Hari ini, mau nggak mau gue harus masuk kerja. Tiga hari bolos bikin utang jaga gue menumpuk. Apalagi, Cantika tipe orang yang sangat nggak mau rugi. Padahal, yang jaga sendiri Lala, tapi dia tiba-tiba minta gue gantiin tiga hari kemarin karena merasa dia nggak jadi libur sebelumnya. Gue nggak mau ribut, berusaha menghemat tenaga semaksimal mungkin, jadi gue iyain. Cantika masuk pagi, besok libur, dan baru masuk lagi nanti setelah libur tiga hari.
Pas sampe apotek, Lala lagi beres-beres. Anak itu sampe baik ke kursi demi bisa menjangkau debu di bagian atas etalase.
"La, hati-hati," kata gue.
Dia balik badan, senyum, terus mengacungkan jempolnya. Gue sendiri ngambil sapu dan ikut bersih-bersih biarpun Lala langsung ngomel dan bilang nggak perlu nyapu.
Andai ada kerjaan yang nggak capek, tapi bikin kaya, gue pasti milih itu. Sayangnya, kerjaan paling menyenangkan sekalipun kayak yang berdasarkan hobi, ada masanya bikin capek dan stres. Kayak apa yang dilakuin customer gue tadi pagi. Di awal gue udah menekankan kalau gue cuma ngasih empat kali kesempatan buat revisi, dua kali pas masih dalam bentuk sketsa, sisanya setelah pewarnaan. Dia minta bongkar ulang karena ngerasa gue salah menerjemahkan deskripsi kover yang dia kasih. Kalau salahnya emang di gue, kenapa nggak pas dalam bentuk sketsa dia komplain? Akhirnya, terpaksa gue ngulang, tapi customer kayak gitu nggak akan gue terima lagi.
Dengan kondisi sekarang, gue butuh kerja dengan tenang karena stres memicu reaksi berlebihan dari badan gue. Cuma tiga jam gue tidur hari ini. Satu jam setelah minum air jahe bikinan Ibu, dua jam lagi sebelum berangkat kerja. Jadi, gue benar-benar nggak ada tenaga buat berantem sama siapa pun.
"Nu nggak apa-apa?"
Gue kaget karena tau-tau Lala udah turun dan sekarang berdiri tepat di sebelah gue. "Nggak, La," sahut gue. "Kenapa emang? Udah selesai beres-beresnya? Gue bentar lagi."
"Udah. Debuan banget di atas tadi. Si Tuan Putri mana mau bersih-bersih gini."
Spontan gue ketawa. Omongan Lala benar. Bahkan, dari awal gue kerja bareng dia, nggak pernah sekalipun dia megang sapu atau lap. Kalau kelihatan ada yang kotor, atasan gue sengaja nyari masalah di jam gue atau Raina kerja, jadi pas Cantika kayak udah aja gitu nggak pernah bikin salah apa-apa.
"Sabar, ya, La."
"Gue nggak, sih, Nu, yang harusnya bilang gitu? Lo jadi harus gantiin dia jaga full shift tiga hari berturut-turut. Aneh banget. Kan gue yang sebelumnya gantiin lo, kok dia yang minta ganti?"
"Udahlah biarin aja. Di belakangnya ada Bu Ola, gue males ribut. Mending capek jaga daripada capek berantem. Nanti kalau misal dia udah masuk, gantian lo yang libur, ya, La. Gue minta maaf ngerepotin lo beberapa hari ini."
"Iya, utang lo banyak. Jadi, Lo harus hidup selama-lama-lama-lamanya!"
Gue cuma ngangguk kecil. Nggak berani terkesan menjanjikan. Ya, gimana? Hidup dan mati manusia bukan gue yang atur.
"Treatment kapan, Nu?"
"Hm?"
"Gue baca-baca treatment-nya macam-macam, bisa bedah, kemoterapi, atau radiasi terus ada lagi, tapi gue lupa. Kapan?"
"Masih gue pikirin. Ibu sama Icel belum tau soalnya, La. Jadi, lo juga jangan bilang dulu ke mereka sebelum gue siap, ya."
"Kenapa, Nu? Bukannya harus cepat, ya, penanganannya? Apalagi di stadium tiga."
Dia keliatan banget kaget dan sedih dengan pernyataan gue, tapi untuk sekarang beneran belum bisa ngomong. Ibu baru aja jadi lebih baik. Dari jam tiga pagi setelah gue muntah-muntah, Ibu bikinin jahe hangat, bawain gue makanan, untungnya bisa masuk biarpun nggak banyak, dan Ibu ngerti. Mana mungkin gue ngerusak nuansa sehangat itu dengan pengumuman sakit ini? Rasanya keterlaluan kalau gue mengacau lagi.
"Ibu udah baik banget, La. Tadi aja gue dibikinin minuman hangat, terus disuapin. Masa tega gue bikin kacau semuanya?"
Kening cewek itu mengkerut, antara bingung dan nggak percaya, mirip gue tadi sebenarnya. Ekspresinya benar-benar sepaket sama terjemahannya. Gue juga masih mikirin itu. Gue cuma minta Selly ngobrol sama Ibu, jagain Ibu, tapi setelah itu tiba-tiba Ibu jadi baik.
"Kayaknya baru kemarin lo bilang habis marah. Tapi, syukurlah kalau udah baikan."
Benar, kan, gue bilang. Dia pasti punya pemikiran yang sama. "Nggak ngerti juga, La. Semalam pas ada tragedi, Ibu mau nyamperin gue nggak kayak biasanya. Dia beneran ngurusin gue dari jam tiga tadi. Padahal, Ibu harus jualan paginya. Ibu juga minta maaf buat semuanya."
"Semoga jadi awal yang baik, ya, Nu. Semoga juga ini cuma satu dari sekian banyak kebahagiaan yang Tuhan janjikan buat lo di depan nanti."
Gue juga berharap demikian. Manusia di belahan bumi mana, sih, yang nggak pengin bahagia? Mungkin gue pernah lupa rasanya setelah Bapak nggak ada, tapi gue masih punya Ibu sama Selly, harusnya gue masih bisa bahagia karena setidaknya masih ada mereka di hidup gue.
Nggak lama setelah gue sama Lala selesai bersih-bersih dan ngobrol panjang lebar soal Cantika, Selly datang. Matanya sembab, tapi dia langsung nyapa Lala dengan cerianya. Anak itu juga tiba-tiba nyium punggung tangan gue, hal yang hampir udah nggak pernah dia lakukan lagi setelah kami sama-sama dewasa. Gue sebenarnya pengin nanya, tapi ada Lala. Takutnya, dia yang tadinya mau cerita malah jadi kesal atau malu karena gue bahas itu di depan orang lain. Jadi, gue menahan diri. Nanti aja di rumah gue tanya.
Dari satu jam sebelum poli buka, pasien udah mulai rame. Gue nggak tau malam ini bakal secapek apa, jadi tiap sempet gue ngemil, kalau perut gue mulai sakit atau mual langsung berhenti. Gitu terus. Pokoknya harus masuk makanan biar ada tenaga.
Anehnya, setiap Selly lihat gue lagi coba makan di belakang, matanya berkaca-kaca. Ah, nggak. Nggak cuma pas gue makan, dia selalu kayak gitu tiap mata kita ketemu. Kayak sedih yang dalam banget. Gue beneran takut kalau ternyata dia tau kondisi gue, walaupun kemungkinannya kecil banget buat dia tau.
Pikiran gue yang semrawut, bikin perut gue sakit lagi. Rasanya kayak diremas dari dalam, sakit banget. Gue berusaha menjauh dari Selly sama Lala, berharap mereka nggak sadar gue ngilang walaupun cuma duduk diam di belakang. Rambut gue mulai lepek dan basah karena keringat dingin, tapi gue nggak berani minum obat sekarang karena takut konsentrasi gue pecah pas kerja.
Pas gue sibuk sama rasa sakitnya, pintu apotek tiba-tiba terbuka. Gue yang kaget refleks merapat ke etalase alat kesehatan, berusaha terlihat sibuk.
"Mana Selly?"
Orang itu ternyata Pak Taufik.
"Di depan, Pak. Ada apa, ya, Pak?"
Dia nggak peduli sama pertanyaan gue dan memilih langsung ke depan menemui Selly.
"Kenapa nggak angkat telepon Saya?" tanyanya.
Nggak pikir panjang gue langsung ikut ke depan. Takut terjadi terjadi apa-apa. Ditanya kayak gitu, Selly terlihat marah. Gue tau banget adik gue gimana.
"HP saya rusak, Pak. Kadang nggak muncul notifikasi."
Mustahil HP sebagus itu rusak nggak sampe hitungan bulan. Jelas Selly berbohong. Tapi, gue masih diam. Berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.
"Saya lebih tua dari kamu dan saya atasan kamu. Kalau saya menghubungi kamu, mau telepon atau chat, balas! Apalagi masalah pekerjaan. Jangan seperti kakakmu yang minus etika dan sopan santun. Jangan jadi manusia rendahan juga seperti dia!"
Tangan Selly terkepal dan sedikit gemetar. Gue mungkin udah biasa dibilang kayak gitu, udah kebal, tapi gue tau Selly terluka karena omongan Pak Taufik.
"Kamu dihubungi juga karena ini memang pekerjaan kamu. Sekolah nggak tinggi nggak apa-apa, tapi minimal punya sopan santun. Kalau HP kamu rusak, harusnya setelah kamu lihat kamu ada etika buat membalas. Ternyata kamu sama bodohnya seperti kakak kamu."
"Dari tadi Bapak bahas etika, sopan santun, etika sopan santun. Terus yang Bapak lakuin ke saya malam itu apa mencerminkan seseorang yang punya etika dan sopan santun?"
Oke, Lala kaget. Gue kaget. Pak Taufik jelas syok. Dia yang sebelumnya marah menggebu-gebu langsung bungkam, sedangkan Lala nangis.
"Sebenarnya Bapak sadar, kan, saya menghindar? Harusnya Bapak sadar kesalahan apa yang Bapak lakukan. Kalau orang itu pasien, Bapak bisa beralasan kalau itu merupakan prosedur pemeriksaan, tapi apa yang terjadi sama saya jelas bukan itu? Saya sehat dan nggak merasa kurang satu apa pun tapi Bapak berani menyentuh saya."
Gue langsung melotot mendengar pengakuan Selly barusan. Suaranya cukup nyaring buat bikin semua orang yang ada di luar mendengar. Tapi, atasan gue beneran nggak melawan lagi.
"Temui saya di atas."
Cuma itu yang dia bilang sebelum akhirnya meninggalkan apotek.
"Cel, maksudnya apa? Dia ngapain kamu?"
Tangisnya pecah. Dia menghambur memeluk gue, membuat gue semakin yakin benar ada yang terjadi saat itu. Gue balas memeluk anak itu, berusaha menenangkan walaupun gue sebenarnya juga hampir meledak.
"Gimana kejadiannya? Kenapa bisa sampe kayak gini? Kamu ngapain ketemu dia berdua?"
Awalnya Selly kelihatan ragu buat cerita, tapi mungkin karena telanjur basah, dia akhirnya jujur.
"Hari itu, sebelum dimarahin aku emang minta waktu buat ngobrol, Mas. Karena aku mau bilang kalau aku nggak jadi ambil tawaran kuliah itu. Jadi, habis dimarahin dia minta aku tetap di atas." Jeda beberapa saat karena Selly sibuk terisak.
Gue sendiri minta tolong sama Lala buat ngerjain resep sendiri dulu, karena pikiran gue udah nggak jelas gimana. Takut malah salah dan membahayakan orang. Sekuat tenaga juga gue menahan diri biar nggak tiba-tiba nonjok atasan gue kalau ternyata dia benar melakukan sesuatu.
"Terus?"
"Karena kuliah itu mimpi besar aku, jadi aku nangis pas bilang nggak jadi ambil. Pak Taufik tiba-tiba minta aku lebih dekat ke mejanya, jadi yang tadinya aku duduk hadap-hadapan kayak dokter sama pasien, jadi ada di sebelahnya. Pak Taufik ngusap-ngusap kepala aku, dan aku pikir itu cuma bentuk kasih sayang seorang ayah ke anaknya karena dia baik banget selama ini dan tau Bapak udah nggak ada."
Gue berusaha buat nggak mengumpat walaupun satu kebun binatang rasanya ada kepala dan siap meluncur dari mulut gue.
"Tapi, dia narik tangan aku dan minta aku duduk di pangkuannya. Aku masih nggak mikir macam-macam karena Bapak dulu juga gitu pas masih ada."
Tangan gue terkepal kuat. Siap banget bikin gigi si tua bangka itu lepas minimal enam gigi paling depan.
"Nggak berhenti di situ, pas aku lagi nangis sesenggukan, tangannya mulai gerak menyentuh yang lain dan aku blank di situ, Mas. Aku nggak bisa mikir, bagian gerak. Aku berusaha mencerna apa yang terjadi, tapi nggak masuk di kepalaku."
Demi Tuhan gue nggak sanggup dengar apa pun lagi. Apalagi, Selly bilang dia benar-benar menyentuh area sensitifnya, bahkan buka masker Selly dengan paksa dan cium dia. Selly yang lagi sekosong itu pikirnya diangkat ke atas ranjang pasien, dan di situ Selly mulai sadar itu nggak benar. Dia langsung bangun, terus lari ke lantai bawah. Pas Lala ngajak ngobrol pun dia masih biasa, nggak nangis sama sekali, dan di rumah, barulah dia nangis sejadi-jadinya karena sadar itu pelecehan. Dia nggak bilang sama Ibu apalagi gue.
Badan gue mendadak terasa panas. Gue yang sebelumnya nggak punya tenaga buat ngapa-ngapain pun, berasa dapat energi dari Tuhan buat bikin hancur laki-laki itu. Selama ini orang-orang menganggap dia laki-laki dermawan, religius, dan sangat berwibawa. Tapi, jangan harap dia masih memiliki nama baik dan kehormatan itu setelah bikin adik gue hancur.
Selesai Selly cerita, gue berniat ke atas, nyamperin dia. Tapi, Selly menahan.
"Kasih aku kesempatan buat dapat minimal satu bukti, Mas. Kalau kita nggak bisa menang lewat hukum, sanksi sosial bakal bikin dia lebih dari hancur. Karena nama baik dan harga dirinya segalanya. Aku nggak peduli apa yang bakal terjadi sama aku suatu hari nanti atau di masa depan, siapa pun yang bikin aku hancur, dia harus merasakan lebih dari itu. Aku nggak salah, pikiranku pun positif sebelum itu terjadi, jadi aku nggak bakal biarin dia hidup tenang dengan keluar dari sini gitu aja. Aku juga nggak mau Mas terlibat. Aku sayang, Mas, dan aku pasti menghukum orang yang selama beberapa bulan ini membuat Mas merasa rendah diri."
Ada tekad yang kuat dalam cara bicaranya, walaupun gue tau dia ketakutan. Gue pun nggak akan diam aja, pasti menemani, walaupun berjarak.
Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰
Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta