Aku duduk di balkon rumah sore itu, menatap langit yang pelan-pelan berubah warna dari biru muda menjadi oranye pucat. Secangkir teh hangat di tangan, dan tak ada suara selain angin yang meniup pelan, membuat daun-daun pepohonan bergesekan seperti bisik-bisik pelan semesta yang ingin menenangkanku. Selama ini, aku berpikir aku harus kuat. Bahwa satu-satunya cara untuk bertahan dalam hidup ini adalah menjadi tangguh, tidak pernah menangis, selalu tersenyum walau hati remuk. Aku jadi orang yang paling jago bilang, “Gak papa kok,” meski di dalam dada sebenarnya penuh suara tangis yang kutelan sendiri.
Aku mengira kejujuran tentang kelemahan adalah bentuk dari kegagalan. Bahwa jika aku terlihat rapuh, maka aku akan dianggap tak mampu, remeh, atau tidak berguna. Maka dari itu, aku membangun dinding—tebal, tinggi, dan keras—agar tak ada yang tahu bahwa di balik senyum dan cerita lucuku, ada lelah yang diam-diam tinggal lama.
Tapi sekarang, aku belajar sesuatu yang jauh lebih penting dari menjadi kuat: menjadi jujur.
Bukan jujur kepada orang lain saja, tapi terutama jujur pada diri sendiri.
Bahwa aku capek, iya. Bahwa kadang aku gak bisa mikir jernih. Bahwa aku merasa sendirian di keramaian. Bahwa aku cemburu melihat orang lain tampak lebih berhasil. Bahwa aku kecewa karena harapan tidak sesuai kenyataan. Dan bahwa aku, manusia biasa, bisa marah, bisa takut, bisa hancur, bisa jatuh. Aku pernah pura-pura bahagia agar tidak merepotkan orang lain. Aku menahan tangis agar tidak terlihat cengeng. Aku bilang “aku bisa” padahal ingin bilang “tolong, bantu aku.” Dan semua itu, jujur, membuat aku semakin jauh dari diriku sendiri.
Sampai satu hari aku sadar… bahwa ketulusan untuk mengakui rasa lelah itu bukan kelemahan. Itu keberanian.
Keberanian untuk mengakui kalau aku butuh istirahat.
Keberanian untuk bilang kalau aku gak sanggup hari ini, dan itu gak apa-apa.
Keberanian untuk berkata “aku gak baik-baik aja” tanpa merasa bersalah.
Dan keberanian untuk memeluk diri sendiri di hari-hari ketika tidak ada yang lain bisa melakukannya.
Lucunya, saat aku mulai jujur, bebanku jadi lebih ringan. Aku nggak harus menghafal kebohongan mana yang sudah kubuat kemarin. Aku tidak harus berpura-pura tertawa saat sebenarnya ingin diam saja. Dan aku mulai menemukan satu hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya: ketenangan. Karena ternyata, aku gak perlu menyenangkan semua orang. Aku hanya perlu berdamai dengan diriku sendiri. Tentu, hidup tidak langsung jadi mudah. Aku tetap harus bayar tagihan, tetap harus bangun pagi meski ngantuk, tetap harus jawab chat dari grup keluarga yang isinya cuma stiker dan pesan berantai. Tapi kali ini, aku menjalaninya dengan penerimaan, bukan paksaan.
Aku juga tidak selalu bahagia, tapi aku tahu caranya menangis dengan jujur tanpa menganggap itu hal yang memalukan. Aku tidak harus selalu benar, tapi aku mau belajar jadi lebih bijak. Aku tidak harus selalu produktif, tapi aku belajar menghargai hal-hal kecil seperti menghirup napas panjang dan membuat sarapan untuk diri sendiri. Aku tidak harus kuat, karena hidup ini bukan lomba adu tegar. Aku hanya perlu jujur, dan itu cukup. Kini, aku tidak lagi memaksakan definisi “kuat” seperti dulu. Buatku, kuat itu bukan selalu bisa menahan beban, tapi bisa minta tolong saat pundak sudah tak sanggup lagi. Kuat itu bukan tentang tak pernah jatuh, tapi punya keberanian untuk bangkit pelan-pelan meski lutut masih gemetar.
Dan kuat itu… bukan tentang menghilangkan air mata, tapi tahu kapan harus membiarkannya jatuh agar hati bisa kembali lega. Di penghujung hari, aku ingin memeluk diriku sendiri—yang telah bertahan, yang telah belajar, yang kini lebih jujur. Kalau kamu juga merasa lelah, tidak apa-apa. Kamu tidak harus kuat setiap hari. Kamu hanya perlu jadi dirimu sendiri. Jujur. Tulus. Seperti langit yang bisa mendung, tapi tetap indah. Seperti hujan yang datang tiba-tiba, tapi selalu membawa wangi tanah yang menenangkan. Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang menjadi sempurna. Hidup adalah tentang menjadi manusia—yang kadang kuat, kadang rapuh, tapi selalu punya alasan untuk melanjutkan langkah, walau pelan.
Dan untuk itu, aku ucapkan satu kalimat yang mungkin kamu butuh dengar hari ini:
Terima kasih sudah bertahan. Terima kasih karena masih di sini.