Vincia berdiri kikuk di depan pintu sasana itu. Aroma matras, keringat, dan semangat bercampur di udara. Suara pukulan ke samsak dan hentakan musik bertempo cepat menyambut mereka begitu pintu dibuka.
“Apa kau yakin aku bisa?” bisik Vincia di antara suara hentakan kaki dan teriakan instruktur yang memenuhi ruangan.
Frita cuma tertawa kecil lantas menyampirkan handuk ke pundaknya. “Dulu aku juga sepertimu. Tegang seperti mau presentasi di depan kelas. Santai saja. Aku bisa jamin ini tempat paling aman untuk menumpahkan kekesalanmu.”
Vincia memandang sekeliling. Semua orang di dalam tampak serius. Beberapa perempuan dengan sarung tangan tinju merah menyala, juga beberapa lelaki berbadan atletis. Ada yang sedang berlatih lompat tali, ada yang latihan tendangan ke samsak. Ia menarik napas panjang. Entah mengapa, semua itu membuat perutnya terasa mulas.
Frita tertawa, merangkul bahu Vincia. “Santai saja. Kita mulai dari yang ringan. Tidak akan disuruh langsung memukul orang, kok.”
Mereka berjalan ke pinggir, Frita menyerahkan sepasang sarung tangan. Vincia menatap benda itu dengan kebingungan.
“Sudah, pakai saja dulu,” ujar Frita sambil mengenakan sarung tangannya, “kita tidak akan langsung sparing. Pukul saja samsak sambil membayangkan wajah Valdo.”
Otot-otot wajah Vincia menjadi lebih relaks. Ia tidak bisa menahan senyum kecilnya. “Itu sangat kejam, Frita.”
“Hei, terapi itu penting untuk kesehatan mental,” kilah Frita lantas terkikik.
Vincia ikut tertawa kecil, lalu mulai membungkus tangannya, walau agak berantakan.
Seorang pelatih perempuan menghampiri, memperkenalkan diri singkat, lalu memberi instruksi dasar. Vincia mulai mencoba posisi kuda-kuda dan gerakan pukulan dasar. Namun setiap pukulan yang ia layangkan ke samsak terasa lemah. Padahal tangannya sudah pegal, tetapi posisi kakinya masih saja salah.
Vincia menelan ludah. Pandangannya berkeliling, melihat orang-orang dengan gerakan cepat, keringat mengalir.
Frita yang berdiri di depan samsak menoleh pada Vincia. Wajahnya berkeringat tetapi senyumnya lebar.
“Frita, sepertinya lebih baik aku pulang,” bisik Vincia di tengah napas yang terengah-engah, “aku seperti berada di tempat yang tidak seharusnya.”
“Kalau begitu, lupakan Valdo. Pukul saja rasa takutmu sendiri,” saran Frita membuat glabela Vincia berkerut.
Di mata Vincia, samsak di depannya tampak seperti monster besar. Kemudian Frita memukul satu kali, lalu memberi isyarat agar ia juga mencoba. Saat itulah sesuatu dalam dirinya tergerak.
Vincia menarik napas dalam, lalu melempar pukulan ke samsak. Tidak sekeras dan secepat pukulan Frita tetapi cukup tepat sasaran.
“Lihat. Bisa, kan?” seru Frita senang dan bangga.
Vincia tertawa lepas. Ada sesuatu yang aneh membuat ia merasa nyaman di sini. Bukan karena jago atau suka berolahraga. Jelas bukan. Gadis itu masih ingat bahwa Gohvin harus berpura-pura menakutinya agar ia joging pagi hari.
Mungkin karena di tempat ini, Vincia tidak harus menjadi diri yang selalu kuat. Ia bisa terlihat jelek saat mengatur napas, bisa menertawakan diri sendiri saat salah pukul.
Setelah beberapa pukulan gagal, akhirnya Vincia berhasil mengayunkan satu pukulan lumayan keras ke samsak.
“Bisa!” seru Vincia, lalu langsung cengar-cengir ke arah Frita.
Frita tertawa keras, menepuk punggung Vincia penuh kebanggaan. Lalu mereka lanjut berlatih hingga keringat mengucur deras.
Di akhir sesi, Vincia duduk bersandar di dinding, keringat membasahi wajahnya. Napasnya tersengal-sengal, tetapi beban di hatinya terasa lebih ringan.
“Kau akan ketagihan,” ujar Frita, duduk di sebelahnya.
Vincia menatap langit-langit, senyum kecil di sudut bibirnya. “Semoga saja.”
***
Wangi kamomil memenuhi ruangan, berpadu dengan musik instrumental yang hampir membuat Vincia tertidur. Ia berbaring di atas ranjang pijat, wajahnya ditempeli masker cokelat muda, sementara tangan terapis memijat bahunya yang pegal.
“Bagaimana, Vincia? Seharusnya sekarang kau sudah bisa mengakui saranku brilian,” ujar Frita lantas tertawa kecil. Ia teringat saat tadi berdebat dengan Vincia yang menolak di ajak ke tempat spa.
“Kau benar, Frita. Terima kasih,” gumam Vincia pelan, matanya setengah terpejam.
Di ranjang sebelah, Frita yang kulitnya cokelat tampak berseri di balik masker lumpur hijau yang menutupi wajah ovalnya. Senyumnya lebar, matanya berbinar.
Dua jam kemudian, mereka sudah duduk bersebelahan di ruangan lain dalam bangunan itu. Vincia memandangi meja rias di hadapannya. Lampu-lampu bulat kecil di sekitar cermin memantulkan kontras keduanya. Kulit pucat Vincia dengan dagu bulatnya tampak bersih dan segar setelah spa, sementara Frita dengan kulit cokelat keemasannya terlihat makin bersinar.
“Frita,” bisik Vincia, “ini kita … untuk apa kita di sini?”
“Untuk belajar,” sahut Frita tanpa menjelaskan lebih detail.
“Belajar apa?”
Belum sempat Frita menjawab, seorang perempuan cantik menghampiri mereka. Vincia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai make-up artist sambil menunjukkan palet warna, foundation berbagai shade, dan brush halus. Frita tampak berinteraksi dengan akrab.
“Oke, kita mulai dari undertone dulu, ya,” ujar make-up artist itu ramah. Lalu mengambil beberapa shade dan mencobanya di rahang Vincia. “Ini undertone-nya cool ke netral. Kulit yang cocok sama warna-warna ini.”
Vincia memperhatikan palet warna yang ditunjukkan padanya. Terpengaruh kata “belajar” yang tadi diucapkan Frita, Vincia mengangkat tangan. “Apa boleh saya catat?”
“Oh, tidak perlu.” Make-up artist itu tersenyum lebar sementara Frita tergelak, “Nanti sebelum pulang akan diberi buku panduannya, kok.”
Vincia tertawa, meski masih kikuk. Namun, saat mendapat penjelasan tentang pemilihan warna pakaian, lalu membandingkan beragam warna lipstik di punggung tangannya, gadis itu mulai takjub. Ini seperti dunia ajaib yang tidak pernah ia masuki sebelumnya.
Semua itu berkat Frita.
“Kalau foundation, cocok yang warnanya seperti ini. Bisa mempertegas bentuk lesung pipi yang manis.”
“Eh, saya tidak—” Vincia hendak meralat pujian itu. Namun ketika melihat cermin, ia tertegun. Ada lekukan di pipi kanannya. Seperti milik Gohvin.
“Jangan bilang kau tidak sadar kalau punya lesung pipi?” gurau Frita tanpa menyadari bahwa Vincia benar-benar bingung.
Ketika make-up artist itu berpamitan untuk mengambil buku panduan, Vincia menoleh pada Frita.
“Frita, terima kasih, ya,” ujar Vincia tulus, “konsultasi dan spa hari ini berapa biayanya? Biar aku ganti.”
“Sudah. Jangan dipikirkan,” balas Frita dengan nada jenaka, “aku yang traktir. Apresiasi karena kau sudah berani ikut latihan kickboxing.”
Ekspresi Vincia berubah kaku. “Aduh, jangan. Aku jadi merasa tidak enak denganmu.”
“Ya, sudah. Bagaimana kalau kau yang mentraktir makan malam? Jangan sampai perempuan cantik seperti kita kelaparan,” gurau Frita berusaha mencairkan ketegangan di wajah Vincia.
Usahanya berhasil saat melihat Vincia tertawa. “Baiklah. Mau makan di mana?”
Sambil tersenyum, Vincia mengangguk pada pilihan restoran yang disebutkan Frita. Di cermin, ia melihat dua gadis dengan karakter yang berbeda tetapi sama-sama bersinar. Sementara di dalam dirinya, ada rasa hangat yang pelan-pelan tumbuh.
***
Langit malam berawan kelabu. Tidak ada bintang terlihat. Vincia turun dari bus yang berhenti di halte. Ia berjalan santai dan ringan dalam kaus lengan panjang dan celana palazo.
Di bawah lampu jalan, Gohvin berdiri menunggu, bersandar di tiang. Tangan disimpan di saku. Rambutnya berantakan. Ia mengenakan jaket dan celana hitam pekat, serta menampilkan senyum miring yang akrab.
“Akhirnya kau bisa juga, ya, bersenang-senang,” sambut Gohvin pelan, matanya menatap bus yang kembali melaju ke ujung jalan.
Vincia mengangguk, tersenyum kecil. “Berkat Frita.”
Lampu jalan bersinar temaram. Angin membawa wangi bunga dari pekarangan depan rumah-rumah yang dilewati. Vincia dan Gohvin berjalan berdampingan, langkah mereka tenang.
Gohvin berjalan di bawah gelap. Seperti biasa, tanpa alas kaki. Seolah-olah jejaknya tidak pernah benar-benar menyentuh tanah.
“Dengan begini, kau bisa lebih kuat untuk melindungi dirimu sendiri, Vincia.”
Gohvin tersenyum samar. Ada sesuatu di wajahnya malam itu. Entah apa. Ketika berjalan di bawah sinar lampu, sosoknya sempat kabur. Seperti angin malam hampir membawanya pergi. Namun, saat Vincia menoleh, sosok lelaki itu kembali utuh dan nyata.
“Lain kali sebaiknya kau ikut juga,” gurau Vincia, “meski sudah tampan, tapi penting juga merawat diri.”
“Jadi, menurutmu aku tampan?” sahut Gohvin cepat.
Pipi Vincia merona. “Bukan seperti itu. Ah, dasar besar kepala.”
Gohvin menyeringai. Namun mata gelapnya tampak redup. Ia menunduk sebentar, seolah-olah ada sesuatu yang berat.
Tidak ada percakapan lain setelah itu. Gohvin memang lebih pendiam akhir-akhir ini. Namun, Vincia terlalu sibuk dengan dunianya untuk menyadari itu.
Langkah Vincia terhenti begitu berbelok di tikungan terakhir menuju rumah. Di depan pagar besi itu, berdiri seorang wanita. Tubuhnya lebih kurus dari yang Vincia ingat. Rambutnya yang digelung rapi, mulai dipenuhi uban halus. Ia mengenakan blus krem dan rok panjang hitam. Wajahnya tirus, mata yang dulu hangat kini terlihat cemas dan lelah. Ketika tatapan mereka berserobok, ada isak kecil yang terlepas.
Napas Vincia bergetar, campur aduk antara takut dan rindu.
Wanita itu datang lagi. Alma Fikaso. Ibu kandung Vincia yang pergi lima tahun silam.
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama