Aku terbangun karena suara ribut diluar. Jam berapa ini… jam enam? Aku kesiangan. Apa karena udara dingin ya. Aku buru-buru bangun dan masuk kamar mandi. Mengambil wudu dan sholat subuh yang kesiangan. Setelahnya, aku malah asik memandangi luar kamar, lewat jendela. Yang langsung melihat kearah lembah pegunungan ungaran.
TOK. TOK. TOK.
“Non? Sudah bangun?” suara Mbok Jum terdengar. Aku membukakan pintu. “Eh, sarapan, Non. Udah Mbok siapkan Nasi Goreng Teri Hijau kesukaan Non,” tercium aroma nasi goreng yang disebut Mbok Jum. Membuatku menelan ludah.
“Iya, Mbok,” aku berbenah sesaat dan keluar kamar. Banyak orang lalu lalang, pasti orang dekor. Pesta Kakek nanti sore memang pesta kebun, jadi diadakan dihalaman belakang. Pesta kebun, tapi aku melihat ada tratak juga, untuk antisipasi hujan. Aku mendengar suara Kakek di ruang depan. Sedang bicara dengan Pak Yanto.
“Kakek sudah sarapan, Mbok?”
Mbok Jum masih sibuk entah membuat apa, menoleh padaku. “Sudah, Non. Kakek kan bangun langsung makan. Biasanya begitu.”
Itu membuatku lega untuk terus menyendok nasi gorengku. Perpaduan yang maksimal nasi goreng pedas dan teh panas di cuaca dingin begini.
“Dayu,” Kakek terduduk didepanku. “Makan dulu,”
“Kenapa, Kek?” sepertinya ada perintah untukku.
“Nanti siap-siap ya, ikut Kakek ke Semarang,”
“Hah?” tidak biasanya Kakek menyuruh ikut acara bisnisnya. “Ngapain, Kek?”
“Ya, mendampingi Kakek. Kakek mandi dulu,” Kakek kembali masuk kamarnya. Aku masih bingung, tak habis pikir. Aku hanya anak ingusan. Buat apa terlibat dalam bisnis Kakek.
Tapi mau tak mau, aku bergegas mandi, setelah nasiku kandas.
Aku mematut diriku didepan cermin tinggi. Tak ada yang salah dengan pakaianku. Sopan, walau tak pakai blazer. Kakek pun tak pakai Jas. Hanya kemeja biasa.
“Mba Dayu, apa kabar?” sekretaris Kakek, Mba Rara menyalamiku, saat aku bertemu dengannya di ruang tengah. Usianya hampir tiga puluh. Yang kudengar dari Kakek, ia sudah bertunangan. Tahun depan menikah. Kenapa semua sekretaris itu pasti cantik ya? Tak terkecuali Mba Rara. Wajahnya cantik dengan lesung pipi, body aduhai. Ditambah sepatu tujuh sentinya. Membuatnya tinggi semampai. Aku tak punya impian menggunakan itu semua.
“Baik, Mba. Mba Rara gimana?” tanyaku balik.
“Baik kok. Mba Dayu ikut juga kan?”
“Ini disuruh Kakek. Memang kita mau kemana?” aku mengikuti jalan keluar Villa. Kakek sudah menunggu didalam Vellfire-nya dengan ponsel ditelinga.
“Nanti juga tahu,” Mba Rara hanya tersenyum, kemudian masuk kursi depan. Aku duduk disebelah Kakek. Dan menutup pintu.
>.<
Semarang. Banyak kenangan di kota ini. Entah baik dan buruk. Cukup lama aku tak turun ke Semarang. Mungkin sejak kejadian itu. Mungkin itu sudah lima tahun yang lalu, tapi rasanya seperti baru kemarin itu terjadi.
“Dayu,”
“Ya, Kek?” aku menoleh, mencabut pikiran melanturku.
“Kita mau survey proyek baru di daerah Semarang Atas.” Kakek berbicara padaku sembari memainkan IPad nya. Lalu mengangsurkan IPad padaku. Tampak foto-foto tanah kosong.
“Em, proyek apa, Kek?”
“Rumah Sakit, rencananya buat Panti Wreda juga.”
“Proyeknya mulai kapan, Kek?” aku mengembalikan IPad Kakek.
“Bulan depan. Kakek sudah punya kontraktornya. Kita makan bersama setelah ini.” Lalu omongan Kakek melantur kesana kemari soal proyeknya. Aku hanya menanggapi setahuku.
Proyek Kakek memang banyak. Aku pun tak bisa menyebutkannya satu-satu lagi. Tapi banyak yang tak tahu, karena Kakek bergerak sebagai investor. Sedikit banyak aku tahu tips dan triknya Kakek. Mana proyek potensial dan tidak, itu sudah mendarah daging. Hingga tak ada yang dipikir dua kali oleh Kakek.
Mobil berbelok ke Tentrem Hotel. Hotel ini lumayan baru di Semarang. Aku yakin Kakek tahu dengan empunya.
“Pak Handoko, kenapa tidak mengabari?” tiba-tiba saja, seorang pria berjas rapi, maju kearah Kakek dan menyalaminya dengan takdzim, saat kami masuk lobi.
“Ah, saya hanya mampir ini,”
“Ada janji?”
“Iya, di resto dengan rekan bisnis. Oh iya, kenalkan ini cucu saya, Dayu.” Kakek mengapit lenganku. Aku menyalami dengan sopan.
“Halo, Mba Dayu. Saya Rahmad, Vice Manager Tentrem Hotel,” ia tersenyum super ramah padaku. Umurnya sekitar pertengahan empat puluhan. Tapi dandanannya membuat ia jauh lebih muda.
“Halo, Pak. Saya Dayu.”
Basa-basi berlanjut sebentar di tempat duduk lobi, lalu ia pamit pergi. Siang ini kami hanya bertiga. Aku, Kakek dan Mba Rara. Mereka masih membahas proyek saat beberapa orang datang.
Lima laki-laki rata-rata kepala tiga. Merekalah kontraktor untuk Proyek Rumah Sakit tadi. Masih muda, untuk ukuran proyek triliunan. Aku lebih banyak mendengarkan obrolan mereka.
>.<
“Namanya Tanuya Wijaya,”
Aku menoleh pada Mba Rara yang malah mengedip genit. Kami tengah berjalan beriringan ke basement Hotel, setelah selesai lunch. Kakek menunggu di loby, bersama Pak Rahmad.
“Dia kayaknya tertarik sama Mba Dayu,” mukaku pasti pakai ekspresi melongo tak percaya. “Dia beberapa kali melihat intens, tapi Mba Dayu cuek liat yang lain.”
“Aduh, Mba Rara ini, aku bahkan ga tahu yang mana,”
“Yang paling muda, yang berkacamata.” Aku memutar memory ku tentang perkenalan tadi.
“… bisa panggil Tanu atau Uya… “ ya, benar yang ini. Aku melihat cowo berkacamata dengan wajah tirus. Tapi tubuhnya lumayan berisi. Aku hanya manggut kini.
“Sudah ingat yang mana?” Tanya Mba Rara tak sabar.
“Iya, Mba. Sedikit.”
“Gimana menurut Mba Dayu?”
“Harus banget komentar ya, Mba?”
Mba Rara malah tertawa nyaring. “Iya dong, biar seru. Saya jadi tahu apa yang akan saya lakukan kalau dia nanyain Mba Dayu lagi.”
“Lagi?”
“Tadi, waktu saya jalan telat, dia nanya ke saya nomernya Mba Dayu. Saya ga kasih dong. Saya harus jaga privasi. Kecuali Mba Dayu kasih ijin.”
Waw.
“Boleh engga ni, Mba? Dia punya nomer saya, jadi pasti saya yang diteror terus.”
“Buat teman boleh aja, Mba.” Putusku.
“Kalau lebih dari teman?” senyum Mba Rara, membuatku pingin mules.
“Yah itu dipikir lagi.”
“Kenapa, Mba? Mba Dayu sudah dua satu, kan? Ga ada salahnya mulai mengenal cowo. Atau sudah ada yang lain?” ingatanku langsung pada Rony.
Aku menggeleng. “Ga ada yang lain, Mba. Hanya… mungkin belum siap membuka hati.”
“Mulai sekarang disiap-siapin, Mba. Apalagi acara nanti malam.”
Aduh. Acara perkenalan di sponsori Kakek.
>.<