“HAH!!!”
Aku terbangun dengan nafas memburu, keringat membasahi seluruh tubuhku. Mataku panik menyapu sekeliling.
Ini... kamarku?
Dinding yang penuh coretan. Meja belajar berantakan dengan catatan ujian. Jam dinding yang macet dua bulan lalu. Semua ada. Aku menatap jemariku yang bergetar. Benarkah ini nyata?
Aku terdiam. Jantungku berdetak kencang, seakan ingin pecah. Bukan apartemen murahan, bukan kamar kumuh penuh bekas luka Rafa. Ini... kamar Yudhis yang baru selesai ujian.
Segera, tanganku meraba bawah bantal. Ponselku! Kutekan tombol layar. Puluhan chat masuk. Grup kelas. Rizal.
Rizal... Rafa...?
Pesan terakhir dari Rizal bertanggal kemarin malam. Tidak ada pesan aneh. Tidak ada kabar kematian. Tidak ada dunia tahun 2041. Semuanya... biasa saja.
Aku kembali? Tapi... kenapa aku merasa bukan Yudhis yang sama?
Genggamanku menguat. Semua rasa sakit itu masih ada. Luka itu nyata. Wajah Rafa, tangis Rizal, pelukan mamak. Semua itu bukan hanya mimpi. Itu kenangan.
Apa... aku memang sudah menjadi Yudhis yang lain?
Jika syarat untuk kembali adalah... kematian? Kejam banget.
Kalau tidak salah, aku bahkan belum pernah bertemu Rafa di zaman ini. Tapi jika Rizal ada, Rafa pasti juga ada. Aku harus mencarinya.
Eh... mamak dan bapak?
Aku melompat turun dari kasur. Jam dinding menunjukkan pukul 05.40. Terdengar suara sapu lidi di luar kamar.
Mamak!
“Mak! Aku mau nanya sesuatu.”
Mamak menoleh. Wajahnya tampak sehat, seperti biasa.
“Beuh, tumben, Yud, bangun sepagi ini. Biasanya abis subuhan lanjut molor sampai siang kalo hari libur gini. Mau nanya apa?”
Subuhan? Aku nggak ingat. Mungkin ingatan Yudhis dari masa depan masih bercampur.
“Mamak punya kanker, ya?”
“Astagfirullahaladzim! Nggak boleh gitu ke orang tua. Tak pukul pake sapu kamu ya, Yud! Mamak sehat-sehat aja.”
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Hehe, maap. Aku habis mimpi aneh.”
Mamak cemberut. “Yee, percaya aja sama mimpi.”
Baiklah. Sepertinya semuanya baik-baik saja. Saatnya lanjut tidur.
Aku baru mau balik ke kasur saat—
“Yud!” panggil mamak.
Jantungku nyaris copot. Entah kenapa, perasaanku nggak enak.
“Kalo tidur lagi, beneran kupukul kamu pakai sapu. Mendingan bantuin buat sarapan. Sekali-sekali berbakti sama mamak bapak, Yud.”
Oi! Kayaknya semua orang bisa baca pikiranku.
“Iya, iya,” jawabku pura-pura melas, padahal dalam hati senang bukan main.
Aku sudah menemukan tujuan hidupku sekarang. Membahagiakan mamak dan bapak. Menuntun Rizal. Dan, tentu saja...
Menikahi – eh maksudnya Menyelamatkan Rafa.
Walaupun aku belum tahu di mana dia sekarang...
***
“Kenapa, Bang?” tanya Rizal.
Aku baru saja memanggilnya ke rumah siang ini. Karena ujian sudah selesai, aku ngajak dia rental PS. Jadilah sekarang kami bermain bola.
“Aku lagi nyari orang,” jawabku sambil tetap fokus ke layar. “Kayaknya tinggalnya dekat-dekat sini.”
“Orang hilang?”
“BUKAANN...” Aku menghela napas. “Namanya Rafa Azaela. Kenal?”
Rizal mengernyit. “Hmmm, kayak pernah dengar. Ciri-cirinya gimana?”
Aku membuka mulut, siap menjelaskan. Tapi...
Eh.
Kok aku nggak tahu?!
Fokus, Yud! Bayangkan wajahnya... tubuhnya... Percuma. Kosong. Aku benar-benar tidak bisa mengingat apa pun tentang fisiknya. Padahal, waktu itu aku bisa mengingat jelas sosok Rizal. Kenapa sekarang begini, sih?!
“Hehehe, aku lupa, Jal.”
“Gimana, sih?! Tapi kayaknya salah satu temanku namanya Rafa deh. Abang nyari dia kenapa?”
“Mau tau aja lu, Jal. Urusan orang.”
“Yee, mau dibantu nggak?” Rizal cengar-cengir. “Yaudah, besok kuajak ketemu sama abang ya.”
Buset. Nih anak gercep amat?! Bukannya dia bilang nggak punya teman? Dasar pendusta!
“Emang kamu dekat sama dia, Jal?” tanyaku curiga.
“AAHHH, SIALAN! CURANG BANGET!” Rizal tiba-tiba berteriak, tangannya mencengkram stik PS erat-erat. Aku sukses menekel penyerangnya tepat di depan kotak penalti.
Aku menyeringai. Ni anak udah jago aja. Perasaan baru beberapa kali main, itu pun kupaksa. Dia kan biasanya cuma suka belajar.
“Oi! Jadi kamu deket nggak sama dia?” tanyaku lagi.
Rizal mendengus. “Nggak mau kujawab.”
“Belum pernah kelilipan stik PS, apa gimana, Jal?!” Aku menatapnya tajam.
Dia malah terkekeh. “Hehehe, gitu doang marah, Bang. Nggak deket aku, tapi seingatku dia pernah nanya jawaban ke aku. Dia kan peringkat 2.”
Peringkat 2? Iya sih, dia kan pengen jadi dokter, pasti pinter.
Kok gampang banget nemunya?!
Semoga itu bener Rafa yang kucari. Meskipun aku nggak bisa mengingat wajahnya, kalau ketemu pasti aku tahu.
“YAAK, DIKIT LAGI!”
Rizal melakukan umpan terobosan. Bola berhasil dioper ke pemain andalannya—Mbappe.
Si botak kura-kura itu menggiring bola dengan cepat, posisinya pas banget di depan kotak penalti. Aku buru-buru mencoba menekelnya, tapi percuma.
Sialan, kok bisa lincah gini?!
Rizal menekan tombol kotak di stiknya...
“MAKAN TUH BOLA! SUIII!”
Bola melesat ke gawang, tak terjangkau kiper. Gol.
Rizal langsung melepas stiknya dan selebrasi ala Ronaldo di ruang tamu.
GAK, GAK, GAK! MASA AKU KALAH SAMA ANAK KENCUR INI?!
Babak pertama selesai. Babak kedua dimulai. Kali ini, aku yang melakukan kick-off.
Bola langsung kuoper ke pemain tengah. Tiki-taka dimulai. Pass demi pass terjadi dengan cepat. Beberapa detik kemudian, pemain-pemainku sudah berkumpul di dalam kotak penalti. Satu operan lagi. Rizal mencoba menekel, tapi terlambat. SORRY BOS, YUDHIS NIH.
Kotak penalti penuh sesak. Tapi justru itu yang kuincar. Haaland menguasai bola dan langsung melakukan placing ke pojok gawang.
DANG!
Bola membentur tiang.
“HAHAHAHAHA!”
Sialan! Rizal tertawa puas.
Sekarang gilirannya. Ia langsung mengirim umpan jauh...
HUP! Alhamdulillah, bola jatuh ke kaki gelandangku.
Tiki-taka kembali berjalan. Tiga detik kemudian, bola sudah berada di kaki Haaland lagi. Kali ini aku nggak butuh operan. Haaland menggiring bola sendirian, melewati garis tengah, lalu terus melaju ke kotak penalti.
Saat posisinya pas... aku pencet tombol kotak.
DUARRR!!!
“MAMPUSSS!!! MINUM TUH BOLA!!”
Aku langsung melepas stik, lalu selebrasi sambil memperlihatkan otot ala petinju.
Rizal melirik sinis. “Itu mah selebrasi petinju, Bang.”
“Ssstt! Terserah aku lah!”
Skor sekarang menjadi 1-1, dan menit di ujung layar masih menunjukkan 60an, masih banyak waktu untuk mencetak skor.
Rizal melakukan kick-off. Sepertinya dia belajar dengan cepat, ia langsung bisa memainkan tiki-taka yang tidak kalah rumit dariku tadi.
“Ayok, Eduardo oper saja ke Rodrygo, Rodrygo, Rodrygo. Hiyaak terobosan langsung dari Rodrygo kepada Mbapee. Mbape masih Mbapee, teruss Mbapee. Mbape telah berada di dalam kotak pinalti bung… DANNNN… ANAK SETAN DI TEKEL DONG!...”
“HAHAHAHA, BERISIK JAL!”
Ternyata wasit menganggap tekel itu bersih. NICE!
“WASIT ANJING!!” teriak Rijal
Sekarang giliranku!, Ederson, sang kiper memberikan bola kepada Manuel Akanji, pendek saja. Aku segera melakukan passing cepat, kemudian…
“OKE SEKARANG BOLA SEDANG DIRAWAT RODRI BUNG, AYOK RODRI, PASSING PENDEK SAJA KEPADA DEBRUNE, DEBRUNE KEPADA JEREMI TETI, MASIH JEREMI TETI.” Badanku mulai bergerak-gerak seakan-akan mengikuti kecepatan bola
“WHAHAHAH JEREMI TETI!!” Rizal tertawa
“BOLA MASIH DIPELIHARA SAMA JEREMI TETI. DAN INI DIAAA TIKI-TAKA DILAKUKAN. KING HALAN SEDANG MENGUASAI BOLAA BUNG. BAWAA TERUSS HALAN, MASIH HALAN, GOCEK TERUS HALAN, DAN SUTING… BENAR SAJAAAAAA KITA LIHAT DI SANA, KIPER MUSUH MENJADI BODOH SEKETIKAAAAAA! GOOLLLLLLLL!!!!!” Aku langsung melompat dari tempatku, hampir menabrak meja, bodo amat yang penting selebrasi.
“YA ALLAHHH!!” Rizal tidak menyangka shoot dari Halland yang masih berada di luar kotak pinalti.
“Kamu lebih berisik bang!” protes Rizal
“Biarin.”
Skor berakhir 2-1, 2 untuk Man City dan 1 untuk Real Madrid. Pertandingan selanjutnya dimulai, Rizal ingin sekali balas dendam. Namun di pertandingan kali ini akan sedikit berbeda dari sebelumnya karena...
“HAHAHAHA ITU NAMA KIPERNYA KENAPA MAMAT.” Teriakku melihat nama-nama pemain yang telah kami ganti, padahal masih dengan liga eropa.
“HAHHAHA, PUNYAMU LEBIH ANEH BANG. CECEP KAJUNG... BEGOOO BANGET!”
Kick-off dilakukan, dari timku, tidak ada lagi nama-nama yang sulit untuk disebutkan.
“YAK, INI DIA BUNG, CECEP KAJUNG MENGUASAI BOLA, PASSING PENDEK SAJA KEPADA ANTO LEBIH KAJUNG –.”
“AHAHHAHAHAHAHAH. GAK KUAT AKU BANG!” Rizal ngakak
“JANGAN KETAWA BEGO, HAHAHAH JADI GAK FOKUS AKU INI, ANTO LEBIH KAJUNG PENDEK SAJA KEPADA NARYO JOMBLO. TIKI-TAKA DILAKUKAN BUNG – INI DIAAAA PEMAIN ANDALAN KITA. RAPLI KEBELET NIKAH –.”
“HAHAHAH, UDAH UDAH. HAHAHAH” Rizal melepas stiknya tidak kuat menahan tawa, ia memukul mukul pahanya sendiri. Aku tetap melanjutkan permainan.
“LANGSUNG TEMBAK SAJA RAPLI KEBELET NIKAAHHH... DAAN YAAAKKK, GOOOLLLL. MAMAT TIDAK MAMPU MENAHAN TENDANGAN KEBELET NIKAHNYA RAPLI BUNGGGG!!!!! KUAT SEKALIII!!”
“HAHAHAHHA” Aku dan Rizal tertawa sepuasnya, satu rumah penuh dengan tawa itu.
KLING!
Sebuah notifikasi masuk ke HP Rizal. Dia masih ketawa, napasnya tersengal habis ngakak tadi. Sambil nyeka air mata di sudut matanya, tangannya refleks buka chat.
Tapi... ketawanya pelan-pelan mereda. Senyum lebarnya mengecil, berubah jadi ekspresi aneh.
Aku masih nyengir, belum sadar. “Eh, kenapa lu? Trauma sama Cecep Kanjung?” candaku, masih setengah ketawa.
Rizal nggak langsung jawab. Dia menatap layar agak lama, seolah mencerna sesuatu. Ketawa terakhirnya lenyap.
“Bang…” suaranya lebih pelan sekarang. “Nih orangnya chat aku.”
Tawaku langsung padam. “Siapa?”
Rizal menghela napas kecil sebelum menyerahkan HP-nya padaku.
“Zal, aku boleh pinjem buku SNBT-mu gak?”
Aku mengerjap. Nama pengirimnya jelas di layar.
Rafa.
Aku butuh satu detik buat nyambungin semuanya di kepala. “Dia mau UTBK?”
“Iya bang…” Rizal menggeser posisi duduknya, seakan sedikit gelisah. “Gak lolos kedokteran Unmul kemarin dia.”
Aku mengangguk pelan, masih mencerna info itu. “Terus, kamu sendiri? Lolos?”
“Aku keterima beasiswa UMS, Teknik Sipil.”
“LAH! Kok nggak bilang? Tiba-tiba banget!”
Rizal mengangkat bahu, datar. “Abang gak nanya.”
Aku menghela napas, lalu menunjuk HP-nya. “Jadi, mau bales apa?”
“Gak tau. Aku harus jawab apa ini bang?”
Aku berpikir sejenak, lalu menatap Rizal dengan penuh keyakinan.
“Kayaknya dia memang Rafa yang kucari, Jal. Soalnya sama-sama mau kedokteran. Yaudah, ajak ketemu aja sekalian malam ini.”
Malam harinya, Rafa datang ke rumahku. Ya, ke rumahku. Rizal makan malam di sini lagi, dan kali ini kami bakal ngajak Rafa ikutan.
“Yud, mana temanmu yang satunya? Bapakmu kayaknya udah nggak sabar tuh.” Mamak menunjuk ke arah Bapak yang dari tadi duduk di meja makan, main HP.
“Hush! Sembarangan,” Bapak mendelik ke Mamak. “Nggak kok, Yud... Tapi kalau bisa ditanyain ya, siapa tahu nggak jadi.”
Aku melirik Rizal yang duduk di sebelahku. “Gimana, Jal?” bisikku.
Rizal baru buka mulut, tapi sebelum sempat jawab—
“Assalamualaikum, permisi...”
ITU DIA!
Aku langsung lompat dari kursi, lari ke depan, dan membuka pintu.
“Waalaikumsalam. Rafa, ya?”
Rafa tersenyum sopan sebelum menjawab, “Yudhis, kan? Temannya Rizal... Mohon maaf banget ya, padahal aku cuma mau ambil buku.”
Nada suaranya halus, agak canggung. Ya, wajar sih. Sebenarnya tadi dia menolak keras pas Rizal ngajak lewat WhatsApp. Tapi Rizal, dengan kelicikannya, berhasil ‘membujuk’.
"Kalau nggak ikut, nggak kukasih bukunya."
Aku cuma bisa geleng-geleng ingat taktik absurd Rizal itu.
“Santai aja. Masuk dulu,” kataku, melangkah ke samping buat kasih jalan.
Rafa ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk.
Sekarang semua anggota keluarga udah lengkap di meja makan. Tapi entah kenapa, perasaanku nggak enak.
“Rafa ini teman sekelasnya Rizal, ya?” Mamak membuka topik, suaranya ramah seperti biasa.
“Eh, iya, Tan. Tante ibunya Rizal?” Rafa balas dengan sopan.
Mamak ketawa kecil. “Hahaha, iya. Saya ibu angkatnya.”
UHUK!!
Hampir aja aku mati keselek nasi. IBU ANGKAT?!
Aku langsung batuk-batuk heboh, air mataku keluar sedikit. Sementara itu, Rizal dan Bapak malah ketawa puas melihat penderitaanku.
Rafa mengerutkan kening, jelas bingung.
“Rizal sering main ke sini,” Bapak akhirnya turun tangan menjelaskan. “Makanya udah dianggap seperti anak sendiri.”
Rafa akhirnya mengangguk kecil, kayaknya baru paham.
“Jadi baru kenal Yudhis hari ini ya?” Mamak kembali bertanya.
“Iya Tan.” Rafa menganggukkan kepala pelan.
“Tapi Yudhis udah kenal Rafa lho Tan, entah kapan ketemunya.” Rizal nyeletuk dengan santainya.
UHUK! UHUK!!
Kurasa kali ini aku bakal beneran mati. ANAK DAJJAL INI!
Aku buru-buru minum buat nyelamatin tenggorokanku yang hampir nyerah. Mataku melirik Rafa—dan sial, dia sekarang menatapku dengan wajah penuh kecurigaan campur khawatir. Huhuhu, aku bukan orang jahat, kok, Rap... percaya lah!
Aku panik dalam hati. Sebenarnya aku masih belum yakin apakah Rafa ini beneran Rafa yang ada di penglihatan masa depanku. Soalnya aku udah lupa wajahnya. Satu-satunya cara buat mastiin adalah dengerin ceritanya sendiri.
Tapi sebelum aku bisa mikir lebih jauh, Mamak tiba-tiba pasang wajah jahil.
Astaga, niat buruknya udah kelihatan jelas dari senyumnya.
Aku buru-buru nyetop sebelum makin kacau. “Eh! Hehehe... nggak kok, aku juga baru kenal hari ini. Rizal cuma becanda, Mak.” Aku nyikut Rizal di bawah meja sambil ngasih tatapan peringatan.
Tapi anak dajjal ini malah nyengir puas.
Aku mendengus. “Sekali lagi lu ngomong gitu, KU COLOK SENDOK MATAMU, JAL!”
Belum sempat Rizal ngebales, tiba-tiba Rafa buka suara, sama santainya.
“Tapi... aku memang kayak pernah liat kamu, Yud.”
UHUK! UHUK! UHUK!
Aku langsung keselek parah.
“Heh! Jangan bikin satu rumah ini ketularan batukmu, Yud!” omel mamak.
MAK, AKU BATUK BUKAN KARENA SAKIT! INI PANIK!
Bapak malah ketawa. “Hahaha, udah-udah, memang dunia ini sempit.”
“Liat di mana, Rap?” tanyaku, berusaha terdengar santai, padahal jantungku udah mulai ngetuk-ngetuk tulang rusuk.
Rafa diam sebentar, ekspresinya polos banget. Lalu dengan entengnya dia jawab,
“Dalam mimpi, kayaknya.”
DEG!
Mamak, Bapak, dan Rizal langsung ketawa. Tapi aku?
TIDAK.
Tanganku mencengkeram sendok lebih erat. Apa maksudnya?