Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Gue udah biasa jadi yang tertua dan dianggap bisa jadi segalanya dari kecil. Bahkan, dari sebelum gue benar-benar dinyatakan lulus SMA pun Ibu udah bilang, ‘Mas, nanti kalau kamu kerja, gajimu Ibu pakai buat bantu-bantu biaya sekolah Adek, ya. Dulu, Ibu yang mati-matian sekolahin, Mas, giliran Mas nyambung tugas Ibu.’

Apa gue keberatan? Jelas nggak ... pada awalnya. Karena gue pikir, permintaan Ibu masih bisa diterima akal pastinya. Bapak udah nggak ada, jadi satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas keluarga ini ke depannya adalah gue, anak cowok pertama dan satu-satunya. Lagian, tujuan gue ambil sekolah kejuruan yang bergerak di bidang kesehatan juga biar bisa cepat kerja dan bantu keluarga.

Sayangnya, makin lama permintaan Ibu dan Selly—adik gue—makin nggak bisa diterima otak gue sebagai manusia. Ibu selalu minta gue memenuhi kebutuhan Selly yang sebenarnya, kalau nggak dituruti pun dia nggak akan kenapa-kenapa. Hari ini contohnya, gue baru pulang setelah lembur dua hari berturut-turut karena teman gue sakit, Ibu langsung nyamperin gue sambil bawain teh hangat.

Sebenarnya, Ibu melakukan hal yang nggak biasa aja udah pertanda buruk, tapi sebagai anak yang baik, gue berusaha berpikir positif. Mungkin Ibu emang tau gue capek dan sedikit nggak enak badan, makanya langsung nyamperin begitu anaknya pulang. Ternyata gue salah.

"Mas, bulan ini berarti, kan, ada empat lembur. Dua hari lembur gantiin temanmu, dua hari lagi lembur tanggal merah, berarti total lemburanmu sekitar tiga ratus ribu, boleh nggak nanti akhir bulan pinjam dulu buat nambahin beli HP-nya Icel? Gaji kamu dua juta tiga ratus, nah Ibu pinjam satu juta delapan ratus aja. Ibu baru pegang tiga juta tujuh ratus, Icel pengin HP yang lima jutaan katanya. Tadinya, malah pengin iPhone, tapi berhasil Ibu bujuk."

Gue ngedumel dalam hati. Kalkulatornya Ibu emang luar biasa. Dia bahkan bisa memprediksi gaji yang belum tentu gue terima. Kalau berhasil bujuk, tuh, minimal dia mau dibeliin HP yang dua jutaan, nggak, sih? Kenapa harus semahal itu? Hp gue aja udah jauh dari kata normal kondisinya. Gerak-gerak sendiri, lcd-nya mau lepas, gampang panas, tapi gue diam. Padahal, kerjaan gue di sini semua.

"Terserah Ibu aja. Tapi, apa nggak sebaiknya beli yang lebih murah lagi? Sisa uangnya, kan, bisa dipake buat bayar praktikum semester depan."

Seperti biasa, gue nggak bisa menolak karena tiap bulan pun hampir semua gaji gue Ibu yang pegang, termasuk gaji bulan keenam nanti. Lah, kan, masih ada lima ratus ribu? Berharap apa sama uang lima ratus ribu selama lo masih tinggal di rumah? Ibu bisa tiba-tiba minta ini itu di luar semua uang yang udah gue kasih.

Beruntungnya, gue berangkat kerja jalan kaki karena emang dekat, pengeluaran bensin udah otomatis nol. Makan juga di rumah sekali, sedangkan di tempat kerja gue hampir nggak pernah jajan apa pun. Pengeluaran bersih gue sebulan paling tiga ratus ribu, buat jajan makanan enak di awal bulan sekali, pangkas rambut bisa dua minggu sekali, sama beli promag yang agak keren, kalau lagi miskin banget antasida tiga strip cukup. Untungnya lagi, gue bukan perokok. Jadi, kebutuhan pribadi gue sangat bisa ditekan.

"Ya udahlah, Mas. Daripada nanti anaknya minta iPhone lagi, kan, malah ribet. Mending turutin aja kemauannya dia yang sekarang. Ibu udah nggak mau pusing. Adikmu itu kalau ada mau nggak bisa dinanti-nanti."

Pengin banget rasanya gue bilang kalau cara Ibu mendidik Selly itu salah. Selly nggak akan bisa mikir kalau kemauannya selalu dituruti segampang itu.

"Bu, nanti kalau misalkan kebiasaan Icel yang begini kebawa gede, repot lho. Apalagi aku nggak tau bisa hidup sampai kapan, kerja sampai kapan, dan masih bisa sehat selama apa. Nanti Ibu sendiri yang susah."

Ibu langsung menatap gue, kemudian berkata, "Mulutmu itu lho, Mas. Kamu keberatan bantuin Ibu? Kamu nggak mau bertanggung jawab atas keluarga ini lagi? Durhaka kamu nanti kalau lepas tangan gitu aja sama adik dan ibumu. Kami ini perempuan semua."

Nah, itu yang selalu bikin gue nyesel setiap berusaha ngomong sama Ibu. Gue dianggap durhaka dan nggak mau bertanggung jawab, padahal omongan gue nggak salah-salah banget harusnya. Gue cuma berusaha bikin Ibu lebih realistis. Gue nggak mungkin sehat terus dan hidup selamanya. Kalau misalkan kontrak hidup gue cuma sampai beberapa tahun ke depan, gimana Ibu sama Selly bisa hidup?

"Nggak gitu, Bu. Aku cuma ngasih tau aja. Tapi, kalau Ibu maunya gitu, ya, nggak apa-apa juga. Silakan. Aku nggak akan ngelarang."

Ibu nggak bicara lagi, gue pun merasa canggung. Jadi, setelah menyeruput teh manis bikinan Ibu, gue langsung pamit ke kamar.

"Nggak makan dulu kamu?"

"Nggak, Bu. Udah di klinik tadi," sahut gue. Padahal aslinya gue belum makan apa-apa, cuma udah mual dan kenyang duluan karena ribut-ribut barusan.

Nyawa gue rasanya langsung terbang pas nempel di kasur, karena nggak lama setelah itu gue beneran nggak ingat apa-apa.

***

Kayaknya nyenyak banget gue tidur, soalnya pas bangun gue langsung dengar suara ikamah, tapi rasanya nggak sanggup bangun saking remuknya badan ini. Jadi, gue masih ngulet beberapa menit. Sampai tiba-tiba seseorang lari-lari ke kamar gue, lompat ke tempat tidur, terus ciumin pipi gue.

Itu Selly.

"Kenapa, Cel? Mau minta apa?" tanya gue to the point.

Dia udah wangi banget, kayaknya habis mandi. Karena dandannya lama, Selly punya kesadaran penuh mandi lebih pagi. Dia nyempetin belajar juga sebelum berangkat sekolah, biar nggak kosong banget pas pelajaran mulai, katanya.

"Kata Ibu, Mas mau bantuin nambahin buat beli HP Icel."

"Iya, nanti pas gajian tapi, ya. Mas nggak punya uang kalau sekarang."

"Iya nggak apa-apa. Makasih, ya, Mas," katanya sambil senyam-senyum terus turun dari tempat tidur gue dan pergi gitu aja.

Gue ngerasa bersalah banget selalu ngedumel setiap dia minta sesuatu. Padahal, dia anak yang pintar dan baik, sangat layak buat mendapatkan itu semua.

Kami cuma beda dua tahun. Sekarang Selly duduk bangku kelas XI. Dia sekolah di sekolah gue dulu, SMK Cipta Husada. Sekolah kesehatan yang berbasis farmasi. Padahal, dulu gue aja ngos-ngosan sekolah di sana karena sekolah swasta dan biayanya ampun-ampunan, tapi dia malah ngikutin gue karena katanya keren. Untungnya dia pintar dan selalu peringkat pertama, dan lumayan menghibur kemiskinan gue tiap bulannya karena itu berarti apa yang gue usahakan ada hasilnya.

"Bu, nanti kalau Mas udah gajian langsung beli, ya, tapi Icel ikut. Icel mau pilih sendiri soalnya."

"Iya. Masmu gajian hari ini. Nanti kalau dia udah pulang, kita langsung belanja oke? Tapi, besok kalau kamu libur temenin Ibu di kios, gimana?"

"Boleh. Sehari aja, tapi, ya, Bu. Icel mau belajar soalnya."

Gue belum bilang, ya? Selain gue yang kerja, penghasilan kita yang lain sumbernya dari kios bubur peninggalan almarhum Bapak. Ibu jualan dari pagi sampai siang. Kalau gue libur kerja, biasanya gue yang jagain kios, Ibu istirahat. Cuma gue nggak tau besok bisa gantiin atau nggak soalnya hari ini aja badan ini nggak jelas rasa. Capek banget lembur terus. Dibayar, sih, emang, tapi gue juga manusia yang butuh waktu buat istirahat.

Setelah menghela napas berkali-kali, ngumpulin sisa nyawa yang setengahnya lagi entah masih di mana, gue baru benar-benar bisa bangun. Gue langsung mandi, terus salat. Selesai salat, gue ngambil antasida di laci, kemudian mengunyahnya tanpa minum. Rutinitas gue sehari-hari selama hampir enam bulan ini. Kalau nggak, gue nggak akan bisa makan atau beraktivitas. Soalnya selain mual, nyeri di ulu hatinya juga lumayan parah. Mungkin karena gue jarang makan kali, ya? Tapi, nggak masalah. Gue masih sanggup beli antasida sepabrik-pabriknya, biarpun cuma mimpi.

Pas gue keluar kamar, Ibu sama Selly udah duduk anteng di ruang makan.

"Mas, hari ini sarapan sama telur nggak apa-apa, kan?" tanya Ibu. "Icel lagi pengin udang saus mentega katanya, sedangkan kamu nggak bisa makan udang. Jadi, Ibu masak telur dadar aja."

Padahal, sesekali Ibu bisa beliin gue sepotong ayam. Paha bawah atau paha atas juga nggak masalah. Biar impas gitu. Icel makan makanan kesukaannya, gue juga. Gue emang nggak bisa makan udang karena alergi.

"Mas, mau coba udangnya? Siapa tau bukan alergi beneran, cuma sugesti aja?"

"Kalau nanti Mas mati gara-gara udang dan ternyata bukan karena sugesti gimana?"

Anak itu malah tertawa, dan mau nggak mau gue pun ikut tertawa. Gue berusaha makan dengan lahap biarpun cuma sama telur dadar yang lumayan seret di tenggorokan, sementara Selly menikmati udang saus menteganya sambil nonton video pembelajaran Kimia Analis.

"Adikmu pintar, ya, Mas?"

"Hm."

"Kalau dibandingin sama nilai Mas dulu, jauh banget. Ibu heran kok bisa kalian beda banget padahal sama-sama dari rahim Ibu."

Intinya, Selly pintar, gue bodoh. Itu aja, sih. Gue udah kebal. Dibandingkan dengan berbagai gaya udah jadi makanan sehari-hari. Semua orang juga bilang gitu kok. Nggak masalah.

"Kata Bu Nadine, Icel juga ada kemungkinan PKL di rumah sakit lho, Mas. Dulu Mas cuma di apotek kecil, udah gitu kena lempar jurnal lagi," kata Ibu lagi sambil ketawa kencang. Seolah apa yang Ibu bilang nggak akan berdampak apa-apa ke gue.

Makanan yang lagi gue makan kayak nyangkut di tenggorokan. Gue udah benar-benar nggak selera buat lanjut makan. Antasida yang gue minum tadi juga jadi nggak berguna, kalah sama omongan Ibu yang bikin ulu hati gue sakit berkali-kali lipat. Padahal, dulu gue milih PKL di apotek terdekat biar nggak keluar uang banyak buat kos atau transportasi. Nggak peduli itu besar atau kecil yang penting gue dapat nilai dan kewajiban gue selesai.

Selly ngangguk-ngangguk aja dengar omongan Ibu. Kayaknya dia emang udah cerita banyak. "Kalau beruntung, dulu Kakak kelas Icel juga bisa kerja di sana. Ah, bangga banget pasti bisa kerja di rumah sakit."

"Iya, semoga kamu bisa kerja di tempat yang besar dan diperhitungkan, ya, Nak. Biar nggak kayak masmu ini. Udah kerjanya capek, gaji nggak seberapa lagi."

Rasanya pengin banget gue jawab, tapi gue udah benar-benar nggak sanggup buka mulut. Jadi, gue cuma diam dan langsung beresin piring bekas gue makan setelah selesai. Ada waktu satu jam lagi sebelum gue berangkat kerja. Sialnya, sebelum sempat gue masuk kamar, Ibu kembali bersuara.

"Mas, nanti sebelum kerja pel teras depan dulu, ya. Terus itu cucian udah Ibu rendam, kamu tinggal cuci sama bilas. Jangan lupa dijemur. Ibu agak capek habis masak, dan mau langsung ke kios takut pelanggan kabur."

"Kan bisa sama Icel, Bu."

"Icel udah harum begini masa kamu suruh pel. Nggak boleh. Kamu aja. Ibu, kan, nggak nyuruh tiap hari, Mas. Sekali ini aja jangan bantah kalau dimintain tolong."

"Iya, Bu."

Gue nggak dikasih pilihan selain mengiakan, kan? Tetangga banyak yang ngomong setiap gue ngelakuin kerjaan rumah, tapi nggak gue masukin hati. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Karena cuma dengan cara kayak gitu gue bertahan hidup. Kalau semua masuk dan mengendap di hati, udah dari lama gue mati. Atau mungkin sebenarnya gue udah mati? Jiwanya.

- Bersambung -

 

How do you feel about this chapter?

2 0 0 0 0 2
Submit A Comment
Comments (36)
  • raninurh

    sering terjadi :)

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • raninurh

    selly lu tobat kata gua tuh nanti kakak lu jadi ubi baru nyesel

    Comment on chapter Chapter 2 - Menyentuh batasnya
  • raninurh

    semnagat anak pertama kuat kuat pundaknya

    Comment on chapter Chapter 1 - Mati sejak lama
  • serelan

    Toxic semua orang² di sekitaran Wisnu ini... keluarganya, lingkungan kerjanya... hebat banget Wisnu bisa tahan...gendok asli pengen banget banting semuanya satu²..

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • serelan

    Capek banget liat hidupnya Wisnu... ditekan sana sini, di tempat kerja, bahkan sama keluarganya juga. Padahal sumber penghasilan keluarga banyaknya dari dia harusnya diperlakukan lebih baik lah sama keluarganya. Hidup tuh sesuai kemampuannya aja gak sih harusnya. Jangan selalu pengen maksain buat terlihat wah klo memang blm mampu. Kesel banget sama Selly.

    Comment on chapter Chapter 2 - Menyentuh batasnya
  • serelan

    Bantu jadi tulang punggung sih wajar² aja.. tapi gak harus kya gitu juga sikap ibunya.. agak keterlaluan sih itu.. dikasih pengertian demi kebaikan malah d katain durhaka dikiranya gak mau bantuin ibunya lagi.. ntar pergi nyeselll..

    Comment on chapter Chapter 1 - Mati sejak lama
Similar Tags
DARI NOL KE SERAGAM
148      38     2     
Romance
Aku selalu percaya, jika kita menemani seseorang sejak awal, sejak dia belum punya apa-apa, maka saat dia berhasil kita akan menjadi orang pertama yang ia peluk. Nyatanya, aku salah. Aku bersamanya sejak masih memakai seragam abu-abu putih. Menjadi telinga untuk semua keluhannya, menjadi tangan yang mendorongnya bangkit saat dia hampir menyerah, menjadi bahu yang ia sandari saat dunia teras...
Breakeven
20138      2860     4     
Romance
Poin 6 Pihak kedua dilarang memiliki perasaan lebih pada pihak pertama, atau dalam bahasa jelasnya menyukai bahkan mencintai pihak pertama. Apabila hal ini terjadi, maka perjanjian ini selesai dan semua perjanjian tidak lagi berlaku. "Cih! Lo kira gue mau jatuh cinta sama cowok kayak lo?" "Who knows?" jawab Galaksi, mengedikkan bahunya. "Gimana kalo malah lo duluan ...
Love and Pain
640      394     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.
Langkah Pulang
1144      694     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Perjalanan yang Takkan Usai
870      651     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Bisikan yang Hilang
113      102     3     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
The Call(er)
3983      2227     11     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
God, why me?
353      273     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
When I Was Young
9726      2094     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
Winter Elegy
1143      758     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...