Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Karena libur, gue benar-benar nggak keluar kamar. Selly juga ambil libur di hari yang sama karena bertepatan sama libur sekolah, dan dia udah pergi main dari pagi tadi. Gue pengin ngobrol berdua sama dia soal semalam, tapi mau ngumpulin tenaga dulu rencananya. Ibu masih di kios, kayaknya sebentar lagi juga pulang. Gue udah izin buat nggak nemenin Ibu jualan karena nggak enak badan, siapa sangka diizinin.

Soal kerja part time gue udah dapat ide. Berkat bantuan Lala juga, sih. Kemarin gue ngobrol banyak sama dia kalau gue lagi butuh kerjaan, dan dia nanya, bakat gue apa selain di bidang farmasi? Gue bilang gambar dan desain. Gue suka keduanya dari SMP. Terus, karena sekarang ini platform menulis dan penerbit mulai menjamur, gue dikasih saran buat coba bikin kover buku atau kover cerita buat di aplikasi menulis. Gue bikin beberapa contohnya dan diunggah di Instagram. Lala yang emang punya koneksi luas karena gampang banget bergaul anaknya langsung mempromosikan akun gue dan ternyata lumayan banyak yang melirik. Semalam aja dengan kondisi agak mau mati sedikit gue berhasil ngerjain tiga kover sederhana buat di aplikasi. Nggak mahal kok, kisaran Rp45.000,- sampai Rp75.000,- untuk aplikasi berbayar, beda lagi kalau untuk buku cetak. Gue juga menyediakan jasa bikin ilustrasi. Nggak nyangka kalau bikin ilustrasi novel, tuh, lagi rame banget peminatnya. Jadi, gue unggah ilustrasi-ilustrasi yang pernah gue bikin.

Terkesan serakah, ya? Padahal, kerjaan normal gue juga udah cukup menyita banyak waktu, tapi gue butuh kerjaan yang menghasilkan secepat mungkin. Nggak masalah badan gue mau seremuk apa. 

Gue bukan lebay. Keluhan lambung ini emang udah ada dari dulu, mungkin karena kebiasaan makan gue yang berantakan. Semua bermula pas gue dengar Bapak sama Ibu ngobrol. Bapak belum makan dari pagi karena nggak ada beras. Ada bubur, tapi buat jualan. Gue sama Selly masih bisa makan itu, tapi Bapak memilih buat nggak makan. Setiap ditanya, Bapak selalu bilang puasa, tapi buka puasa pun cuma minum air putih. Dari situ gue mikir gimana caranya makan sesedikit mungkin biar bisa lebih hemat beras. Gue bisa makan sehari sekali, bahkan nggak makan sama sekali. Ibu marah-marah karena gue nggak mau makan, tapi gue berlagak bandel saat itu. Gue juga selalu memastikan makan setelah Bapak sama Ibu makan.

Ternyata kebiasaan itu kebawa sampe gue dewasa. Pas PKL, lambung gue lumayan sering bermasalah karena emang kurang makan dan lumayan stres sama tekanan di tempat PKL. Ibu bilang itu cuma apotek kecil, nggak ada tantangan, padahal salah besar. Apotekernya salah satu guru pelajaran produktif di sekolah gue, jadi tekanannya nggak main-main. Cuma kalau sampai muntah darah baru beberapa hari belakangan ini. Gue mikirnya ada luka di tenggorokan saking seringnya gue muntah, tapi dokter bilang kemungkinan karena perdarahan lambung dan sebetulnya itu kondisi darurat medis. Benar nggak, sih? Untung banget gue masih bisa kerja dan berusaha terlihat normal sampe hari ini.

Gue sempat nyari tau, tapi malah takut sendiri dan stres banget jadinya. 

Setiap napas, tuh, rasanya berat dan sesak. Kayak dibebat dari depan sampe belakang. Belum sakitnya. Gue jadi kangen disayang. Childish nggak, sih, kalau sekarang gue berharap Ibu ada terus manjain gue? Semenjak dituntut jadi dewasa, gue mulai lupa rasanya jadi manusia. Jadi, dewasa, tuh, menurut gue fase paling nggak manusiawi dalam hidup.

Pas lagi bengong, tiba-tiba perut gue bunyi. Wajar, sih, beberapa hari ini makan gue jauh banget dari kata benar. Selain mual, berasa ada yang nyangkut di tenggorokan yang bikin gue susah mencerna makanan. Sejujurnya gue mulai takut sama gejala yang makin beragam, tapi nggak bisa cerita ke siapa-siapa. Kemarin kalau bukan Lala yang mancing cerita juga gue nggak akan cerita. Setelah kenal dekat, dia ternyata tipe cewek yang lumayan senang ngobrol. Padahal, dulu pas awal dia masuk kok kesannya nyebelin. Nggak punya pendirian dan terkesan nggak peduli sama orang. Ternyata dia kelihatan begitu karena partnernya Cantika aja.

Namanya Lalisa, tapi karena nama itu sama kayak idol girl group, jadi dia lebih suka dipanggil Lala. Bukan ... bukan karena nggak suka sama girl group-nya, tapi karena dia nggak ngerasa secantik itu buat dipanggil Lalisa. Padahal, sebagai perempuan dia cantik kok. Kulitnya bukan yang putih banget kayak Cantika tapi tetap mulus dan wangi banget. Ada bekas jerawat di wajahnya, tapi itu nggak bikin dia kelihatan jelek atau gimana. Menurut gue normal-normal aja, karena adanya pun hormonal, tapi dia nggak percaya diri karena itu. Dan satu fakta lagi yang baru gue tau kemarin, Lala itu orang kaya gabut yang kebetulan nyangkut di sini. Nenek sama kakeknya kaya dari lahir, orang tuanya kerja di perusahaan BUMN, kakaknya arsitek yang cewek, yang cowok owner penerbit semi-mayor yang baru merintis, dan dia ditawarin buat lanjut kuliah farmasi, tapi nggak mau karena udah capek mikir. Aneh, kan?

Keberadaan dia bikin gue kangen sama Alisa. Mereka bertolak belakang emang. Apalagi, Lala ini terkesan lebih cuek walaupun sama-sama perhatian. Bukan cuek, sih, dia cuma nggak bisa menunjukkan perhatiannya secara langsung. Kalau Alisa emang manis dan perhatian banget.

Eh? Kenapa gue tiba-tiba mikirin Lala? Gue menggeleng beberapa kali. Duduk bengong kayak gini emang riskan banget masuk pikiran aneh-aneh.

"Mas udah makan?"

Tuh, kan. Gue sampe bisa dengar suara Ibu saking kosongnya isi kepala. Gue nggak jawab.

Tiba-tiba pintu kamar gue terbuka. Ibu masuk, terus tanya lagi, "Mas? Makan belum?"

Gue pukul kepala gue sekali. Biar suara Ibu keluar dari sana. Kayaknya saking kangennya semua yang gue pikirin berubah jadi audiovisual gitu.

"Kok malah bengong?"

Lho? Ternyata beneran Ibu. Tumben banget. "Belum, Bu," jawab gue.

"Makan dulu."

"Nanti aja, Bu. Belum enak makan."

"Ibu ambilin bubur, ya? Ada sisa tadi. Diisi yang lembut-lembut aja biar nggak sakit perutnya."

Hm? Ibu tau yang bermasalah itu perut gue? 

"Seprai kamu udah Ibu cuci. Lain kali simpan di keranjang cucian, jangan malah dilipat gitu aja. Jorok."

Ah, berarti Ibu lihat darahnya? Gue nggak bermaksud jorok, tapi emang lupa. Semalam udah capek banget dan seprainya juga nggak ada di tempat kemarin gue simpan, jadi gue tinggal tidur. Rencananya mau dicuci hari ini, tapi malah keduluan Ibu.

"Kamu ada luka? Seprai kamu ada darahnya."

Gue bingung mau jawab apa soalnya darah itu bukan bersumber dari luka luar. Nyembur gitu aja dari mulut gue nggak bisa ketahan dan nggak keburu lari ke kamar mandi. Gue bahkan masih ingat sensasinya setelah itu. 

"Mas?"

"Nggak kok, Bu, pelipisku berdarah lagi kemarin jadi ke mana-mana darahnya."

"Kenapa itu bisa luka?"

Ibu akhirnya nanya setelah gue pikir nggak akan pernah peduli. 

"Kepentok, Bu."

Setelah itu Ibu keluar. Gue pikir, ya udah. Ibu cuma sebatas basa-basi aja, bukan peduli. Tapi, ternyata Ibu balik lagi bawa semangkuk bubur.

"Makan dulu, Mas."

Gue membetulkan posisi jadi setengah duduk, dan berniat mengambil alih mangkuk itu dari tangan Ibu, tapi ternyata Ibu nyuapin gue. Iya, nyuapin gue untuk pertama kalinya lagi setelah belasan tahun. Gue masih terpaku saat sendok itu udah ada di depan mulut.

"Jangan sakit ... jangan luka. Nggak ada yang bisa Ibu andalkan selain kamu."

Refleks gue mengangkat kepala, melihat Ibu lebih dekat, dan ... Ibu nangis. Makanan yang ada di mulut gue mendadak pahit. Gue bisa membaca ke mana arahnya. Dari dulu Ibu sangat bergantung sama Bapak. Jadi, pas Bapak nggak ada Ibu benar-benar kelimpungan nggak punya tumpuan. Terus ada gue, cowok, dianggap paling kuat buat nerusin tanggung jawab Bapak. Gue pengin, tapi belum bisa sampai di titik itu. Ego anak muda itu dahsyat. Secara pribadi, gue belum bisa sepenuhnya ikhlas atas tanggung jawab yang diberikan, dan itu benturan setiap hari. 

Kayak ... kapan gue memikirkan diri sendiri? Kapan gue mencintai diri gue lebih banyak? Kapan gue berhenti mengorbankan diri untuk orang lain? Atau pertanyaan terakhir saat gue nggak menemukan jawaban atas pertanyaan gue sebelumnya adalah kapan gue bisa lapang menerima semuanya? Gue cuma bisa pasrah mengikuti ke mana takdir ini mengarah.

Setelah beberapa suap memasukan makanan ke mulut gue, Ibu keluar lagi. Bawa minum dan entah apa.

"Ini buat kamu."

Gue terkejut karena ternyata itu tablet. 

"Ibu jual anting sama cincin buat beli ini. Kamu bilang lagi coba usaha baru, tapi Icel semalam bilang HP kamu nggak memadai, Mas, jadi Ibu beliin ini. Siapa tau lebih menghasilkan."

"Tapi, Bu, cincin Ibu ...."

"Nggak apa-apa. Nanti kalau Ibu ada rezeki beli lagi."

"Makasih, ya, Bu."

Kalau sebelumnya kondisi HP gue bisa dijadikan alasan buat istirahat, kali ini nggak bisa karena difasilitasi. Artinya gue harus kerja lebih keras lagi. Gue nggak tau ini apa. Apakah bentuk perhatian atau sogokan?

***

Selly pulang sekitar pukul 20.30, dan cukup bikin gue ngamuk. Gue pernah muda, tapi nggak pernah sampe selama itu. Tapi, Ibu membela anak itu. Katanya, nggak apa-apa dia main karena di hari biasa Selly capek belajar.

Pas makan malam, lagi hening-heningnya cuma denting sendok sama piring yang kentara, tiba-tiba Selly bilang sesuatu yang bikin gue sama Ibu kompak diam.

"Bu, setelah lulus nanti, boleh nggak aku kuliah?"

Sebenarnya, itu bukan pertanyaan yang mustahil gue dengar dari bibir Selly. Karena dia pintar dan punya cita-cita, tapi dengan kondisi ekonomi keluarga yang kayak gini nyaris nggak mungkin dia kuliah. Baru setingkat SMA aja gue udah nggak bisa napas, gimana dia kuliah? 

"Tapi, tenang ... tenang. Aku nggak akan minta uang dari Ibu atau Mas Nunu."

Itu malah lebih bikin gue kaget lagi. Kecuali dia dapat beasiswa, hampir nggak mungkin bisa lanjut kuliah tanpa bantuan gue sama Ibu.

"Maksud kamu gimana, sih? Jangan bertele-tele coba. Mas nggak ngerti."

Gue jadi kesal sendiri, padahal muka dia sumringah, tapi nggak tau kenapa gue malah kesal.

"Pak Taufik, atasannya Mas, baik banget, ya. Dia, kan, nanya-nanya aku peringkat berapa di sekolah? Aku jawab satu terus sampe sekarang. Terus ditanya lagi, ada niat kuliah nggak? Aku bilang ada tapi nggak tau bisa atau nggak."

Perut gue langsung melilit begitu nama atasan gue disebut. Tapi, gue nggak langsung bereaksi. Butuh informasi lebih banyak.

"Nah, terus dia nyuruh aku nyari-nyari kampus dari sekarang. Katanya pilih kampus yang aku mau, tanya-tanya sama alumni sana kalkulasi biayanya berapa dari awal sampe akhir. Gitu aja bikin aku kaget, terus Pak Taufik bilang, aku bisa cicil bayarnya. Jadi, potong gaji dan itu fleksibel berapa pun aku sanggupnya tiap bulan. Nggak masalah, deh, aku kerja di situ dulu. Nanti setelah lulus kuliah aku cari kerjaan yang lebih baik. Dia ngusap-ngusap kepalaku, Bu, kayak sama anaknya sendiri. Aku jadi kangen Bapak."

Semaksimal mungkin gue udah berusaha menahan diri, tapi apa yang ada di kepala si cabul itu bikin gue mual. Gue langsung bangun dan jalan cepat ke kamar mandi. Memikirkan apa yang dia rencanakan dan mungkin dia lakukan ke adik gue mendorong muntah lebih parah. Kalau dia aja berani melakukan hal hina kayak gitu—dalam konteks pemeriksaan—terhadap seorang anak kecil, apalagi setelah dia menawarkan sesuatu dan membuat kita berutang budi, dia pasti menjadikan itu alasan untuk mengikat. Gue benci banget memikirkan itu semua. Setelah selesai, gue kembali ke meja makan.

Tangan gue bergerak mengusap sudut mata yang berair, kemudian bilang, "Mulai besok kamu nggak usah masuk lagi."

Jelas itu bikin Selly sama Ibu berbalik menatap gue dengan tatapan marah.

"Kenapa? Kok tiba-tiba Mas nyuruh aku berhenti?"

"Iya kamu kenapa, Mas? Atasanmu udah baik sama Icel. Kok kamu malah minta adikmu berhenti?"

"Aku tau dia, lebih dari siapa pun." Gue menekankan. "Jadi, daripada terjadi sesuatu yang nggak kita inginkan. Lebih baik berhenti sekarang."

"Mas iri, kan? Mas iri karena aku baru masuk, tapi diistimewakan? Mas iri karena aku bisa kuliah?" Selly langsung marah dan bentak-bentak gue.

"Jangan kelewatan kamu, Mas. Kalau kamu nggak bisa memberikan kehidupan yang layak buat adikmu, seenggaknya jangan mempersulit jalannya! Icel pintar, sayang kalau dia nggak kuliah." Ibu ikut mengamuk.

"Itu bukan kebaikan, itu kesepakatan! Kita nggak pernah tau apa yang bakal dia ambil dari Icel setelah Icel mengiakan. Kasusnya udah banyak! Dan aku nggak mau itu terjadi sama adikku." Tanpa sadar gue menggebrak meja. Gue berusaha membuat mereka buka mata kalau nggak semua kebaikan bisa diterima mentah-mentah, apalagi dari orang yang baru kita kenal. "Kamu tinggal pilih, tetap di sana dan nggak melakukan apa-apa termasuk mengiakan kesepakatan itu, atau nggak usah sama sekali."

"Mas jahat!" Dia langsung pergi gitu aja setelah gue berujar demikian.

"Mas yang bakal menanggung semuanya. Kalau kamu mau kuliah, Mas bisa usahakan dan nabung dari sekarang. Kita punya waktu satu tahun buat nabung, Cel."

"Ibu benar-benar nggak ngerti sama kamu, Mas. Kenapa harus mempersulit diri kalau ada jalan yang mudah? Kamu nggak akan mampu. Nggak akan bisa. Sekarang aja kamu banyak ngeluh, gimana kalau Icel kuliah. Jahat kamu jadi kakak."

Gue sakit hati dengar apa yang Ibu bilang setelah semua yang gue usahakan, tapi itu lebih baik dibanding membiarkan adik gue disentuh apalagi dilecehkan. Gue cuma berusaha menjaga dia sebaik yang gue bisa. Dibenci bukan masalah besar. Suatu hari mereka pasti ngerti maksud dari apa yang gue lakukan hari ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Sell... itu masmu loh.. org² nginjak harga dirinya.. kamu yg keluarga pun sama aja.. memperparah rasa sakitnya.. bukannya saling mendukung dan menguatkan malah kya gitu..

    Comment on chapter Chapter 14 - Memindahkan sakitnya
  • serelan

    Si Cantika mulutnya harus d sekolahin. Bener² gak ada akhlak tu org. Hidupnya aja belum tentu bener sok²an ngurusin hidup org lain.. Pikirin baik² ya Sell apa yg dibilangin mas mu. Jangan ngeyel terus akhirnya nyesel..

    Comment on chapter Chapter 13 - Teman bicara
  • serelan

    Ngenes banget sih Nuuu...
    Lagi sakit aja berobatnya sendiri gak ada anggota keluarga yang bisa d andalkan... La, baik² ya ama Nunu. Di tempat kerja cuma kamu yg bisa dia andalkan, yg bisa jagain dia dari semua makhluk laknat yg ada d sana..

    Comment on chapter Chapter 12 - Serius
  • serelan

    Wisnu berusaha keras buat jaga adiknya, gak mau sesuatu yang buruk terjadi. Tapi semua yang dilakukan Wisnu selalu disalah artikan mulu sama ibu & adiknya. Pikirannya negative mulu sama Wisnu. Padahal yg keluarganya kan Wisnu ya? Tapi lebih percaya org yang baru dikenal yg belum tau sifatnya seperti apa²nya..

    Comment on chapter Chapter 11 - Kebaikan atau sogokan? Kebaikan atau kesepakatan?
  • serelan

    Kesel banget sama ibunya..
    Anakmu lagi sakit loh itu.. malah dikatain pemalas.. gak ada peka²nya sama sekali kah sama kondisi anak sendiri? Apa jangan² Nu Wisnu anak pungut😭 parah banget soalnya sikapnya ke Wisnu. Tidak mencerminkan sikap seorang ibu terhadap anaknya..

    Comment on chapter Chapter 10 - Takut
  • alin

    Singkirin aja itu ibu dan icel, makin lama makin nyebelin. Kesel sama ibunya dan Selly disini. Kasian Wisnu. Yang kuat ya, Kak Nu🥺 hug Wisnu🥺🫂

    Comment on chapter Chapter 10 - Takut
  • nazladinaditya

    lo udah sesakit itu aja masih kepikiran nyokap dan adek lo yaa, nu. anak baik :((

    Comment on chapter Chapter 9 - Gelap dan hening lebih lama
  • serelan

    Wisnu nya udh kya gitu awas aja tu kluarganya klo masih gak ada yg peduli juga, keterlaluan banget sih..

    Comment on chapter Chapter 9 - Gelap dan hening lebih lama
  • serelan

    Nu, kamu tuh hebat banget asli. Saat berada dalam kondisi terburuk pun masih sempat aja mikirin tanggung jawab, mikirin ibu & adik mu. Tapi, orang² yg kamu pikirin, yang berusaha kamu jaga bahkan gak pernah mikirin kamu sama sekali. Minimal nanya gitu kondisi kamu aja nggak. Yang mereka peduliin cuma uang aja. Apalagi si Selly noh sampe bohongin ibu, nyuri uang ibu, mana di pake buat sesuatu yg gak baik pula. Mana katanya ntar klo udh ada uang lagi bakal di pake beliin yg lebih bagus lebih mahal. Mau nyari uang dimana dia? Nyuri lagi?

    Comment on chapter Chapter 9 - Gelap dan hening lebih lama
  • nazladinaditya

    wisnuuu:( u deserve a better world, really. lo sabar banget aslian. hug wisnuu🤍🥺

    Comment on chapter Chapter 8 - Lebih dari hancur
Similar Tags
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
990      633     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
WEIRD MATE
1570      755     10     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...
Langit-Langit Patah
25      23     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Atraksi Manusia
457      337     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Penantian Panjang Gadis Gila
270      213     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Gadis Kopi Hitam
1101      772     7     
Short Story
Kisah ini, bukan sebuah kisah roman yang digemari dikalangan para pemuda. Kisah ini, hanya sebuah kisah sederhana bagaimana pahitnya hidup seseorang gadis yang terus tercebur dari cangkir kopi hitam yang satu ke cangkit kopi hitam lainnya. Kisah ini menyadarkan kita semua, bahwa seberapa tidak bahagianya kalian, ada yang lebih tidak berbahagia. Seberapa kalian harus menjalani hidup, walau pahit, ...
Annyeong Jimin
29559      3928     27     
Fan Fiction
Aku menyukaimu Jimin, bukan Jungkook... Bisakah kita bersama... Bisakah kau tinggal lebih lama... Bagaimana nanti jika kau pergi? Jimin...Pikirkan aku. cerita tentang rahasia cinta dan rahasia kehidupan seorang Jimin Annyeong Jimin and Good Bye Jimin
Alicia
1376      664     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Imajinasi si Anak Tengah
1787      1052     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Let me be cruel
4433      2460     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.