Ada satu hal yang kupelajari dari perjalanan panjang ini: harapan itu bukan tentang semangat yang membara dan bersinar terang, tapi seringkali tentang nyala kecil yang tetap bertahan di tengah angin. Tidak besar, tidak menggelegar, tapi cukup untuk menuntunku keluar dari kegelapan. Dulu, aku pikir harapan harus sekuat kilat. Harus datang dengan dramatis dan mengguncang hidupku seperti dalam film-film. Ternyata, harapan datang dengan cara yang sangat sederhana—dalam bentuk senyuman kecil dari teman lama, dalam bentuk secangkir teh hangat yang kubuat untuk diriku sendiri, dalam bentuk notifikasi kecil dari aplikasi yang bilang, “Kamu sudah cukup hari ini.” Sore itu, aku duduk di teras rumah dengan hoodie kumal dan celana pendek bolong di lutut. Burung-burung lewat dengan gaya hidup bebas, dan aku menatap mereka sambil berkata dalam hati, “Enak banget jadi burung.”
Lalu tiba-tiba, hape-ku bunyi. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang lama tak kukenal. Namanya Rani, teman lama sejak SMA. Ia menulis, “Aku nemu foto kita waktu OSPEK. Kamu masih ingat nggak kita pernah dihukum bareng karena ketawa pas disuruh serius?”
Aku ketawa pelan. Ingatanku langsung mundur ke masa itu. Kami dihukum push-up sambil menahan tawa, karena yang menghukum suaranya cempreng tapi mencoba galak. Setelah itu kami jadi dekat, lalu menjauh tanpa alasan yang jelas. Seperti banyak hal lain dalam hidup ini. Tapi pesannya itu... entah kenapa seperti menyentuh sesuatu di dalam diriku. Kayak membuka kotak kecil yang selama ini kusimpan rapi: kotak berisi kenangan baik, tawa ringan, dan rasa bahwa aku pernah punya kehidupan yang hangat.
Rani bukan penyelamat. Tapi pesan darinya malam itu menyalakan sesuatu. Malam-malam setelahnya, kami mulai bertukar kabar lagi. Dia cerita soal pekerjaannya yang bikin stres, aku cerita soal diri yang lagi nggak tahu mau jadi apa. Kami tidak sok bijak. Tidak saling menasihati. Cuma saling mendengar dan sesekali menertawakan hal-hal receh seperti meme kucing jatuh dari meja. Dari obrolan itu aku sadar, ternyata aku nggak sendirian. Banyak orang yang juga sedang belajar hidup pelan-pelan. Belajar berdamai dengan kecewa, belajar merajut ulang harapan yang pernah patah.
Waktu itu aku pernah bilang ke diriku sendiri, “Udah, nggak usah berharap. Nanti sakit lagi.” Dan kurasa banyak orang juga pernah mengucapkan kalimat itu di dalam hati mereka. Tapi ternyata bukan harapannya yang menyakitkan. Yang menyakitkan adalah ekspektasi terlalu tinggi tanpa ruang untuk kecewa. Jadi, aku mencoba hal baru. Aku mulai berharap kecil-kecilan. Bukan berharap jadi kaya besok. Tapi berharap aku bisa bangun pagi tanpa panik. Bukan berharap semua orang mengerti aku, tapi cukup berharap ada satu orang yang mau duduk di sampingku, diam-diam, tanpa menghakimi.
---
Ada satu malam ketika aku merasa... tenang. Bukan karena masalahku selesai, tapi karena aku menerima bahwa masalah itu memang bagian dari hidupku. Aku duduk di kamar dengan lampu temaram, memeluk bantal sambil mendengar lagu lama dari Sheila on 7. Lagu itu berjudul "Dan."
Ya ampun. Lagu itu membuatku ingin ngeteh sambil menangis. Tapi kali ini bukan tangis putus asa, melainkan tangis... lega. Lega karena aku masih hidup. Masih di sini. Masih bisa bernapas, walau dengan napas pendek-pendek. Masih bisa merasa, meskipun kadang rasanya campur aduk seperti salad buah yang nggak pakai mayones.
---
Suatu pagi, aku memberanikan diri jogging ke taman. Aku ingin lihat dunia yang berjalan tanpa menungguku kuat. Dan ternyata... dunia memang begitu. Anak-anak berlari, ibu-ibu senam Zumba dengan semangat membara (meski jelas nadanya offbeat). Ada bapak-bapak main catur pakai batu sebagai bidak. Semua orang hidup di dunianya sendiri. Dan aku? Aku di antara mereka. Bukan sebagai tokoh utama. Tapi cukup sebagai tokoh pendukung yang senyum pelan saat melihat daun jatuh dengan elegan dari pohon. Aku pulang dari taman itu dengan rasa baru. Rasa syukur. Bahwa hidup ternyata tetap berjalan, meski aku pernah tertinggal. Dan itu tidak apa-apa.
---
Salah satu hal paling indah yang akhirnya aku sadari adalah ini: kita bisa memulai lagi. Sekecil apa pun langkahnya, setiap hari adalah kesempatan baru. Bukan untuk menjadi orang hebat. Tapi cukup untuk menjadi orang yang bertahan. Dan dari sana, pelan-pelan, harapan mulai tumbuh. Kadang aku merasakannya saat mencium aroma roti panggang di pagi hari. Kadang saat melihat sinar matahari menyelinap melalui tirai kamar. Kadang dari tawa konyol teman yang tiba-tiba menelpon hanya untuk bilang, “Gue baru sadar lo tuh kayak karakter kartun. Unik banget, tapi sering sedih.”
Lucu ya, bagaimana hidup bisa jadi indah kalau kita mau berhenti menuntut semuanya sempurna.
---
Beberapa minggu lalu, aku menuliskan satu kalimat di jurnal kecilku:
"Aku ingin menjadi rumah untuk diriku sendiri. Rumah yang boleh berantakan, tapi selalu hangat dan penuh penerimaan."
Dan dari situ, aku mulai memahami makna harapan. Harapan bukan soal mengubah dunia, tapi soal membuat dunia kita sendiri sedikit lebih nyaman. Sedikit lebih terang. Sedikit lebih penuh cinta, meski hanya dari diri kita sendiri.
Pesan moral :
Kalau kamu sedang kehilangan harapan, jangan buru-buru mencarinya di tempat jauh. Kadang, harapan itu cuma butuh ruang untuk bernapas. Jangan paksa dia bersinar terang. Biarkan dia jadi nyala kecil yang setia menuntunmu, selangkah demi selangkah. Dan kalau kamu lelah berharap, itu bukan kegagalan. Itu tanda bahwa kamu manusia. Kamu boleh istirahat. Boleh menyerah sebentar. Tapi jangan padam. Karena bahkan dalam kegelapan pun, ada cahaya kecil yang tetap menyala. Dan kadang, cahaya itu adalah kamu sendiri.
Kamu tidak harus kuat setiap hari. Tapi kamu boleh percaya, bahwa harapan itu nyata. Dan ia akan pulih, perlahan. Bersamamu.