Ada satu masa dalam hidupku ketika bercermin adalah kegiatan yang kulakukan dengan napas ditahan dan mata yang nyaris tak berani terbuka. Bukan karena aku takut ada hantu di belakangku seperti dalam film horor, tapi karena aku takut... pada diriku sendiri. Takut menatap mataku yang tampak lelah. Takut melihat wajah yang rasanya asing. Dan lebih dari itu, takut mengakui bahwa aku belum benar-benar menyukai diriku sendiri. Aku ingat dulu, ketika seorang teman berkata, “Coba deh, cintai diri sendiri dulu sebelum kamu berharap orang lain mencintaimu.”
Aku tersenyum waktu itu. Senyum sopan yang sering kupakai untuk menyembunyikan kebingungan. Aku mengangguk seolah paham, padahal di dalam hati, aku bertanya-tanya, “Gimana caranya mencintai diri sendiri? Apa aku harus traktir diri sendiri es krim? Atau beliin hadiah terus bilang: ini dari aku buat aku?”
Lucu, ya?
Tapi memang sesulit itu. Karena mencintai diri sendiri bukan tentang selfie sambil pakai caption “self love”, atau bilang “I’m enough” padahal malamnya menangis sesenggukan karena komentar orang lain di media sosial.
Mencintai diri sendiri itu kadang… sesederhana memaafkan diri yang lupa mandi dua hari karena terlalu lelah. Kadang itu tentang tidak memaksa diri terus produktif saat kepala sudah penuh. Kadang itu juga soal memutuskan untuk tidur siang tanpa rasa bersalah. Namun, aku belajar bahwa mencintai diri sendiri itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan instan. Tidak ada tombol ‘on’ yang bisa ditekan untuk tiba-tiba merasa puas, bahagia, dan penuh cinta pada diri sendiri. Itu proses—dan prosesnya bisa berantakan. Bisa naik-turun. Bisa dua langkah maju, tiga langkah mundur. Tapi tak apa.
Aku mulai dari hal-hal kecil.
Pertama, aku belajar menerima bahwa aku bukan versi sempurna dari ekspektasi siapa pun. Aku nggak secantik aktris drama Korea. Nggak seproduktif akun-akun motivasi yang posting jam 4 pagi sambil olahraga dan baca buku. Dan aku juga bukan orang yang selalu sabar. Kadang aku jutek, kadang malas, kadang insecure luar biasa. Tapi bukankah itu manusia?
Kedua, aku belajar memaafkan diriku untuk hal-hal yang dulu membuatku malu. Seperti saat aku gagal presentasi dan suara gemetaran di depan kelas. Atau saat aku terlalu takut mengungkapkan perasaan, sehingga kehilangan kesempatan. Aku peluk semua rasa malu itu, lalu berkata dalam hati, “Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.”
Ketiga, aku mulai merawat diriku. Bukan cuma fisik, tapi juga batin. Aku berhenti memaksa diri untuk ikut semua tren agar merasa ‘cukup keren’. Aku mulai lebih banyak mendengarkan isi kepalaku sendiri ketimbang omongan orang lain. Aku mulai rutin menulis jurnal, menumpahkan semua keresahan tanpa takut dihakimi. Dan anehnya, setiap tulisan itu membuat hatiku terasa lebih ringan.
Keempat, aku belajar memberi ruang untuk gagal—tanpa mengutuk diriku sendiri. Karena ternyata, orang yang paling keras pada diriku adalah… aku sendiri. Aku sering mengkritik terlalu tajam, menyalahkan terlalu lama. Tapi sekarang, aku ingin jadi teman baik untuk diriku. Aku ingin bersikap lembut, seperti aku bersikap pada sahabat yang sedang sedih. Karena aku juga berhak menerima kasih sayang yang sama.
Ada satu momen yang membuatku tersadar betapa pentingnya mencintai diri sendiri.
Waktu itu, aku duduk sendirian di taman kota, memandangi anak-anak yang berlarian. Mereka tertawa, jatuh, bangkit lagi, lalu tertawa lagi. Tidak ada yang merasa harus sempurna. Tidak ada yang takut terlihat konyol. Mereka hanya... menikmati. Dan aku iri pada mereka.
Lalu aku berpikir, “Kapan terakhir kali aku benar-benar menikmati hidup tanpa merasa harus jadi hebat?”
Pertanyaan itu menamparku.
Sejak kapan aku mulai merasa bahwa kebahagiaan harus ditunda sampai aku berhasil ini-itu? Sejak kapan aku merasa bahwa diriku baru layak dicintai kalau sudah menjadi versi ‘terbaik’?
Hari itu aku menulis di jurnal: “Aku janji, mulai hari ini aku tidak akan menunggu diriku jadi sempurna untuk mulai menyayangi diriku.”
Itulah titik baliknya. Mencintai diri sendiri, ternyata, tidak harus dengan cara yang rumit. Kadang itu hanya tentang berkata, “Aku capek” tanpa merasa bersalah. Atau membiarkan diriku menangis tanpa bilang, “Kamu harus kuat.” Kadang itu juga soal menertawakan diri sendiri tanpa merasa hina. Seperti saat aku jatuh di minimarket karena kepleset sandal. Alih-alih malu dan menyalahkan diri, aku malah tertawa dan bilang ke kasir, “Ya ampun, saya kejebak sinetron, Kak.” Lucu sih, tapi jujur, momen-momen itu membangun kembali keintimanku dengan diri sendiri. Aku mulai merasa nyaman jadi diriku sendiri, tanpa topeng, tanpa pencitraan. Dan dari sanalah aku tahu, bahwa mencintai diri sendiri juga soal mengizinkan diri untuk berkembang pelan-pelan. Tidak tergesa-gesa. Tidak membandingkan diri dengan orang lain. Karena setiap orang punya jam tumbuhnya masing-masing. Kalau ada teman yang sudah bisa berdamai dengan masa lalunya, dan aku belum, itu bukan berarti aku tertinggal. Itu cuma berarti waktuku berbeda. Dan itu tidak apa-apa. Pelajaran paling penting dari perjalanan mencintai diri sendiri ini adalah: aku bukan musuhku. Aku bukan beban. Aku bukan kegagalan yang harus disembunyikan. Aku adalah rumah bagi perasaanku, tempat aman bagi pikiranku, dan sahabat bagi diriku sendiri.
Hari ini, ketika aku kembali bercermin, aku masih melihat mata yang kadang lelah. Tapi aku juga melihat senyum kecil yang perlahan tumbuh. Bukan karena hidupku sudah sempurna. Tapi karena aku mulai mengizinkan diriku untuk cukup—apa adanya.
Dan itu… rasanya luar biasa.