(Kak Zee_AN:)
Mowniiing, Mbul!
Hujan semalam nggak bikin kamu tumbang, kan?
Memutuskan mengabaikan pesan masuk barusan, Medina melemparkan ponselnya ke ujung kaki. Dengan bibir mengerucut, dia menarik lebih tinggi selimut yang membungkus tubuhnya hingga ke bagian leher. Sudah demam dan nyaris tidak bisa tidur semalaman karena hidung mampet—padahal sudah minum obat, tapi sama sekali tidak berpengaruh—hingga membuatnya kesulitan bernapas, pagi ini mood-nya langsung anjlok mendapati kata ‘Mbul’ nangkring di ruang obrolannya dengan Zean. Jelas lelaki itu meledeknya.
“Gara-gara Cessa, nih!” rutuknya sebal. Terbayang lagi kejadian semalam, disertai kata-kata Zean yang tajam tak berperasaan, Medina dongkol lagi. Padahal sudah berusaha dengan susah payah melupakan, tetapi usaha itu terasa sia-sia sekarang.
Cuitan burung gereja yang bersarang di dahan pohon mangga samping kamar seperti musik yang menggiring rasa kantuk menghampiri Medina. Perlahan tapi pasti, mata Medina kembali terpejam. Namun, baru beberapa saat terlelap, benar-benar sangat singkat, gadis berpipi tembam itu terjaga oleh sentuhan yang menyapa keningnya.
Senyum lembut Latifa menyapa indra penglihatan Medina. “Gimana keadaanmu sekarang, Nak?” tanyanya. Kedua tangannya bergerak lincah diikuti suara-suara serupa gumaman tak jelas.
“Masih lemas,” sahut Medina dengan suara parau. Namun, Medina bersyukur kerongkongannya tidak sesakit semalam.
“Mbak Santi sudah menghubungi wali kelasmu, mengabarkan kalau kamu lagi sakit. Jadi, kamu bisa istirahat dengan tenang sekarang. Nggak perlu mikirin soal pelajaran di sekolah.” Latifa memberitahu.
Medina tersenyum hambar. “Medina mau tidur lagi, Ma.” Medina mengusir secara halus sang mama. Saat hendak balik badan, tanpa diduga Latifa malah mencekal lengannya. Tidak begitu kuat, tetapi sangat mengganggu.
Bukannya tidak mengerti maksud sang buah hati, Latifa sengaja memaksakan diri bertahan lebih lama di sana. “Sarapan dulu, Nak. Setelah itu minum obat. Kalau mau lanjut tidur setelahnya, nggak apa-apa,” bujuknya sabar.
Medina mendengus. “Medina nggak pengin makan, Ma. Liur Medina pahit. Tenggorokan Medina juga masih sakit,” sahutnya mulai kesal.
“Makan dulu. Biar pun sedikit, yang penting perutmu terisi,” bujuk Latifa sembari menunjuk perut Medina dengan wajah memelas.
Riwayat tukak lambung yang pernah Medina derita hingga menyebabkan gadis itu dirawat intensif beberapa tahun silam meninggalkan trauma mendalam. Latifa tidak sanggup jika harus mengulang kejadian di mana dirinya melihat Medina terkapar tanpa daya dengan selang infus menancap di punggung tangan. Banyak hari yang dia habiskan menunggui sang buah hati hingga bau obat-obatan yang dibencinya pun menjadi akrab di penciuman. Dinding berlapis keramik nan dingin menjadi saksi atas doa-doa yang Latifa angkasakan. Di atas amparan sajadah tangis Latifa tertumpah. Pintanya untuk kesembuhan Medina melangit tanpa jemu. Hanya itu senjata yang dia punya di tengah keputusasaan yang mendera. Tanpa lelah Latifa membujuk Yang Maha Kuasa agar bisa melihat kembali keceriaan bungsunya.
“Mama paham nggak, sih, aku ngomong apa barusan? Aku … nggak … mau … makan!” Medina memberi penekanan pada setiap kata di kalimat terakhir yang dia ucapkan.
“Tapi—”
“Sudah nggak usah kebanyakan drama, deh, Ma!”
Hardikan Medina membuat tangan Latifa seketika berhenti bergerak. Dengan canggung perempuan tunawicara itu menyimpan kedua tangannya di pangkuan. Tersirat luka di sepasang matanya. Bulir-bulir bening merebak dan bergulir cepat membasahi pipi dalam beberapa detik saja.
Meskipun sadar bahwa sikapnya sudah membuat sang ibu bersedih, tetapi Medina merasa belum puas melampiaskan kekesalannya. “Mama bisa nggak, sih, sehari aja nggak bawel? Aku capek, Ma, diperlakukan kayak anak kecil yang nggak tau apa-apa. Aku bisa, kok, mengurus diri sendiri.”
Latifa meneguk ludah. Air matanya turun semakin deras. Dengan terbata Latifa menyahut, “Mama cuma menghawatirkan keadaan kamu, Nak.” Kali ini Latifa tidak lagi menggerakkan kedua tangan untuk memperjelas ucapannya. Namun, dia yakin Medina dapat memahami kata-katanya. Kesedihan dan kekecewaan menyedot tenaganya hingga nyaris tak bersisa. “Mama di luar kalau kamu perlu sesuatu.” Latifa bangkit, berjalan lunglai menuju pintu.
Dengan ketus dan sinis Medina menyahut, “Mama pergi aja ke kios! Aku nggak akan butuh apa-apa dari Mama. Aku bisa sendiri!”
Walaupun gemetar, Latifa tetap melanjutkan langkahnya. Tepat setelah menutup pintu, perempuan bermata sendu itu luruh di lantai. Dengan tangan terkepal, Latifa memukuli dadanya yang sesak. Dulu, Medina gadis kecil yang manis dan berhati lembut. Namun, kini Medina sekeras karang. Sampai detik ini Latifa tidak tahu penyebab perubahan sikap Medina padanya.
Entah kapan, tetapi Latifa yakin benar Medina-nya yang dulu akan kembali. Sementara menunggu itu terjadi, dia hanya meminta agar terus diberi kesabaran dan kekuatan pada Sang Pencipta. Yang Maha Kuasa akan segala hal, yang di tangan-Nya segala sesuatu tergenggam, pasti akan menjawab doa-doanya. Tidak sulit bagi-Nya membolak-balikkan hati manusia, kan? Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka, jadilah (sesuatu) itu.
Usai menarik napas panjang, Latifa menegakkan tubuhnya. Dengan sebelah tangan dijadikan sebagai tumpuan, Latifa bangkit. Masih ada sisa tangis yang menggenang di pelupuk mata, tetapi hatinya yang sempat rapuh untuk sesaat tadi sudah kembali kuat. Meski sedikit buram, pandangan Latifa tertancap pada pintu tertutup di depannya. Perlahan tapi pasti bibirnya terangkat membetuk sebuah senyum tabah.
-***-
Berjam-jam lamanya Medina habiskan dengan memejam tanpa tahu bagaimana agar bisa terlelap. Tubuhnya sangat lelah, tetapi otaknya menolak untuk beristirahat. Alhasil, kepala yang semula hanya pusing berubah migrain.
“Dek,” panggil Santi diikuti ketukan dua kali. “Mbak masuk, ya?” Tidak menunggu jawaban, perempuan berhijab itu pun masuk.
“Aku belum kasih izin Mbak buat masuk, loh! Main nyelonong aja. Dasar nggak sopan!” gerutu Medina. Sengaja dia menghadap dinding, sehingga yang bisa kakaknya lihat hanya punggung yang tertutup selimut kusut.
“Ada yang pengin jengukin kamu, tuh!”
Dengan lincah Medina menyibak selimut seraya berbalik lalu melompat duduk. Tatapannya beradu dengan kedua mata Santi. Antusiasme menyala di matanya saat bertanya, “Siapa?” Medina pikir itu Zean. Dia pikir, karena diabaikan dan akhirnya merasa bersalah, Zean secara resmi datang untuk meminta maaf. Bisa saja, kan?
“Cessa sama yang lainnya. Mbak nggak tau siapa aja, yang jelas semuanya perempuan,” terang Santi.
Harapan Medina pupus. Dengan malas Medina merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari tangan. Sekadar terlihat sedikit rapi saja. Diam-diam dia mengendus bau tubuhnya. Asam!
“Semua orang yang lagi sakit wajar kok berantakan.” Santi tersenyum. Wajahnya yang kalem terlihat semakin ayu dihiasi senyum manis begitu. “Mau ditemuin nggak, teman-temannya?”
Medina berdeham, menelan kekecewaan yang bergumpal di kerongkongan. “Iya,” sahutnya malas.
“Mau mandi atau ganti baju dulu, nggak?”
Untuk sesaat Medina diam memandangi pantulan dirinya di cermin meja rias. Tampangnya, sih, lumayan. Tidak seram-seram amat. Namun, bau badannya ini yang dia khawatirkan. Karena tadi pagi hanya menggosok gigi, baunya mungkin seperti beruang yang baru bangun dari hibernasi.
“Kalau mau mandi, Mbak bisa rebuskan air dulu,” tawar Santi. “Mereka pasti nggak keberatan walaupun menunggu sedikit lebih lama.”
Medina mencebik, kembali mengalihkan pandangannya pada Santi. “Rebus airnya lama nggak, Mbak?”
Santi menimbang sesaat. “Kira-kira lima sampai sepuluh menitanlah.”
Bibir bawah Medina semakin menjorok ke depan. Sekali lagi dia memandang pantulannya di cermin. “Nggak usah mandi aja, deh, Mbak.” Nggak apa-apa, deh! Kali aja mereka bakalan cepat cabut karena mabuk cium bau badanku.
“Yakin?” Santi terdengar sangsi. Medina yang dikenalnya paling anti terlihat kucel. “Mbak bisa sediakan makanan ringan dan minuman selagi teman-temanmu menunggu di bawah.”
“Yakin seratus persen! Suruh mereka naik, gih, Mbak!” Medina menyahut dengan mantap. Gadis berponi itu tidak bisa menahan senyum.
-***-
Harapan ternyata tidak sesuai dengan dugaan Medina. Ketiga temannya; Cessa, Qiqi dan Arwa malah tampak tidak terganggu dengan wujud dan aroma tubuhnya. Jangankan berpikir untuk segera angkat kaki, teman-temannya malah sibuk menguliahinya saat ini. Di antara ketiganya, Cessa yang paling berapi-api.
“Iya deh, iya! Terima kasih banyak atas bantuanmu semalam, Princessa Asteria Dimitri,” ucap Medina setengah hati.
“Harusnya kamu say thanks juga sama Fitri. Dia yang lebih dulu curiga kamu belum balik, terus minta tolong aku buat nyari kamu. Dia khawatir banget karena nomor kamu nggak bisa dihubungi.” Cessa berbalik cepat, membuat ujung pashmina berbahan chiffon yang dipakainya berkibar seperti rambut yang dikibaskan. Tumben-tumbenan gadis itu berhijab. Entah akan permanen, atau masih lepas pasang. “Kalau aku pribadi, jujur aja nggak bakal kepikiran kamu belum balik saat itu. Untung juga aku masih di jalan dan Om Egan nggak keberatan mutar-mutar dulu,” ungkap Cessa.
“Waktu kamu keluar toilet dengan pakaian terbuka, sebenarnya kami sudah mau nyamperin. Takut aja kamu kesambet atau apa sampai bisa-bisanya bermetamorfosis kayak gitu. Dari rumah sudah bagus tertutup kayak kepompong, singgah di tempat lain malah buka-bukaan kayak kupu-kupu malam,” timpal Qiqi blak-blakan. “Sayangnya Fitri menghalangi. Dia nggak mau kami bikin kamu nggak nyaman.”
Melihat Medina tertunduk sambil memilih ujung piama, Arwa jadi kasihan. “Kita nggak lagi menghakimi kamu, ya, Mbul. Itu bukan kapasitas kami. Tapi, sebagai teman kami cuma mau mengingatkan.” Arwa duduk di samping Medina, mengulurkan tangan untuk mengelus bahu sahabatnya itu. “Masa iya, kami membiarkan kamu melangkah di jalan yang salah?”
Dari sisi satunya, Cessa ikutan duduk mengapit Medina. “Kami sayang banget sama kamu, Mbul. Sebagai teman, kami punya kewajiban buat mengingatkan kamu. Nasihat-menasihati dalam kebaikan itu, kan, wajib hukumnya.”
“Betul itu, Mbul. Kita kayak gini karena kita sayang dan peduli sama kamu. Aku juga nggak mau nge-judge kamu ini itu, karena aku sendiri bukan sepenuhnya pribadi yang baik. Cuma … lebih selektif ajalah pilih-pilih teman. Apalagi cowok. Zaman sekarang susah cari yang baik. Jangan sampai kamu terjerumus ke pergaulan yang salah.” Nada bicara Qiqi merendah. Dia berjongkok di depan Medina. Menatap wajah Medina dari bawah.
“Betul kata Qiqi. Kami kayak gini bukan karena sok suci atau gimana-gimana. Ini murni perwujudan rasa sayang kami. Please, jangan salah paham,” pungkas Arwa menutup kuliah tujuh menit dadakan dalam rangka mengembalikan Medina ke jalan yang benar.
Medina terus diam. Dalam hati kedongkolannya pada Fitri menjadi-jadi. Jika Fitri tidak sok tahu, pasti tidak akan begini. Duduk dengan kepala tertunduk, menelan setiap kata yang berdesakan ingin keluar sebagai pembelaan diri itu tidak enak.