Hari itu biasa saja. Matahari bersinar seperti biasanya, burung-burung berkicau tanpa diminta, dan langkah kakiku menapaki trotoar yang sama, jalan pulang yang sudah aku hafal di luar kepala. Tapi, entah kenapa, hari itu terasa sedikit lebih berat. Mungkin karena aku terlalu lelah berpura-pura baik-baik saja. Atau mungkin karena aku sudah terlalu sering menelan rasa sendiri, tanpa pernah benar-benar dicerna. Langit memang biru, tapi dadaku gelap. Tidak ada hal besar yang terjadi, tidak ada tragedi yang mencolok. Tapi yang justru membunuhku perlahan adalah hal-hal kecil yang menumpuk, hari demi hari. Satu pandangan yang tak peduli, satu kalimat yang tak sengaja menyakitkan, satu pelukan yang tak jadi diberikan. Rasa diabaikan itu pelan-pelan mengikis keyakinanku bahwa aku layak untuk diperhatikan. Saat aku sampai di kamar, aku langsung menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur. Rasanya seperti ingin tidur panjang tanpa bangun. Bukan karena aku ingin mati—aku hanya ingin menghilang sejenak dari dunia yang terus menuntutku untuk kuat.
Aku membuka ponselku, hanya untuk memastikan bahwa tidak ada yang mencariku. Tentu saja, tidak ada. Hanya notifikasi dari aplikasi yang tak penting, promosi belaka. Tapi, tepat ketika aku hendak mengunci layar, satu pesan masuk. Dari seseorang yang sudah lama tidak kudengar kabarnya. Namanya Dara. Teman lama dari masa SMA. Kami dulu cukup dekat, tapi seperti kebanyakan hubungan lainnya, waktu dan jarak memisahkan kami tanpa permisi. Pesannya sederhana:
"Hai, aku nggak tahu kenapa, tapi kamu tiba-tiba muncul di pikiranku. Aku cuma mau bilang… terima kasih ya, karena dulu kamu pernah jadi orang yang begitu sabar dan hangat buat aku. Aku harap kamu baik-baik aja. Dunia ini memang berat, tapi kamu hebat karena masih di sini.”
Aku terdiam cukup lama. Mataku terpaku pada layar, seakan-akan pesan itu terlalu berat untuk dicerna dalam sekali baca. Padahal itu hanya beberapa kalimat. Tapi setiap kata menyentuh bagian hatiku yang sudah lama beku. Bagian yang sudah lama aku tutupi rapat-rapat karena takut kecewa lagi. Aku tidak menangis saat membaca pesan itu. Tapi ada sesuatu yang mengalir di dalam diriku—sesuatu yang hangat. Seperti cahaya kecil yang menembus celah retak pada dinding hatiku. Aku merasa… terlihat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa tidak sendirian.
Satu pesan itu mengubah segalanya. Bukan karena isinya begitu luar biasa, tapi karena ia datang di saat aku hampir percaya bahwa aku tidak berarti. Bahwa aku tidak dikenang. Bahwa kehadiranku tidak penting.
Aku membalas pesannya dengan tangan gemetar:
"Terima kasih, Dara. Kamu nggak tahu seberapa berarti pesanmu buat aku hari ini.”
Dan memang begitu adanya. Pesan itu menjadi jembatan yang menarikku kembali dari tepi jurang yang tak terlihat oleh siapa-siapa. Sering kali kita berpikir bahwa untuk menyelamatkan seseorang, kita perlu melakukan sesuatu yang besar. Padahal, kadang yang dibutuhkan hanya satu kata. Satu perhatian. Satu pengingat bahwa kita masih ada, dan kita masih berharga. Malam itu, aku tidak tidur seperti biasanya. Bukan karena aku gelisah, tapi karena aku ingin menulis. Aku ingin menulis kembali cerita-ceritaku, ingin mengingat lagi versi diriku yang dulu pernah percaya bahwa dunia bisa menjadi tempat yang hangat. Aku menyalakan lampu kecil di sudut meja, membuka buku catatanku, dan menulis:
“Aku tidak tahu apakah aku penting bagi dunia. Tapi aku tahu, aku pernah menjadi penting bagi seseorang. Dan itu cukup untuk hari ini.”
Satu pesan itu membawa dampak seperti efek domino. Aku mulai mengingat orang-orang yang pernah membuatku tertawa. Orang-orang yang mungkin juga sedang berjuang, seperti aku. Aku mulai mengirimkan pesan kecil ke beberapa dari mereka. Tidak panjang, hanya sekadar mengingatkan bahwa mereka berarti. Dan dari situlah aku sadar—perhatian kecil itu menular. Seperti pelita yang dinyalakan satu per satu di malam yang gelap, kita bisa menerangi satu sama lain. Tidak perlu menjadi terang paling besar. Cukup satu cahaya untuk mengusir kegelapan.
Satu pesan bisa jadi penyelamat. Satu kalimat bisa menjadi pelukan bagi jiwa yang sudah lama membeku. Dan kita semua punya kemampuan untuk itu. Untuk hadir. Untuk mendengarkan. Untuk berkata, "Aku ingat kamu. Kamu penting." Hari itu bukan lagi hari biasa. Hari itu menjadi titik balik. Bukan karena semua masalahku hilang, tapi karena aku tidak lagi merasa harus menghadapinya sendirian. Aku sadar, dunia ini penuh orang-orang yang sedang berjuang diam-diam. Seperti aku. Seperti kamu.
Dan jika kita bisa saling menguatkan, bukankah itu lebih dari cukup?
Maka jika suatu hari kamu merasa lelah, merasa tidak dilihat, merasa sendirian… ingatlah bahwa kamu mungkin adalah tokoh utama dalam cerita seseorang yang kamu bahkan tidak sadari. Kamu mungkin pernah menyelamatkan hati seseorang hanya dengan kehadiranmu. Dan itu tidak kecil. Itu luar biasa. Jangan pernah meremehkan satu pesan. Jangan pernah menunda untuk mengatakan sesuatu yang tulus. Kamu tidak tahu, mungkin hari ini, pesanmu adalah cahaya bagi seseorang yang sedang duduk dalam gelap, berharap ada yang mengingatnya.
Dan jika kamu yang sedang duduk dalam gelap itu, izinkan aku menjadi orang yang berkata:
Kamu tidak harus kuat setiap hari. Kamu hanya perlu hadir. Dan itu, sudah cukup.
Beberapa hari setelah pesan itu, aku dan Dara memutuskan untuk bertemu. Kami duduk di sebuah kafe kecil, tempat yang dulu sering kami kunjungi ketika masih remaja. Banyak yang berubah, tapi rasa nyaman yang ia bawa masih sama. Kami berbicara tentang masa lalu, tentang hal-hal kecil yang ternyata membekas dalam hidup kami. Lucunya, aku tidak menyadari bahwa di masa itu, aku pernah menjadi tempat bersandar untuknya. Bagiku, semua yang aku lakukan hanyalah hal biasa—mendengarkan, hadir, menenangkan. Tapi baginya, itulah yang membuat ia bertahan di salah satu masa terberat hidupnya.
“Aku nggak pernah benar-benar cerita ke siapa-siapa,” katanya sambil menatap kopinya, “tapi dulu aku pernah hampir menyerah. Dan kamu, cuma karena kamu duduk di sebelahku di hari itu, aku ngerasa aku nggak sendirian. Itu sederhana, tapi nyata.”
Hatiku bergetar. Ternyata apa yang kita anggap kecil bisa menjadi penentu besar bagi orang lain. Dan aku merasa, pesan yang dikirimnya padaku beberapa hari lalu adalah kelanjutan dari lingkaran kebaikan itu—yang akhirnya kembali padaku. Sejak saat itu, aku tidak lagi meremehkan kekuatan dari kehadiran. Bahkan dalam diam, bahkan dalam hal kecil. Kita tidak pernah tahu betapa banyak orang yang hanya butuh satu kata untuk merasa bernyawa lagi. Aku mulai rutin menulis surat kecil untuk diriku sendiri. Pesan-pesan pengingat bahwa aku sudah cukup. Bahwa aku masih bertahan. Kadang aku menyelipkan kata-kata itu di dalam buku harian, kadang di bawah bantal, dan sesekali aku letakkan di cermin. Supaya setiap pagi, saat aku merasa tak berdaya, aku bisa membaca satu kalimat: “Terima kasih sudah tetap hidup.”
Kita semua butuh pesan semacam itu. Dan jika hari ini belum ada yang memberimu, izinkan aku menjadi orang yang pertama:
“Terima kasih sudah tetap hidup. Kamu luar biasa. Dan kamu layak dicintai.”
Karena pada akhirnya, satu pesan bisa benar-benar mengubah segalanya—termasuk hidupmu. Malam-malam setelah itu, aku tak lagi takut akan sunyi. Aku tahu, di balik senyapnya dunia, ada hati-hati yang sedang berjuang, sama sepertiku. Dan aku tahu, meski aku bukan siapa-siapa bagi dunia, aku bisa menjadi cahaya kecil bagi seseorang. Mungkin itu cukup untuk hari ini. Mungkin, itu sudah lebih dari cukup.