuat Fitri mengikuti alur agar Medina tidak keluar dari lingkaran.

 

Sesampainya di kantin, mereka berpencar menuju stan makanan incaran masing-masing. Cessa dan Arwa sepakat memesan seblak level lima yang akan membuat hari yang cerah ini makin menyala. Sementara itu, Qiqi mantap menjadikan mi ayam dengan ekstra sawi dan baso sapi sebagai pilihan. Yang mencengangkan, tanpa sadar Medina dan Fitri berjalan bersisian menuju ke arah yang sama.

 

“Siomay.”

 

“Batagor.”

 

Keduanya saling pandang untuk sesaat usai menyebutkan pesanan secara bersamaan. Medina yang sadar lebih dulu lantas membuang pandang pada serbet butek yang menggumpal di sudut dekat tumpukan mangkuk. Lain halnya Fitri, perempuan berjilbab itu dengan cepat putar badan usai pesanannya dicatat oleh si pemilik stan yang biasa dipanggil Pakde Kumkum lantaran kumisnya yang lebat seperti hutan belantara.

 

Sementara pesanan diproses, mereka kompak mengisi meja di pinggir dekat jendela besar yang menganga. Di sana pertukaran angin sangat leluasa menjadikan area itu jauh lebih sejuk dibanding area lain yang terjangkau kipas angin berputar yang terpancang di langit-langit.

 

“Guys, besok jalan-jalan lagi, yuk! Hitung-hitung refreshing.” Cessa kembali buka suara. Ide yang tercetus tiba-tiba itu pun ditanggapi beragam komentar teman-temannya.

 

“Boleh, tuh! Anggap aja sebagai bentuk apresiasi dari diri sendiri karena kita sudah berjuang keras semingguan ini.” Qiqi si paling antusias. Kalau urusan shopping dan jalan-jalan, dia berada di garis terdepan.

 

“As always, aku tanya Ayah sama Bunda dulu, ya, teman-teman. Kalau sudah ngomong ke mereka, baru aku bisa kasih jawaban.” Giliran Arwa menyahut.

 

“Mpit, Mbul, kalau kalian gimana? Bisa nggak?” tanya Cessa. Di mata Fitri, Cessa terlihat penuh harap, tetapi bagi Medina gadis itu tampak mengintimidasi.

 

“Maaf ya teman-teman, kali ini aku absen dulu.” Fitri memberikan jawaban pasti. Kali ini bukan karena khawatir keberadaannya membuat Medina menolak bergabung, tetapi memang karena dia punya kesibukan lain yang tidak bisa ditinggalkan.

 

“Kenapa nggak bisa, Mpit?” Qiqi tampak sangat ingin tahu. Dengan ekor mata dia menunjuk Medina yang duduk paling ujung, persis di samping kanan Cessa. “Bukan karena—”

 

Paham yang Qiqi maksud, secepat kilat Fitri menyela, “Kondisi kesehatan Nenek lagi nggak begitu bagus. Walaupun Nenek ngasih izin dan nggak keberatan ditinggal, tapi aku nggak tega ngebiarin Nenek sendirian di rumah. Jauh hari aku sudah planning besok buat beberes aja. Pak De sama Bude mau datang Sabtu depan. Aku nggak mau kelihatan kayak orang yang ngabisin waktu di rumah cuma buat malas-malasan.” 

 

Hidup hanya berdua dengan neneknya membuat Fitri terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri. Selain itu, dia juga sering waswas dan terlatih lebih peka akan keadaan sang nenek. Terlebih saat musim pancaroba di mana cuaca tidak menentu. Pun, saat menjelang akhir tahun begini. Hujan turun makin intens, meninggalkan hawa dingin yang menusuk. Sesering itu pula penyakit asma Nenek kambuh. Namun, bukan berarti penyakit Nenek tidak akan kambuh di saat cuaca panas. Jika matahari bersinar terlampau terik, suhu akan menjadi sangat panas dan Nenek akan cenderung lebih mudah letih. Saat itu napas Nenek akan tiba-tiba sesak. Intinya, dalam kondisi apa pun, Fitri dengan sigap melarikan Nenek ke klinik terdekatyang untungnya hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya. Setelah menjalani penguapan atau lebih dikenal dengan sebutan nebu, barulah neneknya bisa kembali bernapas normal. “Insyaallah, next time aku ikutan.”

 

Meskipun sedikit kecewa, Qiqi tidak lagi banyak tanya. Apalagi saat itu pesanannya telah tiba. Aroma gurih manis mi ayam menyebabkan air liurnya hampir menetes-netes. Tanpa banyak kata lagi, dia langsung membubuhkan dua sendok penuh sambal ke dalam mangkuknya. Secara kontan aroma berubah menjadi pedas menyengat yang membuat semangat makannya kian menggebu.

 

Pakde Kumkum mengantarkan batagor dan siomay bersamaan dengan datangnya seblak pesanan Arwa dan Cessa. Masing-masing dari mereka langsung disibukkan dengan hidangan di depan mata. Sedang asyik-asyiknya mengunyah, tiba-tiba Cessa teringat jika di antara mereka masih ada yang belum menanggapi ajakannya.

 

Seraya menyenggol lengan Medina, Cessa berbisik, “Mbul, besok bisa nggak?” 

 

“Maaf, aku juga nggak bisa.” Medina bicara sambil menunduk. Dengan gelisah dia mengaduk-aduk siomay di depannya. Nafsu makannya yang membuncah sirna dalam sekejap mata.

 

“Yah, sayang benget, Mbul. Si Mpit sudah skip, masa kamu ikutan absen juga kali ini?”

 

Nada kecewa Cessa membuat Medina makin tidak enak hati. Sudah ditraktir si anak sultan, masa iya masih menolak? Lagipula tidak akan ada Fitri. 

 

“Besok pagi aku kabari kepastiannya.”

 

-***-

 

Dengan tergopoh-gopoh Qiqi berlari menghampiri Arwa, Cessa dan Medina yang sudah lebih dulu sampai. Sesuai kesepakatan di grup chat, mereka bertemu di Shining Cafe untuk makan siang. Setelahnya mereka akan menghabiskan sepanjang siang hingga sore dengan jalan-jalan di mal yang letaknya persis di seberang kafe. 

 

“Girls, sorry banget banget banget aku mesti bawa orang-orangan sawah hari ini.” Dengan sangat menyesal dan kesedihan mendalam Qiqi menyampaikan kabar mengenai penambahan personil dadakan yang mungkin akan membuat acara mereka hari ini berjalan dengan kurang atau bahkan sangat tidak nyaman. Mau bagaimana lagi, ibunya mengancam tidak akan memberi uang saku jika Qiqi mengotot pergi seorang diri. 

 

“Kamu ngomong apaan, sih, Qi? Duduk dulu, atur napas yang benar baru ngomong,” saran Arwa sambil menepuk-nepuk kursi kosong di sampingnya. Meja yang mereka tempati berbentuk lingkaran dengan lima buah kursi dan berada di tengah-tengah ruangan. 

 

Sebelum Qiqi menuruti semua saran yang Arwa berikan, dari arah belakang muncul lelaki jangkung menghampiri meja mereka. “Hai, salam kenal semua,” katanya sambil melambaikan tangan. Lelaki bermata bulat dan hidung mancung itu tampak begitu ramah dan hangat. “Maaf nggak izin nimbrung sebelumnya. Perkenalkan, namaku Zaidil Akmal Majeed. Boleh disapa Zaid, Idil, Aidil, Akmal, Majid, atau Zam. Senyamannya kalian aja. Please, jangan berprasangka buruk dulu. Aku nggak punya hubungan spesial pakai telor dua butir sama Falisa Ghayda Haqiqi. Kebetulan aja orang tua kami bersaudara. Jadi—”

 

Dengan sigap dan mata menyala-nyala Qiqi membekap mulut sepupunya. “Bacot banget, sih! Tadi di rumah janjinya kamu keep silent for a long day, kan?” tanya Qiqi dengan suara menggeram tertahan. Darahnya mendidih mendapati sorot tidak bersalah di sepasang mata Zaid.

 

Zaid manggut-manggut pura-pura tak berdaya seolah Qiqi berhasil membuatnya kesusahan bernapas. “Sampai jinjit, loh, kamu itu! Padahal body kayak kecebong, nggak nyangka kuat juga,” tukasnya begitu Qiqi menurunkan tangan yang membekap mulutnya.

 

“Ngomong sekali lagi, aku kirim balik kamu ke rumah dalam bentuk puzzle!” ancam Qiqi.

 

“Yakin berani? Pengin banget kayaknya ngerasain ngegembel gara-gara nggak dibukain pintu sama Mami. Semalaman aja belum tentu kamu sanggup, Qi.” Mami yang Zaid maksud adalah ibunya Qiqi.

 

Ancaman Zaid membuat nyali Qiqi ciut. Dengan menahan dongkol yang menggelegak nyaris menyentuh ubun-ubun, Qiqi mengurut dada. “Sabar, Qi, sabar. Orang sabar ganjarannya surga,” bisiknya mengafirmasi diri sendiri.

 

Satu per satu bergantian berkenalan dengan si pendatang baru. Tidak ada jabat tangan. Secara alami Zaid mengatupkan kedua tangannya di depan dada mengikuti cara Arwa tanpa sedikit pun terlihat canggung dan heran. 

 

“Qi, kok kamu nggak bilang kalau temanan sama Dorami?” bisik Zaid saat menunggu pesanan datang.

 

“Dorami … siapa?” Qiqi mengernyit tidak mengerti.

 

Zaid berdecak sebal. “Adeknya Doraemon, woy! Makanya jangan nonton sinetron terus. Sampai-sampai Dorami aja nggak tau.” Lelaki itu masih betah main bisik-bisik seperti emak-emak rumpi di kontrakan Pak Haji Adi, tetangga mereka.

 

“Memangnya siapa yang kamu sebut Dorami?” Perasaan Qiqi mulai tidak enak. Biasanya kalau Zaid sedang mode julid begini ada saja yang akan menjadi korban.

 

“Hei, Medina! Ada yang pernah bilang kalau kamu kayak Dorami, nggak?” tembak Zaid tanpa basa-basi.

 

Saat itu juga Qiqi ingin Boboiboy dan Ochobot ada di dunia nyata. Apalagi kalau bukan untuk mengirimkan Zaid yang resek ke Antartika nun jauh di mata? Dengan Fitri saja belum berdamai, bertambah satu lagi musuh Medina.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Caraphernelia
989      521     0     
Romance
Ada banyak hal yang dirasakan ketika menjadi mahasiswa populer di kampus, salah satunya memiliki relasi yang banyak. Namun, dibalik semua benefit tersebut ada juga efek negatif yaitu seluruh pandangan mahasiswa terfokus kepadanya. Barra, mahasiswa sastra Indonesia yang berhasil menyematkan gelar tersebut di kehidupan kampusnya. Sebenarnya, ada rasa menyesal di hidupnya k...
GADIS MISTERIUS milik CEO DINGIN
38      37     0     
Action
Pertemuan dengan seorang pemuda yang bersifat anti terhadap para wanita. Justru membuat dia merasa bahwa, Ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis dengan kehidupan yang di alami gadis tersebut, hampir sama dengan dirinya. Nasib keduanya sama-sama tidak memiliki seorang bidadari tanpa sayap. Kehilangan sosok terbaik yang menemani mereka selama ini. Sehingga kedua manusia...
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
744      455     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
Unexpectedly Survived
104      93     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Sweet Seventeen
1007      709     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Sosok Ayah
907      504     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
My First love Is Dad Dead
53      50     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Ada Apa Esok Hari
202      156     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
A & A
292      214     2     
Romance
Alvaro Zabran Pahlevi selalu percaya bahwa persahabatan adalah awal terbaik untuk segala sesuatu, termasuk cinta. Namun, ketika perasaannya pada Agatha Luisa Aileen semakin dalam, ia sadar bahwa mengubah status dari teman menjadi pacar bukanlah perkara mudah. Aileen, dengan kepolosannya yang menawan, seolah tak pernah menyadari isyarat-isyarat halus yang Alvaro berikan. Dari kejadian-kejadian ...
Rumah Tanpa Dede
134      83     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...