Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Ruang administrasi ini tak pernah terasa bersahabat. Dindingnya tinggi, berwarna putih tulang, dan selalu terasa sunyi meski banyak pegawai di dalamnya. Kirana berdiri di depan loket biro akademik dengan map berisi fotokopi surat keterangan kasus Pak Bima, surat rekomendasi Bu Ratna, dan berkas pengajuan penggantian dosen pembimbing.

"Selamat pagi, Bu. Saya mau mengajukan pergantian dosen pembimbing satu."

Petugas administrasi itu menatapnya datar. Tanpa senyum, tanpa sambutan. “Nama?”

“Kirana Prameswari.”

Jari petugas itu menari di atas keyboard, matanya menyipit ke layar monitor. “Dosen pembimbing satu masih Pak Bima. Status belum dihapus karena belum ada SK baru dari fakultas.”

Kirana mengangguk pelan. “Saya tahu, Bu. Tapi sudah satu tahun lebih sejak beliau ditahan. Penelitian saya tidak bisa dilanjutkan karena saya butuh tanda tangan dosen pembimbing 1 untuk surat izin penggunaan lab. Saya bawa surat rekomendasi dari dosen pembimbing dua, Bu Ratna.”

Petugas itu hanya mengambil mapnya, membuka lembar satu per satu, lalu menaruhnya di nampan.

“Nanti kami proses. Minggu depan cek lagi ke sini.”

“Maaf, Bu. Apakah saya bisa ikut bicara langsung ke bagian akademik fakultas? Atau mungkin dekanat?”

Petugas itu mendesah pendek. “Semua sudah ada alurnya, Dek. Tunggu saja.”

Jawaban itu seperti tembok tebal. Kirana menggigit bibir. Matanya sempat berkaca-kaca, tapi ia segera menunduk, mengucap terima kasih, dan pergi.

***

Sudah dua minggu sejak Kirana mengajukan pergantian dosen pembimbing 1. Hampir setiap hari ia harus bermuka tebal mendatangani pegawai administrasi untuk menanyakan apakah ada perkembangan dan kabar terbaru dari pihak fakultas, tetapi hasilnya nihil. Mereka hanya mengoper Kirana dari satu ruangan ke ruangan lain, dari satu petugas, dosen, atau entah siapa yang katanya bisa memberikan solusi.

Kirana sungguh jenuh dengan aturan administrasi fakultasnya yang selalu njlimet seperti ini. Sejak kasus Pak Bima bergulir, pihak kampus seolah tidak melakukan apa-apa, padahal kasus tersebut banyak merugikan mahasiswa yang harus bimbingan skripsi termasuk Kirana. Ia pikir harusnya pihak fakultas yang proaktif membantu mahasiswa dengan langsung mencari pengganti setiap amanah yang dipegang oleh Pak Bima. Bukan malah membiarkan seperti ini.

Kirana memijit lehernya, beban yang ia pikir mulai terangkat, kini malah harus stagnan gara-gara administrasi. Daun kembang bulan yang ia petik sudah kering. Harus ada surat izin untuk penggunaan alat-alat laboratorium demi kepentingan ekstraksi, yang untuk pengajuannya diperlukan tanda tangan pembimbing 1 dan 2. Seluruh berkas lain sudah Kirana siapkan, bahkan proposal penelitan yang sudah direvisi pun sedikit lagi mendapat ACC dari Bu Ratna.

Menyebalkan sekali bukan, saat langkah kita tertunda hanya karena masalah administrasi yang sumber masalahnya bukan diri kita sendiri.

Kirana melihat lembaran surat izin penggunaan lab yang sudah ia kantongi 1 tahun lalu, izin yang hanya berlaku 3 bulan setelah surat dikeluarkan oleh pihak fakultas.

“Apa surat ini kupalsukan saja?” Sempat terbersit pikiran nekad seperti itu di pikiran Kirana. Tapi dia tidak mau seperti Vania, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

[Gimana, Na? Udah ada perkembangan soal dosbing?]

Pesan dari Rayya yang udah mulai sibuk dengan PKPA (Praktik Kerja Profesi Apoteker) hingga untuk sementara tidak berhadir di kampus.

[Masih sama Ray.] Kirana membalas dengan emotikon sedih beberapa buah, tanda ia frustrasi.

Rayya membalas kembali dengan belasan emotikon menangis. [Apa yang bisa kubantu, Na?]

Kirana menyenderkan badannya di kursi perpustakaan Fakultas, menutup wajahnya dengan lembaran proposal penelitian yang belum dijilid rapi, hanya disatukan asal pakai staples.

“Udah dapat kabar baik, Kir?” Seseorang mengangkat lembaran kertas yang menutup wajah Kirana. Dari cara memanggilnya bisa dipastikan ini Fathur.

Fathur mengambil tempat di depan Kirana, jarak antara mereka dibatasi meja yang juga penuh buku referensi dan skripsi terdahulu yang tadi Kirana baca. Kirana menegakkan posisi duduknya, menjawab dengan gelengan kepala.

“Masih dibola-bola ke sana sini tanpa kejelasan.” Kirana mengangkat bahunya, menegaskan ketidakpercayaan jalan buntu yang ia hadapi.

Fathur ingin menjawab dengan candaan, mungkin bisa sedikit menghibur dan memperbaiki suasana hati Kirana, tapi dari ekspresi Kirana, dia tahu ini bukan saat yang tepat.

“Kalau nggak ada perubahan status dosen pembimbing satu, bakal tetap mentok, ya?”

Kirana mengangguk. “Bu Ratna bilang, selama belum ada surat resmi pengganti, beliau tidak bisa mengambil alih sepenuhnya. Padahal beliau sebenarnya mau bantu. Tapi ya... birokrasi,” katanya, diselingi tawa getir.

“Udah coba langsung ke bagian akademik?”

“Udah. Dua kali. Yang pertama disuruh nunggu. Yang kedua... disuruh isi formulir pengajuan ulang. Tapi pas formulirnya aku serahkan, mereka bilang masih harus tunggu disposisi dari dekan. Muter-muter terus.”

Fathur menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mendongak ke langit-langit ruang baca. “Kayaknya mereka pikir kita semua punya waktu abadi, ya.”

Kirana menyipit. “Padahal kita ini dikejar waktu. Aku tinggal punya... lima ... empat bulan, Thur. Empat bulan. Kalau sampai akhir semester belum selesai, harus ambil semester baru lagi, semester 11.”

Kalimat itu meluncur dari mulut Kirana dengan berat. Tak pernah terbayangkan olehnya akan terjebak dalam situasi seperti ini. Ia yang memulai perkuliahan dengan gemilang, IPK tinggi, cepat dapat dosen pembimbing, mendadak “terpaksa” menghilang selama dua semester. Kini, ketika ia berusaha bangkit, menyusun kembali semangat yang berserakan dan mengumpulkan sisa-sisa data yang masih bisa diselamatkan, jalan di depannya malah kembali buntu.

Fathur diam, tapi sorot matanya tajam.

“Besok aku temenin ke ruang administrasi, ya,” ujarnya pelan.

“Hah?”

“Aku kenal seseorang di sana. Senior angkatan di SMA dulu. Sekarang dia kerja di bagian tata usaha. Nggak janji bisa bantu langsung, tapi setidaknya kita coba. Jangan pasrah gitu aja, Kir. Kalau sistem muter-muter, ya kita cari pintu masuk yang lain.”

Kirana menatap Fathur, lama.

Entah kenapa, setiap kali semua terasa buntu, Fathur datang dengan sikap seenaknya tapi ucapan yang sering kali tepat sasaran. Ia bukan tipe penyelamat dalam cerita-cerita romantis. Tapi justru karena itu, ia terasa nyata.

“Boleh,” kata Kirana akhirnya. “Tapi kamu juga harus mempersiapkan diri untuk seminar hasil, kan?”

Fathur menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mau membahas tentang seminar hasil di hadapan Kirana yang “masih” berjuang untuk pergantian dosen pembimbing. Bahkan saat menemui Kirana sekarang, ia memakai jaket menutupi kemeja putihnya.

“Aku udah lihat jadwalnya di papan pengumuman, kok. Jadwalmu nanti bakda Zuhur, kan?”

Fathur tertawa pendek, lalu menangkupkan tangannya di samping mulut, seolah hendak membisikkan rahasia negara.

“Iya, bakda Zuhur. Pas waktunya kantuk melanda dan isi otakku biasanya jalan-jalan ke warung nasi padang.”

Kirana tertawa kecil.

“Aku takut pas sesi tanya jawab malah kepleset jawab, ‘Maaf, Bu, saya lapar.’”

“Jadi kamu nutupin kemeja putih itu biar nggak keliatan kayak mau disidang?” goda Kirana, melirik jaket yang masih menempel di tubuh Fathur.

“Persis!” jawabnya cepat. “Strategi kamuflase. Biar kelihatan masih santai padahal hatiku udah diservis ulang sepuluh kali.” Ia meletakkan tangan di dada, bergaya dramatis.

“Skripsi itu kayak film horor. Tapi penontonnya disuruh jadi pemeran utama dan nggak boleh kabur.”

Kirana menggeleng sambil terkekeh. “Tapi kamu bakal lancar, Fath. Kamu tuh suka ngelucu, dosen juga jadi adem dengernya.”

Fathur pura-pura menatap jauh ke langit-langit. “Doain aja ya, semoga dosen penguji nanti nggak alergi sama komedi. Ya gimana lagi, yang duduk di depanku nanti bukan dosen biasa. Ada Bu Indri juga. Tahu sendiri kan beliau hobinya nanya hasil penelitian sampai penelitinya ikut meragukan diri sendiri.”

“Mau dibantuin simulasi tanya jawab, nggak? Atau mau coba presentasi di depan ‘senior’mu ini?” Kirana menawarkan bantuan, bantuan ringan untuknya yang belakangan ini terlalu banyak dibantu. “Ya … mungkin nggak cocok, sih, gimana ceritanya mahasiswa yang penelitiannya aja belum maju mau bantuin yang beberapa jam lagi seminar hasil.”

Mata Fathur berbinar. “Serius? Wah, boleh banget! Tapi kamu jangan galak ya, Kir. Takut nanti mental aku lepas duluan sebelum disidang.”

“Galak itu bonus. Biar kamu tahan banting,” sahut Kirana, mulai membuka laporan hasil penelitan Fathur dan meletakkannya di atas meja.

Kehadiran Fathur sedikit mengangkat keresahan di hati Kirana. Entah kenapa, walau cowok itu sering bercanda kelewat batas dan penuh gaya sok akrab, ia tetap jadi sosok yang bisa membuat suasana tak terasa sesak. Kirana merasa pikirannya yang semula berat mulai mencair pelan-pelan.

Fathur mencondongkan tubuh, bersandar di meja, memandangi lembaran catatan yang dibuka. “Oke, Bu Dosen Killer. Silakan mulai uji kelayakan saya.”

Kirana menahan senyum, lalu mulai dengan nada formal. “Baik. Bisa dijelaskan kenapa kamu memilih metode maserasi dalam proses ekstraksi senyawa aktif dari daun pepaya?”

Fathur langsung duduk tegap, tangannya saling menggenggam seperti sedang presentasi beneran. “Karena saya nggak punya alat soxhletasi dan nggak punya cukup waktu buat mikrodistilasi. Jadi ya, pilihannya maserasi. Ekonomis, realistis, merakyat.”

Kirana melotot pura-pura marah. “Jawaban semacam itu langsung gugur, Saudara Fathur.”

Mereka tertawa bersama. Suasana kembali cair. Kirana mengulang pertanyaan dengan versi yang lebih teknis, dan kali ini Fathur menjawab lebih serius. Ia menjelaskan tahapan ekstraksi, pelarut yang dipakai, hingga kendala selama uji pendahuluan.

Beberapa kali Kirana memberikan masukan. “Kamu harus hati-hati di bagian ini, soalnya dosen penguji biasanya senang menanyakan detail pelarut dan alasannya. Jangan cuma bilang ‘karena biasa dipakai’.”

Fathur mencatat. “Oke, noted. Aku bakal bilang karena senyawa target lebih larut dalam pelarut itu, plus kompatibel dengan karakter senyawa polar.”

Kirana mengangguk, cukup puas. Ia melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain, sebagian ia reka berdasarkan pengalaman senior-seniornya.

Selama hampir satu jam mereka larut dalam simulasi itu. Dan ketika akhirnya selesai, Fathur menghela napas panjang.

“Kir, kamu serius nggak mau buka jasa simulasi skripsi? Asli, aku lebih deg-degan waktu kamu nanya tadi daripada bayangan seminar hasil nanti.” Fathur tidak berbohong, ia benar-benar kagum pada Kirana yang sudah vakum begitu lama, tapi sama sekali tidak kehilangan kecemerlangannya.

Kirana tersenyum kecil. “Kamu aja yang terlalu banyak gaya. Tapi aku senang kalau ini bisa bantu kamu.”

Fathur menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Kamu juga bakal sampai ke titik ini, Kir. Aku yakin. Dan kalau nanti waktumu tiba, aku gantian bantu kamu latihan.”

Kirana diam, lalu mengangguk pelan. “Semoga aku bisa sampai tahap itu, ya.”

“Bisa. Pasti bisa. Kamu udah sejauh ini,” kata Fathur sambil mengepalkan tangan. “Tinggal satu tanjakan lagi. Abis itu kamu tinggal lambaikan tangan ke kamera.”

Kirana menertawakan gaya lebay itu, tapi di dalam hatinya, ia benar-benar merasa sedikit lebih ringan.

“Oke, pokoknya besok aku temani ke bagian administrasi, ya. Siapa tahu hati mereka luluh lihat Fathur yang... murah senyum, suka bantuin orang, dan punya tatapan kasihanin kayak kucing kehujanan,” kata Fathur sambil memiringkan kepala dan menampilkan ekspresi memelas yang sengaja dilebih-lebihkan.

Kirana menahan tawa, menatapnya geli. “Iya, iya. Jangan pikirkan urusanku dulu. Sekarang fokus, konsentrasi, dan perbanyak doa,” ujarnya, lalu membenahi duduknya dan merapikan jilbab, memberi sinyal bahwa obrolan harus segera diakhiri sebelum azan usai.

Azan Zuhur berkumandang, mengisi sela percakapan mereka dengan ketenangan yang sederhana. Kali ini, dalam sujudnya, Kirana tidak hanya memohon agar urusannya diberi kemudahan oleh Allah, tetapi juga mendoakan kelancaran seminar hasil Fathur.

***

Sore itu, lorong depan ruang seminar mendadak ramai. Mahasiswa yang baru keluar dari sesi presentasi tampak lebih lega; sebagian langsung membuka ponsel untuk mengabari orang rumah, sementara yang lain berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membahas ulang pertanyaan dari dosen penguji atau sekadar melepaskan ketegangan dengan bercanda.

Tak lama, seluruh peserta seminar hasil dan sidang untuk gelombang tersebut dipanggil masuk kembali. Suasana kembali hening dan tegang—pengumuman hasil kerja keras mereka akan segera disampaikan.

Tiga puluh menit kemudian, satu per satu mahasiswa keluar dari ruangan dengan berbagai ekspresi. Ada yang tampak kecewa, ada yang bingung, tetapi banyak juga yang tersenyum lega. Di antara mereka, Fathur melangkah cepat keluar, ekspresi gugupnya seketika berubah menjadi lega dan bahagia. Ia berdiri di ambang pintu beberapa detik, seperti sedang memastikan semuanya nyata.

“A!” serunya pelan, seolah tak percaya. Tubuhnya melompat kecil. “Alhamdulillah... A!”

Beberapa teman di dekatnya langsung menepuk punggung dan menyelamati. Fathur membalas dengan pelukan singkat dan ucapan terima kasih yang nyaris terbata-bata. Di tengah kerumunan itu, pandangannya menangkap Kirana yang berdiri tak jauh, mengangkat tangan dan tersenyum lebar padanya.

Ia segera berjalan cepat ke arah gadis itu. “Kir! Aku dapet A!”

Kirana menyambut dengan senyum tulus. “Selamat, Fathur. Aku tahu kamu bisa.”

Beberapa mahasiswa lain ikut berseru, memberi selamat sambil tertawa senang. Kirana ikut larut dalam kegembiraan itu, hatinya hangat melihat para juniornya berhasil melewati tahap penting ini, terutama Fathur. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kebahagiaan orang lain, menyingkirkan sejenak kekhawatiran tentang dosen pembimbing yang belum selesai.

Beberapa junior di sekitar mereka ikut mendoakan, “Semoga Mbak Kirana segera nyusul, ya!”

Kirana tertawa kecil dan mengaminkan kencang dalam hati, semoga urusan dosen pembimbing satu bisa selesai terlebih dahulu.

Namun, sebelum ia sempat membalas, langkah kaki terdengar dari arah lorong samping. Dirga lewat bersama Vania. Mereka tampak hendak menuju ruang dosen. Keduanya tadi bertemu di parkiran; Vania baru selesai praktik di salah satu rumah sakit dan harus mampir ke kampus untuk mengambil berkas penting.

Vania melirik sekilas ke arah Fathur dan Kirana, lalu mengangkat alis sambil menyunggingkan senyum semanis mungkin.

“Wah, manis banget ya, duo ekspedisi daun. Romantis juga.”

Dirga tidak menanggapi, tapi tatapannya tetap terarah ke Kirana. Pandangannya lekat, tetapi ekspresinya sulit ditebak. Tidak ada senyum, tidak juga amarah, hanya datar dan sunyi, seperti sedang menimbang sesuatu yang tak bisa ia ucapkan.

Kirana mendengar jelas ucapan Vania, tapi memilih untuk tetap berdiri tegak. Ia tahu Vania tidak benar-benar sedang bercanda. Nada suaranya terlalu ringan untuk sesuatu yang seharusnya santai. Tapi Kirana menolak untuk terpancing.

Fathur hanya menoleh singkat, lalu mengangguk sopan. “Makasih, Kak Vania. Tapi ini bukan soal romantis. Ini soal perjuangan panjang. Dan hanya orang-orang yang benar-benar berjuang yang mengerti,” katanya, tenang tetapi bermakna.

Kirana menarik napas pelan, mencoba tetap tenang. “Ayo, kita cari tempat duduk. Kamu pasti butuh minum setelah deg-degan begitu. Kali ini aku yang traktir,” ujarnya pelan pada Fathur.

Ia hanya ingin pergi dari sana. Dari sorot mata Vania yang menyentil, dari tatapan Dirga yang tidak ia pahami. Fathur mengangguk. Mereka pun berjalan menjauh, membiarkan Vania dan Dirga melanjutkan langkah mereka sendiri.

Sesaat sebelum mereka menuruni tangga, Kirana sempat menoleh ke belakang. Matanya bertemu dengan mata Dirga. Sekilas. Namun, cukup untuk membuat waktu seakan berhenti sesaat. Dari sudut pandang Kirana tatapan itu selalu menyimpan sesuatu, tapi ketika pandang mereka bertemu, mereka segera memalingkan wajah, pura-pura tidak melihat.

"Pasti bukan apa-apa, bukan apa-apa. Tatapan itu tidak berarti apa pun. Dirga bantuin petik daun? Itu karena aku teman Rayya, kan?" Kirana selalu berupaya menepis selintas pikiran aneh apa pun yang sempat muncul.

Kirana tidak tahu, dalam map yang ada di tangan Dirga, terdapat beberapa jurnal yang relevan dengan penelitian Kirana saat ini. Dirga sebenarnya ingin menyerahkannya langsung. Ia sudah menyiapkan kata-kata, tapi entah kenapa, setiap hal yang berkenaan dengan Kirana, ia selalu saja melewatkan momen yang tepat.

Lorong itu pun kembali hening setelah keramaian reda. Hanya suara langkah-langkah kaki yang berjarak, dan pikiran masing-masing yang masih tertinggal di antara keputusan, gengsi, dan kata-kata yang belum terucap. Tapi sore itu juga, Kirana merasa sedikit lebih ringan. Setidaknya ada satu kabar baik hari ini, satu keberhasilan yang bisa ia syukuri bersama orang terdekat. Dan siapa tahu, hal-hal lain yang belum selesai... suatu hari nanti, bisa dibereskan juga. Pelan-pelan. Satu per satu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Awal Akhir
709      452     0     
Short Story
Tentang pilihan, antara meninggalkan cinta selamanya, atau meninggalkan untuk kembali pada cinta.
Lady Cyber (Sang Pengintai)
2457      962     8     
Mystery
Setiap manusia, pasti memiliki masa lalu. Entah itu indah, atau pun suram. Seperti dalam kisah Lady Cyber ini. Mengisahkan tentang seorang wanita bernama Rere Sitagari, yang berjuang demi menghapus masa lalunya yang suram. Dibalut misteri, romansa, dan ketegangan dalam pencarian para pembantai keluarganya. Setingan hanya sekedar fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama, peristiwa, karakter, atau s...
Ilona : My Spotted Skin
488      356     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Invisible Girl
1205      627     1     
Fan Fiction
Cerita ini terbagi menjadi 3 part yang saling berkaitan. Selamat Membaca :)
Titisan Iblis
283      226     0     
Romance
Jika suatu saat aku mati, aku hanya ingin bersamamu, Ali .... Jangan pernah pergi meninggalkanku..... "Layla "
Liontin Semanggi
1415      868     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
GEANDRA
400      315     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
No Life, No Love
997      792     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Kesempatan
20121      3208     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Between Earth and Sky
1972      569     0     
Romance
Nazla, siswi SMA yang benci musik. Saking bencinya, sampe anti banget sama yang namanya musik. Hal ini bermula semenjak penyebab kematian kakaknya terungkap. Kakak yang paling dicintainya itu asik dengan headsetnya sampai sampai tidak menyadari kalau lampu penyebrangan sudah menunjukkan warna merah. Gadis itu tidak tau, dan tidak pernah mau tahu apapun yang berhubungan dengan dunia musik, kecuali...