Senja di kampung halaman tidak pernah gagal menyihir hati Aluna. Langitnya berwarna jingga keemasan, seperti lukisan yang tak pernah membosankan meski dilihat berkali-kali. Angin sore membawa aroma tanah basah dan suara jangkrik mulai terdengar bersahutan. Di beranda rumah tua yang sudah banyak kenangan, Aluna duduk berdampingan dengan Ibu, menikmati sore sambil menyeruput teh jahe hangat.
“Aku suka senja di sini, Bu,” kata Aluna pelan. “Rasanya waktu melambat, hati jadi tenang.”
Ibu tersenyum, menatap langit yang mulai berwarna merah tembaga. “Senja itu seperti manusia, Nak. Ia tahu dirinya akan gelap, tapi tetap memberi keindahan sebelum pergi.”
Aluna terdiam. Kalimat Ibu mengendap dalam dadanya seperti hujan ringan yang membasahi tanah kering. Ia memandang wajah Ibu yang mulai dipenuhi garis-garis halus, namun tetap tampak teduh seperti dulu. Di mata Aluna, Ibu adalah sosok perempuan paling kuat yang pernah ia kenal. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, Aluna menyadari bahwa bahkan kekuatan pun butuh tempat untuk bersandar.
“Bu,” Aluna memecah keheningan, “kalau boleh jujur... aku lelah. Hidup di kota membuatku sering merasa sendiri. Kadang aku bertanya, apakah semua ini memang jalan yang benar?”
Ibu menoleh perlahan, tatapannya lembut. “Lelah itu manusiawi, Nak. Jangan malu mengakuinya. Tapi jangan biarkan lelah membuatmu lupa arah.”
Aluna menggenggam cangkirnya erat-erat. Uap teh perlahan hilang, berganti dingin, tapi hatinya mulai hangat. “Kadang aku iri dengan orang-orang yang sepertinya tahu betul apa tujuan hidup mereka. Sedangkan aku... aku seperti tersesat di antara harapan dan kenyataan.”
Ibu mengangguk. “Kamu tahu, Nak, Ibu dulu juga pernah merasa seperti itu. Pernah merasa kecil, tak penting, dan tak yakin arah hidup ini mau dibawa ke mana. Tapi Ibu punya satu hal yang Ibu jaga terus... doa.”
Aluna menatap Ibu, penasaran.
“Setiap senja,” lanjut Ibu, “Ibu selalu berdoa. Bukan hanya untuk diriku, tapi untuk kalian—anak-anak Ibu. Ibu percaya, doa itu seperti benang halus yang mengikat kita dengan langit. Kita memang tak selalu tahu jawabannya sekarang, tapi doa akan menemukan jalannya sendiri.”
Angin sore mengibaskan ujung kerudung Ibu. Aluna menelan ludah, menatap langit yang mulai menggelap perlahan. Hatinya terasa sesak dan penuh, seperti akan tumpah kapan saja.
“Jadi... selama ini Ibu mendoakan aku, setiap senja?” tanya Aluna lirih.
Ibu tersenyum. “Tidak pernah absen.”
Ada hening yang hangat. Bukan hening yang canggung, tapi seperti pelukan tanpa peluk. Aluna memandang ke kejauhan, ke sawah-sawah yang mulai gelap, ke siluet pepohonan yang menari pelan ditiup angin sore. Ia merasa ada yang membasuh jiwanya. Malam mulai turun. Dari mushola kecil di ujung jalan, suara azan Maghrib terdengar. Lantang dan merdu, seperti panggilan pulang yang lembut. Ibu berdiri, mengajaknya berwudhu.
Di antara air yang mengalir di tangannya, Aluna merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti beban yang perlahan luruh bersama air yang membasahi wajah dan tangan. Ia menatap cermin kecil di dinding kamar mandi, melihat wajahnya sendiri yang tampak lebih tenang. Malam itu, setelah shalat, Ibu mengajaknya duduk di kamar. Tidak banyak bicara, hanya mengeluarkan sebuah buku doa yang sudah mulai kusam di tepinya.
“Ini buku doa Ibu sejak muda,” ujar Ibu sambil membukanya. Di halaman pertama, tertulis rapi nama-nama anaknya.
“Setiap malam, Ibu sebut satu per satu nama kalian. Doa untuk kesehatan, untuk perlindungan, untuk rezeki yang halal, untuk hati yang tenang, untuk langkah yang diberkahi,” Ibu berhenti sebentar, suaranya sedikit bergetar. “Dan doa agar kalian tidak pernah merasa benar-benar sendirian.” Air mata menetes tanpa bisa ditahan oleh Aluna. Ia tak pernah tahu bahwa di balik keheningan rumah ini, Ibu telah memanjatkan harapan-harapan dalam diam.
“Ibu tidak bisa selalu bersamamu ke kota, tapi Ibu menitipkan doaku di langit yang sama. Langit di sini, langit di sana, tetap milik Tuhan yang sama, kan?” kata Ibu sambil tersenyum.
Aluna mengangguk sambil menunduk. Ia merasa seperti baru saja dipeluk oleh sesuatu yang tak kasat mata, namun begitu nyata. Malam itu, sebelum tidur, Aluna membuka jendela kamar. Angin malam membawa aroma rumput dan tanah basah. Ia menatap langit gelap yang bertabur bintang. Lalu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia berdoa. Pelan. Lirih. Bukan doa yang panjang, tapi cukup untuk mengisi ruang kosong di hatinya.
"Ya Tuhan... terima kasih untuk Ibu. Terima kasih untuk senja yang tak hanya indah, tapi juga mengajarkanku tentang pulang."
Keesokan harinya, Aluna bangun lebih pagi. Udara kampung masih sejuk, suara ayam dan gemericik air di dapur mulai terdengar. Ia berjalan ke halaman belakang, tempat Ibu biasa menyapu setiap pagi. Dan di sana, di bawah langit pagi yang masih malu-malu, Ibu sudah berdiri menghadap timur, memejamkan mata, tangan terlipat di dada.
Aluna berdiri diam, tidak ingin mengganggu. Ia tahu, itu adalah momen doa Ibu di ujung malam yang berganti pagi. Dan di sanalah Aluna menemukan makna sesungguhnya dari rumah: bukan hanya tentang dinding dan atap, tapi tentang hati yang tidak pernah berhenti mendoakan.
Doa di Ujung Senja bukan hanya tentang permohonan yang dilantunkan dalam hening. Ia adalah benang-benang tak terlihat yang menjahit luka, menenangkan hati, dan menuntun langkah saat arah hidup terasa kabur. Dan ketika doa itu datang dari seorang Ibu, ia menjadi kekuatan yang mampu menghidupkan kembali harapan di hati anak-anaknya, bahkan dari jarak yang jauh.
Setelah pagi yang tenang itu, Aluna mulai menyadari sesuatu yang sebelumnya tak ia perhatikan: hidup Ibu ternyata penuh dengan rutinitas kecil yang begitu bermakna. Setiap gerakan, setiap langkah, seperti memiliki niat tersendiri. Ibu tidak pernah tergesa-gesa. Bahkan saat hanya menyiram tanaman di halaman, Ibu melakukannya seperti sedang berbicara pada daun-daun itu. Hari itu, setelah sarapan sederhana dengan nasi jagung dan ikan asin kesukaan Aluna dulu—yang entah mengapa rasanya lebih nikmat sekarang—Ibu mengajaknya berjalan ke pekarangan belakang.
“Dulu kamu suka main di bawah pohon belimbing itu, ingat?” tanya Ibu sambil menunjuk ke sudut halaman.
Aluna tersenyum. “Iya, terus panjat pohonnya dan jatuh karena dahan yang kupijak patah.”
Ibu tertawa kecil. “Dan kamu nangis bukan karena sakit, tapi karena takut dimarahi.”
Mereka duduk di bangku kayu yang sudah agak lapuk. Aluna memperhatikan, Ibu mulai membawa sapu lidi kecil. Di sela membersihkan halaman, Ibu terus mengajak Aluna berbicara.
“Kamu tahu kenapa Ibu suka sekali menyapu halaman pagi-pagi?” tanyanya tiba-tiba.
Aluna menggeleng.
“Karena Ibu percaya, saat kita membersihkan halaman, hati kita juga ikut disapu. Daun kering, ranting patah, itu seperti rasa kecewa dan sedih. Kalau dibiarkan menumpuk, jadi pengap. Tapi kalau kita sapu tiap hari, hati jadi lapang.”
Aluna terdiam. Lagi-lagi, nasihat Ibu sederhana tapi menghujam. Ia mulai mengerti mengapa banyak orang bilang, pulang ke rumah itu menyembuhkan. Karena di rumah, kita belajar melihat ulang hal-hal kecil yang ternyata menyimpan makna besar.
Saat siang menjelang, dan matahari mulai menyengat, mereka duduk di dalam rumah. Aluna memperhatikan jendela-jendela tua, foto-foto lama, dan rak buku kecil di ruang tengah. Matanya terpaku pada satu benda: mushaf Al-Quran milik Ibu, bersampul hijau tua, sedikit usang di bagian ujung.
“Ibu masih sering baca itu?” tanya Aluna.
Ibu mengangguk. “Setiap selesai pekerjaan rumah. Biasanya sebelum tidur juga. Meski mata sudah tak sejernih dulu, tapi ayat-ayat itu sudah hafal di hati.”
Aluna mengambil mushaf itu, membukanya perlahan. Di antara lembar-lembar halusnya, terselip sobekan kertas kecil bertuliskan: ‘Ya Allah, jagalah anak-anakku dalam setiap langkah mereka.’ Tulisan tangan Ibu yang khas, miring dan rapi.
Tanpa sadar, air mata Aluna mengalir. Ia merasa sangat dicintai, bahkan saat dirinya sendiri sering lupa mencintai dirinya.
“Ibu... aku nggak tahu harus bilang apa, tapi aku berterima kasih. Untuk semua doa yang Ibu panjatkan tanpa aku tahu. Untuk semua kekuatan yang aku rasa, padahal datangnya dari sini, dari rumah ini... dari Ibu.” Ibu tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Aluna dengan hangat. Tak perlu banyak kata-kata. Karena kadang, pelukan tangan seorang Ibu bisa menjelaskan ribuan hal yang tak terucap.
Malamnya, mereka makan malam bersama. Menu sederhana: sayur asem, tempe goreng, dan sambal terasi buatan Ibu yang selalu bikin kangen. Di tengah-tengah makan, Ibu tiba-tiba berkata:
“Kamu tahu kenapa Ibu selalu berdoa di waktu senja?”
Aluna mengangguk pelan, menunggu kelanjutannya.
“Karena senja itu batas. Antara siang dan malam. Batas waktu, seperti juga hidup kita yang penuh batas. Dan di batas-batas itulah, doa-doa paling tulus biasanya terucap.”
Aluna menunduk. Ia merasa malam ini adalah senja dalam hidupnya sendiri. Masa di mana ia mulai meninggalkan lelah dan kebingungan, dan masuk ke fase baru: menerima dan berdamai.
Sebelum tidur, Ibu mengajak Aluna duduk sebentar di beranda, seperti malam sebelumnya.
“Aku mungkin tak bisa pulang sesering ini, Bu,” kata Aluna pelan. “Tapi aku akan bawa semua ini... ke manapun aku pergi.”
Ibu menepuk-nepuk punggungnya. “Tak apa. Rumah tidak harus didatangi setiap hari, Nak. Tapi pastikan kau bawa rasanya. Dan jangan lupa... selalu kirim doa, bahkan dari kejauhan.”
Langit malam dipenuhi bintang. Jauh lebih banyak daripada yang bisa Aluna lihat dari apartemen kecilnya di kota. Dan di antara bintang-bintang itu, Aluna membayangkan doa-doa Ibu melayang, mencari jalannya, membentangkan cahaya yang memandu.
Dan di sanalah, di bawah langit malam yang diam tapi penuh makna, Aluna tahu: ia tak lagi sendiri. Ia memiliki rumah. Ia memiliki Ibu. Ia memiliki doa yang tak pernah absen dari senja ke senja.
Kadang hidup memang melelahkan, menyesatkan, bahkan terasa hampa. Tapi di balik semua itu, ada suara lembut di ujung hari yang terus memanggil kita pulang. Ia bukan selalu dalam bentuk pelukan. Kadang ia hanya bisikan doa, atau tangan yang menyapu halaman dengan harapan. Tapi ia nyata. Dan ia cukup untuk membuat langkah kaki yang goyah, kembali teguh.