Matahari belum sepenuhnya naik ketika Aluna turun dari mobil travel di depan alun-alun. Kabut tipis masih menggantung di udara, dan bau tanah basah sisa hujan semalam menguar seperti nostalgia yang tak kunjung usai. Langkah kakinya pelan. Seolah takut membangunkan kenangan yang tertidur di sepanjang jalan menuju warung kopi tua yang pernah menjadi saksi banyak cerita masa mudanya. Di sana, di sudut teras kayu yang sudah mulai lapuk, duduk seseorang yang tak asing: Danu.
Ya, Danu—teman masa kecil yang dulu begitu akrab, lalu perlahan menghilang saat mereka mulai dewasa. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada perpisahan yang dramatis. Hanya perlahan-lahan menjauh, seperti lagu yang volumenya dikecilkan pelan-pelan sampai tak terdengar lagi. Namun pagi itu, semesta seperti memutar ulang piringan usang yang sudah lama tak dinyalakan. Danu duduk dengan secangkir kopi hitam di tangan. Sementara Aluna berdiri, diam, terpaku oleh perasaan yang datang tiba-tiba: rindu yang tidak tahu harus lewat mana.
Danu menoleh. Mata mereka bertemu. Lama. Sunyi.
Tidak ada ucapan “lama tak bertemu” atau “apa kabar”. Yang ada hanya senyuman kecil—kaku, tapi jujur. Dan dalam senyuman itu, ada berjuta kata yang tak perlu diucapkan.
Aluna akhirnya duduk di kursi di seberangnya.
“Kopi masih pahit?” tanyanya akhirnya, setengah bercanda.
“Masih. Tapi sekarang lebih murah,” jawab Danu.
Lalu mereka tertawa. Bukan tawa keras yang meledak-ledak, tapi tawa kecil yang hangat, seperti pelukan dari seseorang yang pernah kita kenal baik. Dan di antara tawa-tawa pendek itu, diam menjadi jembatan yang justru paling kokoh.
Danu memanggil pelayan dan memesankan satu kopi susu untuk Aluna, seperti dulu. Persis seperti dulu, ketika mereka masih duduk di bangku SMA dan belajar tentang dunia dari percakapan-percakapan di warung kecil ini.
“Waktu itu kamu pernah bilang, kamu pengen ke Flores,” ucap Aluna, membuka obrolan.
“Iya. Tapi gagal terus. Uangnya selalu kepakai buat yang lain. Hidup ini aneh, ya?”
“Selalu,” balas Aluna, “Kadang impian kita malah jadi tabungan untuk bayar realita.”
Danu tersenyum miris. “Dan kadang, yang kita harapkan datang, justru pergi diam-diam.”
Aluna mengangguk. Ia tahu, kalimat itu bukan hanya soal Flores. Tapi juga mungkin tentang dirinya. Tentang mereka. Namun tak ada penyesalan dalam kalimat itu. Hanya kenyataan yang kini bisa ditertawakan bersama, meski dulu sempat menyisakan luka.
“Kenapa dulu kita berhenti bicara, ya?” tanya Aluna pelan.
Danu menatap langit yang perlahan membiru. Ia mengangkat bahu. “Mungkin... karena kita nggak tahu harus bicara tentang apa. Atau karena kita terlalu sibuk jadi versi baru dari diri sendiri.”
“Padahal aku sering nunggu kamu balas pesan,” ujar Aluna, nyaris berbisik.
“Aku juga sering buka percakapan kita, tapi bingung mau nulis apa. Rasanya kayak... kita sudah di dunia yang berbeda.”
Keduanya terdiam.
Kadang, yang paling menyakitkan bukan perpisahan yang jelas, tapi jeda panjang yang tidak pernah diberi penjelasan. Seperti membaca novel bagus tapi halaman terakhirnya hilang. Tapi pagi itu, mereka menulis halaman baru. Bukan sebagai kelanjutan, tapi sebagai pengakuan bahwa masa lalu pernah ada, dan mereka pernah saling berarti. Setelah kopi habis, Danu menawarkan untuk mengantar Aluna berkeliling kota naik motornya. Dan Aluna, tanpa pikir panjang, mengangguk. Angin pagi menyapu wajahnya ketika motor tua itu melaju menyusuri jalan kecil, melewati lapangan tempat mereka dulu bermain layang-layang, melewati sekolah lama yang cat temboknya sudah kusam, hingga tiba di bukit kecil di pinggiran kota.
Dulu, tempat ini adalah “markas rahasia” mereka. Dulu, di sinilah Danu pernah bilang, “Kalau suatu hari kita nggak bareng lagi, kamu harus tetap ingat tempat ini.”
Aluna tersenyum kecil. “Aku ingat, Dan. Dan aku balik ke sini. Tanpa sengaja. Tapi mungkin memang harus begitu.” Danu duduk di sampingnya, memandangi langit.
“Mungkin memang ada pertemuan yang nggak perlu kata-kata. Cukup hadir. Duduk. Diam. Tapi ngerti.”
Aluna meliriknya. “Kayak kita sekarang?”
Danu mengangguk.
Lalu, seperti mimpi yang tak perlu ditafsirkan, mereka duduk dalam sunyi. Tapi kali ini, sunyi itu tidak menyakitkan. Tidak memaksa apa pun. Tidak mengingatkan tentang apa yang hilang. Hanya menenangkan. Seolah waktu tahu, bahwa yang mereka butuhkan bukan jawaban. Tapi pelukan dari kenangan yang akhirnya bisa mereka tatap tanpa takut.
Sebelum matahari terlalu tinggi, mereka kembali ke kota. Di simpang empat, Aluna meminta turun.
“Aku harus pulang siang ini,” katanya, menatap helm yang kini digenggamnya.
Danu menatapnya sebentar. Ada sedikit ragu di wajahnya. Tapi ia hanya mengangguk. Seperti mengerti bahwa pertemuan ini cukup. Tidak kurang, tidak lebih. Sebelum Aluna pergi, Danu berkata, “Kalau nanti kamu ke sini lagi...”
“Aku akan ke warung kopi itu dulu,” potong Aluna sambil tersenyum.
Danu tersenyum balik. Lalu berbalik dan pergi.
Di dalam mobil travel, Aluna duduk di dekat jendela lagi. Pemandangan kembali berganti—tapi kali ini, hatinya lebih ringan. Ia tidak tahu apa nama perasaan itu. Bukan cinta yang membara. Bukan rindu yang menyesakkan. Hanya... hangat. Seperti sore yang tak terlalu panas, tapi cukup terang untuk membuatmu ingin duduk di beranda, menyeduh teh, dan berpikir bahwa semuanya baik-baik saja.
Ia membuka buku catatannya dan menulis:
“Hari ini, aku bertemu seseorang yang pernah menjadi bagian dari diriku.
Kami tidak membicarakan masa lalu, tidak juga membahas kemungkinan masa depan.
Kami hanya hadir—sebagai dua manusia yang pernah saling mengenal.
Dan ternyata, itu cukup.
Pertemuan ini seperti angin: datang tanpa janji, pergi tanpa pamit, tapi meninggalkan sejuk yang tidak bisa dijelaskan.”
Aluna menutup bukunya. Lalu tersenyum pada dirinya sendiri.
Ia tahu, tidak semua kisah harus berakhir dengan pelukan atau tangisan. Kadang, cukup dengan duduk bersebelahan, meminum kopi, dan saling tersenyum. Karena dalam hidup, ada pertemuan-pertemuan tanpa kata yang justru paling jujur.
Dan pulang... memang selalu punya cerita. Bahkan ketika tak satu pun kalimat diucapkan, hati tetap tahu: kita pernah kembali.
Beberapa hari setelahnya, Danu menerima surat tak bertanda di teras rumahnya. Tanpa nama pengirim, hanya secarik kertas berisi:
“Kalau suatu hari kamu ke Flores, jangan lupa kirim foto senja-nya. Aku yakin, meski kita tak lagi bicara, kita masih memandang matahari yang sama.”
Ia tahu, itu dari Aluna. Dan ia tahu juga, mungkin mereka memang tidak ditakdirkan untuk saling memiliki. Tapi mereka ditakdirkan untuk saling memahami. Dan di dunia yang penuh kata-kata, mungkin yang paling berarti justru adalah pertemuan yang sunyi. Yang tidak memaksa, tidak menuntut. Hanya menjadi.
Pertemuan tanpa kata. Tapi mengisi jiwa.
Di hari yang sama, Danu berdiri di depan kios tiket pesawat, jari-jarinya ragu menelusuri layar pemesanan. Ia hampir menekan tombol “batal”, tapi kemudian matanya tertumbuk pada kata: Labuan Bajo. Sejenak, ia terdiam, lalu tersenyum.
“Mungkin sudah waktunya,” gumamnya.
Ia memesan tiket. Bukan karena ingin mencari sesuatu, tapi karena ingin menyelesaikan kalimat yang pernah tertunda. Di hari keberangkatannya, ia membawa kamera usang yang dulu sering ia pakai saat keliling kampung. Di dalam ransel, ia menyelipkan surat kecil bertuliskan:
"Untuk Aluna,
Jika nanti kamu membaca ini,
Aku hanya ingin bilang: Flores-nya indah.
Dan kamu tetap ada di antara langit dan laut yang biru.
Terima kasih untuk pertemuan tanpa kata itu.
Itu mengubah banyak hal."
Dan di balik lensa, saat senja menyapu pulau-pulau kecil di kejauhan, Danu memotret. Bukan hanya lanskap, tapi juga sesuatu yang tak terlihat: penyesalan yang akhirnya bisa dilepas, dan harapan yang tetap tumbuh diam-diam. Ia tidak tahu apakah Aluna akan kembali. Tapi kini ia tahu, hatinya sudah siap untuk menyambut siapa pun yang ingin datang, bahkan hanya untuk duduk diam dan berbagi sunyi.
Karena kadang, cukup itu saja.