Ada yang hilang dari ruang tengah rumah Aluna. Bukan vas bunga di sudut ruangan, bukan rak buku tua yang isinya tak pernah bertambah, dan bukan juga radio jadul yang biasanya menyala setiap pagi dengan suara penyiar bernada gembira.
Yang hilang adalah suara benang dan jarum yang berdansa pelan di atas kain. Suara halus itu, yang dulu menjadi latar suara masa kecil Aluna setiap sore, kini tak terdengar lagi.
Ibu tak lagi menyulam.
Sudah lama, sebenarnya. Tapi Aluna baru benar-benar menyadarinya hari itu, saat ia masuk ke ruang tengah sambil membawa segelas teh manis untuk ibunya yang sedang duduk di kursi rotan. Kursi itu dulu menjadi takhtanya Ibu—tempat ia duduk berjam-jam menyulam pola demi pola, dari bunga, burung, sampai rumah-rumah kecil yang jendelanya selalu terbuka. Aluna meletakkan teh di atas meja kecil.
“Ibu, nggak nyulam lagi?” tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.
Ibu mengangkat wajah, tersenyum tipis. Ada keriput baru di ujung matanya yang dulu tak ada. “Tangan Ibu sekarang gemetaran, Nak. Jarumnya sering jatuh.”
Aluna diam. Dadanya terasa menghangat, tapi juga nyeri. Ia duduk di lantai, menyandarkan kepalanya ke lutut ibunya.
“Padahal... aku suka banget lihat Ibu nyulam. Rasanya... rumah ini lengkap.”
Ibu tertawa kecil. “Lho, memangnya karena sulaman rumah jadi lengkap?”
“Bukan sulamannya, Bu. Tapi Ibu-nya yang menyulam. Itu yang bikin rumah ini hidup.”
Ibu terdiam sejenak. Lalu mengusap kepala Aluna dengan tangan yang mulai keriput tapi masih terasa hangat. “Dulu waktu kamu kecil, kamu suka duduk diam di sebelah Ibu, nontonin Ibu nyulam. Kamu bilang warna benangnya lucu-lucu.”
“Sekarang juga masih lucu, Bu.”
Ibu tertawa, kali ini lebih lepas. “Benangnya masih lucu, tapi matanya Ibu udah nggak sejelas dulu.”
Aluna menatap tangan ibunya. Jari-jarinya dulu cekatan memegang jarum, kini tampak bergetar pelan. Entah karena usia, atau karena terlalu banyak yang telah dilewati. Aluna sadar, waktu memang punya cara sendiri untuk merapuhkan, dan kita hanya bisa belajar menerima.
“Aku simpan semua sulaman Ibu, lho,” kata Aluna pelan.
Ibu menoleh. “Disimpan di mana?”
“Di koper ungu tua yang di atas lemari. Masih lengkap. Masih wangi kapur barus.”
Ibu tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Ibu pikir kamu lupa.”
“Justru aku ingat semuanya, Bu. Sulaman bunga matahari yang warnanya terlalu terang, sampai yang gambar burung pipit yang Ibu bilang kakinya kurang satu.”
Mereka tertawa bersama.
Ibu lalu menghela napas panjang. “Dulu, setiap Ibu nyulam, Ibu bayangin masa depanmu. Aku pikir, siapa tahu nanti kamu jadi guru TK, dan sulaman ini bisa jadi hiasan di ruang kelasmu. Atau kamu buka kafe kecil dan tempelin di dinding. Ibu nyulam sambil bermimpi.”
Aluna menggenggam tangan Ibu. “Sekarang giliran aku yang nyulam mimpi Ibu, ya?”
Ibu hanya tertawa pelan, tidak menjawab. Tapi matanya—yang meski tak seterang dulu—penuh cahaya yang hanya dimiliki orang-orang yang telah mengikhlaskan banyak hal dalam hidup.
Hari itu, Aluna membuka koper ungu tua. Benar saja, semua sulaman masih ada. Rapi, walau beberapa sudah mulai pudar. Ia mengeluarkan satu per satu, menaruhnya di pangkuan.
Di sudut tiap kain sulaman, selalu ada huruf kecil: R.M. —singkatan dari Ratna Mardiana, nama Ibu.
Setiap sulaman bukan sekadar benang dan kain. Ia adalah bentuk cinta. Cinta yang tidak pernah diminta balasannya. Cinta yang dijahit pelan-pelan, dengan harapan, doa, dan air mata yang tidak pernah dimunculkan. Di antara tumpukan itu, Aluna menemukan satu kain yang belum selesai. Gambar rumah setengah jadi. Hanya ada atap dan satu jendela. Sisanya masih kosong.
“Ibu, yang ini kenapa belum selesai?”
Ibu menoleh, matanya sedikit melembut. “Itu yang terakhir Ibu buat sebelum kamu pergi ke Jakarta. Ibu rencananya mau nyulam rumah yang kamu impikan. Tapi waktu itu kamu terlalu sibuk. Ibu juga mulai sulit melihat benang.”
Aluna menatap kain itu lama sekali. Ada rasa bersalah yang muncul. Ada juga rasa haru yang tak bisa dijelaskan.
“Aku boleh yang selesain?” tanyanya pelan.
Ibu mengangguk. “Boleh. Tapi benangnya harus warna yang ceria, ya. Biar rumahnya kelihatan hangat.”
Hari-hari berikutnya, Aluna mulai belajar menyulam. Tidak mudah. Jarumnya sering jatuh, benangnya kusut, dan jarinya tertusuk berkali-kali. Tapi ada perasaan tenang saat ia melakukannya. Seperti sedang berbicara pelan-pelan dengan kenangan. Seperti sedang menenun ulang cinta yang dulu diterimanya diam-diam.
Malam hari, Ibu sering duduk di sebelahnya sambil mengoreksi benang yang terlalu renggang atau warna yang kurang pas. Terkadang mereka berdebat kecil.
“Rumah ini pintunya jangan kuning. Aneh.”
“Tapi kuning itu ceria, Bu.”
“Ibu takut dikira warung nasi uduk.”
Aluna tertawa geli. Bahkan dalam penyulaman rumah imajiner pun, Ibu tetap punya selera yang lucu.
Lambat laun, rumah itu selesai. Atapnya merah bata, pintunya coklat tua, jendelanya biru langit. Di bawahnya, Aluna menyulam dua sosok kecil: seorang wanita dan anak perempuan. Mereka berdiri berdampingan, tangan saling menggenggam.
Aluna menyodorkan hasil sulamannya pada Ibu.
Ibu melihatnya lama. Kemudian menatap Aluna. “Kamu tahu nggak, rumah ini sekarang bukan cuma impian Ibu. Tapi rumah yang akhirnya kita jahit bareng.” Hari itu, tak banyak kata diucapkan. Tapi peluk yang mereka bagi terasa lebih hangat dari matahari pagi. Ada ruang yang dulu kosong, kini terisi kembali. Kadang, waktu memang merampas banyak hal. Tapi cinta yang dijahit dengan kesabaran dan ketulusan, selalu menemukan jalan pulangnya.
Dan hari itu, Aluna belajar satu hal: Ibu memang tak lagi menyulam, tapi ia telah menjahit bagian terindah dalam hidupnya—pada hati anaknya.