Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Pagi-pagi banget sebenarnya gaji gue udah ditransfer sama atasan. Itu satu-satunya keuntungan yang gue dapat selama kerja di sini. Gajian selalu tepat waktu. Bahkan, kadang dari subuh juga uang itu udah masuk, tapi gue memilih menahan uang itu lebih lama di rekening gue. Biar apa? Biar sensasi menyenangkan setelah gajian juga bertahan sedikit lebih lama, walaupun sore atau malamnya langsung lenyap masuk rekening Ibu semua.

Hal pertama yang gue lakukan setelah gajian—tepat jam dua belas siang—pas poli tutup adalah pesan makanan. Makanan enak yang gue pesan hampir setiap bulan di tanggal yang sama. Paket makanan Korea dari Mujigae. Harganya enam puluh ribuan, tapi gue selalu beruntung dapat voucher dengan potongan yang lumayan. Jadi, uang yang gue habiskan nggak sebanyak itu. Isi paketnya nasi, beef bulgogi, mandu, japchae, sama kimchi. Kalau kalian pikir gue tau nama-nama menu yang gue sebutin tadi karena nonton drama Korea, kalian salah. Gue tau itu semua jelas dari menu yang tertera di aplikasi ojek online. Tetap nggak sepenuhnya benar, karena ada campur tangan mantan gue sebelum itu. Dia suka banget makanan Korea sampai hampir tiap hari menunya sama. Eh, setelah dia nggak ada ... malah gue yang kesurupan sama itu makanan walaupun nggak setiap hari kayak dia karena gue miskin.

Rasanya kangen. Apalagi, siang ini di luar mendung banget, padahal harusnya matahari lagi di tengah-tengah. Iya, nggak, sih? Sayangnya, hujan malah turun nggak lama setelahnya. Bukan cuma bikin tanah basah, hati gue juga banjir sama kenangan tentang dia. Benar kata orang ternyata, hujan, tuh, nggak cuma datang sendirian. Mereka datang bareng paketan kenangan.

Sambil makan, gue duduk di depan etalase obat-obatan, ngelamun, tapi pelan-pelan masukin makanan ke mulut. Rasanya aneh, nggak kayak biasa. Tiba-tiba aja gue ngerasa hampa dan pengin nyerah. Kayak ... buat apa, sih, gue hidup? Orang yang gue sayang dan sayang sama gue udah pada nggak ada. Bapak, Alisa, mereka bukan cuma nggak bisa gue sentuh, tapi nggak bisa gue lihat lagi bayangannya.

Kadang kepikiran, emang kehadiran gue di dunia ini ada pengaruhnya, ya, buat orang lain? Ada gitu orang yang benar-benar mau gue hidup selain karena butuh? Sialnya, di saat bersamaan hati kecil gue juga mempertanyakan peran mereka. Mereka semua di mana pas gue butuh?

"Nu, faktur udah kamu input?"

Gue yang tanggung banget lagi ngunyah, nggak langsung jawab. 

"Kamu ada masalah apa, sih, sama saya? Kenapa saya nanya nggak pernah benar jawabanmu."

Lah? Gue belum jawab, bukan jawab nggak benar. "Maaf, Bu, saya lagi ngunyah. Kata Bapak kalau lagi makan jangan ngobrol," jawab gue akhirnya.

"Jangan sok tua kamu. Jelas duluan saya hidup di dunia ini dibanding kamu."

Akhirnya, makanan enak dan mahal ini terpaksa gue simpan dulu. Terus dengan hati yang lapang selapang-lapangnya, gue samperin Bu Ola. Dia apoteker gue yang biasanya cuma datang satu bulan sekali, kadang nggak datang banget sebulan penuh karena cuma titip STR. Kebetulan beliau ini anaknya atasan gue.

"Fakturnya belum saya input, Bu, rencananya sebentar lagi setelah selesai makan."

"Di mana-mana urusin kerajaanmu dulu, baru urusan pribadi. Jangan jadi kebalik. Kamu di sini itu dibayar sama Papi saya."

Nggak ada bantahan lagi. Gue langsung mengiakan dan kerjain tugas gue.

"Defecta juga kamu urusin dulu sampai Raina sehat."

"Tapi, Bu, kan ada Cantika? Saya udah pegang tiga kerjaan soalnya. Pembayaran, laporan PSA sama stock opname. Saya agak keteteran kalau harus megang lebih dari itu."

Perempuan itu malah semakin melotot ke gue. "Kamu berharap apa sama Cantika yang masih kecil? Kamu mau pembelian jadi berantakan? Pokoknya, selama Raina sakit, kamu dulu yang pegang semuanya. Urusan pelayanan biar Cantika aja."

Itu alasan paling nggak masuk akal yang pernah gue dengar. Masih kecil? Gue sama dia seangkatan. Kalau dia dianggap masih kecil, harusnya gue juga sama dong? Apa karena mereka sering nongkrong banget jadi dapat keistimewaan? Apa karena Cantika lagi kuliah makanya lebih dijaga supaya tetap jadi aset di apotek-klinik ini?

"Baik, Bu." Jawaban singkat dan mutlak budak kayak gue.

Pas lagi sibuk-sibuknya ngerjain—masih dengan apoteker gue memantau di belakang—HP gue bunyi. Berkali-kali sampai gue nyuri pandang ke arah Bu Ola, takut beliau terganggu. Nama Selly muncul di layar HP gue.

Icel ❤️

Mas Nu ... udah gajian belum? Aku rencananya pulang sekolah mau langsung ke BEC sama anak-anak, jadi nggak harus ngerepotin Ibu

Icel ❤️

Kalau Mas Nu udah gajian, langsung transfer aja, ya. Uang Ibu juga soalnya udah aku pegang. Sayang Mas Nu 💜

Refleks gue melotot membaca pesan yang dikirim Selly. Baru kali ini gue ngerasa benar-benar jengkel sama cara berpikir Ibu. Kenapa Ibu bisa semudah itu ngasih kepercayaan sama Selly buat pegang uangnya? Padahal, tiga juta lebih bukan uang sedikit, apalagi dalam bentuk tunai. Kalau hilang atau ada orang jahat gimana? Kalau Selly diapa-apain gimana?

Gue langsung bergerak cepat membalas pesan anak itu.

Saya

Cel, jangan ke mana-mana dulu. Seenggaknya tunggu Mas pulang kerja. Uangnya nggak akan Mas kasih ke kamu kalau kamu ngeyel pergi sendiri.

Icel ❤️ 

Apa, deh, Mas, lebay banget. Lagian aku pergi juga masih sekitaran Bandung, nggak sampai ke luar kota. Kenapa harus sama Mas segala? Aku udah gede. Malu sama teman-temanku kalau Mas selalu ikut campur.

PR ngurusin anak baru gede, tuh, gini. Sedikit-sedikit malu dan gengsi. Padahal, ini demi kebaikan dia juga. Dia satu-satunya adik gue, dan cewek. Kalau sampai terjadi sesuatu, tanggung jawab gue sama Ibu dan Bapak besar. 

Saya

Diam atau nggak sama sekali. Jangan ngeyel kamu jadi anak. Teman-temanmu nggak akan bisa apa-apa kalau sesuatu yang buruk terjadi.

Selly nggak ada balas lagi setelah itu, dan gue yakin dia ngambek. Dia tipe anak yang nggak bisa dibentak sama sekali, makanya Ibu selalu berusaha ngomong selembut mungkin sama dia, tapi gue nggak bisa terus kayak gitu. Ini salah satu cara gue buat mendidik dan mendewasakan dia juga pikirannya. Pintar aja, tuh, nggak cukup.

Baru mau kembali mengerjakan pekerjaan gue yang udah numpuk, seseorang muncul.

"Punten, A."

"Eh, iya, Bu. Ada yang bisa dibantu?"

"Aa punya obat ini nggak?"

Demi Tuhan gue nggak menemukan petunjuk apa pun dari robekan kemasan obat yang dibawa si ibu. Selain merk-nya terpotong, kandungannya nggak ada. Cuma potongan bungkus obat warna biru tanpa nama atau garis tepi—yang setau gue itu produk HJ.

"Ibu, punten, ini obat apa, ya?"

"Eh, si Aa, teh, gimana. Kalau saya tau mah nggak akan nanya," ujarnya sambil mukul punggung tangan gue. Iya, mukul. Entah refleks atau emang karena sebel.

"Soalnya nggak ada namanya, Bu, kandungannya juga nggak tertera, dan bungkusnya nggak ngasih petunjuk apa-apa. Jadi, saya agak bingung."

"Orang apotek mah harus serba tau atuh, A. Masa gini aja nggak tau. Ini titipan orang. Jadi, kalau Aa bingung saya apalagi. Tugasnya Aa lho menghafal semua obat-obatan. Bahaya banget kalau nggak hafal, nanti nyawa orang taruhannya."

Gue tau. Sangat tau. Ya, tapi, nggak bawa bungkus obat bodong juga. Gue bukan dukun. Mau datang ke apotek mana pun jawabannya bakal tetap sama. Petunjuk sekecil apa pun itu berharga, jadi kalau dia berharap gue tau segalanya cuma dengan bawa bungkus obat seminimalis itu, nggak apa-apa gue mending dianggap bodoh.

"Ya udah, kalau nggak tau. Mending saya ke apotek lain yang apotekernya lebih pinter."

Iya, bodo amat. Ah iya, gue mau meluruskan. Gue bukan apoteker. Gue cuma lulusan SMK Farmasi, asisten tenaga teknis kefarmasian. Satu-satunya yang bikin gue ngerasa beruntung dibanding angkatan setelah gue adalah gue masih punya STRTTK alias Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian yang berlaku lima tahun. Karena peraturan baru, angkatan setelah gue wajib kuliah buat sekadar dapat STRTTK.

Dibanding mikirin si ibu tadi, gue memilih buat lanjutin kerjaan gue yang tertunda. Gue nggak boleh pulang telat biar Selly nggak makin ngamuk.

Pas gue lagi anteng sama faktur yang menumpuk, suara cempreng Cantika terdengar. Refleks gue melirik jam tangan, dan agak kaget ternyata sebentar lagi emang jam gue pulang. Tangan gue bergerak lebih cepat dari biasanya, berharap kerjaan ini cepat selesai. Nggak peduli di belakang Cantika sama Bu Ola udah mulai gosip bareng. Ngomongin motor barunya Cantika.

"Tuh, Nu, Cantika baru dua bulan kerja di sini udah bisa ambil motor. Kamu kapan?" tanya Bu Ola.

Pengin banget gue nyeletuk, ‘Oh, jelas, Bu. Kan Cantika dapat uang cuma-cuma dari papi Ibu. Hampir dua puluh juta’ tapi bisa-bisa gue yang dipecat. Itu bukan kabar burung. Cantika yang over sharing dan atasan gue juga tukang pamer emang paket lengkap. Satu klinik tau Cantika minjem uang, tapi Cantika langsung klarifikasi dan bilang itu bukan pinjaman, tapi bentuk dukungan atasannya karena dia mau kuliah sambil kerja dan punya keinginan kuat buat memajukan apotek juga klinik ini. Suka-suka dia ajalah. Jadi, orang waras emang capek, tapi jadi nggak waras lebih capek lagi.

"Iya, nih, Bu. Uangnya masih kepake buat kebutuhan lain."

"Kamu, kan, belum nikah. Kok bisa, sih, uangmu habis-habis terus? Kalah kamu sama Raina."

Ya, terus kenapa kalau gue belum nikah? Gue lulus SMA aja belum sampai satu tahun. Kalau nikah, anak istri mau dikasih makan apa? Slime? Terus, orang yang belum nikah nggak punya keluarga emang yang harus dihidupi? Dia lahir dari apa? Batu bata? Tanah liat?

Gue sadar banget, sih, hari ini terlalu sinis sama banyak hal, tapi jujur gue muak sama hari-hari yang mulai nggak normal.

Setelah menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, gue langsung berhitung karena biasanya sebelum tukar sif kita juga harus laporan. Yakin laporan gue udah benar, gue langsung pamitan tanpa menjawab pertanyaan Bu Ola sebelumnya. Nah, kalau kali ini iya gue akui sedikit nggak sopan. Bukan berniat nggak sopan, sih, sebetulnya, tapi mumpung hujan reda, gue harus cepat.

***

Perjalanan ke sekolah Selly nggak sampai dua puluh menit, dan gue terpaksa ke sana naik ojek online biar lebih cepat. Emang dasarnya ini hari apes, pas turun dari motor, sandal yang gue pake tiba-tiba putus.

Nggak ada waktu buat balik lagi ke kota dan beli sandal baru, jadi setelah bayar ongkos gue langsung melipir ke warung sederhana yang dekat sekolah Selly buat beli sandal jepit.

Selly kelihatan murka banget pas lihat keberadaan gue. Kayak gue ini makluk hina yang nggak pantas ada di dekat dia. Pas gue mendekat, dia malah ngasih kode biar gue menjauh. Gue nurut, nggak masalah.

Setelah cukup sepi, dia baru nyamperin dan langsung bilang, "Mas, tuh, emang sengaja, ya, mau bikin malu? Udah tau sekolah ini sekolah gede. Mas juga alumni sini, jadi pasti banyak yang kenal. Malah keluyuran gini pake sandal jepit."

Oke, ternyata dia malu. "Sandal Mas tadi putus pas turun dari ojek online. Mau balik ke kota nggak akan sempat. Jadi, ya udah seadanya aja. Lagian kenapa, sih, sama sandal jepit? Orang kaya aja banyak yang ke mal pake sandal jepit."

"Itu karena mereka orang kaya. Biarpun pake sandal jepit, tampang mereka meyakinkan. Kita yang miskin minimal tau diri dan berusaha memantaskan diri."

Gue tertawa, biarpun hati gue sedikit sakit. Selain pintar, Selly terkenal dengan omongannya yang nyelekit. Sering banget gue bilang sama dia, jangan terlalu berani. Gue yang sakit hati, masih bisa diam. Orang lain belum tentu, kan?

Selly langsung pesan taksi online setelah puas marah-marah sama gue, dan sepanjang perjalanan kami cuma diam. Gue udah hilang minat buat ngobrol, kenyang banget hari ini dengar hinaan dari sana-sini. Andai gue dikasih kesempatan buat mikirin diri sendiri, apa mereka masih merasa berhak bikin gue merasa rendah diri?

Anak itu kelihatan jaga jarak, nggak mau banget gue ada di sebelahnya. Dia memilih mundur atau jalan lebih cepat biar kita nggak sejajar. Gue yang udah capek akhirnya nyerah dan biarin dia jalan duluan ke mana pun dia mau, tapi gue tetap siap siaga di belakangnya. Uangnya bahkan langsung gue transfer ke dia, biar dia nggak harus repot komunikasi sama manusia hina ini.

Dia kelihatan senang banget setelah berhasil nemuin HP yang dia mau, dan tanpa sadar gue ikut senyum. Lihat dia bahagia aja rasanya udah cukup. Gue transfer lagi buat jajannya, siapa tau dia mau sekalian ke toko buku beli novel atau buku pelajaran yang dia butuh, terus gue pamit pulang duluan.

Hari ini gue ngerasa capek banget. Nggak tau karena terlalu sibuk atau karena harga diri gue habis diacak-acak semua orang, dan setiap ada di titik itu, cuma satu orang yang muncul di kepala. Bapak. Bisa, nggak, sih, Bapak jemput gue aja?

Baru kali ini gue merasa menyentuh batasnya. Batas antara tanggung jawab dan keinginan buat menyerah.

How do you feel about this chapter?

3 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰

    Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta
  • serelan

    Kejahatan pasti terbongkar. Mau sepintar apapun nyembunyiin bangkai pasti lama² kecium jg baunya.. para korban akhirnya pada speak up. Gak akan ada celah lagi buat si Topik ngelak. Kalo selama ini dia bisa bungkam para korban dengan powernya. Klo kasusnya udh nyebar gini udh gak bisa d tutupin lagi.. buat Wisnu harus sembuh ya biar bisa lebih lama lagi ngerasain kehangatan keluarganya..

    Comment on chapter Chapter 23 - Titik hancur
  • serelan

    Harus bahagia ya kalian.. jadi keluarga yg saling jaga.. dan si Topik² itu pokoknya harus dapet karma dari perbuatannya gimanapun caranya, dimudahkan jalannya..

    Comment on chapter Chapter 22 - Hangat
  • serelan

    Ya allah... siapa yang naro bawang di chapter ini? 😭 nangis banget baca ini...

    Comment on chapter Chapter 21 - Keputusan besar
  • serelan

    Nah ketauan kan sifat si Topik Topik itu.. ke orang² aja dia selalu bilang etika sopan santun pengen banget d pandang tinggi sama org. Tapi etika sopan santun dia aja minus. Dia lebih rendah drpd org yg dia kata²in.. sakit otaknya, cuma org² yg jual diri kyanya yg dia anggap punya etika sama sopan santun.. udh kebalik otaknya.

    Comment on chapter Chapter 20 - Pengakuan mengejutkan
  • serelan

    Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?

    Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang
  • serelan

    Itu uang yang dihasilin sama Wisnu dari hasil kerja kerasnya selama ini yang selalu diambil semuanya sama si ibu ibu itu anda anggap apa bu? Kok masih aja bilangnya gak mau membantu keluarga padahal hasil kerjanya anda ambil semua. Selalu seneng klo ambil lembur karena nambah duit yg akhirnya diambil anda juga.. Masa gak boleh sesekali bahagiain diri sendiri buat apresiasi dari hasil kerja kerasnya, walau capek bisa tetap bertahan. Gak tiap hari loh bu... si ibu pengennya idup enak tapi Wisnu anaknya jadi sapi perah terus

    Comment on chapter Chapter 18 - Hilang fungsi
  • serelan

    Nu, kuat ya kamu... harus kuat... Icel jangan berubah pikiran lagi ya.. terus turutin apa kata Mas mu, karena apa yg dia bilang pasti yang terbaik buat kamu...

    Comment on chapter Chapter 17 - Tempat untuk pulang
  • serelan

    La, kamu ada rasa kah sama Nunu? Peduli banget soalnya sama Wisnu... Sell, mulai ya buat berubah jadi lebih baik, lebih perhatian sama Masmu ya...

    Comment on chapter Chapter 16 - Es pisang ijo segerobak
  • serelan

    Gimana perasaanmu Sell lihat Mas mu kya gitu? Nyesel? Peduli? Atau masih sama aja...

    Comment on chapter Chapter 15 - Tempat untuk jatuh
Similar Tags
Kaca yang Berdebu
87      69     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
1561      629     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Tic Tac Toe
346      280     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Kembali ke diri kakak yang dulu
724      550     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Between Earth and Sky
1967      567     0     
Romance
Nazla, siswi SMA yang benci musik. Saking bencinya, sampe anti banget sama yang namanya musik. Hal ini bermula semenjak penyebab kematian kakaknya terungkap. Kakak yang paling dicintainya itu asik dengan headsetnya sampai sampai tidak menyadari kalau lampu penyebrangan sudah menunjukkan warna merah. Gadis itu tidak tau, dan tidak pernah mau tahu apapun yang berhubungan dengan dunia musik, kecuali...
Suara yang Tak Pernah Didengar
286      165     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
Love Yourself for A2
26      24     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
8547      2730     4     
Romance
Kisah tentang Adam, pemuda single yang sulit jatuh cinta, nyatanya mencintai seorang janda beranak 2 bernama Reina. Saat berhasil bersusah payah mengambil hati wanita itu, ternyata kedua orang tua Adam tidak setuju. Kisah cinta mereka terpaksa putus di tengah jalan. Patah hati, Adam kemudian mengasingkan diri dan menemukan seorang Anaya, gadis ceria dengan masa lalu kejam, yang bisa membuatnya...
Renata Keyla
6663      1538     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
Kita
692      453     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'