Mba Rara seperti kakak bagiku. Ia dengan senang hati membantuku dandan. Ia melarangku berpenampilan seadanya. Katanya, ini bukan saatnya lagi jadi anak kecil. Harus tampakkan taringnya.
Jujur, aku tak mengenali sosok yang tengah menatapku balik itu. Gaun amethyst itu tampak pas ditubuhnya. Riasannya tak mencolok sekali, kesannya natural, dengan rambut sepunggungnya digerai, hanya diselipkan jepit cantik beraksen kupu-kupu.
“Gimana? Keren kan?” Mba Rara tak kalah cantiknya, dengan dress marun yang membentuk tubuhnya selutut. Penuh kerut dan aksen. Rambutnya disanggul rendah, tapi tetap menawan. Tak salah pilih sekretaris memang Kakek.
“Mba yang keren.” Jawabku. Membuka pintu kamar. Tamu mulai berdatangan selepas maghrib. Kebanyakan memang bertampang tua, dan tampak akrab dengan Kakek. Aku diseret Kakek dan diperkenalkan kemana-mana. Dari yang mereka tahu, aku selama ini dibawa ke Paris oleh Ibuku.
Acaranya memang pakai MC, terkesan teroragnisir. Pun dengan pengamanan polisi. Kalau ini Pak Yanto yang bilang. Tentu aja karena kebanyakan yang datang, bukan sembarangan orang. Tak ada standing party, semua tamu duduk dengan tenang, mendengarkan. Yang kulihat hanya sedikit anak muda yang nampak bersliweran. Aku mengendap mengambil sop bakso ikan yang dijaga Mbok Jum.
“Suka bakso ikan?” rasanya seperti kepergok. Mau tak mau aku berbalik juga. Dan tak kusangka, melihat Tanuya wijaya itu lagi. “Hai,” bibirnya tersenyum lebar. Aku hampir tak mengenalinya, karena dia pakai kemeja batik. Berbeda dengan tadi siang yang memakai jas resmi.
“I, Iya, silakan,” aku bergeser kearah kursi disamping stand. Mbok Jum mulutnya komat kamit, entah mau bilang apa. Tapi melayani permintaan bakso cowo itu. Aku makan dalam diam.
“Boleh duduk sini?” ia menunjuk kursi disampingku. Aku hanya mengangguk. Sopan sekali dia. Ia mulai menyuap baksonya. “Ehm, enak sekali ya,” gumamnya diantara kunyahan. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tak terasa bakso kami habis bersamaan. “Maaf ya, belum memberitahu. Aku Tanuya Wijaya, cucu Ibrahim Hilal.” Ibrahim Hilal? Dari Hilal Grup? Setahuku itu Grup besar yang bergerak dibidang property.
“Ehm, apa kamu juga jadi bagian dari proyek perkenalan Kakek?” tanyaku langsung. Aku tak suka basa-basi.
Ia tersenyum samar. “Mungkin benar. Tiba-tiba saja Kakek Ibrahim menghubungiku tadi sore dan menyuruhku kemari.” Ia menunjuk lelaki tua disamping Kakek, yang tak kalah tuanya dari Kakek.
“Maaf soal itu, aku tak tahu apa maksud Kakek. Ini pun diluar persetujuanku. Aku-“
“Aku tak keberatan.” Sahutnya cepat. Membuatku melongo dibuatnya. “Untuk ajang kenal dulu, bukan?”
Aku setuju dengannya. Dan tak butuh waktu lama bagi kami untuk larut dalam obrolan. Dia cukup komunikatif. Pun nyambung dengan obrolanku tentang bisnis, walau dia lebih memahami bangunan dibandingkan dengan bisnis.
“Wah, sudah kenal ya?” Kakek mendekat dengan wajah sumringah.
“Tadi siang kan sudah ketemu,” sahutku.
“Baguslah. Lanjutkan aja ngobrolnya.” Kakek balik kanan dengan cepat dan kembali berbaur dengan kawan-kawannya.
Aku hampir tersedak, saat mendengar ia bicara, “Apa aku sudah bilang? Kamu cantik sekali malam ini,”
>.<
Sesuai janji Kakek yang hanya mengenalkan beberapa orang padaku. Totalnya lima orang. Termasuk Tanu, tentu saja. Mereka benar anak-anak konglomerat. Hanya sebagai perkenalan. Selanjutnya basa-basi. Aku tak bisa menangkap obrolan mereka. Terlalu tinggi. Aku mundur di stand ronde.
“Mana date-nya?” Mba Rara tiba-tiba aja udah nongol disampingku.
“Date siapa? Noh, pilih salah satu,” aku memajukan dagu kearah gerombolan tadi. Lebih enak makan ronde hangat.
“Lho, malah bikin geng mereka,” muka Mba Rara langsung kaget.
“Enakan makan ronde, Mba.” Kehangatan menjalari tubuhku begitu kusesap kuah wedang ronde nya.
Mba Rara malah menatapku maklum. “Ga papa ya, namanya anak-anak ga pernah kumpul. Jadi kayak reuni mereka.”
“Hahaha, iya, Mba, aku santai saja kok. Mba tau sendiri gimana tanggapanku soal rencana Kakek ini, kan?”
Mba Rara menimpali dengan tawa lepasnya. “Saya penasaran, gimana jodohnya Mba Dayu kelak, semoga saya masih bisa ketemu ya, bikin penasaran aja.”
“Lha kenapa tanya saya, Mba. Saya juga gatau,”
>.<
Pagi-pagi memang paling pas untuk melongo alias bengong. Ditemani secangkir teh panas dan sepiring pisang goreng. Aku merapatkan sweater ku. Kenapa masih dingin sekali disini? Padahal matahari sudah menampakkan diri diufuk timur.
“Non, masih dingin, kenapa diluar? Mbok pikir, Non duduk didalem.” Mbok Jum tergopoh, menyusulku dari arah dapur.
“Mau lihat diluar aja, Mbok.”
Mbok Jum malah ikut duduk dibangku seberangku. “Masih kabut, Non.”
“Iya, Mbok. Begini juga enak.” Aku mencomot pisang goreng yang sudah mulai dingin.
“Yang kemarin itu ganteng ya Non,”
Aku mengernyit. “Ganteng?”
“Iya, yang duduk sama Non itu, dia mesam-mesem gitu kok.” Mbok Jum berkata sok yakin. Maksudnya Tanuya ya? Memang dia sesenyum itu padaku? “Banyak juga yang ganteng sih, Kakek Non memang best buat nyarikan yang terbaik buat Non.”
Bahasa Mbok Jum pun mulai ada kemajuan. Pakai bahasa dicampur begitu sekarang. “Kakek pun punya banyak syarat, Mbok. Jadi tenang aja.”
“Jadi yang kemarin itu, lulus syarat Kakek semua?” mata Mbok Jum sampai membola mengatakannya.
Aku mengangguk, “Kurang lebih begitu, Mbok.”
“Pantes ya, seolah Non yang disuruh milih,” Mbok Jum terkikih.
“Kenapa sih Mbok? Jangan mikir yang bukan-bukan dulu ya, aku masih belum kepikiran menikah,”
“Lho, Mbok kan bilang begitu. Tapi kan tetap saja itu akhirnya, Non. Mau Non di Jerman atau Prancis pun, pasti akhirnya menikah juga dengan yang dicinta. Waduh, asik ya Non cinta-cintaan. Kangen Mbok jadinya.”
“Yauda, cinta-cintaan aja, Mbok.”
“Kangen suami Mbok deh,” Mbok Jum malah ngeluyur pergi.
Benar yang dikatakan Mbok, akhirnya muaranya disana. Tak bisa dipungkiri. Tapi entah siapa jodohku. Masih misteri.