Kabut ungu kehitaman menggulung di sekitar mereka, berputar seperti pusaran tak berujung. Di tengah jantung dimensi pecahan, tanahnya retak, menggantung di antara ruang dan waktu. Hembusan angin tak henti-henti menderu. Membawa bisikan suara-suara asing, seperti jeritan jiwa-jiwa yang tersesat.
Freya berdiri di tepi batas dimensi. Matanya menatap lurus ke sosok dirinya yang lain. Freya asli dari dimensi cermin. Sosok itu mengenakan jubah hitam beludru, dengan mata merah menyala yang dingin dan tajam seperti bilah es.
"Ayo, kita harus menemukan dan menyelamatkan teman-teman yang lain," ajak Freya.
Raka, Neo, Yara, dan juga Zayn yang sudah tampak segar bugar, membalas dengan anggukan. Mereka melanjutkan perjalanan, mencari teman-teman lain yang tubuhnya tersedot ke dimensi lain, ketika pertarungan pertama dimulai, saat Raja Vergana menurunkan pasukan penghilang ingatan ke dunia.Kelima sahabat itu memutuskan untuk melakukan pencarian dengan cara berpencar, agar lebih cepat menemukan para teman mereka. Baru saja Freya berjalan beberapa langkah, seseorang dengan tiba-tiba muncul dan mengadangnya.
"Sasmita, apa kabar? Syukurlah, aku jadi tak perlu capek-capek mencari." Freya menghampiri sosok itu, hendak memberi pelukan. Namun, Sasmita menghindar.
"Mita, kenapa?" Dahi Freya berkerut, heran, menyaksikan reaksi dingin yang ditunjukkan Sasmita. Padahal, di dunia nyata, Mita adalah sosok teman yang menyenangkan, ceria, serta hangat.
Namun, alih-alih menjawab, Sasmita malah melangkah pergi. Freya dengan langkah tergesa pun menyusul, berusaha menyejajarkan langkah dengan Sasmita. Di samping Freya, sosok Sasmita kini tak seramah saat di dunia nyata. Dulu dia selalu tersenyum ceria, berceloteh riang tentang apa saja dan cukup akrab dengan Freya. Sekarang, Sasmita menjadi sosok yang berkebalikan dengan dunia nyata. Gadis itu menatap dengan sorot kosong, dipenuhi kekuatan gelap.
“Freya... ini semua salahmu!” Suara Sasmita melengking. “Kalau saja kau tidak menghalangi, kami bisa menguasai dimensi ini bersama.”
Freya menggenggam pedang cahaya yang kini mulai retak di ujungnya. “Sasmita ..., aku hingga kini masih sepenuhnya percaya padamu. Aku percaya kita teman baik. Namun, kenapa kamu memutuskan untuk memilih jalan yang bukan milikmu?”
Di belakang Freya, Raka berdiri dengan pelipis berdarah, dan napas yang berat. Teman-teman mereka yang lainnya muncul, Neo, Zayn, juga Yara. Semuanya tampak terluka parah. Yara bersandar pada batu dimensi, tangan kirinya menggenggam luka di perutnya. Neo terengah-engah dengan dada yang berlubang. Zayn malahan sudah tak sadarkan diri.
“Ini bukan pertarungan satu lawan satu lagi,” gumam Raka, menggenggam alat penyelamat itu, sebuah bola kristal perak yang di dalamnya berkedip nyala biru samar.
Freya menoleh ke Raka. “Jangan gunakan itu sekarang. Gunakan saat aku tak bisa lagi melawan.”
Raka menggertakkan gigi. “Freya, jangan buat aku memilih seperti itu.”
Freya tak menggubris. Matanya terpejam, telapak tangannya menyentuh luka-luka yang dialami keempat temannya. Dari telapak tangannya, muncul pendar cahaya putih. Dalam sekejap saja, luka di perut Yara dan lubang di dada Neo pun lenyap tak berbekas. Darah di pelipis Raka pun hilang. Dan dengan sekali sentuhan di dahi Zayn, cowok yang tak sadarkan diri itu pun terbangun.
Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Sasmita berubah menjadi Freya versi lain. Sosok itu mengangkat tangannya, dan pilar-pilar bayangan melonjak dari tanah retak, mengarah ke Freya dan juga Raka. Mereka melompat ke samping, menghindari serangan. Pertempuran pun pecah, tak dapat terhindarkan.
Freya bergerak lebih cepat dari sebelumnya, tubuhnya dikuasai oleh adrenalin yang terpacu serta keputusasaan. Setiap sabetan pedangnya beradu dengan bayangan pedang milik dirinya yang lain. Freya versi dunia ini seakan-akan dapat membaca setiap gerakannya, membuatnya harus berpikir dua langkah ke depan. Mereka saling menangkis, melompat, dan bertarung di udara, melintasi pecahan-pecahan dimensi yang melayang seperti pulau kecil. Bahkan, Freya versi dunia ini bisa menggandakan diri.
Sementara itu, Raka melindungi tubuh Yara, Neo, juga Zayn yang masih tampak sedikit lemah tak berdaya. Freya versi dunia ini yang telah membelah diri, menghampiri, membawa energi hitam di kedua tangannya. “Kenapa kau selalu di sisinya, Raka? Kau tahu, 'kan, dia adalah versi Freya yang sangat rapuh. Kau bisa memilih versi lain yang lebih kuat, lebih sejati.”
“Aku nggak peduli mana yang paling kuat,” Raka menjawab tegas. “Aku memilih Freya yang peduli. Yang tidak meninggalkan temannya hanya demi kekuasaan.”
Freya versi dunia ini meraung dan menyerang. Bola-bola energi melesat dari tangannya, memaksa Raka untuk bergerak cepat. Bola kristal penyelamat itu nyaris jatuh dari genggamannya.
Pertarungan berlangsung lama. Luka-luka semakin bertambah. Freya mulai kehilangan tenaga, peluh membasahi wajahnya, napasnya pendek-pendek. Di tengah pertarungan, kenangan bermunculan di benaknya. Saat ia dan Raka pertama kali bertemu, saat mereka tertawa bersama, saat mereka mencoba menyelamatkan teman-temannya dari jembatan runtuh, sewaktu pasukan Raja Vergana menyerang dunia nyata.
“Ini bukan tentang aku lagi…” bisik Freya, matanya mulai berkaca-kaca.
Lalu, serangan Freya versi dunia ini menghantam dadanya. Freya jatuh ke tanah pecahan, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ia terbaring, menatap langit dimensi yang berputar-putar. Cahaya bintang seperti lubang hitam di kejauhan.
Raka yang menyaksikan Freya jatuh tak berdaya, seketika saja hatinya nyeri seperti ditusuk-tusuk. Ia berlari menghampiri, sementara Freya versi dunia ini mencoba menghalanginya. Namun kali ini, Raka melawan dengan seluruh keberaniannya. Ia melompat, menendang sosok itu hingga terpental, lalu berlutut di sisi Freya.
“Gunakan... sekarang,” ucap Freya dengan suara parau. “Kalau tidak... dia akan menghancurkan segalanya.”
Raka mengangguk pelan, tangannya gemetar. Hatinya merasa harap-harap cemas seraya mengucapkan sebuah asa. Ia berharap, keputusannya kali ini benar-benar tepat. Raka mengangkat bola kristal itu tinggi-tinggi.
Cahaya biru meledak dari bola kristal. Dimensi pun turut bergetar. Ruang dan waktu memekik. Angin menyapu segalanya seperti tsunami cahaya. Semua yang berada di dalam medan tempur itu terpental.
Freya versi dunia ini berteriak, tubuhnya terserap ke dalam pusaran cahaya. Tubuh kedua Freya yang menggandakan diri dan bertarung dengan Raka tadi pun ikut terseret, menggenggam tangan Freya versi dunia ini dengan putus asa.
Sementara itu, Freya dunia nyata melayang di udara, tubuhnya bercahaya putih keperakan. Luka-lukanya mulai pulih perlahan-lahan. Ingatannya kembali satu-per satu. Memori tentang masa kecilnya, kehangatan keluarganya, tawa bersama teman-temannya, dan suara Raka ..., selalu memenuhi benak dan relung hatinya yang terdalam.
Namun, ketika semuanya kembali tenang, dan cahaya perlahan surut, mereka menyadari sesuatu.
Freya berlutut di samping Raka. “Raka… kau baik-baik saja?”
Raka menunduk. Tangannya bergetar, seperti mencoba menahan sesuatu di dalam dirinya.
“Aku... aku rasa aku baik-baik saja,” jawabnya, tapi suaranya terdengar... berbeda.
Kedua tangan Freya menangkup wajah Raka. Gadis itu menyaksikan, di mata Raka, tampak kilatan merah menyala, meskipun hanya sebentar.
Menyadari sesuatu, Freya terkejut seraya membelalakkan mata. Ia perlahan-lahan mundur. “Tidak… Tidak mungkin…”
Di balik ledakan cahaya itu, jiwa bayangan Freya ternyata tidak sepenuhnya musnah. Ia telah menemukan tubuh baru.
Raka.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan