Langit tampak retak. Seolah-olah kanvas realitas telah dirobek dari dalam, menyisakan celah-celah bercahaya yang meneteskan kilatan energi dimensi pecahan ke dunia nyata.
Freya berdiri di tengah reruntuhan dengan napas berat dan tubuh yang gemetar. Di tangannya, tergenggam pisau peninggalan dirinya yang lama. Pisau yang menyelamatkan, tapi juga membawa kutukan. Di sekelilingnya, teman-temannya tergeletak dalam keadaan terluka. Untung saja, mereka masih kuat bertahan sejauh ini. Namun, ada yang terasa ganjil ketika ia melayangkan tatapan kepada sosok itu.
Raka duduk diam, matanya terbuka namun binarnya tampak kosong. Sejak ledakan dari alat pemulih identitas itu, dari bibir Raka tak terucap sepatah kata pun. Hanya membisu, terdiam tanpa emosi. Namun, Freya kini menyadari, sesuatu telah berubah. Raka yang sekarang bersamanya, bukanlah Raka yang dulu lagi.
"Kau... di sana, Raka?" gumamnya lirih.
Angin menyapu rambut Freya yang kusut, menyibakkan aroma besi dari darah dan asap dari dimensi yang runtuh. Di langit, dua dunia—dimensi pecahan dan dunia nyata—berdesakan masuk, menciptakan celah-celah berbahaya yang membelah bangunan, menelan pohon-pohon, dan menghancurkan batas kenyataan.
Yara, dengan luka di pelipisnya, perlahan bangkit. "Kita harus melakukan sesuatu. Dunia ini tidak akan bertahan jika dua dimensi terus bertabrakan seperti ini."
Zayn menggertakkan gigi. "Kita bisa mencari cara untuk menutup celah itu—"
"Tidak." Suara Freya lirih, tetapi masih dapat tertangkap jelas. "Sudah tercantum dalam petunjuk tentang alat pemulih itu... Seseorang harus mengorbankan identitasnya. Bukan sekadar menutup celah. Kita harus mengembalikan keseimbangan dengan membiarkan satu jiwa hilang dari realitas."
Hening. Suasana kembali semakin mencekam. Kengerian menyelimuti sekitarnya.
Dari bayang-bayang reruntuhan, Neo bangkit. "Identitas? Maksudmu... salah satu dari kita harus menghapus jati dirinya sendiri dari realitas ini?"
Freya mengangguk perlahan. Rinai-rinai bening mengambang di pelupuk matanya.
Raka tiba-tiba berdiri. Gerakannya tampak terlalu tenang. Terlalu terkontrol.
"Aku akan melakukannya." Suaranya terdengar dingin. Kosong, tanpa terbaca emosi apa pun. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari sepenuhnya bahwa itu bukan Raka yang mereka kenal, kecuali Freya.
Freya mencengkeram pisau itu kuat-kuat. "Tidak. Kau sudah berkorban cukup banyak."
"Tapi akulah yang menjadi pusat kekacauan ini. Aku yang menggunakan alat itu. Biarkan aku yang menebusnya."
"Kau ..., ini bukan dirimu," desis Freya dalam hati. Namun, lidahnya terasa kelu untuk mengatakannya secara langsung. Belum saatnya.
Yara melangkah maju. "Kalau begitu, biar kita putuskan bersama. Kita telah melalui semua ini bersama, dan kita akan menyelesaikannya bersama juga."
Freya menatap mereka satu per satu. Luka, darah, kelelahan, tergambar jelas di wajah mereka. Namun, juga terdapat tekad yang tak surut dari sorot mata mereka dan itu untuk satu tujuan. Demi menyelamatkan dunia.
Hati Freya terasa ditarik ke dua arah, satu sisi ingin melindungi mereka semua, sisi lain ia tahu bahwa tidak semua bisa diselamatkan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, menatap pisau yang tergenggam di tangan. Dalam pantulannya, ia melihat dua bayangannya sendiri. Freya yang dulu dan Freya yang sekarang.
"Biar aku saja," ucap Freya akhirnya. Suaranya tenang, namun hatinya seperti laut pasang. "Aku sudah dua kali menghancurkan garis takdir, pertama ketika menulis surat itu untuk masa depan, dan kedua saat membangunkan kekuatan dalam diriku."
"Freya, tidak!" Yara memekik.
Freya memejamkan mata. "Aku tidak akan benar-benar hilang. Aku hanya akan menjadi sesuatu yang berbeda. Aku akan tetap ada, hanya bukan sebagai Freya yang kalian kenal."
Raka menatapnya, dan untuk sesaat, hanya sebentar saja, Freya merasakan ada percikan yang tak asing dalam tatapan itu, tetapi.kemudian hilang dengan sangat cepat. Dan Freya kini tahu pasti, sepenuhnya meyakini, Raka yang menatapnya kini dan berdiri mengamatinya, bukanlah Raka yang selama ini ia kenal. Gadis itu berlutut, mengangkat pisaunya ke dada.
"Dengan ini, aku kunci fragmen diriku di antara dua dunia. Biarkan satu jiwa mengisi kekosongan. Biarkan seimbang kembali."
Tiba-tiba, sebelum pisau menyentuh kulitnya, Raka sontak saja menerjang. Pisau pun terlempar jauh, sementara tubuh Freya terguling di tanah.
"KAU AKAN GAGAL!" teriak Raka, suaranya berubah, terdengar lebih dalam dan serak. Suara yang sepenuhnya bukan lagi milik Raka.
"Kau... Freya bayangan!" Yara berseru, mulai menyadari sesuatu.
Freya terhuyung bangkit, darah menetes dari pelipisnya. Raka bayangan mengangkat pisau itu, wajahnya berubah menjadi wajah Freya yang lain, yang dulu ia lawan dalam pecahan dimensi.
"Kau pikir bisa mengorbankan dirimu? Tidak semudah itu. Aku ada di tubuh ini sekarang. Kau tidak akan pernah bebas."
Freya berdiri tegak. "Kalau begitu... mari kita akhiri ini, sekarang dan untuk selamanya."
Dari saku jaketnya, ia mengeluarkan serpihan kecil yang tersisa dari alat pemulih identitas. "Masih ada satu percikan. Cukup untuk satu percobaan lagi."
Sambil menahan tangis, ia melangkah maju.
"Kalau aku tidak bisa menghapus diriku... maka aku akan menghapus dirimu dari tubuhnya."
Freya menekan serpihan itu ke dada Raka. Tiba-tiba saja muncul ledakan cahaya menyilaukan. Disusul dengan suara jeritan, lalu kepulan asap. Retakan dimensi pecahan mulai menyusut, menyedot energi dari sekelilingnya. Dunia berguncang hebat. Kemudian menjadi hening dan tampak kosong.
Freya terbaring lemah, pisau tergeletak di sampingnya. Di sisi lain, Raka duduk membungkuk, menggenggam kepalanya.
"Aku... Freya...?"
Suara itu kini benar-benar milik Raka yang Freya kenal selama ini. Gadis itu tertawa, lega. Pelan. Lalu menangis.
Celah-celah dimensi pecahan mulai menutup perlahan, satu-persatu, layaknya luka yang akhirnya sembuh seiring berjalannya waktu. Dunia nyata menggeliat, lalu menetap dalam keheningan damai.
Namun, saat malam tiba, di langit utara, sebuah bintang jatuh terbelah dua. Dan di tempat serpihan alat itu dulu dihancurkan, tumbuh bunga yang tak dikenal oleh siapa pun. Bunga itu berwarna perak, dengan kelopak menyala samar. Dari balik bayangan pepohonan, sepasang mata mengawasi bunga itu.
"Permainan belum selesai," bisik suara perempuan itu. Lembut, tetapi bernada licik. Mata itu bukan milik Freya. Bukan juga milik siapa pun yang dikenal. Namun, terasa sangat... akrab.
Dimensi pecahan telah tertutup, tetapi dunia belum pulih sepenuhnya. Sebuah kebenaran baru terkuak, perjuangan belum berakhir. Kini, bayangan masa depan menuntut pilihan yang tak terelakkan. Ini sebuah pertanda bahwa perjalanan panjang mereka pun belum benar-benar usai.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan