Arjun berhenti melakukan rutinitas barunya yang sempat dicap Airin sebagai penguntit. Ia berhenti berdiri di balkon hanya untuk mengamati lampu kamar Mawar. Ia juga berhenti mengikuti Mawar jika dia diusir paksa oleh ibunya.
Sisa-sisa simpati yang tertinggal di hatinya berusaha ditekan habis. Ia tak mau bersikap berlebihan dan ia juga tak mau membuat orang tuanya marah lagi. Ia menyibukkan diri ke dalam acara kepanitian. Menjatuhkan wajahnya ke proposal-proposal dan tugas-tugas kuliah agar tak menoleh ke arah lain.
Semuanya berjalan lancar. Sudah enam belas hari ia berhasil menjaga jarak dari Mawar, hingga akhirnya pelarian itu terpaksa berhenti saat Mawar menahan langkahnya di koridor lobi. Arjun sedang sibuk membalas pesan Airin yang ingin dibelikan set make up, memberi pemahaman kalau Airin masih terlalu dini memiliki set make up.
“Arjun.”
Arjun belum selesai mengetik balasan kepada Airin saat Mawar menghadangnya dengan wajah serius. Tenggorokannya tercekat untuk sekadar berkata, “Hai.”
“Kamu jauhin saya, ya?”
Pertanyaan yang langsung menyudutkan itu membuatnya makin menyempurnakan keterkejutannya. Ia menggeleng cepat dengan panik.
“Enggak!” balasnya, juga terlampau cepat dan keras.
Beberapa orang yang melewati lorong ikut tersentak mendengar pekikan itu. Mawar menggaruk telinganya yang juga terasa pengar karena lengkingan Arjun.
“Santai aja, nggak perlu teriak,” timpalnya.
“Ma–maaf …,” cicit Arjun, menunduk karena malu.
“Saya mau bayar hutang.”
Mawar mengabaikan air muka Arjun yang berubah jadi merah. Ia mengeluarkan dompet dari tasnya dan mengulurkan enam lembar uang pecahan lima puluh ribu.
“Nggak perlu, Kak.” Arjun mendorong kembali uang itu.
“Saya nggak mau punya hutang apapun ke kamu, baik secara materi maupun hutang budi,” tekan Mawar.
Mawar selalu memiliki kesan serius. Matanya yang tajam itu mampu membuat siapapun tak berani menatapnya. Begitu pula dengan Arjun yang akhirnya menerima uang itu setelah menelan ludah kuat-kuat.
“Saya nggak bisa bayar sekaligus, tapi bakal saya cicil. Tolong kirim aja rekening kamu kalau emang kamu nggak mau ketemu saya,” tukas Mawar.
Arjun masih menunduk. Memandangi uang yang masih digenggam tanpa suara. Ada gejolak rasa bersalah yang menguar di dadanya karena Mawar memiliki kepekaan yang besar. Lagi dan lagi, akhirnya ia kembali menyakiti Mawar dengan keputusannya.
“Kak.” Arjun mengangkat kepalanya, lalu menyimpulkan senyum yang selama ini hilang saat Mawar menatapnya. “Kita belum tukar nomor. Gimana cara saya kirim nomor rekening kalau nggak tahu nomor kamu?”
Segala usaha Arjun pada akhirnya berbuah sia-sia. Jarak yang semula terbentang luas, mampu dihapus dengan satu pertemuan. Yang bahkan membuat mereka lebih dekat daripada sebelumnya.
“Maaf ya, Kak,” ucap Arjun ketika mereka sudah duduk di kantin fakultas.
Ia baru memesan mi goreng jawa, sedangkan Mawar memesan semangkuk soto.
“Maaf kenapa?” sahut Mawar, memiringkan kepala demi menelisik lebih dalam gurat wajah Arjun.
“Atas sikap Papa waktu itu.”
Mawar tersenyum. “Nggak apa. Orang tua kamu pasti ngelarang kamu deket-deket sama saya, ya?”
Bukan hal baru bagi Mawar ketika dipandang sebelah mata oleh orang lain, terutama di lingkungannya. Meskipun keluarga Arjun baru pindah, pasti mereka sudah mendengar banyak hal buruk tentangnya.
“Eng–enggak kok.” Arjun berusaha mengelak dengan terbata-bata.
“Kamu tahu, kamu itu pembohong yang jelek banget,” tukas Mawar.
Seperti kebiasaan yang sudah Mawar hafal, Arjun akan menggaruk tengkuknya dengan kikuk saat merasa kagok.
“Maaf.”
“Maaf karena bohongnya jelek?”
“Iya.” Arjun menyengir dan Mawar tertawa.
“Dasar kocak.”
Pesanan mereka datang bersamaan lima belas menit kemudian. Sebenarnya Arjun tadi sudah sarapan, tapi ia tak bisa mengelak saat Mawar mengajaknya makan bersama.
“Saya kayaknya bisa ikut wisuda bulan desember,” tukas Mawar di tengah kunyahannya.
“Serius? Wah! Selamat ya, Kak!” Arjun tersenyum bangga. Meski mereka baru saling kenal, kabar itu bahkan lebih membuatnya bahagia daripada saat tugasnya mendapat nilai A.
“Hm! Akhirnya! Lega banget!”
“Kalau gitu kita harus ngerayain kabar bahagia ini!”
Tawa Mawar makin meledak. “Belum juga lulus! Ada-ada aja!”
“Saya serius, Kak! Udah ah, setelah makan ini kita langsung cabut ya!”
“Mau kemana emangnya?”
“Ke alun-alun yuk! Katanya ada galeri seni di bawah tanah balai kotanya. Saya belum pernah ke sana.”
“Emangnya kamu nggak ada kelas?”
“Nggak ada kok!”
Arjun berbohong. Ada kelas yang akan dimulai satu jam lagi, tapi ia akan menggunakan jatah bolos yang belum terpakai sama sekali. Baginya, meluangkan waktu bersama Mawar pantas untuk menjadi alasannya mengambil jatah bolos.
Hari itu Mawar menjadi tour guide dadakan. Mereka langsung menuju Balai Kota Surabaya setelah selesai makan.
“Panas banget kalau jam segini. Kalau malem lebih bagus.”
Mereka berjalan di pelataran balai kota dengan mata menyipit saat sinar matahari terasa membakar ubun-ubun.
“Kalau gitu besok-besok kita kesini pas malam.”
Arjun begitu percaya diri saat mengatakan jadwal jalan-jalan mereka. Seolah lupa bahwa dirinya baru menghindari Mawar mati-matian selama dua minggu lebih.
Galeri seni yang mereka kunjungi letaknya tersembunyi di ruang bawah tanah balai kota. Meski letaknya di bawah tanah, desain interiornya semewah galeri seni pada umumnya. Ruangan lebar itu dipenuhi dengan lukisan yang menggantung di dinding putih.
Arjun dan Mawar bukan orang yang paham tentang karya seni, mereka berkeliling dan terus berkata ‘wah’ saat melihat lukisan yang menurutnya sangat indah. Mawar pernah kesini satu kali saat bersama Adel dulu, jadi dia bisa leluasa memimpin jalan saat mengelilingi galeri.
“Kak, berdiri di situ. Saya fotoin,” usul Arjun sambil mengarahkan Mawar agar berpose di depan lukisan bunga krisan merah.
“Nggak usah.”
Mawar menolak, tapi Arjun tetap mengambil gambarnya. Dan dia terus melakukannya di sepanjang mereka mengamati lukisan.
“Nanti foto-fotonya aku kirim ke WA ya, Kak,” tutur Arjun sewaktu mereka sudah dalam perjalanan pulang.
“Terserah kamu aja deh si Paparazzi,” balas Mawar.
“Bagus-bagus tahu fotonya. Saya udah berguru dari si Bima yang jago fotografi. Nanti Kakak lihat aja sendiri.”
“Iya. Iya.”
Mawar menepuk-nepuk bahu Arjun saat mereka mendekati gang Gubeng Airlangga 6. Dengan bingung, Arjun membelokkan motornya ke depan gang.
“Berhenti di sini aja, Jun,” pintanya.
“Tapi gang rumah kita masih tujuh meter lagi, Kak.”
“Nggak apa-apa. Di sini aja. Takutnya nanti para tetangga julid kalau kita pulang bareng,” jelas Mawar.
Arjun merasa benci saat tak bisa mengelak kenyataan itu, apalagi saat teringat bahwa orang tuanya juga termasuk tetangga julid itu.
“Kalau begitu, saya duluan ya, Kak.”
“Siap. Hati-hati, ya. Terima kasih buat hari ini.”
“Saya yang berterima kasih karena udah dianterin jalan-jalan.”
Mawar terus mengembangkan senyumnya, lalu melambaikan tangan saat Arjun kembali melajukan motor. Namun, ia terheran saat Arjun menghentikan lagi motornya dan berjalan mundur ke arah Mawar.
“Ada apa? Ada yang ketinggalan?” tanya Mawar. Ia membuka tote bag putihnya, takut-takut kalau tadi ada barang yang Arjun titipkan dan lupa diambil.
“Enggak ada yang ketinggalan kok, Kak.”
Tangan Mawar yang mengacak-acak isi tasnya terhenti. Ia mendongak untuk menatap Arjun yang wajahnya jauh lebih merah daripada sebelumnya.
“Terus? Kenapa?”
Arjun tak langsung menjawab pertanyaan sederhana itu. Matanya bahkan berputar ke kanan dan kiri hanya untuk memberi waktu bagaimana cara mengungkapkan apa yang sudah di ujung lidah.
“Besok … Kak Mawar sibuk?”
Dengan penuh kehati-hatian, akhirnya Arjun memberanikan diri mengeluarkan tanya itu. Mawar mengerutkan dahi, berpikir sejenak.
“Hm. Saya masih harus ngerjain revisi dari Bu Endang.”
“Sampai jam berapa?”
“Kenapa emangnya?”
Arjun menggaruk tengkuknya lagi. Mawar jadi tahu kalau dia sedang grogi.
“Err … kalau malamnya keluar sama saya, mau? Kita jalan-jalan aja di sekitar Tunjungan.”
Isi kepala Mawar biasanya selalu berisik. Rumahnya pun juga tak kalah berisik. Bahkan, dunia ini juga penuh dengan bising. Namun berbagai suara berisik itu jadi lebih reda saat menghabiskan waktu bersama Arjun.
“Boleh deh. Kita ketemu di depan gang ini.”
Mawar merindukan ketenangan. Sangat rindu hingga ia ingin terus merasakan lagi. Ia ingin meredamkan seluruh deru riuh untuk sesaat selagi bersama Arjun.
“Siap, Kak!”
Arjun tersenyum begitu lebar hingga pipinya tertarik ke telinganya yang masih merah. Tangannya melambai ke Mawar sebelum kembali melajukan motornya.
“Apa aku sudah berhak merasa lebih tenang?”
Mawar terdiam sekarang, menatap punggung Arjun yang kian menghilang. Bersama pertanyaan-pertanyaan yang tak memiliki jawaban.
***