Aku pernah gagal.
Sering, malah.
Kadang karena salah langkah. Kadang karena sok tahu. Kadang karena… ya, karena hidup memang kadang suka nggak masuk akal. Yang paling lucu, aku pernah gagal ikut lomba masak antar RT gara-gara nyampurin garam sama gula—karena waktu itu aku lagi galau. Beneran. Lagi mikir gebetan yang tiba-tiba nge-ghosting. Gara-gara itu, ikan gorengku rasanya kayak snack Thailand: manis, asin, dan penuh air mata.
Tapi, dari semua kegagalan yang pernah aku alami, yang paling sulit itu... bukan soal “gagal”-nya. Tapi bagaimana aku menerima bahwa aku boleh gagal—dan hidup akan tetap berjalan. Karena di dunia yang terus-menerus memuja kesuksesan, seolah-olah gagal itu dosa besar. Kita dilatih dari kecil untuk takut salah. Dapat nilai 70 saja seperti habis bikin malu keluarga besar. Apalagi kalau sampai tidak diterima kerja, putus cinta, atau bangkrut. Rasanya kayak ditampar dunia pakai sepatu lars.
Aku pernah merasa hancur karena gagal.
Gagal lulus seleksi beasiswa yang sudah aku perjuangkan satu tahun penuh. Saat itu, aku pikir, itu satu-satunya cara agar hidupku berubah. Aku sudah ngebayangin akan kuliah di luar negeri, belajar di kafe yang cozy, upload story sambil ngetik caption bijak pakai emoji bendera negara tujuan. Tapi kenyataannya… email penolakan datang, dan aku bengong. Lama. Nggak nangis, cuma… hampa. Kayak habis lari jauh tapi ujung-ujungnya disuruh balik ke garis start. Yang lebih menyakitkan, teman sebelahku—yang katanya iseng daftar—justru lolos. Aku sempat diam selama dua minggu. Menyendiri, nggak mau angkat telepon, dan nonton ulang serial Korea yang ending-nya juga gagal bahagia. Bahkan mie instan favoritku nggak bisa bikin aku senyum lagi.
Tapi dari sana aku belajar satu hal:
Kegagalan itu bukan akhir, tapi tanda koma. Dia cuma jeda, bukan titik. Dan aku... boleh gagal.
Nggak semua orang punya garis hidup lurus. Kadang jalan kita berliku, naik turun, atau bahkan harus muter balik. Tapi bukan berarti kita nggak sampai. Kita hanya lewat jalur yang beda. Dan itu nggak apa-apa. Satu malam, aku duduk sendirian di teras. Hujan turun pelan-pelan, dan aku menatap langit yang kelabu. Lalu, tanpa direncanakan, aku nulis di jurnal kecilku:
“Hari ini aku gagal. Tapi aku masih hidup. Masih bernapas. Masih bisa nulis. Masih bisa ngeluh ke Tuhan tanpa dipungut biaya. Dan kalau hari ini nggak baik, mungkin besok bisa lebih baik. Kalau nggak bisa hebat, ya udah. Yang penting masih utuh. Aku boleh gagal. Aku manusia.”
Sejak itu, aku mulai berdamai dengan kegagalan. Aku mulai menyadari bahwa gagal nggak bikin aku buruk. Gagal nggak bikin aku kehilangan nilai sebagai manusia. Dan lucunya, saat aku berhenti membenci diriku karena gagal, aku justru menemukan versi diriku yang lebih kuat dan lebih jujur. Aku mulai lihat kegagalan dari sisi yang berbeda.
Gagal itu kayak jatuh di tengah lari pagi—malu, iya. Tapi siapa sih yang nggak pernah jatuh? Yang penting, bangkit lagi. Dan kalau perlu, kita bisa jalan pelan-pelan dulu sambil minum teh manis di warung sebelah.
Aku juga belajar tertawa dari kegagalan. Bayangkan, dulu aku pernah salah kirim CV untuk lamaran kerja—yang seharusnya untuk perusahaan media, malah kukirim ke toko material. Nggak tahu kenapa bisa nyasar. Dan yang lebih lucu, mereka bales, “Kami tidak membutuhkan editor, tapi kalau Anda bisa ngangkat semen, silakan datang.”
Aku ketawa seharian.
Dan itu bikin hari itu terasa lebih ringan.
Dari kegagalan juga, aku belajar menurunkan ekspektasi. Bukan berarti menyerah, tapi belajar realistis. Kalau targetku 100 dan hasilnya cuma 60, aku nggak akan langsung merasa gagal total. Mungkin itu cuma latihan. Proses. Jalan menuju 100—yang nanti akan datang di waktu yang lebih tepat. Karena hidup ini bukan tentang siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling tahan dan paling sabar. Dan kegagalan, justru memperkuat ketahanan itu. Kita jadi lebih tabah, lebih paham, dan—anehnya—lebih manusia. Aku ingat percakapan dengan temanku, Rani, yang pernah gagal menjalankan bisnis kecil-kecilan. Dia cerita sambil ketawa, “Dulu aku pikir jadi pebisnis itu keren. Sekarang aku tahu... jadi tukang jualan itu berat. Tapi ya udah, aku nyobain, dan gagal. Setidaknya aku punya cerita. Nggak semuanya harus jadi uang, kan?”
Aku mengangguk. Benar.
Kadang, yang kita dapat dari kegagalan bukan materi, tapi cerita. Dan cerita itu bisa jadi pelipur lara bagi diri sendiri, atau bahkan inspirasi bagi orang lain. Hari ini, kalau aku boleh kasih pesan pada diriku yang dulu—yang menangis di pojokan karena ditolak, gagal, dan merasa dunia kejam—aku akan bilang:
“Tenang. Nggak apa-apa gagal. Kamu bukan robot. Hidup ini bukan ujian yang harus dapat nilai sempurna. Kamu boleh rehat, salah, bahkan mengulang. Yang penting, kamu tetap jalan. Dan di tiap langkah, kamu belajar.”
Dan kalau hari ini kamu membaca ini dalam keadaan gagal juga—ditolak, patah hati, nggak lolos seleksi, atau ngerasa hidupmu stuck—maka izinkan aku peluk kamu lewat kata-kata ini:
“Kamu baik-baik saja. Gagal itu bukan akhir. Itu cuma jalan yang sedikit lebih panjang. Kamu nggak sendirian. Dan yang terpenting: kamu tetap layak dicintai, dihargai, dan didengar, walau belum ‘sukses’.”
Karena kadang, yang kita butuhkan bukan motivasi keras kepala yang bilang “Kamu pasti bisa!”
Tapi suara lembut yang bilang,
“Kalau kamu nggak bisa hari ini, nggak apa-apa. Besok kita coba lagi. Pelan-pelan. Bareng-bareng.”
Dan dari semua itu, aku belajar bahwa ternyata...
menyadari bahwa kita boleh gagal,
...adalah awal dari belajar mencintai diri sendiri.