Di atas lemari tua yang mulai berdebu, ada sebuah bingkai foto berwarna cokelat gelap, warnanya sedikit mengelupas di sudut kanan atas. Di dalamnya, seorang pria berdiri tegak memakai kemeja putih lengan panjang, celana kain yang disetrika rapi, dan senyum yang begitu canggung tapi hangat. Di sebelahnya, anak perempuan kecil memegangi tangan kirinya erat-erat, matanya berbinar seperti baru saja diajak naik sepeda keliling desa.
Anak perempuan itu adalah Aluna.
Pria di sampingnya adalah Ayah.
Sudah lama Aluna tidak memandangi foto itu. Entah sejak kapan bingkainya tidak dipindahkan dari atas lemari. Mungkin sejak Ibu tak lagi rajin membersihkan perabot, atau mungkin sejak kehilangan itu pelan-pelan menjadi biasa. Sore itu, Aluna mengambil bangku kecil, mengelap bingkai tersebut dengan ujung bajunya, lalu duduk di lantai ruang tengah. Ia menatap lama sekali, seolah ingin menggali percakapan yang pernah terkubur di balik gambar diam itu.
"Ayah, masihkah kau ingat suara tawa kita waktu itu?"
Dulu, Ayah bukan sosok yang banyak bicara. Tapi ia tak pernah pelit dengan waktu. Setiap sore, sepulang kerja dari bengkel milik temannya, ia akan duduk di beranda dengan Aluna. Mereka tidak harus berbincang panjang. Kadang hanya duduk berdampingan, menatap langit sore yang berubah warna, dan Ayah akan bersuara pelan, “Lihat, awannya kayak ikan paus, ya.”
Aluna kecil tertawa, “Kayak ayam goreng, Yah!”
Dan Ayah akan tertawa lebih keras, “Kamu lapar, ya?”
Ayah bukan pahlawan super. Ia tidak punya jubah, tidak bisa membelikan mainan mahal, dan tidak tahu cara mengucapkan “Aku sayang kamu” dengan mudah. Tapi ia hadir, dan itu cukup membuat dunia Aluna terasa utuh.
Hingga suatu ketika, Ayah pergi.
Pergi bukan karena marah atau kecewa. Tapi karena tubuhnya tak lagi mampu menahan lelah yang disimpan diam-diam. Ayah berpulang di usia yang terlalu muda untuk disebut tua, dan terlalu matang untuk disebut muda. Usia pertengahan yang biasanya sibuk membesarkan anak dan menyimpan banyak tagihan dalam dompet tipis. Waktu itu, Aluna masih duduk di kelas dua SMP. Ia tidak tahu bagaimana caranya berduka. Yang ia tahu, rumah menjadi lebih sunyi, dan malam menjadi lebih panjang. Ibu menangis diam-diam di kamar, dan Aluna mulai takut tidur sendirian.
Dua minggu setelah Ayah dimakamkan, Aluna diam-diam membuka lemari ayahnya. Di sana masih tergantung kemeja putih yang biasa dipakai ke acara keluarga. Di sakunya, ada pulpen hitam yang tak lagi menyala dan selembar kertas kecil yang bertuliskan:
"Aluna harus punya sepeda tahun depan. Nabung sedikit-sedikit."
Aluna menangis di sana, di dalam lemari yang sempit, di pelukan pakaian ayahnya yang tak akan pernah dipakai lagi.
Dan sejak hari itu, ia mengerti: rindu bisa datang dalam bentuk paling kecil—seperti sehelai kertas lusuh di saku baju yang tak lagi hangat.
Sekarang, setelah bertahun-tahun, Aluna kembali ke rumah. Ia bukan lagi gadis SMP yang takut gelap. Ia telah melewati banyak stasiun kehidupan: kuliah, kerja, patah hati, bangkit lagi. Tapi foto Ayah tetap sama, masih tersenyum dengan gaya kaku yang khas, dan masih bisa membuat Aluna diam lama dengan mata berkaca-kaca.
Ibu duduk di meja makan, mengaduk teh hangat. Saat Aluna meletakkan bingkai foto di meja, Ibu menatapnya sebentar.
“Kamu nemuin itu, ya?” tanyanya lembut.
Aluna mengangguk. “Aku rindu Ayah.”
Ibu tersenyum kecil, “Aku juga. Setiap hari. Tapi sekarang Ibu belajar menaruh rindu di tempat yang nggak bikin sakit.”
Aluna mengangkat alis. “Tempat apa?”
Ibu menepuk dadanya sendiri. “Di sini. Bukan untuk dihapus. Tapi untuk dikenang dengan senyum.”
Ada jeda. Lalu Ibu menambahkan, “Dulu waktu Ayah masih ada, kamu sering minta dia dongengin cerita sebelum tidur.”
“Cerita yang itu-itu terus, Bu. Tentang ayam dan topi ajaib.”
Ibu tertawa. “Iya. Tapi Ayah selalu cerita seolah itu cerita paling baru sedunia.”
Mereka tertawa bersama. Lalu hening lagi, tapi hening yang tidak dingin. Hening yang menghangatkan, seperti selimut lama yang dibuka kembali.
Hari itu, Aluna memutuskan sesuatu. Ia membuka laptop, mengetik satu per satu cerita tentang Ayah. Tentang caranya mengikat tali sepatu yang selalu kebalik. Tentang suara sendalnya yang khas saat berjalan. Tentang sepeda tuanya yang hanya bisa dinaiki dengan satu pedal.
Ia menulis tanpa henti.
Dan malamnya, ia mencetak satu foto dari laptopnya—foto Ayah yang sama dengan di bingkai usang itu. Ia membelikan bingkai baru, lalu meletakkannya di meja samping tempat tidur.
“Ayah, ini tempat barumu,” katanya pelan, sebelum mematikan lampu.
Beberapa hari kemudian, Aluna pergi ke makam Ayah. Membawa bunga kesukaan Ayah—bunga kertas berwarna ungu yang selalu tumbuh liar di pagar tetangga. Ia membersihkan batu nisan, lalu duduk bersila.
“Aku tahu Ayah mungkin nggak dengar. Tapi aku mau cerita,” katanya, suaranya pelan.
Ia bercerita tentang pekerjaan barunya, tentang kegagalan yang sempat membuatnya ingin menyerah, tentang cowok yang dulu ia kira cinta sejatinya tapi ternyata cuma mampir.
“Ayah tahu nggak? Dulu aku berharap banget bisa cerita ini langsung ke Ayah. Tapi... ternyata diam-diam aku masih bisa. Di sini. Dan rasanya masih hangat.”
Angin sore menyentuh pipinya pelan. Seolah semesta ikut mendengarkan.
“Terima kasih, Yah. Karena pernah jadi rumah paling tenang di hidupku.”
Ia menunduk, mencium tanah yang kini menjadi peristirahatan terakhir Ayah. Dan di hatinya, ada ruang kecil yang seolah didekap kembali—bukan oleh tangan nyata, tapi oleh kenangan yang tetap hidup. Saat Aluna pulang ke rumah hari itu, Ibu menunggu di dapur dengan sepiring pisang goreng dan secangkir teh hangat.
“Ibu tahu kamu ke makam Ayah,” kata Ibu pelan. “Kamu mirip Ayah. Diam-diam tapi dalam.”
Aluna tersenyum. “Aku cuma takut kalau semua cerita tentang Ayah menguap begitu aja. Jadi aku tulis. Biar suatu hari nanti, anakku juga tahu siapa kakeknya.”
Ibu menatap Aluna, lalu memeluknya erat.
“Kamu tahu, Ayahmu nggak pernah punya banyak. Tapi dia selalu bilang: ‘Selama aku bisa jadi tempat pulang buat kalian, aku cukup bahagia.’”
Dan hari itu, Aluna belajar satu hal lagi: Kadang, cinta terbesar tidak terlihat dalam pemberian besar, tapi dalam kehadiran kecil yang konsisten. Dalam suara sandal di beranda. Dalam cerita ayam dan topi ajaib. Dalam senyum kaku di foto usang.
Aluna menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi di ruang makan. Foto Ayah yang tadi sempat ia bersihkan kini ada di tengah meja, dikelilingi teh, pisang goreng, dan kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.
“Ibu,” ujar Aluna sambil memutar cangkir teh pelan, “waktu Ayah meninggal... Ibu takut nggak?”
Ibu tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menatap ke luar jendela, tempat pohon belimbing tumbuh dengan malasnya.
“Takut, tentu. Tapi bukan takut ditinggal sendiri,” jawab Ibu kemudian. “Ibu lebih takut kamu kehilangan arah.”
Aluna menggigit bibir bawahnya. Ia teringat masa-masa setelah kepergian Ayah, saat ia mulai menarik diri, mulai malas sekolah, mulai banyak diam. Bahkan sempat mencoba pura-pura kuat hanya agar tidak membuat Ibu khawatir. Tapi malam tetap jadi tempat paling jujur, tempat semua tangis keluar diam-diam.
“Ibu sering dengar kamu menangis di kamar,” lanjut Ibu seolah membaca isi kepala Aluna. “Ibu juga sering nangis. Tapi nggak di kamar. Di dapur. Di balik tirai.”
Aluna menunduk. “Kenapa harus sembunyi, Bu?”
“Karena kalau ibu juga hancur, siapa yang jaga kamu?”
Hening.
Dan dalam keheningan itu, Aluna melihat sesuatu yang dulu luput dari perhatiannya: betapa hebatnya Ibu menjaga mereka tetap utuh, meski sendiri juga sedang patah.
“Ayah dulu sering bilang,” Ibu melanjutkan, “‘Kita ini mungkin nggak bisa kasih segalanya buat anak. Tapi asal dia tahu kita selalu ada, itu sudah lebih dari cukup.’”
Kalimat itu membuat dada Aluna sesak—bukan karena sedih, tapi karena penuh. Penuh oleh rasa cinta yang selama ini tak pernah benar-benar pergi. Cinta yang diam-diam hidup di sela-sela tawa, dalam tiap bungkus nasi goreng bungkus koran, dan pelukan singkat saat demam. Malamnya, Aluna membuka kotak kecil di lemari kayu. Di dalamnya, ia menemukan beberapa benda yang dulu milik Ayah—jam tangan yang sudah mati, buku catatan kecil berisi coretan-coretan sederhana, dan... sebuah amplop yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Di dalam amplop itu, ada secarik kertas bertuliskan tangan Ayah.
"Kalau suatu saat kamu baca ini, berarti kamu udah cukup dewasa untuk tahu: Ayah bukan orang hebat. Tapi Ayah selalu berusaha jadi cukup baik untuk kamu dan Ibu. Maaf kalau nggak sempat bilang selamat tinggal. Tapi ingat, cinta Ayah nggak pernah pergi. Dia cuma pindah tempat—ke tiap langkah kakimu." Tangis Aluna pecah malam itu. Tapi bukan tangis yang membuat lelah. Justru melegakan. Ia merasa seperti dipeluk kembali, meski oleh tangan yang sudah tak lagi bisa disentuh.
Beberapa minggu setelah itu, Aluna mencetak puluhan foto lama dari album keluarga. Ia membeli papan kayu besar, menghiasnya dengan kain goni, tali rami, dan penjepit kecil warna cokelat. Ia membuat satu sudut di ruang tamu menjadi “Pojok Cerita Ayah”—tempat di mana semua orang bisa melihat Ayah tidak hanya sebagai foto di bingkai usang, tapi sebagai kisah yang hidup.
“Kenapa kamu tiba-tiba rajin nempelin foto gitu, Na?” tanya Ibu sambil tersenyum geli.
“Biar Ayah bisa jadi cerita. Bukan cuma kenangan,” jawab Aluna sambil menancapkan satu paku kecil ke tembok.
Di sudut itu, ada foto Ayah sedang memancing, sedang mendorong sepeda Aluna kecil, sedang tertawa sambil memakai topi ulang tahun. Di bawahnya, Aluna menulis satu kalimat kecil: “Cinta yang tinggal, bahkan setelah orangnya tiada.”
Waktu berlalu, tapi rasa kehilangan tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah wujud. Dari tangis jadi senyum. Dari luka jadi cerita. Dari berat jadi ringan yang menyelinap pelan di sela kehidupan. Dan bagi Aluna, pulang bukan hanya tentang kembali ke rumah. Tapi juga tentang menjemput kembali bagian dari dirinya yang pernah ditinggalkan di masa lalu. Tentang berdamai dengan sunyi. Tentang mengingat Ayah, bukan dengan air mata, tapi dengan rasa syukur.
Karena sejauh apa pun ia pergi, satu hal tak akan pernah berubah:
Ayah tetap menjadi rumah, bahkan ketika ia sudah tak lagi ada di rumah.