Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Ada satu masa dalam hidupku ketika aku lebih nyaman berada di luar rumah daripada di dalam diriku sendiri. Anehnya, orang bilang rumah itu tempat kembali, tapi bagaimana kalau justru yang membuat kita lelah adalah tempat itu sendiri—bukan gedungnya, bukan temboknya, tapi tubuh dan isi kepala yang kita bawa ke mana-mana?

Setiap malam, aku pulang ke tubuhku. Ke pikiran yang bising, ke hati yang nyaris tak punya ruang, ke dada yang penuh sesak oleh rasa bersalah yang lama tak kunjung reda. Aku jadi seperti rumah tua di ujung jalan—didiami, tapi tak pernah dirawat. Ramai oleh suara-suara, tapi sunyi oleh cinta. Lalu, pelan-pelan aku belajar. Bukan dari buku motivasi atau video-video semangat dengan musik latar yang dramatis. Tapi dari kesendirian, dari pagi-pagi ketika aku sadar aku masih bernapas, dan dari malam-malam ketika satu-satunya pencapaianku adalah bisa tidur meski air mata belum sempat kering.

Hari itu, aku duduk di depan cermin. Bukan untuk dandan atau mencoba skincare baru, tapi cuma ingin melihat diriku. Beneran lihat. Bukan cuma wajahnya, tapi orang yang ada di balik itu semua. Dan jujur saja, aku merasa kasihan. Pada orang yang kulihat di cermin. Dia tampak lelah. Tapi yang paling menyakitkan, dia tampak tidak yakin apakah pantas dicintai. Aku lalu mulai bicara. Aneh memang, ngomong sendiri. Tapi siapa lagi yang bisa aku ajak bicara saat semua orang sedang sibuk dengan masalahnya? Aku bilang ke bayangan di cermin, “Maaf ya. Selama ini aku terlalu jahat sama kamu. Terlalu cerewet, terlalu banyak nuntut. Padahal kamu sudah berusaha keras untuk bertahan.”

Dan air mataku jatuh tanpa izin. Itu mungkin pertama kalinya aku minta maaf pada diriku sendiri. Bukan karena merasa bersalah pada dunia, tapi karena sadar aku telah gagal jadi rumah yang baik bagi tubuh dan jiwaku sendiri. Lalu aku mulai merawat sedikit demi sedikit.

Sarapan pagi, walau cuma roti dan teh. Jalan kaki pelan-pelan sambil dengar lagu yang ringan. Nonton ulang kartun masa kecil, ketawa sendiri meski sudah tahu punchline-nya. Aku menyapu kamarku, dan pelan-pelan mulai menyapu pikiranku juga. Membersihkan perasaan-perasaan basi yang seharusnya sudah lama dibuang. Aku mulai menulis. Bukan untuk dibaca siapa-siapa, tapi untuk mencatat bahwa aku hidup. Hari ini makan bakso, enak. Kemarin nangis karena nonton video kucing. Besok mungkin sedih lagi, tapi itu nggak masalah. Karena rumah itu nggak harus selalu rapi. Kadang ada piring kotor di meja makan. Kadang ada jemuran yang belum diangkat. Tapi selama rumah itu punya cahaya dan kehangatan, tempat itu masih layak disebut “rumah”.

Begitu juga aku.

Aku nggak selalu kuat. Nggak selalu baik. Kadang overthinking sampai susah tidur. Kadang marah sama diri sendiri karena nggak bisa produktif seperti orang lain. Tapi aku tetap berharga. Dan hari itu, aku membuat keputusan penting: aku tidak akan lagi membandingkan diriku dengan rumah orang lain. Karena bisa jadi, rumah mereka kelihatan mewah dari luar, tapi dingin di dalam. Atau mungkin, rumah itu baru saja dibersihkan karena ada tamu, bukan karena memang nyaman ditinggali.

Aku ingin jadi rumah yang nyaman untuk aku tinggali setiap hari. Yang jendelanya terbuka pada pagi hari dan mengizinkan cahaya masuk. Yang punya sudut untuk bersedih, tapi juga ruang untuk tertawa. Yang dindingnya bisa merekam suara tawa dan tangis, tanpa saling menghakimi. Seseorang pernah bilang ke aku, “Kamu terlalu baik ke orang lain, sampai lupa jadi baik ke diri sendiri.” Dan itu benar. Aku terlalu takut bikin orang kecewa. Terlalu sibuk jadi sandaran buat orang lain, sampai lupa berdiri buat diriku sendiri.

Sekarang, aku belajar berdiri pelan-pelan. Kadang masih goyah. Tapi aku sudah tahu cara menenangkan diri. Bukan dengan memaksa bahagia, tapi dengan mengizinkan diri untuk tidak baik-baik saja—tanpa merasa gagal.  Ada malam-malam ketika aku tetap menangis, tapi sudah bisa bilang, “Nggak apa-apa, ini cuma malam yang sulit. Bukan hidup yang salah.” Dan ada pagi-pagi ketika aku senyum ke cermin, walau hanya sepersekian detik. Tapi itu cukup untuk jadi awal yang baik. Aku mulai memahami satu hal penting: mencintai diri sendiri bukan soal bunga dan self-care ala media sosial. Tapi soal keberanian untuk tetap tinggal, bahkan saat diri sendiri ingin kabur.

Karena aku tahu, ke mana pun aku pergi, aku akan tetap tinggal di tubuh ini. Di pikiran ini. Di hati ini. Jadi lebih baik aku menciptakan rumah yang nyaman, bukan penjara yang menyiksa. Rumah itu bukan tempat yang sempurna. Tapi tempat di mana kamu bisa jadi dirimu sendiri tanpa takut dihakimi. Dan sekarang, aku sedang membangun rumah itu dalam diriku.

Pelan-pelan, aku belajar menjadi tempat pulang yang hangat. Untuk diriku sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kapan Pulang, Dean?
535      398     0     
Short Story
Tanpa sadar, kamu menyakiti orang yang menunggumu. Pulanglah...
Lost In Auto
1506      597     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Yu & Way
136      110     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Manusia Air Mata
979      596     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
166      137     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Our Perfect Times
916      652     7     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Believe
878      541     5     
Short Story
\"To be a superhero isn’t shallow-mindedly about possessing supernatural abilities; it’s about the wisdom one shares and the lives of other people one ameliorates.\" -TinLit
Gelandang Merah
469      312     2     
Short Story
Ketika negeri ini diperjudikan oleh para tikus negara. Lihatlah kami... Gelandang merah, meminta belas kasih tak kenal lelah. Kami ingin dibina, bukan dibinasakan.
CELOTEH KUTU KATA
37437      5930     16     
Fantasy
Kita adalah sekumpulan kutu yang banyak menghabiskan kata tanpa peduli ada atau tidaknya makna. Sebagai kutu kadang kita lupa bahwa hidup bukan sekedar berkata-kata, tapi lebih dari itu, kita harus berkarya. Berkaryalah walau hanya sepatah kata sebelum jiwa dan ragamu jadi mangsa kutu penghuni tanah.