Ada luka-luka yang tidak berdarah, tapi nyerinya terasa sampai napas terakhir. Luka-luka itu tak selalu diciptakan oleh musuh, tapi justru oleh mereka yang paling kita percayai. Dan seperti luka di lutut anak kecil yang jatuh saat belajar bersepeda, kadang ia menghitam, lalu mengering, tapi bekasnya tetap tinggal. Di situlah Aluna berdiri pagi itu—di depan sebuah kenangan yang belum kering sepenuhnya.
Pagi hari di rumah Ibu terasa biasa. Aroma air rebusan sereh dan daun pandan menyusup dari dapur, menyapa lubang hidung dengan tenang. Tapi hati Aluna resah. Semalam ia bermimpi lagi. Mimpi yang sejak beberapa tahun terakhir selalu muncul di malam-malam yang tenang: ia berjalan di sebuah lorong sempit, dan di ujungnya ada pintu yang tak bisa ia buka. Lalu suara seseorang memanggilnya dari balik pintu. Suara yang ia kenal baik. Suara Ayah.
“Ayah nggak marah, kan?” tanya Aluna suatu pagi pada Ibu, saat sedang menyuap bubur kacang hijau. Tiba-tiba saja keluar begitu saja, seperti gelembung yang tak tahan di dalam.
Ibu menatapnya. Dalam. Lama. “Marah untuk apa?”
Aluna menghela napas. “Untuk… kepergian itu. Waktu itu aku pergi, padahal Ayah… Ayah minta aku pulang. Tapi aku nggak sempat.”
Ah, luka itu. Luka yang belum kering. Luka yang lahir dari satu hal paling menyakitkan di dunia: penyesalan.
Dua minggu sebelum Ayah meninggal, Aluna sempat ditelepon Ibu. “Ayah pengin kamu pulang sebentar,” kata Ibu, suara di ujung telepon terdengar pelan, hati-hati. Tapi Aluna sedang sibuk. Pekerjaan menumpuk, target tak tercapai, dan ia sedang tidak baik-baik saja secara mental. Ia menjanjikan satu minggu lagi. Tapi satu minggu itu tak pernah datang. Ayah pergi lebih cepat dari rencana. Dan sejak hari itu, luka itu seperti pintu yang tak pernah tertutup. Selalu ada suara ketukan, kadang pelan, kadang keras, tapi tak pernah betul-betul diam. Dan dalam setiap ketukan itu, ada satu kalimat yang tak pernah ia jawab: Kenapa aku tidak pulang?
“Ayahmu tidak pernah marah padamu, Nak,” kata Ibu lembut, sambil menyentuh tangan Aluna. “Bahkan saat sakitnya makin berat, yang Ayah tanyakan tetap kamu. ‘Aluna udah makan?’ ‘Aluna sehat?’ Pertanyaan-pertanyaan kecil, tapi itu bentuk sayangnya.”
Air mata Aluna mengalir. Kali ini ia tidak menahannya.
“Aku egois, Bu… Aku pikir waktu masih panjang. Aku kira aku bisa minta maaf langsung nanti… Tapi ternyata enggak.”
Ibu menarik napas. “Manusia memang sering merasa waktunya panjang, padahal hidup ini pendek, seperti napas yang tidak kita sadari sebelum ia berhenti.”
Mereka diam. Suara angin yang menyusup lewat sela jendela menjadi latar sunyi yang menenangkan. Lalu Ibu berdiri, berjalan ke kamar, dan kembali dengan sebuah kotak kecil dari kayu. “Ini,” katanya, “Ayah meninggalkan ini untukmu.” Aluna membuka kotak itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada beberapa benda yang ia kenali dengan baik: jam tangan Ayah yang sudah usang, foto kecil keluarganya waktu ia masih SD, dan selembar kertas dengan tulisan tangan Ayah.
“Untuk Aluna,
Jangan menyalahkan diri sendiri. Hidup ini memang tidak selalu bisa kita rencanakan. Tapi pulang bukan hanya soal fisik, tapi soal hati. Kalau hatimu masih merasa dekat dengan Ayah, berarti kamu tidak pernah benar-benar pergi jauh.”
Tangis Aluna pecah. Tangis yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia merasa seperti anak kecil yang menemukan pelukan di tengah badai. Hari itu, ia berjalan sendiri ke makam Ayah. Jalan setapak menuju pemakaman desa masih sama seperti dulu, hanya lebih sepi. Di sana, di antara rumput yang mulai tinggi dan batu nisan tua, ia duduk di samping pusara Ayah.
“Yah,” katanya pelan, “aku minta maaf… karena nggak pulang waktu itu. Tapi aku harap Ayah tahu, aku selalu rindu. Aku selalu sayang. Dan sekarang, aku di sini. Maafkan aku, ya…”
Ia menutup matanya. Angin sore menyentuh pipinya dengan lembut, seperti belaian. Seolah semesta sedang berkata: “Maafmu sampai, Nak. Ayah mendengar.”
Sesampainya di rumah, langit mulai senja. Ibu sudah menyiapkan teh hangat dan pisang goreng. Di tengah-tengah duduk mereka, Ibu berkata, “Kita semua punya luka, Aluna. Tapi luka itu bukan untuk disembunyikan. Ia harus dibersihkan, dirawat, sampai pelan-pelan sembuh.” Aluna mengangguk. Ia tahu, luka itu mungkin belum sepenuhnya kering. Tapi hari ini, ia sudah mulai membersihkannya. Dan itu langkah pertama menuju pemulihan.
Malam itu, sebelum tidur, Aluna menulis di buku catatan kecil yang sudah lama tak ia buka:
Luka yang belum kering bukan berarti luka yang tak bisa sembuh. Ia hanya butuh waktu, kejujuran, dan keberanian untuk menengok kembali yang dulu pernah kita hindari. Dan saat kita punya cukup keberanian untuk menengoknya, kita akan tahu: kita tidak sendirian.
Setelah malam itu, Aluna merasa ada sesuatu dalam dirinya yang bergeser pelan. Seperti awan tipis yang perlahan-lahan membuka jalan untuk cahaya mentari masuk. Tidak langsung terang, tidak langsung hangat, tapi cukup untuk membuatnya bisa bernapas lebih lapang. Besok paginya, ia bangun lebih awal dari biasanya. Rumah Ibu masih hening. Suara jangkrik dan kokok ayam bersahutan, menyatu dengan semerbak bau tanah basah. Aluna keluar rumah, menenteng selembar kursi lipat yang ia ambil dari gudang, dan duduk di teras sambil membawa segelas kopi hitam buatan sendiri. Pagi itu ia tidak scroll media sosial, tidak membuka e-mail, tidak mengecek grup kerja. Ia hanya duduk. Menikmati sunyi yang tak membuatnya takut. Untuk pertama kalinya, sunyi itu terasa seperti pelukan, bukan ancaman.
Beberapa anak kecil lewat sambil tertawa. Salah satunya, seorang bocah laki-laki berkaus merah, melambaikan tangan padanya. Aluna membalas lambaian itu sambil tersenyum. Ada sesuatu yang hangat di hatinya saat melihat anak-anak itu. Entah kenapa, ia merasa lebih... hadir. Seolah ia kembali jadi bagian dari dunia yang nyata, bukan hanya seseorang yang terus berlari mengejar tenggat waktu dan validasi. Siangnya, Aluna memutuskan untuk membuka lemari kayu tua di kamar belakang—lemari peninggalan Ayah. Dulunya, lemari itu tempat Ayah menyimpan semua dokumen penting, serta buku-buku lamanya. Ketika ia membuka pintunya, aroma kayu tua langsung menyergap hidungnya, bercampur bau kertas lama yang khas. Di dalamnya, tersusun beberapa map, buku catatan, dan... sebuah kotak kecil berbahan logam, berkarat di beberapa sisinya.
Kotak itu berat. Ia membukanya pelan-pelan. Isinya: surat-surat lama yang ditulis tangan, kebanyakan dengan tinta biru yang mulai memudar. Beberapa ditujukan untuk Ibu, sisanya untuk dirinya—Aluna. Surat-surat itu tak pernah dikirim, hanya disimpan Ayah diam-diam.
Salah satunya tertulis tanggal tiga tahun lalu. Saat Aluna baru saja pindah kerja ke luar kota.
“Luna, Ayah ngerti kok, kamu ingin mengejar mimpi. Ayah juga dulu pernah punya mimpi, walaupun nggak semuanya kesampaian. Tapi Ayah harap, kamu nggak lupa istirahat. Jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri saat sedang sibuk membuktikan diri ke orang lain. Kadang, pulang bukan hanya kembali ke rumah, tapi kembali ke diri sendiri. Dan Ayah selalu jadi tempatmu kembali, kapan pun kamu mau.”
Aluna membaca surat itu sambil menggigit bibir. Ia tak tahu, ternyata selama ini Ayah menyimpan begitu banyak kata untuknya—bukan lewat lisan, tapi lewat tulisan. Dan itu lebih jujur, lebih tulus, lebih mengoyak.
Hari-hari berikutnya, ia menghabiskan waktu membaca surat-surat itu, satu per satu. Beberapa membuatnya tertawa karena gaya menulis Ayah yang formal tapi lucu, lainnya membuat matanya basah. Dari tulisan-tulisan itu, Aluna tahu: Ayahnya bukan hanya menyayanginya, tapi juga memahami semua luka dan pencariannya, bahkan sebelum Aluna sendiri memahaminya. Suatu sore, Ibu duduk di sebelah Aluna di ruang tamu. Mereka sedang menonton sinetron lawas yang entah kenapa masih diputar ulang di TV lokal. Lalu Ibu bertanya pelan, “Kamu ada rencana pulang ke kota minggu ini?”
Aluna diam sejenak. “Ada, Bu. Tapi mungkin nggak sekarang. Aku pikir, aku butuh tinggal di sini beberapa hari lagi.”
Ibu menoleh, senyumnya samar tapi menenangkan. “Tinggallah selama yang kamu butuh. Rumah ini selalu terbuka. Dan Ibu... Ibu juga nggak keberatan kalau kamu mau mulai dari sini lagi.”
Kalimat itu, sederhana sekali, tapi terasa seperti benih kecil yang disiram dengan kasih. Tumbuh perlahan di hati Aluna. Ia tak langsung menjawab. Tapi malam itu, ia menulis lagi di buku catatannya:
Kadang, kita mengira luka akan sembuh kalau kita menjauhinya. Tapi ternyata, kadang kita harus mendekat. Menatapnya. Memeluknya. Dan membiarkannya mengajarkan sesuatu. Karena di balik setiap luka yang belum kering, selalu ada pelajaran tentang mencintai, tentang melepaskan, dan tentang memaafkan diri sendiri.
Malam itu, saat semua sudah tidur, Aluna duduk di kamar. Ia membuka jendela. Angin malam menyusup pelan. Di kejauhan, suara jangkrik beradu dengan desir dedaunan yang tersentuh angin. Aluna menatap langit.
“Ayah,” katanya dalam hati, “terima kasih karena masih ada… lewat surat-surat itu, lewat kenangan, lewat hati Ibu yang tak pernah berubah.”
Dan untuk pertama kalinya sejak Ayah pergi, ia merasa tidak lagi dikejar-kejar rasa bersalah. Bukan karena luka itu hilang, tapi karena ia sudah mulai berdamai. Luka itu masih ada, tapi tidak lagi mendikte hidupnya.