Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pulang Selalu Punya Cerita
MENU
About Us  

Beberapa cerita tidak pernah selesai. Bukan karena tidak ada akhirnya, tapi karena mereka tidak benar-benar ingin diakhiri. Mereka tinggal, menggantung di udara seperti harum tanah setelah hujan, membekas dalam cara yang tidak bisa dijelaskan, dan terus muncul dalam momen-momen kecil yang tidak kita sangka. Dan begitulah rasanya sore itu. Tidak ada akhir yang jelas, tidak ada klimaks dramatis seperti di film-film. Hanya sepotong kue pisang di piring email, segelas teh hangat yang sudah setengah dingin, dan obrolan di beranda rumah dengan suara jangkrik yang mulai bersahutan.

Di depan rumah, matahari sedang pelan-pelan pamit. Seperti seseorang yang tidak mau benar-benar pergi. Dan aku tahu, dalam diam itu, ada cerita yang masih ingin tinggal.

Hari itu hari Minggu. Hari di mana biasanya orang-orang tidur lebih lama, tapi aku justru bangun lebih pagi dari biasanya. Ada yang ganjil di dada, semacam desir perasaan yang tak bisa dijelaskan. Bukan sedih, bukan senang—lebih seperti... rindu yang tidak tahu arahnya ke mana. Aku turun ke dapur, menemukan Ibu sedang mengiris bawang dengan rambut yang digulung seenaknya dan daster batik yang warnanya mulai pudar.

“Kamu bangun pagi banget,” katanya sambil tersenyum kecil, walau matanya masih sembab karena kurang tidur.

“Rasanya hari ini pengen ngobrol aja, Bu,” jawabku pelan.

Ibu tidak menjawab. Tapi ia menyodorkan piring kecil berisi tempe goreng hangat. Dan begitulah caranya berkata, "Aku di sini. Ceritakan saja."

Kita sering lupa bahwa cerita tidak harus besar untuk berarti. Tidak harus ada air mata atau tawa keras. Kadang, cerita yang paling tinggal di hati justru yang terjadi di sela-sela waktu: saat menyapu halaman, saat membetulkan genteng bocor, saat menunggu air mendidih, atau saat menemani seseorang diam. Seperti percakapan pagi itu. Aku bercerita tentang banyak hal yang tertunda. Tentang pekerjaan yang tidak kunjung membuat bahagia. Tentang teman yang pelan-pelan menjauh. Tentang patah hati yang tidak diumumkan. Tentang mimpi-mimpi yang tidak sempat dibanggakan.

Dan Ibu mendengarkan semuanya seperti mendengarkan lagu lama yang sudah ia hafal, tapi tetap ia nikmati. “Tahu nggak, Bu? Kadang aku merasa... hidupku kayak buku yang halamannya loncat-loncat. Satu bab seru, satu bab sedih, satu bab kosong. Terus tiba-tiba—blank. Gak tahu harus nulis apa.”

Ibu tertawa pelan. “Yah, memang begitu. Hidup itu buku yang ditulisnya sambil jalan. Kadang kamu berhenti karena capek, kadang kamu robek halamannya karena malu, kadang kamu nyelipin surat rahasia di tengahnya karena kamu gak mau orang lain tahu.”

Aku ikut tersenyum.

“Tapi,” lanjut Ibu sambil menyeruput teh, “cerita itu gak harus selesai sekarang. Selama kamu masih hidup, halamannya masih terus bisa ditambah.”

Aku pergi ke halaman belakang setelahnya. Di sana, ada pohon jambu yang dulu ditanam Bapak. Pohon itu sudah mulai tua, batangnya tak lagi kokoh, daunnya rontok lebih sering. Tapi masih saja berbuah. Ada semacam perasaan yang tumbuh di dadaku saat melihatnya. Bahwa hal-hal lama tidak harus mati untuk tetap berarti. Kadang, mereka cukup tinggal—menjadi saksi diam yang tidak pernah minta diingat, tapi selalu ada saat kita menoleh.

Seperti cerita-cerita lama yang tertulis di dinding rumah: goresan tinggi badan waktu kecil, bekas paku foto yang sekarang kosong, atau kalender 2012 yang entah kenapa belum juga dibuang. Rumah ini... penuh cerita. Dan tidak satu pun benar-benar selesai.

Sore itu, Damar datang. Adikku, yang selama ini tinggal di luar kota dan jarang pulang. Ia muncul dengan jaket denim lusuh, motor berdebu, dan senyum malu-malu yang masih sama sejak SMP.

“Eh, kok pulang?” tanyaku sambil pura-pura kaget.

“Pengen gorengan Ibu,” jawabnya singkat. Tapi aku tahu, itu hanya separuh alasan.

Setelah makan, kami duduk di lantai ruang tengah. Ibu sudah tidur siang. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, kami mengobrol panjang. Tentang masa kecil, tentang teman lama, tentang Bapak.

“Lo masih inget gak, waktu kita berdua ngumpet di bawah meja gara-gara takut dimarahin Bapak?”

“Gara-gara mangga jatuh satu itu?!” aku tertawa keras.

Damar mengangguk, “Padahal bukan kita juga yang nyolong, tapi takutnya keterlaluan.”

Tawa kami membangunkan kenangan. Tentang rumah ini yang pernah jadi markas petualangan, tentang langit-langit yang dulu kami anggap sebagai ‘langit asli’, tentang dapur yang pernah jadi kapal bajak laut, dan tentang cerita-cerita kecil yang... tidak pernah benar-benar usai. Menjelang malam, aku duduk sendiri di teras. Lampu jalan menyala kuning redup, angin membawa aroma kayu basah dan rumput malam. Dan di situlah aku sadar: mungkin yang membuat rumah ini terasa pulang bukan hanya karena dinding atau atapnya, tapi karena cerita-cerita yang terus tumbuh di dalamnya.

Cerita tentang tawa, tentang luka, tentang kehilangan, tentang harapan. Semua tercampur dalam satu ruang, satu waktu, satu tempat di hati. Dan meski satu per satu kisah itu berubah, berpindah, bahkan menghilang—rumah ini, cerita ini, tetap berdenyut. Seperti jantung yang tak pernah benar-benar berhenti.

Cerita ini belum selesai. Mungkin tidak akan pernah.

Beberapa hari setelahnya, aku kembali ke kota. Tapi aku tahu, kali ini aku membawa pulang sesuatu: bukan barang, bukan oleh-oleh. Tapi rasa. Sebuah rasa yang bilang, “Kamu tidak sendirian.” Dan setiap kali hidup mulai terasa berat, aku buka kembali cerita-cerita itu. Bukan untuk nostalgia semata, tapi untuk diingatkan bahwa aku pernah punya hari-hari yang hangat. Bahwa aku punya tempat pulang, walau hanya dalam kenangan. Ada cerita yang tertulis dengan tinta. Ada yang tertulis dengan air mata. Ada yang tertulis dalam tawa. Dan ada pula yang hanya tersimpan di hati.

Tapi semua cerita itu berharga.

Dan kita semua adalah penulisnya. Penulis yang tidak harus sempurna. Cukup jujur. Cukup setia menulis, meski lambat. Meski takut. Meski patah. Karena pada akhirnya, kita bukan hanya menulis untuk diri sendiri. Tapi untuk mereka yang suatu hari akan membaca dan berkata:

"Ternyata aku tidak sendiri."

Dan bukankah itu cukup?

Jadi... jika kamu hari ini merasa ceritamu berantakan, tidak selesai, atau tidak jelas ke mana arahnya—ingatlah: itu bukan akhir. Bahkan, itu mungkin baru bab terbaik yang akan datang. Tulislah terus. Dengan tangan gemetar, dengan hati yang penuh, atau bahkan dengan air mata yang tumpah. Karena cerita kamu... belum selesai.

Dan selama kamu masih bernapas, halaman berikutnya selalu bisa dimulai.

“Pulang selalu punya cerita. Tapi kadang, kita harus pergi lebih dulu... agar tahu cerita mana yang layak kita bawa kembali.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Just For You
6313      2058     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Ratu Blunder
72      52     2     
Humor
Lala bercita-cita menjadi influencer kecantikan terkenal. Namun, segalanya selalu berjalan tidak mulus. Videonya dipenuhi insiden konyol yang di luar dugaan malah mendulang ketenaran-membuatnya dijuluki "Ratu Blunder." Kini ia harus memilih: terus gagal mengejar mimpinya... atau menerima kenyataan bahwa dirinya adalah meme berjalan?
For Cello
3131      1059     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Abimanyu
357      242     2     
Short Story
Syahadat & Seoul
334      229     2     
Romance
Lee Jeno, mencintaimu adalah larangan bagiku, dan aku sudah melanggar larangan itu, patut semesta menghukumku ... Diantara banyak hati yang ia ciptakan kenapa ada namamu diantara butiran tasbihku, dirimu yang tak seiman denganku ...
She's (Not) Afraid
1967      867     3     
Romance
Ada banyak alasan kecil mengapa hal-hal besar terjadi. Tidak semua dapat dijelaskan. Hidup mengajari Kyla untuk tidak mengharapkan apa pun dari siapa pun. Lalu, kehadiran Val membuat hidupnya menjadi lebih mudah. Kyla dan Val dipertemukan ketika luka terjarak oleh waktu. Namun, kehadiran Sega mengembalikan semua masalah yang tak terselesaikan ke tempat semula. Dan ketika kebohongan ikut b...
Cerita Cinta anak magang
578      351     1     
Fan Fiction
Cinta dan persahabatan, terkadang membuat mereka lupa mana kawan dan mana lawan. Kebersamaan yang mereka lalui, harus berakhir saling membenci cuma karena persaingan. antara cinta, persahabatan dan Karir harus pupus cuma karena keegoisan sendiri. akankah, kebersamaan mereka akan kembali? atau hanya menyisakan dendam semata yang membuat mereka saling benci? "Gue enggak bisa terus-terusan mend...
Merayakan Apa Adanya
535      378     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Toget(her)
1530      725     4     
Romance
Cinta memang "segalanya" dan segalanya adalah tentang cinta. Khanza yang ceria menjadi murung karena cinta. Namun terus berusaha memperbaiki diri dengan cinta untuk menemukan cinta baru yang benar-benar cinta dan memeluknya dengan penuh cinta. Karena cinta pula, kisah-kisah cinta Khanza terus mengalir dengan cinta-cinta. Selamat menyelami CINTA
Tic Tac Toe
482      384     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...