Pagi itu, langit berwarna abu-abu keperakan. Dingin, tenang, tapi tidak menakutkan. Seperti seseorang yang sedang merenung dalam diam. Di halaman belakang rumah, Aluna sedang menyapu dedaunan kering. Angin sempat menerbangkan beberapa daun ke arah mukanya, dan ia terkikik kecil, seperti anak kecil yang dikerjai teman mainnya.
Di tengah kegiatan sapu-menyapu itu, matanya menangkap sesuatu yang mencuat dari celah lantai kayu teras belakang. Sebuah sudut kertas cokelat, tampak seperti sobekan amplop tua. Rasa penasaran membawanya jongkok dan mencungkil celah itu pelan-pelan. Ternyata, di balik papan yang sedikit longgar itu, tersembunyi sebuah kotak kayu kecil. Warnanya sudah pudar, ada bekas jamur di sisi-sisinya. Tapi masih utuh.
Aluna membawanya masuk. Di meja makan, di bawah lampu gantung yang menggantung rendah, ia membuka kotak itu. Di dalamnya, ada tumpukan surat dengan pita merah muda yang mengikatnya. Ia menyentuhnya seperti menyentuh sesuatu yang rapuh—seperti menyentuh ingatan.
Pita itu sudah kaku. Saat ia melepaskannya, aroma kertas tua menyeruak. Surat-surat itu tertulis tangan, rapi, dengan tinta hitam yang sebagian telah memudar. Dan ketika ia membaca nama di sudut kiri atas...
“Untuk R.”
Hatinya berdetak lebih cepat. Siapa R?
Di bagian bawah, tertulis dengan tulisan tangan yang tidak asing.
“Dari: Mulyadi”
Aluna terdiam. Nama itu familiar. Sangat familiar. Mulyadi adalah nama ayahnya.
Dengan tangan sedikit bergetar, ia membuka surat pertama. Isinya…
“Untuk R,
Hari ini, aku melihatmu dari kejauhan lagi. Kau memakai baju biru muda, seperti langit pagi yang sering kita bicarakan. Aku tidak menyapamu. Aku tidak cukup berani. Tapi aku menulis surat ini, karena itu satu-satunya cara agar aku bisa jujur.
Aku mencintaimu sejak kita duduk di bangku SMA. Tapi waktu dan dunia punya jalan lain untuk kita. Aku menikah, begitu juga kamu. Namun rasa itu, anehnya, tidak pernah benar-benar pergi.
Ini mungkin salah. Tapi juga mungkin satu-satunya hal yang membuatku tetap hidup, ketika segalanya terasa terlalu hening. Maafkan aku, karena menyimpan semuanya dalam diam.
–M.”
Aluna mengembuskan napas panjang. Ia tak bisa langsung memahami. Apakah Ayahnya pernah mencintai orang lain? Siapa R itu? Ibunya kah? Tapi kenapa memakai inisial?
Ia membuka surat kedua, lalu ketiga. Semua dengan narasi serupa. Cinta yang tak pernah sampai, perasaan yang dipendam, kerinduan yang tak pernah diucap. Tapi di surat keempat, sesuatu membuat Aluna menahan napas.
“R,
Aku tidak akan pernah mengganggumu. Tapi aku ingin kau tahu, ketika aku tidak kuat di rumah, ketika aku terlalu lelah berpura-pura baik-baik saja, aku menulis surat-surat ini. Karena menuliskannya padamu membuatku merasa utuh lagi. Seperti dulu, saat kita duduk di bawah pohon mangga di belakang sekolah, tertawa karena hal sepele.
Aku hanya ingin dikenang. Itu saja.”
Aluna merasa dadanya berat. Bukan karena marah, bukan karena kecewa. Tapi karena ia baru menyadari: Ayahnya pun, yang selama ini terlihat tenang dan kuat, ternyata punya lara yang tak pernah ia ceritakan. Luka yang tak pernah kering, cinta yang tak pernah sampai. Dan ia menyimpannya... dalam bentuk surat, tersembunyi di balik lantai kayu. Sore itu, Aluna menunjukkan kotak surat itu kepada Ibunya. Ibu memandang kotak itu lama. Lalu duduk pelan, membuka surat pertama. Ia membaca tanpa suara. Setelah satu surat selesai, ia diam. Lalu berkata, dengan suara pelan, “R... itu Ratna. Teman seangkatan Ayahmu dulu. Mereka dekat. Sebelum Ayah ketemu Ibu.”
Aluna tidak menyela. Ia hanya mendengarkan.
“Ibu tahu soal dia. Tapi bukan karena Ayah cerita. Ibu tahu dari cara Ayah menyebut namanya waktu bercerita. Dari cara dia berhenti sebentar setiap kali mendengar lagu-lagu lawas yang mungkin mengingatkannya pada perempuan itu.” Ibu tersenyum kecil, walau matanya terlihat lelah. “Tapi Ayah memilih Ibu. Dan meski dia punya kisah yang belum selesai, dia menjalani hidup ini sepenuh hati bersama Ibu. Dia tetap membangun rumah ini. Tetap jadi Ayah buat kamu. Mungkin surat-surat ini bukan tentang pengkhianatan. Tapi tentang sisi manusia yang tak pernah sempat selesai.”
Aluna menatap Ibu. Wajahnya yang menua tampak bijak dalam kebeningan. Ia tidak marah, tidak kesal. Hanya menerima.
“Ibu tidak tahu surat-surat ini masih disimpan,” kata Ibu lagi. “Tapi... kalau itu membantu Ayah melewati hari-hari sulitnya, biarlah. Setiap orang berhak punya ruang untuk perasaannya sendiri.”
Malam itu, Aluna duduk di halaman, kotak surat di pangkuannya. Ia membacanya satu-satu, bukan lagi dengan rasa penasaran, tapi dengan pengertian. Mungkin itulah bentuk cinta yang lain—cinta yang tidak harus memiliki, tapi tetap hidup dalam bentuk paling diam.
Lalu, ia mengambil pena dan kertas.
Untuk pertama kalinya, ia menulis surat. Bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri. Ia menulis:
“Untuk Aluna,
Tidak apa-apa jika hatimu masih menyimpan tanya.
Tidak apa-apa jika kamu masih merasa hilang di beberapa bagian.
Karena hidup memang bukan tentang menemukan semua jawaban, tapi tentang menerima bahwa beberapa pertanyaan tidak perlu dijawab. Cukup dipeluk, cukup dikenang, cukup dilewati.
Kamu tidak harus menjadi sempurna untuk layak dicintai. Kamu hanya perlu menjadi cukup jujur untuk tahu bahwa kamu juga manusia.
Terima kasih telah bertahan sejauh ini. Dan jika suatu hari kamu kembali ragu, bacalah ini lagi. Ingat bahwa kamu sudah sejauh ini berjalan, meski dengan langkah tertatih, tapi kamu tetap melangkah.
Dari: Aku, yang mulai berdamai.”
Ketika ia selesai menulis, senja sudah hampir habis. Langit menurunkan warna jingganya ke atap rumah, seperti restu dari semesta untuk seseorang yang mulai sembuh perlahan. Di tangannya, surat dari masa lalu dan surat untuk masa depan bertemu. Di hatinya, luka dan pengampunan saling menyapa. Tidak semua kisah harus selesai. Tapi semua kisah bisa diterima. Dan mungkin, itu cukup. Satu minggu setelah menemukan surat-surat itu, Aluna kembali ke kota. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—bukan hanya karena ia membaca isi hati ayahnya, tapi karena ia kini tahu: setiap orang memiliki ruang rahasia yang mungkin tidak pernah bisa dibagi pada siapa pun, bahkan keluarga terdekat.
Namun, sebelum berangkat, ia memutuskan satu hal: menyimpan surat-surat itu, tapi tidak di tempat tersembunyi seperti dulu. Ia memindahkannya ke sebuah kotak baru, bersih dan kokoh. Ia meletakkannya di rak buku ruang tamu, tepat di antara novel-novel tua ayahnya.
“Aluna yakin mau ditaruh di situ?” tanya Ibu sambil menyiapkan teh manis.
Aluna mengangguk. “Kalau Ayah menyimpannya dalam diam, aku mau menyimpannya dengan terang. Supaya suatu hari, kalau aku punya anak, dan mereka menemukan kotak itu, mereka juga bisa belajar: bahwa mencintai itu kadang tidak selalu memiliki. Dan menyimpan rasa, tidak selalu berarti menyembunyikan kebohongan.”
Ibu hanya tersenyum, seperti menyetujui sesuatu tanpa perlu kata.
Saat itu juga, Aluna merasa bahwa kenangan tidak harus ditutup rapat-rapat seperti kotak rahasia. Kadang, kenangan harus dibiarkan bernapas di ruang keluarga, agar tidak menjadi beban yang membusuk dalam diam. Di perjalanan pulang ke kota, di dalam kereta, Aluna duduk di dekat jendela. Melihat pemandangan berganti: sawah, perkampungan kecil, dan rel yang tak pernah berubah arahnya. Di sebelahnya, seorang ibu paruh baya duduk dengan membawa tas belanja kain. Di pangkuannya, ada seikat daun singkong segar dan sebungkus tempe mentah.
Mereka sempat bertukar senyum. Lalu, seperti biasa dalam perjalanan jarak jauh, percakapan kecil pun lahir dari hal-hal sederhana.
“Ibu pulang dari pasar?” tanya Aluna.
“Saya habis dari rumah anak saya. Bawa oleh-oleh buat cucu,” jawab ibu itu sambil menepuk-nepuk tasnya.
Lalu, ibu itu bertanya, “Kalau kamu, dari mana?”
Aluna diam sebentar. Lalu menjawab, “Dari rumah lama. Rumah masa kecil.”
“Oh, rumah orangtua?”
“Iya. Saya menemukan... sesuatu. Surat dari ayah saya, yang ternyata ditulis untuk orang lain. Tapi saya nggak marah. Aneh ya?”
Ibu itu menatap Aluna lama, lalu tersenyum kecil. “Tidak aneh. Justru kamu beruntung bisa melihat sisi lain dari orangtuamu. Kadang, kita terlalu melihat mereka sebagai sosok kuat dan sempurna, padahal mereka juga manusia. Punya rasa. Punya luka.” Aluna mengangguk. Ia mengerti. Obrolan mereka terhenti sejenak, sebelum akhirnya ibu itu berkata, “Dulu saya juga pernah menulis surat. Tapi tidak pernah saya kirim.”
“Untuk siapa?”
“Untuk seseorang yang saya doakan, tapi tidak bisa saya miliki. Saya menikah dengan orang lain. Dia juga begitu. Tapi saya menulis surat, karena saat menulis, saya merasa tidak sendiri.”
Aluna tersenyum, matanya berkaca-kaca. Rasanya, alam semesta sengaja menaruh ibu itu di kursi sebelah sebagai pesan lanjutan dari kotak surat di rumah.
Mereka tidak bertukar nomor telepon. Tidak juga nama. Tapi momen itu, dalam diam, menjadi semacam simpul tenang di hati Aluna. Beberapa hari setelah kembali ke kota, Aluna duduk di balkon apartemennya. Malam itu, angin membawa aroma hujan yang belum turun. Ia mengambil buku catatannya dan mulai menulis sesuatu.
Kali ini bukan surat untuk dirinya sendiri, tapi untuk Ayahnya.
“Untuk Ayah,
Terima kasih sudah menyimpan surat-surat itu. Aku tidak membacanya dengan amarah, Ayah. Justru dengan rasa takjub. Ternyata Ayah pun pernah mencintai dengan cara yang sunyi. Tapi juga penuh hormat.
Aku belajar, Ayah, bahwa cinta yang besar bukan hanya yang berani diteriakkan. Tapi juga yang berani diam, dan tetap setia dari jauh. Ayah tidak pernah mengkhianati rumah ini. Aku tahu itu. Karena setiap sore, aku melihat Ayah duduk di teras, memperbaiki sepeda tuaku. Setiap pagi, Ayah mengantar aku ke sekolah, bahkan ketika Ayah tidak suka bangun pagi. Ayah selalu ada. Dan itu adalah bentuk cinta paling nyata yang pernah aku rasakan.
Jadi, Ayah... jika suatu hari kita bertemu lagi—entah di mimpi, atau di tempat yang lebih tenang—aku ingin bilang: aku tidak pernah kecewa.
Aku justru bangga menjadi anak dari seseorang yang mencintai dalam diam, tapi hidup dalam nyata.
Dari: Aluna, yang rindu tapi tenang.”
Surat itu tidak pernah dikirim. Tapi ia tahu, mungkin suatu hari, angin akan membawanya sampai juga.
Karena tak semua kata harus dibaca. Kadang cukup dirasakan.
Dan seperti itulah kehidupan. Seperti surat-surat tua yang disimpan dalam kotak kayu. Seperti cinta yang tersimpan di balik lantai rumah. Seperti Ayah yang tak pernah berkata banyak, tapi selalu hadir dalam setiap langkah.
Karena pulang... selalu punya cerita. Dan setiap cerita, selalu menyisakan satu ruang kecil: untuk cinta yang tak pernah diucap, tapi tak pernah hilang.