Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Hari ini, mau nggak mau gue harus masuk kerja. Tiga hari bolos bikin utang jaga gue menumpuk. Apalagi, Cantika tipe orang yang sangat nggak mau rugi. Padahal, yang jaga sendiri Lala, tapi dia tiba-tiba minta gue gantiin tiga hari kemarin karena merasa dia nggak jadi libur sebelumnya. Gue nggak mau ribut, berusaha menghemat tenaga semaksimal mungkin, jadi gue iyain. Cantika masuk pagi, besok libur, dan baru masuk lagi nanti setelah libur tiga hari.

Pas sampe apotek, Lala lagi beres-beres. Anak itu sampe baik ke kursi demi bisa menjangkau debu di bagian atas etalase.

"La, hati-hati," kata gue.

Dia balik badan, senyum, terus mengacungkan jempolnya. Gue sendiri ngambil sapu dan ikut bersih-bersih biarpun Lala langsung ngomel dan bilang nggak perlu nyapu.

Andai ada kerjaan yang nggak capek, tapi bikin kaya, gue pasti milih itu. Sayangnya, kerjaan paling menyenangkan sekalipun kayak yang berdasarkan hobi, ada masanya bikin capek dan stres. Kayak apa yang dilakuin customer gue tadi pagi. Di awal gue udah menekankan kalau gue cuma ngasih empat kali kesempatan buat revisi, dua kali pas masih dalam bentuk sketsa, sisanya setelah pewarnaan. Dia minta bongkar ulang karena ngerasa gue salah menerjemahkan deskripsi kover yang dia kasih. Kalau salahnya emang di gue, kenapa nggak pas dalam bentuk sketsa dia komplain? Akhirnya, terpaksa gue ngulang, tapi customer kayak gitu nggak akan gue terima lagi.

Dengan kondisi sekarang, gue butuh kerja dengan tenang karena stres memicu reaksi berlebihan dari badan gue. Cuma tiga jam gue tidur hari ini. Satu jam setelah minum air jahe bikinan Ibu, dua jam lagi sebelum berangkat kerja. Jadi, gue benar-benar nggak ada tenaga buat berantem sama siapa pun.

"Nu nggak apa-apa?"

Gue kaget karena tau-tau Lala udah turun dan sekarang berdiri tepat di sebelah gue. "Nggak, La," sahut gue. "Kenapa emang? Udah selesai beres-beresnya? Gue bentar lagi."

"Udah. Debuan banget di atas tadi. Si Tuan Putri mana mau bersih-bersih gini."

Spontan gue ketawa. Omongan Lala benar. Bahkan, dari awal gue kerja bareng dia, nggak pernah sekalipun dia megang sapu atau lap. Kalau kelihatan ada yang kotor, atasan gue sengaja nyari masalah di jam gue atau Raina kerja, jadi pas Cantika kayak udah aja gitu nggak pernah bikin salah apa-apa.

"Sabar, ya, La."

"Gue nggak, sih, Nu, yang harusnya bilang gitu? Lo jadi harus gantiin dia jaga full shift tiga hari berturut-turut. Aneh banget. Kan gue yang sebelumnya gantiin lo, kok dia yang minta ganti?"

"Udahlah biarin aja. Di belakangnya ada Bu Ola, gue males ribut. Mending capek jaga daripada capek berantem. Nanti kalau misal dia udah masuk, gantian lo yang libur, ya, La. Gue minta maaf ngerepotin lo beberapa hari ini."

"Iya, utang lo banyak. Jadi, Lo harus hidup selama-lama-lama-lamanya!"

Gue cuma ngangguk kecil. Nggak berani terkesan menjanjikan. Ya, gimana? Hidup dan mati manusia bukan gue yang atur.

"Treatment kapan, Nu?"

"Hm?"

"Gue baca-baca treatment-nya macam-macam, bisa bedah, kemoterapi, atau radiasi terus ada lagi, tapi gue lupa. Kapan?"

"Masih gue pikirin. Ibu sama Icel belum tau soalnya, La. Jadi, lo juga jangan bilang dulu ke mereka sebelum gue siap, ya."

"Kenapa, Nu? Bukannya harus cepat, ya, penanganannya? Apalagi di stadium tiga."

Dia keliatan banget kaget dan sedih dengan pernyataan gue, tapi untuk sekarang beneran belum bisa ngomong. Ibu baru aja jadi lebih baik. Dari jam tiga pagi setelah gue muntah-muntah, Ibu bikinin jahe hangat, bawain gue makanan, untungnya bisa masuk biarpun nggak banyak, dan Ibu ngerti. Mana mungkin gue ngerusak nuansa sehangat itu dengan pengumuman sakit ini? Rasanya keterlaluan kalau gue mengacau lagi.

"Ibu udah baik banget, La. Tadi aja gue dibikinin minuman hangat, terus disuapin. Masa tega gue bikin kacau semuanya?"

Kening cewek itu mengkerut, antara bingung dan nggak percaya, mirip gue tadi sebenarnya. Ekspresinya benar-benar sepaket sama terjemahannya. Gue juga masih mikirin itu. Gue cuma minta Selly ngobrol sama Ibu, jagain Ibu, tapi setelah itu tiba-tiba Ibu jadi baik.

"Kayaknya baru kemarin lo bilang habis marah. Tapi, syukurlah kalau udah baikan."

Benar, kan, gue bilang. Dia pasti punya pemikiran yang sama. "Nggak ngerti juga, La. Semalam pas ada tragedi, Ibu mau nyamperin gue nggak kayak biasanya. Dia beneran ngurusin gue dari jam tiga tadi. Padahal, Ibu harus jualan paginya. Ibu juga minta maaf buat semuanya."

"Semoga jadi awal yang baik, ya, Nu. Semoga juga ini cuma satu dari sekian banyak kebahagiaan yang Tuhan janjikan buat lo di depan nanti."

Gue juga berharap demikian. Manusia di belahan bumi mana, sih, yang nggak pengin bahagia? Mungkin gue pernah lupa rasanya setelah Bapak nggak ada, tapi gue masih punya Ibu sama Selly, harusnya gue masih bisa bahagia karena setidaknya masih ada mereka di hidup gue.

Nggak lama setelah gue sama Lala selesai bersih-bersih dan ngobrol panjang lebar soal Cantika, Selly datang. Matanya sembab, tapi dia langsung nyapa Lala dengan cerianya. Anak itu juga tiba-tiba nyium punggung tangan gue, hal yang hampir udah nggak pernah dia lakukan lagi setelah kami sama-sama dewasa. Gue sebenarnya pengin nanya, tapi ada Lala. Takutnya, dia yang tadinya mau cerita malah jadi kesal atau malu karena gue bahas itu di depan orang lain. Jadi, gue menahan diri. Nanti aja di rumah gue tanya.

Dari satu jam sebelum poli buka, pasien udah mulai rame. Gue nggak tau malam ini bakal secapek apa, jadi tiap sempet gue ngemil, kalau perut gue mulai sakit atau mual langsung berhenti. Gitu terus. Pokoknya harus masuk makanan biar ada tenaga.

Anehnya, setiap Selly lihat gue lagi coba makan di belakang, matanya berkaca-kaca. Ah, nggak. Nggak cuma pas gue makan, dia selalu kayak gitu tiap mata kita ketemu. Kayak sedih yang dalam banget. Gue beneran takut kalau ternyata dia tau kondisi gue, walaupun kemungkinannya kecil banget buat dia tau.

Pikiran gue yang semrawut, bikin perut gue sakit lagi. Rasanya kayak diremas dari dalam, sakit banget. Gue berusaha menjauh dari Selly sama Lala, berharap mereka nggak sadar gue ngilang walaupun cuma duduk diam di belakang. Rambut gue mulai lepek dan basah karena keringat dingin, tapi gue nggak berani minum obat sekarang karena takut konsentrasi gue pecah pas kerja.

Pas gue sibuk sama rasa sakitnya, pintu apotek tiba-tiba terbuka. Gue yang kaget refleks merapat ke etalase alat kesehatan, berusaha terlihat sibuk.

"Mana Selly?"

Orang itu ternyata Pak Taufik.

"Di depan, Pak. Ada apa, ya, Pak?"

Dia nggak peduli sama pertanyaan gue dan memilih langsung ke depan menemui Selly.

"Kenapa nggak angkat telepon Saya?" tanyanya.

Nggak pikir panjang gue langsung ikut ke depan. Takut terjadi terjadi apa-apa. Ditanya kayak gitu, Selly terlihat marah. Gue tau banget adik gue gimana.

"HP saya rusak, Pak. Kadang nggak muncul notifikasi."

Mustahil HP sebagus itu rusak nggak sampe hitungan bulan. Jelas Selly berbohong. Tapi, gue masih diam. Berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.

"Saya lebih tua dari kamu dan saya atasan kamu. Kalau saya menghubungi kamu, mau telepon atau chat, balas! Apalagi masalah pekerjaan. Jangan seperti kakakmu yang minus etika dan sopan santun. Jangan jadi manusia rendahan juga seperti dia!"

Tangan Selly terkepal dan sedikit gemetar. Gue mungkin udah biasa dibilang kayak gitu, udah kebal, tapi gue tau Selly terluka karena omongan Pak Taufik.

"Kamu dihubungi juga karena ini memang pekerjaan kamu. Sekolah nggak tinggi nggak apa-apa, tapi minimal punya sopan santun. Kalau HP kamu rusak, harusnya setelah kamu lihat kamu ada etika buat membalas. Ternyata kamu sama bodohnya seperti kakak kamu."

"Dari tadi Bapak bahas etika, sopan santun, etika sopan santun. Terus yang Bapak lakuin ke saya malam itu apa mencerminkan seseorang yang punya etika dan sopan santun?"

Oke, Lala kaget. Gue kaget. Pak Taufik jelas syok. Dia yang sebelumnya marah menggebu-gebu langsung bungkam, sedangkan Lala nangis.

"Sebenarnya Bapak sadar, kan, saya menghindar? Harusnya Bapak sadar kesalahan apa yang Bapak lakukan. Kalau orang itu pasien, Bapak bisa beralasan kalau itu merupakan prosedur pemeriksaan, tapi apa yang terjadi sama saya jelas bukan itu? Saya sehat dan nggak merasa kurang satu apa pun tapi Bapak berani menyentuh saya."

Gue langsung melotot mendengar pengakuan Selly barusan. Suaranya cukup nyaring buat bikin semua orang yang ada di luar mendengar. Tapi, atasan gue beneran nggak melawan lagi.

"Temui saya di atas."

Cuma itu yang dia bilang sebelum akhirnya meninggalkan apotek.

"Cel, maksudnya apa? Dia ngapain kamu?"

Tangisnya pecah. Dia menghambur memeluk gue, membuat gue semakin yakin benar ada yang terjadi saat itu. Gue balas memeluk anak itu, berusaha menenangkan walaupun gue sebenarnya juga hampir meledak.

"Gimana kejadiannya? Kenapa bisa sampe kayak gini? Kamu ngapain ketemu dia berdua?"

Awalnya Selly kelihatan ragu buat cerita, tapi mungkin karena telanjur basah, dia akhirnya jujur.

"Hari itu, sebelum dimarahin aku emang minta waktu buat ngobrol, Mas. Karena aku mau bilang kalau aku nggak jadi ambil tawaran kuliah itu. Jadi, habis dimarahin dia minta aku tetap di atas." Jeda beberapa saat karena Selly sibuk terisak.

Gue sendiri minta tolong sama Lala buat ngerjain resep sendiri dulu, karena pikiran gue udah nggak jelas gimana. Takut malah salah dan membahayakan orang. Sekuat tenaga juga gue menahan diri biar nggak tiba-tiba nonjok atasan gue kalau ternyata dia benar melakukan sesuatu.

"Terus?"

"Karena kuliah itu mimpi besar aku, jadi aku nangis pas bilang nggak jadi ambil. Pak Taufik tiba-tiba minta aku lebih dekat ke mejanya, jadi yang tadinya aku duduk hadap-hadapan kayak dokter sama pasien, jadi ada di sebelahnya. Pak Taufik ngusap-ngusap kepala aku, dan aku pikir itu cuma bentuk kasih sayang seorang ayah ke anaknya karena dia baik banget selama ini dan tau Bapak udah nggak ada."

Gue berusaha buat nggak mengumpat walaupun satu kebun binatang rasanya ada kepala dan siap meluncur dari mulut gue.

"Tapi, dia narik tangan aku dan minta aku duduk di pangkuannya. Aku masih nggak mikir macam-macam karena Bapak dulu juga gitu pas masih ada."

Tangan gue terkepal kuat. Siap banget bikin gigi si tua bangka itu lepas minimal enam gigi paling depan.

"Nggak berhenti di situ, pas aku lagi nangis sesenggukan, tangannya mulai gerak menyentuh yang lain dan aku blank di situ, Mas. Aku nggak bisa mikir, bagian gerak. Aku berusaha mencerna apa yang terjadi, tapi nggak masuk di kepalaku."

Demi Tuhan gue nggak sanggup dengar apa pun lagi. Apalagi, Selly bilang dia benar-benar menyentuh area sensitifnya, bahkan buka masker Selly dengan paksa dan cium dia. Selly yang lagi sekosong itu pikirnya diangkat ke atas ranjang pasien, dan di situ Selly mulai sadar itu nggak benar. Dia langsung bangun, terus lari ke lantai bawah. Pas Lala ngajak ngobrol pun dia masih biasa, nggak nangis sama sekali, dan di rumah, barulah dia nangis sejadi-jadinya karena sadar itu pelecehan. Dia nggak bilang sama Ibu apalagi gue. 

Badan gue mendadak terasa panas. Gue yang sebelumnya nggak punya tenaga buat ngapa-ngapain pun, berasa dapat energi dari Tuhan buat bikin hancur laki-laki itu. Selama ini orang-orang menganggap dia laki-laki dermawan, religius, dan sangat berwibawa. Tapi, jangan harap dia masih memiliki nama baik dan kehormatan itu setelah bikin adik gue hancur. 

Selesai Selly cerita, gue berniat ke atas, nyamperin dia. Tapi, Selly menahan.

"Kasih aku kesempatan buat dapat minimal satu bukti, Mas. Kalau kita nggak bisa menang lewat hukum, sanksi sosial bakal bikin dia lebih dari hancur. Karena nama baik dan harga dirinya segalanya. Aku nggak peduli apa yang bakal terjadi sama aku suatu hari nanti atau di masa depan, siapa pun yang bikin aku hancur, dia harus merasakan lebih dari itu. Aku nggak salah, pikiranku pun positif sebelum itu terjadi, jadi aku nggak bakal biarin dia hidup tenang dengan keluar dari sini gitu aja. Aku juga nggak mau Mas terlibat. Aku sayang, Mas, dan aku pasti menghukum orang yang selama beberapa bulan ini membuat Mas merasa rendah diri."

Ada tekad yang kuat dalam cara bicaranya, walaupun gue tau dia ketakutan. Gue pun nggak akan diam aja, pasti menemani, walaupun berjarak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 2
Submit A Comment
Comments (36)
  • nazladinaditya

    aduh, siapapun gigit cantika tolong 😭 aku pernah bgt punya temen kerja begitu, pengen jambak:(

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Sumpah udh gedeg banget sama atasannya. Sikapnya kya org yg gak berpendidikan mentang² punya power. Maen tuduh, rendahin org, nginjek² org mulu tanpa nyari tau dulu kenyataannya. Klo tau ternyata si Jelek -males banget manggil Cantika- yg lagi² bikin kesalahan yakin sikapnya gak sama dgn sikap dia k Wisnu mentang² dia cewek cantik😡 lagian tu cewek gak becus knp masih d pertahanin mulu sih d situ, gak guna cuma bikin masalah bisanya. Tapi malah jadi kesayangan heran😑

    Comment on chapter Chapter 8 - Lebih dari hancur
  • serelan

    Nu Wisnuuu semoga jalan untuk menemukan kebahagian dalam hidupmu dimudahkan ya jalannya

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Buat atasannya Wisnu jangan mentang² berpendidikan tinggi, berprofesi sebagai seorang dokter anda bisa merendahkan orang lain ya.. yang gak punya etika itu anda hey coba ngaca... ada kaca kan d rumah??
    Buat si Cantika yang sifatnya gak mencerminkan namanya anda d kantor polisi ya? Gara² apa kah? Jangan balik lg ya klo bisaaaa

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Khawatirnya si ibu cuma karena mikirin masa depan si Selly mulu, takut banget klo mas Wisnu d pecat. Padahal jelas² tau mas Wisnu lg sakit tapi nyuruh buru² kerja jgn sampe d pecat. Semangat pula nyiapin bekal dan jadi tiba² perhatian cuma karena mas Wisnu bilang mau nyari kerja part time. Biar dapet tambahan duit buat si Selly ya bu ya😑.

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • nazladinaditya

    baru baca bab 3, speechless si.. cantika kata gue lo asu 😭🙏🏻 maaf kasar tp kamu kayak babi, kamu tau gak? semoga panjang umur cantika, sampe kiamat

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • serelan

    Curiga Selly yg ngambil dompet ibunya terus uangnya d pake CO Shopee, karena takut ketauan belanja sesuatu makanya pulang dulu buat ambil paketnya... Atasannya mas Wisnu cunihin ya sepertinya😂 ke cewe² aja baik, ke cowo² galak bener... gak adakah org yg bener² baik di sekitaran Wisnu? Ngenes banget idupnya..

    Comment on chapter Chapter 6 - K25.4
  • nazladinaditya

    siapa yang menyakitimuu wahai authoorrr 😭😭 tolong musnahkan ibu itu, singkirkan dia dari wisnu jebal

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Kesel banget sama ibunya. Selalu banding²in. Negative thinking terus lagi sama Wisnu. Awas aja klo ternyata anak yg d bangga²kan selama ini justru malah anak yg durhaka yg gak tau diri, rusak gara² cara didik yg gak bener.

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Nu, udh parah itu Nu🥺
    Nu, coba bilang aja dulu sama atasan klo si Selly mau coba bantu² biar liat gimana kakaknya diperlakukan di tempat kerjanya. Biar bisa mikir tu anak kakaknya nyari duit susah payah.

    Comment on chapter Chapter 4 - Namanya juga hidup
Similar Tags
Bersyukurlah
427      299     1     
Short Story
"Bersyukurlah, karena Tuhan pasti akan mengirimkan orang-orang yang tulus mengasihimu."
Menanti Kepulangan
40      36     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Ansos and Kokuhaku
3459      1121     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...
Metafora Dunia Djemima
85      70     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
My First love Is Dad Dead
52      49     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Kita
693      454     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'
Anikala
894      425     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Tanpo Arang
38      32     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
1525      705     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
A Story
305      244     2     
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta. Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat. Entah apa ending dari kisah mereka. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?