Ada satu masa dalam hidupku ketika aku lebih nyaman berada di luar rumah daripada di dalam diriku sendiri. Anehnya, orang bilang rumah itu tempat kembali, tapi bagaimana kalau justru yang membuat kita lelah adalah tempat itu sendiri—bukan gedungnya, bukan temboknya, tapi tubuh dan isi kepala yang kita bawa ke mana-mana?
Setiap malam, aku pulang ke tubuhku. Ke pikiran yang bising, ke hati yang nyaris tak punya ruang, ke dada yang penuh sesak oleh rasa bersalah yang lama tak kunjung reda. Aku jadi seperti rumah tua di ujung jalan—didiami, tapi tak pernah dirawat. Ramai oleh suara-suara, tapi sunyi oleh cinta. Lalu, pelan-pelan aku belajar. Bukan dari buku motivasi atau video-video semangat dengan musik latar yang dramatis. Tapi dari kesendirian, dari pagi-pagi ketika aku sadar aku masih bernapas, dan dari malam-malam ketika satu-satunya pencapaianku adalah bisa tidur meski air mata belum sempat kering.
Hari itu, aku duduk di depan cermin. Bukan untuk dandan atau mencoba skincare baru, tapi cuma ingin melihat diriku. Beneran lihat. Bukan cuma wajahnya, tapi orang yang ada di balik itu semua. Dan jujur saja, aku merasa kasihan. Pada orang yang kulihat di cermin. Dia tampak lelah. Tapi yang paling menyakitkan, dia tampak tidak yakin apakah pantas dicintai. Aku lalu mulai bicara. Aneh memang, ngomong sendiri. Tapi siapa lagi yang bisa aku ajak bicara saat semua orang sedang sibuk dengan masalahnya? Aku bilang ke bayangan di cermin, “Maaf ya. Selama ini aku terlalu jahat sama kamu. Terlalu cerewet, terlalu banyak nuntut. Padahal kamu sudah berusaha keras untuk bertahan.”
Dan air mataku jatuh tanpa izin. Itu mungkin pertama kalinya aku minta maaf pada diriku sendiri. Bukan karena merasa bersalah pada dunia, tapi karena sadar aku telah gagal jadi rumah yang baik bagi tubuh dan jiwaku sendiri. Lalu aku mulai merawat sedikit demi sedikit.
Sarapan pagi, walau cuma roti dan teh. Jalan kaki pelan-pelan sambil dengar lagu yang ringan. Nonton ulang kartun masa kecil, ketawa sendiri meski sudah tahu punchline-nya. Aku menyapu kamarku, dan pelan-pelan mulai menyapu pikiranku juga. Membersihkan perasaan-perasaan basi yang seharusnya sudah lama dibuang. Aku mulai menulis. Bukan untuk dibaca siapa-siapa, tapi untuk mencatat bahwa aku hidup. Hari ini makan bakso, enak. Kemarin nangis karena nonton video kucing. Besok mungkin sedih lagi, tapi itu nggak masalah. Karena rumah itu nggak harus selalu rapi. Kadang ada piring kotor di meja makan. Kadang ada jemuran yang belum diangkat. Tapi selama rumah itu punya cahaya dan kehangatan, tempat itu masih layak disebut “rumah”.
Begitu juga aku.
Aku nggak selalu kuat. Nggak selalu baik. Kadang overthinking sampai susah tidur. Kadang marah sama diri sendiri karena nggak bisa produktif seperti orang lain. Tapi aku tetap berharga. Dan hari itu, aku membuat keputusan penting: aku tidak akan lagi membandingkan diriku dengan rumah orang lain. Karena bisa jadi, rumah mereka kelihatan mewah dari luar, tapi dingin di dalam. Atau mungkin, rumah itu baru saja dibersihkan karena ada tamu, bukan karena memang nyaman ditinggali.
Aku ingin jadi rumah yang nyaman untuk aku tinggali setiap hari. Yang jendelanya terbuka pada pagi hari dan mengizinkan cahaya masuk. Yang punya sudut untuk bersedih, tapi juga ruang untuk tertawa. Yang dindingnya bisa merekam suara tawa dan tangis, tanpa saling menghakimi. Seseorang pernah bilang ke aku, “Kamu terlalu baik ke orang lain, sampai lupa jadi baik ke diri sendiri.” Dan itu benar. Aku terlalu takut bikin orang kecewa. Terlalu sibuk jadi sandaran buat orang lain, sampai lupa berdiri buat diriku sendiri.
Sekarang, aku belajar berdiri pelan-pelan. Kadang masih goyah. Tapi aku sudah tahu cara menenangkan diri. Bukan dengan memaksa bahagia, tapi dengan mengizinkan diri untuk tidak baik-baik saja—tanpa merasa gagal. Ada malam-malam ketika aku tetap menangis, tapi sudah bisa bilang, “Nggak apa-apa, ini cuma malam yang sulit. Bukan hidup yang salah.” Dan ada pagi-pagi ketika aku senyum ke cermin, walau hanya sepersekian detik. Tapi itu cukup untuk jadi awal yang baik. Aku mulai memahami satu hal penting: mencintai diri sendiri bukan soal bunga dan self-care ala media sosial. Tapi soal keberanian untuk tetap tinggal, bahkan saat diri sendiri ingin kabur.
Karena aku tahu, ke mana pun aku pergi, aku akan tetap tinggal di tubuh ini. Di pikiran ini. Di hati ini. Jadi lebih baik aku menciptakan rumah yang nyaman, bukan penjara yang menyiksa. Rumah itu bukan tempat yang sempurna. Tapi tempat di mana kamu bisa jadi dirimu sendiri tanpa takut dihakimi. Dan sekarang, aku sedang membangun rumah itu dalam diriku.
Pelan-pelan, aku belajar menjadi tempat pulang yang hangat. Untuk diriku sendiri.