Pagi itu, kampus sudah mulai ramai saat Fathur dan Kirana melangkah cepat menuju ruang administrasi. Suara langkah kaki mahasiswa lain bersahutan di koridor, berpadu dengan gemuruh suara motor dari kejauhan dan obrolan-obrolan singkat yang menyelinap lewat pintu-pintu terbuka. Kirana menggenggam erat map biru tua berisi berkas-berkas penting, seolah tak ingin ada satu lembar pun tergelincir. Di sisi lain, Fathur sibuk mengetik sesuatu di ponselnya sambil tetap menyesuaikan langkah dengan Kirana.
“Sabar ya. Orangnya agak galak tapi baik,” bisik Fathur begitu mereka tiba di depan ruang tata usaha.
“Kayak Bu Ratna, dong?” gumam Kirana.
Fathur tertawa pendek. “Bu Ratna mah galaknya ada sentuhan cinta.”
Kirana hanya menggeleng, mencoba menahan tawa yang nyaris muncul di tengah gugup.
Tak lama, seorang wanita berkacamata dengan id card bertuliskan “STAFF ADMINISTRASI – INTAN” keluar dari ruangan. Wajahnya serius, langkahnya tegas.
Kirana langsung mengenalinya. Ia adalah staf yang pernah ia temui di hari pertama kembali ke kampus setelah cuti panjang. Ternyata kenalan Fathur, gumam Kirana dalam hati, sedikit lega. Di antara semua staf administrasi yang sering dianggap “sangar” karena tekanan kerja, Intan termasuk yang paling sigap dan solutif. Beberapa kali Kirana mencoba datang untuk mengurus pergantian dosen pembimbing, berharap bisa ditangani langsung oleh Intan. Namun entah kenapa, selalu saja staf lain yang lebih dulu memotong urusannya.
“Fathur?”
“Ya, Kak. Ini teman saya, Kirana. Ada masalah di sistem akademik, terutama soal dosbing satu yang nggak bisa diganti walaupun sudah dinyatakan tidak aktif...”
“Yang kasus korupsi itu?”
Kirana terkejut. “I-ya...”
Intan menatap Kirana sejenak, lalu mengangguk. “Masuk. Bawa semua berkas, ya.”
Namun, belum lama mereka duduk dan menjelaskan masalah, ponsel Kak Intan bergetar. Ia membaca pesan singkat yang masuk, lalu wajahnya berubah.
“Maaf, saya tidak bisa lanjut bantu proses ini,” katanya tiba-tiba.
“Hah? Kenapa, Kak?” Fathur bingung.
Intan tampak mencorat-coret berkas dalam map biru tua yang Kirana serahkan barusan. “Ini, lihat! Berkasmu saja masih ada salah ketik di sana sini, berani-beraninya kamu ajukan berkas kemari!”
Kirana menunjukkan ekspresi heran. Ia yakin sudah cek berulang kali dan tidak ada masalah. “Tapi, berkas saya sudah sesuai, Kak. Saya sudah bawa semua bukti dan surat. Bahkan surat dari Bu Ratna juga sudah ada...”
“Perbaiki dulu! Kembali lagi besok,” potong Intan tegas dan mengisyaratkan agar Fathur dan Kirana segera meninggalkan ruangan.
Mereka keluar dari ruangan itu dengan ekspresi bingung. Fathur mengepalkan tangannya. “Ini nggak masuk akal.”
Kirana tidak percaya ada yang salah di berkas yang ia ajukan. Ia langsung mengecek apa yang perlu diperbaiki. Wajahnya mengeras, membaca apa yang ditulis Intan di sana. Sama sekali bukan coretan, tapi sebuah pesan.
“Ada arahan dari atasan. Kasus yang berkenaan dengan pergantian Pak Bima sebagai dosbing ditunda dulu prosesnya. Tidak dijelaskan alasannya, hanya ‘instruksi langsung’ dari pihak dekanat. Mau kamu ajukan bagaimana pun, Kirana, pasti akan menemukan jalan buntu. Saya ingin sekali membantu tapi saya juga pegawai. Kalau sudah ada perintah langsung, saya nggak bisa melangkah. Maaf.”
Fathur terdiam. Matanya menyipit. Ia ada di sebelah Kirana, catatan dari Intan pun terbaca olehnya. “Ha? Ini maksudnya gimana? Ada yang menghentikan proses pergantian dosbing secara sepihak? Tapi siapa? Kenapa?”
Kirana tidak menjawab. Dalam diam, ia seperti mengerti arah semuanya. Setidaknya teka-teki dua minggu terakhir mulai tersusun. Urusan yang terus dipersulit, berkas yang selalu “kurang”, alasan yang tak konsisten. Semuanya mengarah ke satu hal: ini bukan kebetulan. Ini sistematis. Dan ia tahu siapa yang mungkin ada di baliknya.
Ia mengambil ponselnya, membuka tanda blokir dari sebuah kontak.
[Kita harus ketemu.]
Sesuai dugaan Kirana, Vania tidak pernah memblokir kontaknya. Tanda dua centang biru dan typing … yang begitu cepat menandakan Vania sudah menunggu pesan dari Kirana. Mereka “bersahabat” cukup lama, Kirana tahu betul ego Vania yang ingin langsung melihat “korban”-nya sengsara dan kalah telak.
[Nanti sore di kantin fakultas. Aku sibuk sekarang.]
***
Kantin fakultas sore itu nyaris kosong. Ibu kantin terlihat mulai berkemas; talenan-talenan kayu ditumpuk seadanya, termos ditutup erat, dan sisa-sisa makanan dimasukkan ke dalam wadah. Suara gesekan kursi beradu lantai memantul ke dinding, satu-satunya bunyi yang memecah sunyi. Langit di luar jendela muram, abu-abu, menggantung rendah seolah ikut mengawasi pertemuan yang tak diinginkan.
Kirana duduk di bangku panjang dekat jendela. Di hadapannya, segelas es teh dalam cup plastik sudah tinggal separuh dan nyaris kehilangan rasa. Tangannya memeluk ransel biru usang di pangkuan, tubuhnya tegak tetapi tegang. Ia mendengar langkah kaki mendekat, berderap ringan, khas gaya seseorang yang tahu dirinya selalu jadi pusat perhatian. Kirana menegakkan punggungnya, bersiap.
Vania datang dengan senyum lebar, tanpa beban, seolah tak ada yang perlu dijelaskan. Ia duduk santai, menyilangkan kaki dengan anggun, meletakkan ponselnya di atas meja seolah mereka hanya akan membahas tugas kelompok.
“Semua ini ulahmu, kan, Van?” Suara Kirana pelan, tapi nadanya tajam, menusuk.
Vania memiringkan kepala, alisnya terangkat sedikit. “Semua ini… yang mana, Kir? Spesifik dong.”
“Dosbingku nggak bisa diganti. Katanya suratnya udah masuk dari dua minggu lalu, tapi sampai sekarang nggak bisa diproses.” Kirana menatap lurus, penuh tekanan. “Aku tahu kamu punya akses ke dalam. Dan aku tahu… kamu sengaja menghalangi.”
Vania terkekeh pelan, hampir terdengar geli. “Kamu terlalu memujiku. Emangnya aku siapa sampai bisa ngatur-ngatur birokrasi?”
“Anak dosen senior sekaligus pejabat struktural. Bintang kampus yang juga selebgram. Jangan pura-pura polos.” Nada Kirana bergetar, tapi matanya tajam. Ada luka dan marah yang bercampur jadi satu.
Vania mengangkat bahu ringan, seolah tak tersentuh. “Kalau sistemnya memang bisa diatur, salah siapa? Aku? Atau kamu, yang dari awal nggak punya ‘pegangan’? Papaku memang punya akses langsung ke dekanat. Dan kalau aku bilang kamu nggak pantas dibantu—ya, mereka nurut. Sesederhana itu.”
Kirana mengepalkan tangan di pangkuannya. Jemarinya mendingin. “Aku cuma mau diperlakukan adil, Van. Nggak kurang nggak lebih.”
“Adil?” Vania menyipitkan mata, senyum di bibirnya menyurut menjadi garis lurus. “Adil itu relatif, Kir. Di dunia nyata, yang punya relasi, yang punya nama—mereka yang jalan duluan. Kamu bukan siapa-siapa. Dan kamu tahu itu.”
Kirana menggigit bibir, menahan amarah. Tapi suaranya akhirnya keluar juga, pecah di ujungnya.
“Apa yang kamu takutkan, Van? Kamu lebih segalanya dari aku. IPK-mu lebih tinggi. Keluargamu lebih kaya. Lebih terkenal di kampus dan disukai banyak orang. Penelitianmu bahkan lebih dulu selesai dariku.”
Kirana menahan emosinya agar tidak meluap-luap, walau tangannya seperti siap menggampar wajah Vania kapan saja.
“Sampai-sampai kamu rela melakukan banyak hal kotor hanya untuk menghalangi aku lulus.” Senyum tidak percaya muncul di wajah Kirana, tapi entah mengapa Vania justru memandangnya sebagai bentuk penghinaan.
Dia… memang tidak pernah benar-benar menyukai Kirana. Bahkan sejak awal. Ada sesuatu dari kehadiran Kirana yang langsung memantik kegelisahan dalam diri Vania. Bukan karena Kirana melakukan sesuatu, tapi justru karena keberadaannya yang terlalu… tenang. Terlalu jujur. Terlalu tidak berpura-pura. Bagi Vania, orang seperti Kirana adalah ancaman yang tak kentara, tetapi pelan-pelan mengusik.
Vania terbiasa melihat orang dari dua sudut pandang: apakah mereka bisa memberi keuntungan baginya atau tidak. Kirana, awalnya, masuk ke kategori pertama, mulanya begitu. Apalagi Rayya juga kelihatan sangat menyukai Kirana dan membuka gerbang kedekatan mereka bertiga. Vania praktis tidak perlu repot untuk pendekatan, karena secara alami mereka jadi sering bertiga selama masa perkuliahan.
Semakin lama, keberadaan Kirana justru membuat Vania tidak nyaman. Kirana tidak punya ambisi berlebihan, dan tak pernah berusaha menonjol, apalagi mencari perhatian. Ia cukup menjadi dirinya sendiri. Tulus, alami, dan tetap disukai banyak orang. Sementara Vania harus terus berusaha keras menyenangkan banyak pihak, menjaga citra, dan memutar strategi untuk tetap berada di atas. Kenapa justru Kirana yang lebih menarik perhatian? Kenapa pujian, kekaguman, bahkan respek yang sebenarnya justru mengarah padanya? Padahal secara angka, IPK Vania lebih tinggi, title mahasiswa berpretasi juga ada di tangannya. Namun, di mata banyak orang, sosok cerdas dan berintegritas di angkatan mereka tetap saja... Kirana.
Yang paling menyebalkan, bahkan di saat-saat paling terdesak, termasuk satu tahun lalu, Kirana tetap tak kehilangan ketenangannya. Ada sesuatu dalam ketenangan itu yang membuat Vania geram. Senyum tenang di wajah Kirana saat ini tampak begitu menantang, begitu tak tergoyahkan, hingga terasa seperti penghinaan terselubung. Di mata Vania, itu bukan ketenangan. Itu kesombongan yang dibungkus kepasrahan.
“Atau … kamu takut, rahasiamu kubongkar?” Kirana memandang tepat mata Vania.
Senyum Vania berubah. Tak lagi manis. Dingin. “Aku nggak takut, Kir. Sama sekali nggak.” Vania terkekeh. “Rahasia apa yang bisa kamu bongkar kalau orang-orang juga nggak percaya sekalipun kamu bicara.”
“Aku cuma pastikan kamu tetap di tempatmu. Kalah! Nggak lebih, nggak kurang. Kamu yang ngilang dua semester. Kamu yang nggak langsung ajukan ganti dosbing waktu dosenmu kena kasus. Dan sekarang nyalahin aku?”
Kirana tercekat. Kata-kata itu seperti belati, menusuk sedikit keyakinan yang susah payah ia kumpulkan. Namun, ia tahu Vania tidak sepenuhnya salah. Sistem ini memang tidak pernah memihak orang sepertinya yang tak punya kuasa, tak punya nama, dan tak punya pelindung.
Vania berdiri, merapikan kardigan abu-abunya dengan elegan. Wajahnya tenang, seperti baru saja menang dalam permainan kecil yang ia kuasai dengan baik.
“Selamat berjuang, Kirana. Kalau kamu mau cepat lulus, jangan cuma bisa ngeluh. Tapi… ya, siapa juga yang mau denger suara kamu?” Ia tersenyum puas, pemandangan di mana Kirana tak bisa membalas perkataannya seperti ini sangat ia nikmati.
Kali ini Kirana tidak menjawab. Ia memang bukan siapa-siapa. Dari dulu, dari satu setengah tahun yang lalu, keadaan tetap sama. Ia bersuara dan tidak ada yang percaya. Ia mau melangkah lagi dan orang punya kuasa menghalangi.
Ketika Vania melangkah pergi, Kirana menatap es tehnya yang kini benar-benar hambar. Sisa rasa manisnya lenyap, seperti harapan yang ikut luntur di tengah ketidakberdayaan. Ia menarik napas dalam, menahan air mata yang sudah menggantung di pelupuk. Ia tidak boleh menangis. Tidak di tempat ini. Tidak karena orang seperti Vania yang seolah terus mempermalukannya.
Dadanya sesak. Kepalanya penuh. Bukan hanya karena kekalahan yang baru saja ia telan, tetapi karena kenyataan bahwa sistem ini bisa begitu mudah ditundukkan oleh orang-orang yang punya kuasa. Apa pun yang ia perjuangkan seakan sia-sia.
Namun, di tengah kekacauan itu, Kirana menggenggam satu hal: ia tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Ia tahu ini bukan kesalahannya. Dan ia berjanji kepada ibunya, kepada Bu Ratna, dan yang paling kuat kepada dirinya sendiri. Ia tak akan membiarkan dirinya terjebak sebagai korban untuk kedua kalinya.
Lalu pertanyaan-pertanyaan itu datang, menyesaki pikirannya.
Kenapa semua ini harus terjadi padanya?
Kenapa seolah-olah semua jalan menuju kelulusan seperti tertutup?
Dan yang lebih mengganggu lagi ... kenapa harus Vania?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Kirana, tanpa jawaban pasti. Kirana mencoba menyusun semua ingatannya perlahan. Awal masa kuliah saat semuanya masih biasa saja dan senyum Vania belum tampak seperti ancaman, manipulasi yang perlahan Kirana sadari, dan puncak permasalahan saat hidup Kirana mulai dipenuhi retakan.
Apa sebenarnya yang membuat Vania begitu berhasrat menghalanginya?
Apa salah Kirana, hingga ia menjadi sasaran?