Aroma karat logam dan anyir lebur jadi satu saat untuk kali kesekian cairan merah pekat itu keluar dari mulut gue. Rasanya mau nyerah, apalagi dalam kondisi kayak gini, Ibu dan Selly kompak diemin gue. Mereka masih marah karena kejadian kemarin. Selly selalu buang muka setiap ketemu gue, bahkan nangis diam-diam, seolah gue merebut sesuatu yang besar dari hidupnya. Mungkin iya, tapi bukan tanpa alasan, kan? Gue berusaha menyelamatkan dia karena tau Pak Taufik bukan orang setulus itu yang mau menawarkan sesuatu tanpa imbalan yang setimpal.
Dengan napas terengah, gue berusaha bangun dan kembali ke kamar. Masih ada orderan kover yang harus gue selesaikan karena orangnya udah bayar lunas di muka, tapi gue beneran nggak tahan. Jangankan dipaksa buat mikir, sekadar lihat layar HP nggak sanggup.
Gue sempat chat dokter yang jaga di tempat kerja, untungnya direspons dengan cepat, dan tanpa basa-basi Dokter Arka langsung minta gue ke IGD, sekarang juga. Tapi, gue nggak bisa. Gimana kalau kondisi ini ternyata nggak masuk golongan penyakit yang di-cover BPJS. Ibu sama Selly bisa makin marah karena gue merepotkan dan buang-buang uang. Pegangan gue juga nggak seberapa, hasil pembuatan kover digital aja.
Jam satu malam, sama siapa gue harus minta pertolongan? Ibu sama Selly nggak mungkin karena mereka terang-terangan musuhin gue. Minta tolong sama orang lain pun mustahil karena itu bakal bikin citra Ibu dan Selly jelek di mata mereka. Gue takut kalau misal suatu hari gue nggak ada—dengan citra buruk yang melekat—mereka kesulitan dapat pertolongan saat membutuhkan. Ibu benar, kalau gue nggak bisa membahagiakan mereka, cukup dengan tidak mempersulit.
Sengaja gue nggak ngunci pintu, takut sesuatu yang buruk terjadi. Ibu sama Selly pasti kesulitan menemukan gue. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, gue mencoba menghubungi seseorang. Lala. Nggak ada lagi yang muncul di kepala gue selain dia.
Saya
La, lo keberatan nggak kalau misal gantiin gue masuk pagi? Kalau jam 6.00 gue belum ada kabar, tolong masuk, ya, La.
Siapa sangka anak itu belum tidur. Kurang dari dua menit dia udah kirim balasan.
Lala
Lo kenapa? Sakit? Apa gimana? Gue bisa kok gantiin. Tapi, lo kenapa?
Gue udah nggak bisa balas. Nggak bisa. Tangan gue mati rasa. Tiba-tiba muncul notifikasi sambungan video. Gue kaget, tapi susah payah berusaha menerima, biar Lala nggak berpikir macam-macam. Gue berusaha buat bangun, tapi nggak bisa. Jadi, bertahan dalam posisi tiduran dengan HP gue simpan di bantal sebelah.
Sosok Lala muncul di layar HP gue. Dia pake baju tidur bergambar Chibi Maruko Chan, dibalut lagi pake jaket merah muda polos. Rambutnya terikat asal, tapi lucu. Cukup buat gue senyum dan lupa sama kondisi sebelumnya.
"Nu, lo kenapa? Kenapa pucat banget? Gue ke sana, ya?"
"Nggak apa-apa. Rada nggak enak badan aja makanya gue minta tolong."
"Gue ke sana oke? Kita ke dokter. Gue ada mobil kok. Soal besok jangan khawatir. Gue nggak keberatan gantiin."
Sebisa mungkin gue berusaha buat senyum. "Nggak usah, La. Udah malam lagian. Bisa disemprot lo kalau malam-malam ke rumah cowok. Udah diam aja. Gue masih bisa ngobrol sama lo berarti aman."
"Tapi, Nu ...."
"Lo tenang oke? Ini udah malam, La. Serem banget cewek malam-malam ke sini."
"Gue bisa minta antar sopir."
Kadang gue heran, kenapa orang sekaya Lala bisa nyangkut di tempat gue kerja? Padahal, dia bisa lanjut kuliah sampai jadi Apoteker, bikin apotek sendiri, dan hidup dengan bebas. Kenapa dia memilih tempat di mana kerja kerasnya nggak dihargai, fisiknya dipandang hina, dan kebaikannya dimanfaatkan?
"Nu, ih, malah diam. Gue takut."
Ini kali kedua gue dengar suara dia kayak orang yang hampir nangis, persis pas gue blackout waktu itu. Tatapannya terlihat tulus biarpun matanya berkaca-kaca, dan kali ini benar-benar nangis. Gue jadi ngerasa bersalah menghubungi dia tengah malam.
"La, jangan nangis."
"Gue juga nggak tau kenapa nangis. Air matanya keluar sendiri, dan sekarang nggak mau berhenti."
Dia nggak bohong. Berkali-kali tangannya gerak buat ngusap air matanya, tapi basah lagi basah lagi. Hidungnya udah semerah tomat, matanya juga sedikit bengkak bikin gue ngerasa bersalah berkali-kali lipat.
"La, udah, ya. Gue nggak apa-apa. Besok gue pasti ngabarin lo kok. Gue usahain sebelum jam enam. Tapi, kalau jam enam belum ada, sorry banget gue minta tolong lo masuk."
Karena nggak ada jawaban, gue kembali bersuara.
"Ya udah kalau gitu. Lo tidur, gih. Sorry gue gangguin malam-malam. Gue nggak tau apa yang bakal gue bilang ini penting atau nggak, tapi jangan mikir aneh-aneh, ya, La. Gue bakal berusaha tetap hidup kok."
Sekali lagi dia nggak jawab. Tapi, pas gue mau matiin sambungan videonya. Dia tiba-tiba manggil.
"Nu."
"Hm?"
"HP gue bunyi kalau ada notifikasi. Jadi, misalkan ada apa-apa jangan ragu buat telepon gue oke? Gue juga gampang kebangun sama suara sekecil apa pun, gue pasti datang lebih cepat dari ambulans."
Gue tertawa kecil mendengar celotehan dia. "Oke. Thank you, La. Sana tidur."
"Nu."
"Kenapa lagi, Lalisa?"
Dia langsung diam gitu, tapi nggak lama tiba-tiba bilang, "Jangan lupa bangun lagi oke? Lo masih punya utang empat ribu."
Setelah itu sambungan benar-benar terputus. Dibanding jangan pergi, dia lebih suka bilang sesuatu yang berbelit-belit. Dibanding membantu terang-terangan, dia lebih suka menolong dengan caranya. Itu yang membuat dia berbeda.
Gue juga berusaha buat tidur. Sakitnya emang belum hilang, tapi membaik dibanding tadi. Sedikit banyak, Lala yang membantu mengatasinya. Lala berhasil bikin gue fokus sama dia, bukan rasa sakit ini.
***
Biarpun bisa bangun, hari ini gue tetap izin nggak masuk. Lala dengan senang hati menggantikan walaupun artinya dia harus jaga sendiri. Gue memutuskan buat ke rumah sakit. Pengin tau apa yang sebenarnya terjadi sama gue.
Gue masih pengin hidup. Boleh, kan?
Sebelum ke rumah sakit gue sempat nanya sama Teh Bunga soal daftar online dan lain-lain, jadi hari ini gue datang pagi banget karena dapat antrean nomor dua. Ternyata datang pagi sekalipun nggak bikin gue dilayani dengan cepat. Antrean membludak, dan sekarang pendaftaran pasien BPJS pake sejenis mesin ATM yang nggak cuma digunakan untuk satu poli, jadi semua numpuk di sana. Gue berusaha sabar banget, tau diri juga, mau bagaimanapun kondisi gue sekarang sistem tetap sistem.
Karena ini pertama kali, jadi prosesnya berasa panjang banget nggak tau kenapa. Padahal, cuma nunggu antrean pendaftaran, antrean poli, terus pulang, tapi rasanya selama itu.
Rasanya agak aneh pas gue duduk di ruang tunggu poli satu—dengan nama dr. Hanindya Amaris, Sp.Pd tertulis depan pintu—sama orang-orang yang kebanyakan udah berumur. Mereka diantar, sedangkan gue sendiri. Setelah lama nunggu pasien pertama selesai, akhirnya gue dipanggil. Seorang perawat mempersilakan gue masuk dan di dalam sana dokter cantik berjilbab biru navy menyambut.
"Halo, selamat pagi. Dengan ... Reinanda betul?"
"Wisnu aja, Dok."
"Oh, baik. Wisnu apa keluhannya?"
"Belakangan ini saya sering mual, Dok. Muntah juga lumayan sering, dan beberapa hari terakhir sampai keluar darah. Nyeri ulu hati sama perut yang sakitnya, tuh, sakit banget. Berat badan menurun drastis. Beberapa kali saya juga pingsan."
"Mual dan muntahnya biasanya kisaran jam berapa?"
"Pagi lebih sering, tapi sekarang tengah malam menjelang pagi juga gitu. Setiap habis makan juga, Dok."
"Muntah darahnya, seperti apa warnanya?"
"Merah pekat, Dok. Kadang berasa ada gumpalan juga dan tenggorokan saya sakit banget."
Dokter Hanin menatap gue dengan sorot tenang, tapi serius. Jujur, itu bikin gue takut. Dia kayak lagi berusaha ngomong, ‘Hayo, ada yang nggak beres sama badan lo’. Tangannya bergerak cepat mengetik sesuatu di komputer, sebelum akhirnya minta gue rebahan di bed pasien dan meriksa gue. Awalnya pake stetoskop, tapi setelah selesai dia memberi tekanan-tekanan kecil di perut atas gue, dan sukses membuat gue nyaris bangun dari posisi semula saking sakitnya.
"Gejala yang kamu sampaikan berkaitan dengan beberapa kondisi serius pada lambung, dan saya nggak bisa menegakkan diagnosis tanpa pemeriksaan lengkap."
Oke, gue bisa membaca ke mana arahnya. Intinya sakit gue ini serius, kan?
"Jadi, kita harus melakukan beberapa pemeriksaan seperti endoskopi, tes darah, CT-Scan dan lain-lain. Karena kamu pakai BPJS, saya siapkan dulu berkas-berkasnya nanti dibantu perawat. Endoskopi juga mungkin nggak bisa langsung, pasti dijadwalkan dulu. Saya harap selama masa menunggu kamu bisa menjaga kondisi kamu. Makan teratur. Hindari makanan asam, pedas, berminyak. Kalau sampai muntah darah lagi, langsung ke IGD, jangan nunggu!"
Gue cuma ngangguk tanpa menjawab. Tau banget semua masalah prosedur, dan semua pemeriksaan itu juga nggak akan bisa dilakukan dalam sehari.
"Kamu tetap saya kasih obat buat sementara, ya. Dua obat untuk lambung, satunya untuk mengurangi mual-muntah."
Lagi, nggak ada kata yang berhasil keluar dari bibir gue. Padahal, udah ketebak dari awal kalau sakit gue serius, tapi tetap aja gue syok sampe nggak bisa ngomong. Akhirnya gue keluar bawa surat kontrol, resep, dan lembar SKDP, dengan kepala kosong.
Apa gue bakal mati? Sebenarnya bukan masalah besar, tapi semoga Tuhan masih mau bermurah hati ngasih gue kesempatan untuk berbuat baik, dan memastikan Ibu dan Selly udah bisa berdiri sendiri.
Gue duduk sendiri di depan intalasi farmasi buat nunggu obat, dan ternyata lama banget. Tapi, gue berusaha mengalihkan perasaan kesal ini karena kalau nggak, pasti ada aja usaha lambung gue buat ngasih gebrakan. Akhirnya, gue cuma duduk tenang, napas, sambil melihat ke luar. Nggak ada yang spesial, cuma aktivitas keluar masuk IGD. Suatu hari gue mungkin akan ada di sana juga, atau mungkin langsung masuk ruang jenazah?
Kalau bisa, sih, jangan. Jangan bikin susah Ibu dulu sebelum pergi. Bisa terancam nggak masuk surga gue kalau begitu.
Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰
Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta