Setelah berhari-hari didera panas yang menyengat, akhirnya malam ini hujan turun begitu deras. Air menggenang di beberapa titik, mengisi lubang pada jalan yang sudah terkelupas aspalnya. Tidak hanya licin, tetapi kondisi jalan yang rusak cukup parah membuat Zean memutuskan untuk menepi. Berbahaya bila memaksakan diri melanjutkan perjalanan. Dengan kalut memenuhi dadanya, Medina mengayun langkah gontai mengikuti Zean menuju pelataran toko yang sudah tutup untuk berteduh.
Medina yang mulai menggigil kedinginan karena bajunya basah kuyup memeluk erat-erat ransel berbahan canvas berisi dompet, hijab dan jaketnya. Medina juga menggosok-gosokkan telapak tangan sambil meniupinya berharap tindakan itu bisa memberinya sedikit kehangatan. Di samping Medina, Zean melakukan hal yang sama.
Melihat curahan air yang sepertinya enggan berhenti, mendadak Medina rindu rumah. Andai tidak menurutkan hawa nafsu tadi, mungkin dia sedang asyik rebahan, bergelung di bawah selimut tebal sambil menonton televisi. Medina sangat menyesal.
Saking menikmati kebersamaan dengan Zean, Medina sampai lupa diri. Sudah tahu waktu beranjak senja, bukannya pulang Medina malah menerima ajakan Zean menonton di bioskop. Sekeluarnya dari bioskop, dia juga tidak berpikir untuk langsung pulang, melainkan mengikuti Zean berburu makan malam. Lantas saat hujan tiba-tiba turun, mereka malah pontang-panting mencari wadah bernaung.
Di sinilah mereka berakhir. Terdampar di antah berantah. Berduaan dengan Zean menjadi salah satu mimpi terbaru Medina, tetapi jelas kejadian seperti ini di luar ekspektasi. Ini impian yang terwujud di waktu yang tidak tepat.
Segumpal penyesalan membuat Medina harus berpuas diri menerima kenyataan bahwa sosok Zean tidak bisa mengusir begitu saja hawa dingin yang menyergap. Lelaki itu juga tidak bisa menghapus rasa lapar yang bergejolak bak gulungan ombak. Mungkin jika ada Fitri di sini, temannya itu yang akan paling keras mentertawakan kemalangannya.
Mamam, noh, cinta! Mampus kau Medina!
Kedua mata Medina memanas. Pun dengan embusan napasnya. Kerongkongannya mulai tidak enak. Seperti ada biji kedondong yang mengganjal. Sebentar lagi mungkin dia akan terserang demam. Biasanya kalau sudah begini, Latifa dengan inisiatif sendiri akan membuatkan teh melati kesukaan Medina. Kadang-kadang malah tersaji bakso dadakan di atas meja makan yang tentunya juga dibuat sepenuh cinta olehnya. Duh, bayangan kenyalnya baso sapi dan kuah gurih pedas membuat perut Medina makin riuh minta dipenuhi.
Rasa bersalah yang sejak kemarin ditepikan muncul lagi dan kembali mencubiti hati kecil Medina. Sudah sekasar itu, kenapa baru mengingat semua kebaikan Mama? Bukankah kamu bilang bisa mengurus diri sendiri? Kemarin siapa yang mati-matian berkeras tidak butuh Mama? Mama yang bisu tapi kepo ampun-ampunan tidak bisa apa-apa, kan? Pertanyaan-pertanyaan itu sekarang bergema berulang-ulang dalam benaknya.
“Kayaknya hujannya bakal awet, nih! Sudah hampir sejam kita di sini dan bukannya reda hujannya malah turun makin lebat,” cetus Zean memecah keheningan. Lelaki itu sudah berpindah duduk ke atas sepeda motornya. Kakinya pegal karena kelamaan berdiri. Sebatang rokok terselip di bibirnya dan mengepulkan asap tipis yang dengan cepat hilang tersapu angin dingin nan lembap.
Medina termangu. Dia baru tahu kalau Zean merokok. Zean jugalah satu-satunya orang dekatnya yang mengisap lintingan tembakau itu. Papa bilang, merokok sama saja membakar uang. Sudah tidak membawa faedah sama sekali, malah banyak mudaratnya. Tidak hanya bagi diri sendiri, merokok juga sangat merugikan orang-orang sekitar.
Sadar tatapannya berpotensi membuat Zean merasa risi, Medina lekas membuang pandang ke arah lain. Dari kiri ke kanan, sejauh mata memandang hanya jalan basah yang tertangkap indra penglihatannya. Tidak satu pun kendaraan melintas. Tempat ini mulai menakutkan. Entah harus bersyukur atau khawatir, nyatanya Medina terjebak di tempat yang sepi ini hanya berdua dengan Zean.
“Medina!” panggil Zean. Lelaki itu menyodorkan kotak rokok yang menganga bagian atasnya pada Medina. “Nggak mau coba ini? Enak, loh! For your information, merokok bisa membantu menjernihkan pikiran dan bikin hati tenang saat kita menghadapi masalah.”
Tatapan Medina berpindah dari tempat sampah yang isinya membumbung tinggi ke wajah Zean. Lagi-lagi dia termangu. Setelah tadi kaget melihat Zean merokok, kali ini lelaki itu malah menawarinya untuk mencoba barang itu.
“Canda aja, Din! Gitu banget kamu ngelihatinnya,” seloroh Zean seraya menarik mundur tangannya yang menggantung di udara. Lelaki itu berpaling, lantas menyedot kuat-kuat rokoknya. Kepulan asap lebih tebal pun keluar saat mulut lelaki itu terbuka membentuk huruf O. Berulang-ulang hal itu Zean lakukan hingga tanpa terasa rokoknya telah habis sebatang dan langsung berganti lintingan baru yang masih panjang.
Medina menggigil, giginya sampai bergemeletuk. Matanya menerawang menatap genangan air yang semakin banyak dan meninggi di jalan. Dia semakin resah memikirkan caranya pulang. Malam telah semakin larut dan dia tidak tahu di mana sebenarnya dia berada. Mirisnya lagi, perutnya yang keroncongan berdendang semakin riang. Ponselnya kehabisan baterai sementara Zean tidak bisa memesankan ojek daring untuknya karena kehabisan kuota. Amukan Latifa pun mulai membayang di pelupuk mata Medina. Sungguh sangat pintar alam berkonspirasi menjatuhkannya.
Saat sedang syahdu-syahdunya membayangkan sebutir demi sebutir baso sapi mengisi perutnya, Medina tercenung melihat mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depannya. Rasa-rasanya Medina mengenali mobil itu. Sepersekian detik Medina menggali ingatan. Tanpa sadar, perempuan itu menggigit bibir. Tubuhnya yang gemetar semakin menggigil kala jendela mobil bagian tengah terbuka lebar dan menampilkan sosok di dalamnya. Ternyata ingatannya tidak salah.
“Cessa,” desis Medina dengan mata membulat sempurna.
“Ngapain kamu di sini, Mbul?”
Mata Medina nyaris menggelinding melihat Zean mentertawakan panggilan Cessa untuknya. Ingin pura-pura tidak kenal, tapi mungkin Cessa adalah satu-satunya orang yang bisa dimintai tolong agar dia bisa secepatnya sampai ke rumah.
“Lagi berteduhlah, masa main rumah-rumahan?” sahut Medina berteriak.
“Aku pikir kamu lagi syuting film Bollywood, Mbul! Pas banget lagi hujan soalnya! Cuma kurang lagu sama pohonnya doang!” Cessa berteriak tak kalah nyaring. Masih sempat-sempatnya menggelindingkan lawakan garing.
Zean terpingkal sampai terbatuk-batuk. Medina curiga lelaki itu tidak sengaja menelan rokoknya saat tertawa tadi.
“Makanya jangan buka mulut lebar-lebar, Bang! Kemasukan nyamuk kayak barusan, kan, nggak enak! Masih untung nyamuk, bukan kecoa!”
"Dasar Cessa! Petasan bunting, eh, banting!" Medina komat-kamit tidak jelas mengumpati sahabatnya itu.
“Mau tetap di situ apa mau pulang bareng aku, Mbul?”
Tanpa pikir panjang Medina mengangguk. Saking semangatnya, dia sampai lupa kalau Zean juga di sana bersamanya.
“Go ahead, Din.” Zean yang pengertian mempersilakan. Bibirnya merekahkan senyum yang tampak bersinar di keremangan.
“Beneran, nih, Kak? Nggak apa-apa kalau aku tinggal Kakak sendirian di sini?” Medina meragu.
“Aku justru senang ada yang menggantikan tugasku. Kalau nggak kasihan sama kamu, sudah kutinggal dari tadi.”
“Apa?” Medina memelotot. Pengakuan blak-blakan Zean memuntir ulu hatinya. Inikah yang dinamakan terluka tapi tak berdarah? Haruskah Zean bicara sejujur—dan setajam—itu?
“Canda, Din! Gitu aja baper.” Zean cengar-cengir. Tidak sedikit pun terlihat menyesali ucapannya.
Tanpa berpamitan lagi, Medina berlari menuju mobil Cessa. Tidak dihiraukannya teriakan Zean yang menyerukan namanya. Kekecewaan telanjur besar di hatinya.
-***-
“Maaf ya, Ces, mobil kamu jadi basah dan kotor,” ucap Medina. Saking tidak enaknya, dia sampai tidak berani menempelkan punggungnya pada jok mobil.
“Santai aja, yang penting sekarang kita cari tempat buat kamu ganti baju dan bebersih diri.” Saat melihat gelagat Medina yang tampak akan menolak sarannya, buru-buru Cessa menambahkan, “Tapi … nggak apa-apa juga, sih, kalau kamu lebih suka pulang dalam keadaan basah kuyup dan nggak layak pandang kayak gitu. Paling-paling orang rumah langsung manggil Pak Ustadz buat nge-ruqyah kamu. Siapa tau habis itu setan-setan yang nempelin kamu pada kabur terus kamu balik lagi ke jalan yang benar.”
Medina bungkam lagi. Cetusan tajam Cessa memang membuatnya tersinggung, tetapi untuk menyangkal Medina tidak enak hati. Cessa sudah berbaik hati menolongnya. Medina tidak mau dituding sebagai orang yang tidak tahu diri. Lagipula omongan Cessa ada benarnya.
Auto dicoret dari kartu keluarga kalau Mama sampai lihat bajumu kayak gini, Medina.
“Singgah di toilet umum dulu sebentar bisa, kan, Om?” tanya Cessa pada lelaki di balik kemudi.
“Mau singgah di masjid, pom bensin atau minimarket, nih?” tanya si Om berwajah tampan bak Oppa-oppa Korea.
“Kamu maunya di mana, Mbul?”
“Yang mana aja boleh,” sahut Medina lesu.
Akhirnya Cessa putuskan mampir di minimarket saja. Sementara Medina di toilet, Cessa membeli beberapa bungkus roti dan makanan ringan, beberapa kotak susu UHT juga air mineral untuk mereka makan bersama selama perjalanan pulang. Hawa dingin membuat perutnya keroncongan.
Medina keluar dari toilet dengan pakaian bersih milik Cessa. “Aku janji bajunya balik nanti dalam keadaan sudah bersih dan wangi kayak gini.”
Cessa mengibaskan tangan. “Never mind, Mbul! Sudah kayak sama siapa aja sampai sungkan gitu.” Cessa senang karena kebiasaan yang satu ini ternyata berguna tidak hanya buat dirinya. Kebiasaan membawa baju ganti yang ditularkan oleh Daddy-nya kini memberi manfaat buat Medina.
Sepanjang perjalanan pulang, Cessa menasihati Medina. Kali ini dengan bahasa yang lebih lembut dan tertata. Sekalipun tidak mendapat tanggapan, tetapi Cessa yakin Medina mendengar semua ucapannya.
“Ces, nanti jangan langsung pulang dulu, ya?” pinta Medina.
“Kenapa memangnya, Mbul?”
“Jadi, semisal aku diusir dari rumah, aku bisa ikut kamu. Sementara nunggu Papa jemput, aku numpang dulu sama kamu gitu.”
Cessa terpingkal-pingkal. Begitu pula si sopir ganteng yang baru Medina tahu bernama Om Egan. Lelaki yang merupakan adik kandung Daddy-nya Cessa itu bahkan secara terang-terangan mengatainya lucu dan konyol.
“Sudah urusan begini, kamu mikirnya jauh banget, Mbul! Giliran buka jilbab dan menukar gamis kamu dengan baju kurang bahan ….” Cessa tidak melanjutkan ucapannya. Gadis itu cuma berdecak sambil geleng kepala, tidak habis pikir dengan sikap Medina.
Tidak sesuai dugaan, Medina justru disambut peluk hangat Latifa. Perempuan itu bahkan menangis haru melihat putri tersayang kembali dengan selamat. Di belakang sang ibu, Santi tersenyum. Rautnya juga menampilkan kelegaan yang teramat sangat. Mewakili Latifa, Santi mengucapkan terima kasih atas bantuan Cessa dan om-nya.
“Nggak apa-apa, Mbak. Aku juga lega bisa nemuin si Mbul.”
Sekalipun rasa ingin tahunya menggebu dan menggelembung dalam dada, Santi menahan diri untuk bertanya lebih banyak.
“Kalau ada kejadian kayak tadi, jangan segan menghubungi aku, ya, Mbak. Nomorku sudah disimpan, kan?”
Santi mengangguk pasti. Dia bersyukur Medina punya teman yang baik dan perhatian seperti Cessa.
“Si Mbul kayaknya perlu dikasih pencerahan, deh! Biar nanti aku sama teman-teman bantu benerin otaknya Si Mbul. Rada geser soalnya.”