Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Menjadi farmasis adalah impian Kirana sejak SMA. Mungkin terkesan aneh karena profesi apoteker bukanlah pekerjaan yang umum diketahui banyak orang. Waktu kecil, Kirana Prameswari paling senang bermain “rumah-rumahan” dengan peran sebagai ibu yang selalu merawat boneka-bonekanya saat “sakit”. Di lemari kecilnya, tersusun rapi botol-botol kosong bekas obat sirup dan strip vitamin bekas, yang ia kumpulkan diam-diam setelah ibunya membuangnya. Ia akan menirukan suara dokter, lalu buru-buru berpura-pura menakar obat dengan sendok teh plastik. Tapi bukan menjadi dokter yang ia inginkan. Ia hanya menyukai bagian saat orang-orang sembuh. Saat obat berhasil.

Minat itu tumbuh makin nyata ketika Kirana duduk di bangku SMA. Ia pernah mengikuti lomba karya ilmiah remaja, membuat daftar tanaman herbal sederhana yang bisa menurunkan kadar gula darah. Ia tidak menang, tapi dari situ ia mulai membaca banyak jurnal kesehatan, belajar sendiri tentang senyawa aktif, interaksi obat, dan peran apoteker dalam sistem kesehatan. Baginya, dunia farmasi bukan sekadar tentang “meracik obat”, tapi tentang menjadi jembatan antara pengetahuan ilmiah dan kesembuhan nyata.

Ketika pengumuman SNMPTN keluar dan namanya muncul di pilihan pertama, Farmasi, Kirana menangis di pelukan ibunya. Bukan karena ia tidak percaya bisa lolos, tapi karena ia tahu kuliah ini akan berat. Farmasi bukan jurusan main-main. Namun, ia sudah mantap. Ingin menjadi seseorang yang punya keahlian, yang bisa membantu orang lain, yang kelak bisa membuat keluarganya bangga.

Satu hal yang selalu ia ingat adalah kalimat yang ditulisnya sendiri di dinding kamar kos pada hari pertama masuk kuliah:

“Obat bisa menyembuhkan. Tapi ilmu yang tulus akan menyelamatkan lebih banyak hal.”

***

“Permisi, Kak, gedung serba guna di mana, ya?”

Hari pertama perkuliahan, Kirana dengan seragam putih-hitam dilengkapi berbagai atribut mahasiswa baru kesulitan menemukan gedung tempat berkumpul. Ia sendirian, belum ada yang Kirana kenal di sini. Teman SMA-nya tidak ada satu pun yang mengambil jurusan Farmasi.

Senior yang ditanyai berbalik badan, dan jujur saja Kirana sempat takjub. Kirana tidak pernah menggunakan ukuran fisik untuk menilai seseorang, tetapi sosok di hadapannya ini … sangat tampan. Wajahnya memiliki garis tegas yang harmonis dengan rahang kuat. Alisnya tebal dan rapi, matanya yang tajam tapi tidak mengintimidasi. Cara dia berdiri, dengan sikap tenang dan percaya diri tanpa kesan sombong, membuat Kirana sesaat sulit melepaskan pandangan.

Astaghfirullah … astaghfirullah. Kirana cepat menyadarkan dirinya untuk tidak memperhatikan berlebihan. Sungguh tidak sopan sekali menilai fisik seseorang yang baru saja ditemui.

Senior tadi menunjukkan gedung yang ada di sebelah kanannya menggunakan jempol. Ada spanduk tanda penyambutan mahasiswa baru berukuran sangat besar terpampang di sana.

Argh … memalukan sekali. Kirana tiba-tiba merasa canggung. Wajahnya memanas tanpa ia sadari, dan ia buru-buru menunduk, seolah ada debu yang harus ia periksa di sepatu. Ia coba tepis rasa malu yang menjalar. Jangan sampai senior ini berpikir ia sengaja bertanya lokasi gedung yang ada tepat di depan mata untuk mencari perhatian.

“Buruan masuk, sebentar lagi acaranya mulai,” ujar senior itu santai.

“Ah... iya, Kak. Terima kasih banyak. Assalamu’alaikum.”

Kirana segera mengambil kesempatan itu untuk kabur secepat mungkin, tanpa sadar senior itu masih memperhatikannya. Karena tubuh Kirana yang kecil, senior tadi sempat mengira ia anak SMP yang nyasar ke fakultas. Ternyata, mahasiswa baru.

“Wa’alaikum salam,” sahut senior itu pelan.

Di dalam gedung berisi ratusan mahasiswa baru dari program sarjana dan diploma, Kirana baru mengetahui senior yang ia temui di depan tadi, adalah ketua panitia OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). Namanya Dirga Mahendra, ia berdiri di depan memberi kata sambutan dan mahasiswa di sekitar Kirana agak ribut menyuarakan kekaguman.

“Tuh, kan, berarti normal kalau tadi aku sempat terdistraksi.” Kirana membela diri dalam hati.

Rangkaian acara penyambutan mahasiswa baru hari pertama masih didominasi oleh sambutan-sambutan dari dosen, pengurus fakultas, serta perwakilan organisasi mahasiswa. Kemudian dilanjutkan dengan pengenalan lingkungan kampus secara umum. Mata Kirana membulat saat beberapa alumnus diundang untuk berbicara dan membagikan pengalaman. Mereka menyampaikan gambaran prospek kerja lulusan farmasi yang begitu luas dan menjanjikan—ada yang bekerja di perusahaan farmasi multinasional, menjabat posisi strategis di dinas kesehatan, membuka apotek sendiri dan sukses, hingga menjadi penanggung jawab apotek rumah sakit besar di provinsi ini.

Suatu saat, Kirana membatin, aku juga harus bisa menjadi orang yang bermanfaat seperti mereka.

Setelah istirahat, salat, dan makan siang, acara berlanjut dengan suasana yang lebih santai. Seorang senior pria yang energik dan supel naik ke atas panggung. Ia memperkenalkan diri dengan gaya yang membuat ruangan ramai tertawa.

“Sekarang waktunya ice breaking, biar enggak pada kaku kayak tablet expired,” ujarnya, disambut riuh tawa mahasiswa baru.

Kirana ikut tersenyum. Ia mulai merasa lebih nyaman, perlahan mengendurkan ketegangannya.

Sang senior melanjutkan, “Nah, saya mau tanya, siapa di sini yang tahu kenapa lambang farmasi itu berupa...?”

Ia menunjuk layar di belakangnya, menampilkan gambar tongkat dengan ular melilit dan mangkuk yang sering terlihat di logo apotek dan lembaga farmasi.

“Yup! Kenapa lambangnya begitu? Ada yang tahu sejarah atau filosofinya?”

Beberapa mahasiswa tampak saling pandang. Tangan-tangan mulai terangkat. Kirana sempat berpikir untuk menjawab, ia sudah membaca banyak hal tentang dunia farmasi sebelumya, informasi tentang lambang farmasi sudah lengkap di otaknya. Namun, kembali ia ragu, masih memilih mengamati.

Senior itu mengangguk pada satu mahasiswa di tengah barisan yang duduk hanya dua baris di depan Kirana.

“Jangan lupa perkenalkan dirinya, ya,” ujar senior pembawa acara.

Mahasiswa itu berdiri. “Nama saya Vania Anindia Putri.” Suaranya jernih dan artikulasinya nyaris sempurna. “Lambang farmasi yang berupa mangkuk dan ular itu namanya Bowl of Hygieia. Mangkuknya melambangkan wadah atau tempat obat, sedangkan ular melambangkan kebijaksanaan dan penyembuhan. Ini berasal dari Hygieia, dewi kesehatan dalam mitologi Yunani.”

Beberapa mahasiswa baru saling melirik, sebagian mulai mencatat.

“Tapi maknanya nggak cuma simbolik,” lanjut Vania, sorot matanya tajam, tetapi tenang. “Ular yang punya bisa, racun, yang kalau ditempatkan dalam takaran atau gelas yang tepat, efeknya justru bisa menyembuhkan. Di situlah pentingnya ilmu dosis. Dalam dunia farmasi, dosis adalah segalanya. Obat bisa jadi racun, racun bisa jadi obat. Semua tergantung pada takaran dan cara penggunaannya.”

“Farmasi bukan sekadar meracik obat,” lanjut Vania lagi, “tapi juga tentang menjaga keseimbangan antara ilmu pengetahuan, kehati-hatian, dan etika. Makanya, lambang itu enggak hanya estetika, tapi juga pengingat filosofi profesi kita.”

Terdengar gumaman kagum dan tepuk tangan kecil dari barisan belakang. Sang senior pembawa acara tersenyum lebar.

“Penjelasannya sangat keren. Silakan ambil hadiah kecil di belakang nanti, ya.”

Ruangan bergemuruh, karena tadi senior pembawa acara tidak menyebutkan kalau yang menjawab akan mendapatkan hadiah. Seandainya disebutkan, mereka akan lebih kompetitif, katanya.

Vania kembali duduk dengan tenang, bahkan sempat tersenyum kecil saat beberapa mahasiswa baru berbisik-bisik memujinya, termasuk Kirana yang juga sempat terpaku. Untuk kedua kalinya hari ini.

Baru pertama kali dalam hidupnya Kirana melihat langsung wanita secantik Vania dari dekat—kulit cerah, senyum tenang, dan sorot mata percaya diri.

“Cantik banget, ya. Gaya bicaranya enak lagi kelihatan pinter,” bisikan pujian bernada serupa dari kanan dan kiri Kirana. “Disandingkan sama Bang Dirga tadi kayaknya cocok banget, serasa nonton drakor,” timpal yang lainnya.

“Tuh, kan, berarti normal kalau tadi aku sempat terdistraksi—lagi. Kirana kembali membela diri dalam hati.

Pembawa acara kembali melemparkan beberapa pertanyaan, dan suasana yang sebelumnya agak kaku kini mulai mencair. Para mahasiswa baru terlihat lebih santai, beberapa mulai berani menjawab dengan semangat.

“Oh, ya. Siapa di sini yang menjadikan Farmasi sebagai pilihan pertama?” tanya pembawa acara sambil melirik ke arah kerumunan.

Beberapa tangan terangkat, sebagian ragu-ragu, sebagian lagi terlihat mantap. Sepertinya pembawa acara sudah paham betul, tidak sedikit yang memilih jurusan ini setelah gagal masuk Kedokteran.

“Kalau begitu, siapa yang mau sharing kenapa Farmasi jadi pilihan utama?”

Tangan-tangan yang tadinya terangkat mulai turun satu per satu.

“Biar seru, kali ini kita minta ketua panitia untuk menunjuk langsung,” ucap pembawa acara sambil menoleh ke arah Dirga. “Pilih siapa, nih, Bang Dirga?”

Tanpa berpikir lama, Dirga mengangkat tangan dan menunjuk seseorang di tengah kerumunan. “Yang itu,” katanya mantap.

Jari Dirga mengarah tepat ke Kirana.

Kirana sempat terdiam. Sekilas ia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan apakah yang dimaksud benar-benar dirinya.

Yang Kirana tidak tahu, sejak awal Dirga memang memperhatikan dirinya. Dirga dari tadi melihat Kirana yang tampak kalem dan tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Tidak terlalu berteriak atau tertawa keras saat keadaan sedang seru, bertepuk tangan dengan pandangan kagum penuh ketulusan saat ada yang bisa menjawab, serta yang paling menarik perhatian Dirga, mata yang berbinar-binar ketika sesi penyampaian potensi kerja oleh para alumnus.

“Saya?” tanyanya, menunjuk diri sendiri.

“Iya, kamu,” ulang Dirga sambil tersenyum tipis.

Kirana ingin sekali menolak, tapi rasanya tidak mungkin. Dalam hati, ia sempat bertanya-tanya—apa ini balasan karena insiden pagi tadi?

Walaupun pada dasarnya Kirana tidak suka menjadi pusat perhatian, secara akademis ia bukan sosok biasa. Hampir selalu meraih juara umum saat SMA, dan beberapa kali mewakili sekolah dalam lomba-lomba ilmiah. Tapi Kirana bukan tipe yang suka bicara panjang lebar kecuali saat diperlukan. Ia menjawab ketika harus, bertanya ketika penasaran, dan bicara lebih banyak jika itu berkaitan dengan nilai.

Kini, dengan sedikit ragu, Kirana berdiri. Ia tersenyum kikuk saat menerima mikrofon yang diangsurkan oleh panitia.

“Assalamu’alaikum, hai semua. Saya Kirana Prameswari.”

Suaranya mungkin tak sekuat atau sevokal Vania, tapi dari tubuh mungilnya, tampak ketenangan yang perlahan menggantikan rasa kikuk. 

“Dari kecil saya selalu penasaran,” Kirana memulai, “kenapa setiap saya demam, Ayah memaksa saya minum sirup rasa buah yang tetap terasa pahit. Dan setelah itu, penyakit saya hilang. Seolah-olah sirup itu … ajaib. Saya bisa main lagi keesokan harinya.”

Ia berhenti sebentar, mengatur napas, lalu melanjutkan.

“Waktu SMA, saya ikut lomba karya ilmiah. Enggak menang, sih, karena saya cuma menyusun kompilasi tanaman herbal yang dipercaya bisa bantu turunkan gula darah. Tapi dari situ saya jadi penasaran. Gimana caranya sirup warna-warni tapi pahit bisa nurunin panas? Kenapa tanaman-tanaman herbal yang katanya ‘pahit’ juga bisa bantu atur gula darah?”

Kirana menghela napas kecil. Suaranya tetap tenang, tapi kini ada kilatan semangat dalam matanya.

“Saya mulai baca dari sumber-sumber yang bisa saya akses waktu itu. Dan masyaallah … ternyata di balik rasa pahit itu, ada senyawa yang bisa berinteraksi dengan tubuh, memperbaiki yang tidak seimbang, lalu atas izin Allah—menyembuhkan.”

Ia menunduk sejenak, seperti memilah kata-kata di pikirannya.

“Sampai saya tahu bahwa seorang farmasis berperan penting dalam merancang, memastikan, dan menyampaikan obat yang tepat dosis dan aman kepada pasien. Dari situ saya tahu, ini bukan cuma soal 'meracik obat', tapi soal bagaimana pengetahuan ilmiah bisa menjembatani harapan kesembuhan.”

Kirana tersenyum tipis, polos dan tulus.

“Jadi, Farmasi adalah pilihan pertama saya. Kalau diberi kesempatan untuk kuliah, inilah tempat yang saya harapkan. Dan alhamdulillah … sekarang saya ada di sini, bersama teman-teman semua.”

Ia kembali terdiam. Mendadak canggung. Apakah penjelasannya barusan terlalu panjang? Terlalu serius? Atau membosankan?

“Eh, itu aja dari saya. Terima kasih banyak. Assalamu’alaikum.”
Ia mengembalikan mikrofon, kembali menjadi Kirana yang kikuk dan cepat-cepat duduk.

Hening sejenak. Lalu perlahan, ruangan dipenuhi tepuk tangan.

“Alasan yang sungguh mendalam sekali, ya,” puji pembawa acara, kali ini terdengar tulus meskipun ia masih sedikit terkejut mendengar jawaban sepanjang dan sekompleks itu dari seorang mahasiswa baru.

Beberapa peserta tampak saling menoleh, ada yang manggut-manggut pelan, ada yang mulai melihat Kirana tidak hanya sebagai mahasiswi pendiam yang duduk tenang sejak pagi. Kirana yang mungil dan awalnya terlihat biasa, tanpa sadar telah membuat kesan yang kuat.

Dirga ikut tersenyum kecil. Tapi bukan senyum sembarang. Dalam hati, ia merasa cukup tersindir. Bukan karena Kirana berkata sesuatu yang menyinggung, sama sekali tidak. Namun, karena penjelasan Kirana begitu yakin, begitu merdeka. Gadis itu memilih jurusan ini karena ia tahu betul apa yang ia inginkan, dan mengungkapkannya dengan jujur tanpa upaya melebih-lebihkan.

Berbanding terbalik dengan dirinya. Dirga tidak pernah benar-benar memilih Farmasi karena ingin. Ia yang mau tidak mau memilih jurusan ini sebagai penjaga dari seseorang. Sebuah keputusan yang tidak sepenuhnya datang dari dirinya sendiri.

Sementara itu, Kirana hanya tersenyum simpul mendengar tanggapan pembawa acara. Ada gejolak batin kecil yang menyelinap: apakah ia tadi terlalu banyak bicara? Tapi ia mencoba mengabaikannya. Ia tidak memperhatikan beberapa tatapan kagum yang sempat mengarah padanya, juga tidak menyadari bagaimana sesaat dirinya menjadi pusat perhatian yang meninggalkan kesan. Ia hanya ingin menyampaikan isi hatinya dan itu sudah cukup.

Acara pun terus berlanjut, kini dengan suasana yang semakin seru. Para mahasiswa baru mengikuti arahan pembawa acara dengan antusias. Tawa dan tepuk tangan mewarnai ruangan setiap kali ice breaking dilakukan. Semua tampak menikmati, kecuali satu orang yang belum benar-benar kembali ke alurnya.

Vania.

Ia masih terpaku pada “penampilan” Kirana barusan. Bukan karena ingin mengapresiasi, melainkan karena heran dan sedikit jengkel. Bagaimana bisa mahasiswi mungil itu, dengan suara yang bahkan tak sejelas miliknya, bicara terbata dan tak punya daya tarik fisik seperti yang selama ini jadi keunggulan Vania, tiba-tiba mencuri perhatian begitu banyak orang?

Dan yang paling mengusik pikirannya: intensitas perhatian itu nyaris sebanding dengan yang ia terima sebelumnya. Padahal Vania merasa telah menyampaikan jawaban sempurna, dengan cara bicara yang sudah ia latih bertahun-tahun, dengan penampilan yang ia tahu menawan. Tapi gadis satu itu … hanya bicara apa adanya. Dan semua orang mendengarkan.

Lalu ada Dirga.

Matanya sempat tertumbuk cukup lama ke arah Kirana. Vania tahu benar, Dirga tidak mudah menunjukkan ketertarikan atau sekadar memperhatikan orang secara terang-terangan. Vania mengenalnya sejak SMP, dan sejak itu pula ia memperhatikan Dirga. Jadi ketika Dirga terlihat memandangi Kirana beberapa detik lebih lama dari biasanya, Vania langsung menyadarinya.

Pandangan Vania bergeser ke arah dua baris di belakang, ke tempat Kirana duduk. Ia mengamati gadis itu cukup lama, seolah menakar, menilai. Apa yang sebenarnya menarik dari dirinya?

Lalu, seolah menyadari sedang diperhatikan, Kirana menoleh.

Mata mereka bertemu.

Vania memberikan senyuman terbaiknya. Manis, tenang, dengan karisma yang biasa ia andalkan. Kirana pun tersenyum balik. Sopan. Biasa. Tanpa rasa ingin mengesankan siapa pun. Dan entah mengapa, senyuman balasan seperti itu terasa … mengganggu bagi Vania.

***

Saat istirahat salat Asar, Kirana duduk di pelataran masjid, membetulkan posisi sepatunya. Angin sore menyapa lembut, membawa sedikit aroma wangi dari taman kecil di seberang pelataran. Kirana menikmati momen tenang itu, sebelum suara ceria tiba-tiba memecah keheningan.

“Hai! Namaku Rayya. Kamu Kirana, kan?”

Kirana agak kaget. Ia menoleh, mendapati seorang gadis berwajah ramah dan cerah berdiri di sampingnya. Bibirnya tersenyum lebar, matanya berbinar seperti baru menemukan mainan baru yang menyenangkan.

Kirana segera berdiri dan menjabat tangan yang disodorkan. “Hai juga Rayya, salam kenal.”

“Aku suka banget cara kamu jawab pertanyaan senior tadi. Bener-bener keren, rasanya aku yang deg-degan waktu kamu cerita.” Rayya menjelaskan cepat, antusias, tanpa diminta. Akan tetapi, tidak berlebihan, ada ketulusan yang terasa dari setiap katanya.

Sejak pertama melihat Kirana berdiri dan menjawab pertanyaan, Rayya langsung tertarik. Entah kenapa, gadis itu terlihat berbeda. Tenang, tidak mencari perhatian, tapi justru memikat. Fix, batinnya, harus dijadikan teman, harus banget.

Apalagi dengan postur Kirana yang mungil dan wajahnya yang kalem, imut-imut. Rumah Rayya dipenuhi abang-abangnya yang semuanya tinggi besar dan keras. Jadi melihat Kirana seperti melihat boneka hidup bisa membuat hatinya menghangat dan berbunga-bunga.

Kirana tersenyum tipis, agak canggung. “Ya… cuma coba jawab sebisanya aja, sih.”

Mereka masih berbincang ringan ketika langkah mantap seseorang menghampiri. Dentingan halus dari gantungan tas branded yang dibawa gadis itu mengiringi setiap langkahnya. Aura percaya dirinya menyeruak bahkan sebelum ia duduk di sebelah Rayya, ikut membenarkan sepatunya.

“Rayya, ayo buruan kita balik ke ruangan. Jangan duduk lama-lama di sini. Tadi kata panitia nggak boleh telat,” katanya sambil melirik jam tangannya.

“Iya iya, tapi kenalin dulu nih, Kirana. Dia keren banget—” Rayya belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika si gadis langsung menoleh.

“Vania,” katanya singkat, dengan senyum tipis dan tangan terulur.

Kirana membalas jabatan tangannya dengan sopan. “Kirana.”

Tidak ada tekanan, tidak ada basa-basi berlebihan, tapi ada ketegangan halus yang sempat melintas. Mungkin hanya sekelebat perasaan yang tak tertangkap jelas, tapi Kirana bisa merasakannya. Vania, dengan seluruh pembawaannya, seperti menyimpan lapisan lain di balik senyum tenangnya.

Obrolan ringan kembali mengalir. Awalnya agak kaku, tapi lambat laun menjadi lebih cair. Topik sederhana seperti suasana kampus, rasa makanan kotak siang tadi, dan kekocakan pembawa acara mulai membuat mereka bertiga tertawa bersama. Secara alami, mereka berjalan bersisian menuju gedung serbaguna.

Dan secara alami pula, hari itu menjadi awal dari sebuah kedekatan yang tidak direncanakan. Sebuah babak baru dalam hidup mereka bertiga sebagai mahasiswa baru yang kelak akan berbagi cerita, tawa, air mata, dan perjalanan panjang bersama. Kirana, Rayya, dan Vania—seorang yang tenang, seorang yang ceria, dan seorang yang … penuh “kejutan”.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
love like you
450      320     1     
Short Story
XIII-A
724      538     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Under The Same Moon
385      256     4     
Short Story
Menunggumu adalah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kulakukan. Tanpa kepastian. Ketika suatu hari kepastian itu justru datang dari orang lain, kau tahu itu adalah keputusan paling berat untukku.
Isi Hati
496      351     4     
Short Story
Berawal dari sebuah mimpi, hingga proses berubahnya dua orang yang ingin menjadi lebih baik. Akankah mereka bertemu?
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
267      217     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Salju di Kampung Bulan
2098      962     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
YANG PERNAH HILANG
1365      557     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
Pemeran Utama Dzul
389      259     4     
Short Story
Siapa pemeran utama dalam kisahmu? Bagiku dia adalah "Dzul" -Dayu-
DEWS OF MOCCACINO ICE
599      414     0     
Short Story
I am Home
549      383     5     
Short Story
Akankah cinta sejati menemukan jalan pulangnya?