Suasana sekolah tampak beku seperti lukisan yang berhenti pada satu titik waktu. Udara di pagi hari terasa ganjil, seolah-olah aroma embun bercampur dengan abu yang tak kasat mata. Langit mendung, tapi tak juga turun hujan. Angin berembus pelan, namun dedaunan di halaman tak bergerak sedikit pun.
Freya berdiri di lorong lantai dua, memandangi lapangan dari balik jendela besar. Tidak ada suara. Tidak ada langkah kaki siswa. Tidak ada canda tawa. Sekolahnya—yang biasanya hidup oleh hiruk-pikuk remaja—hari ini sunyi seperti makam.
"Jamnya ..., tak bergerak," gumamnya pelan.
Kedua mata Freya terpaku pada jam dinding kelas XI-1. Jarumnya membeku di angka 7:17. Sudah dua puluh menit ia berdiri di sana, dan waktu tetap menolak melanjutkan langkahnya.
Langkah kaki yang cukup familiar, berderak pelan dari ujung koridor. Seseorang muncul dari balik lengkungan dinding. Freya hafal betul suara langkah kaki itu. Raka.
"Kau juga merasakannya?" tanya Freya tanpa menoleh.
Raka mengangguk. Wajahnya terlihat tegang. "Kelas kosong. Halaman sepi. Aku memanggil Neo, Zayn, dan Yara, tak ada jawaban. Namun, aku menemukan ini. Siapa tahu ada petunjuk."
Ia menyodorkan sebuah kertas lusuh. Freya menerimanya dan membaca.
Kami tidak mengingat namamu.
Tulisan tangan yang asing. Freya menelan ludah. Hatinya seperti terhantam palu, nyeri. "Mereka kehilangan ingatan ..., tentang siapa?"
"Tentang kita." Raka menunduk. "Aku tadi masuk ke ruang guru. Di papan daftar hadir, hanya namaku dan namamu yang tak tercantum. Kita ..., benar-benar terhapus."
Freya memejamkan mata. Napasnya memburu. Meski dimensi pecahan telah tertutup, ternyata dunia ini masih belum stabil. Ada sesuatu, sisa yang tertinggal. Namun, entah apa.
****
Malam itu, Freya berdiri di depan cermin kamarnya. Kilatan aneh muncul di kedua matanya. Bukan pantulan lampu, tapi seberkas bayangan yang bukan miliknya. Ia melihat dirinya... lebih tua, tetapi lebih kuat, juga terasa lebih dingin.
"Aku... bukan lagi diriku." Freya mundur selangkah. Kepalanya mendadak pening. Tiba-tiba, gambaran beberapa adegan bermunculan dengansangat cepat menyerbu pikirannya. Kilasan dari masa depan.
Sebuah kota yang hancur.
Api melahap langit.
Dirinya berdiri di atas menara dengan mata kosong, dan simbol bersinar di dadanya.
Lalu semuanya menghilang dengan sangat cepat juga.
****
Pagi berikutnya, ia memutuskan kembali ke sekolah bersama Raka. Mereka menyusuri lorong dengan hati-hati. Tembok-tembok terasa lebih dingin dari biasanya. Bahkan suara langkah kaki mereka pun seperti terhisap ke dalam dinding.
Ketika mereka melewati ruang seni, Freya menghentikan langkahnya. Matanya melebar.
"Raka... lihat itu."
Dinding yang biasanya bersih, kini menghitam di tengah-tengah. Seperti bekas terbakar. Namun bukan terbakar biasa. Di sana terukir lambang lingkaran, di dalamnya ada tiga garis menyilang membentuk bintang, dan di tengahnya, terdapat sebuah mata.
Raka mendekat. "Itu... bukan simbol Callindra. Tapi mirip."
Freya mengangguk. Napasnya tercekat. "Ini versi lain. Apa versi masa depan?"
Tiba-tiba, dinding di sekeliling mereka bergetar. Dari lantai, muncul retakan-retakan halus berwarna biru keunguan, menyebar seperti akar pohon. Waktu kembali bergerak dengan sangat cepat. Jam dinding berputar-putar tanpa henti, dan suara bel sekolah mendadak meraung panjang tanpa henti juga.
Murid-murid mulai muncul entah dari mana, berjalan seperti zombie tanpa ekspresi. Mereka saling menyapa, tapi tidak ada yang melihat Freya dan Raka. Mereka tidak terlihat. Tidak terdengar. Tidak dianggap ada.
"Kita seperti... hantu di dunia kita sendiri," bisik Freya.
Raka menatap ke arah lambang yang terbakar itu. "Ini peringatan. Sesuatu yang lebih mengerikan akan datang. Dan kita adalah satu-satunya yang bisa melihatnya."
****
Sore harinya, Freya menyendiri di ruang musik. Ia duduk di depan piano yang sudah lama tak disentuh. Jemarinya menyentuh tuts dengan lembut. Lagu mengalir dengan melankolis, penuh luka, serta menyayat hati.
"Kau masih ingat lagu itu?" Suara lembut terdengar dari arah belakang.
Freya menoleh. Seorang gadis berdiri di pintu. Rambutnya perak dengan kedua mata bening seperti kaca retak. Ia mengenakan seragam sekolah... yang bukan dari sekolah manapun yang Freya kenal.
"Siapa kamu?" Kening Freya berkerut, berusaha mengingat-ingat, karena sepertinya benaknya terasa familiar dengan sosok di hadapannya.
Gadis itu tersenyum kecil. "Namaku Liora. Aku datang dari waktu yang belum terjadi."
Benar saja dugaan Freya. Gadis di depannya ini adalah Liora, bawahan Raja Vergana yang setia, tetapi versi lainnya lagi. Pantas saja, dirinya merasa seperti pernah mengenal sosok tersebut.
Freya berdiri, waspada. Raga dan jiwanya yang telah lelah melalui berbagai hal, membuat hati kecilnya berbisik padanya agar tak terlalu mempercayai lagi siapa pun yang datang menemuinya. Entah dari masa lalu, masa kini, mau pun masa yang akan datang.
"Maksudmu dari masa depan?" tanya Freya memecah kesunyian yang tercipta.
Liora mengangguk. "Dan aku membawa peringatan. Dimensi yang kalian tutup bukan akhir, Freya. Itu hanya lapisan luar. Apa yang tertinggal dalam dirimu adalah 'kunci' menuju siklus yang akan datang kembali."
Freya menggigit bibirnya. "Aku mendapat kilasan. Aku melihat kota terbakar, dan aku berdiri di tengahnya."
Liora menatapnya dengan tatapan sayu. "Itu bukan ramalan. Itu rekaman. Itu sudah pernah terjadi. Dalam satu versi realitas yang gagal. Kau menjadi pusat kekacauan. Namun, sekarang, ada peluang untuk memperbaikinya."
"Bagaimana caranya?"
Liora mendekat, lalu mengangkat lengan bajunya. Di sana, tergurat luka berbentuk lingkaran bersinar, identik dengan lambang di dinding.
"Callindra masa depan berkembang menjadi penjaga jalur takdir. Namun, sesuatu mengkhianati kami. Dan itu berasal dari dalam. Salah satu dari kita."
"Dari aku," tebak Freya ragu. Tubuhnya tampak sedikit gemetaran. Terbayang di pelupuk matanya, sesuatu hal besar serta ganjil lainnya yang akan menyongsong di depan nanti, sebagai awal menuju perjalanan yang panjang dan melelahkan.
Liora tidak membantah, membuat tubuh Freya kembali bergetar hebat. Ia kini benar-benar merasa takut dengan kekuatan yang akan dihadapinya di depan sana.
****
Saat matahari tenggelam, Freya dan Raka berdiri di halaman belakang sekolah. Mereka menghadap ke arah gedung tua yang tak lagi digunakan. Di dinding luar gedung itu, lambang itu kini bercahaya samar.
"Liora benar," gumam Freya. "Aku bisa merasakannya. Seolah sesuatu... bergerak di bawah kulitku. Sebuah kebenaran yang belum sempat dicerna."
"Kalau begitu, kita harus mencari tahu lebih dalam. Sebelum semuanya terjadi lagi," kata Raka. Matanya penuh tekad.
Tiba-tiba, dari belakang mereka, terdengar sayup-sayup gema sebuah suara. "Sayangnya, kalian sudah terlambat."
Mereka berbalik, mencari-cari tahu arah sumber suara yang menggema itu.
Di sana, berdiri seseorang—berpakaian seperti siswa, tapi wajah yang dimilikinya ..., adalah wajah Freya.
Namun mata gadis itu kosong. Bibirnya tersenyum miring. Dan di bawah matanya tergores luka kecil berbentuk lingkaran.
"Aku adalah kamu, Freya. Dari dimensi yang gagal. Dan aku kembali ke mari ..., untuk memastikan kegagalan itu akan terulang lagi."
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan