Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan Takdirku
MENU
About Us  

Apa dia melihat apa yang kulihat? Apa dia tahu tentang mimpi buruk itu? Atau... dia cuma asal nyeplos?

Aku berusaha menangkap ekspresi Rafa. Tapi wajahnya tetap santai, nggak ada tanda-tanda aneh.

Sial. Kalau dia cuma bercanda, kenapa rasanya nggak lucu sama sekali?

Aku masih menatap Rafa, mencari tanda-tanda kalau dia cuma bercanda. Tapi nggak ada. Ekspresinya tetap tenang, polos, seolah ucapannya tadi bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan.

Sementara itu, mamak masih tertawa kecil, kayak baru denger lelucon yang lucu banget. “Hahaha, ya ampun, Rafa ini puitis juga. Kalau mimpiin Yudhis, jangan sampai jadi mimpi buruk ya.”

Bapak mengangguk setuju. “Iya, nanti Yudhisnya jadi pocong di mimpi kamu.”

Rizal ngakak, sementara aku masih beku.

“Eh, makan yang banyak ya, Rafa.” Mamak mengganti topik, menyodorkan lauk ke piring Rafa. “Di rumah ini nggak boleh makan dikit. Harus tambah!”

“Iya Tan, makasih banyak.” Rafa tersenyum sopan. Aku bisa lihat dia agak kaku, mungkin masih agak canggung makan bareng keluarga yang baru dia kenal.

Sementara itu, Rizal dengan santainya malah nyolek lenganku. “Bang, kok diem?” bisiknya pelan, tapi cukup buat bikin aku jengkel.

Aku membalasnya dengan tendangan kecil di bawah meja.

Makan malam berlanjut dengan obrolan santai. Bapak cerita soal pekerjaannya di kantor, mamak sibuk memastikan semua orang kenyang, dan Rizal? Dia jelas lebih sibuk nyela aku.

Tapi pikiranku nggak ada di sana.

Aku masih kepikiran kata-kata Rafa.

“Dalam mimpi, kayaknya.”

Kalau dia memang melihat sesuatu, apa itu berarti aku bukan satu-satunya yang ngalamin ini?

Atau...

Jangan-jangan penglihatan masa depan itu bukan cuma punyaku?

Sial.

Kenapa tiba-tiba makanan ini jadi terasa hambar?

Aku menghela napas dalam-dalam. Oke, cukup. Aku nggak bisa terus-terusan kepikiran omongan Rafa. Mau gimana pun, aku nggak mau bikin suasana jadi aneh gara-gara pikiranku sendiri.

Jadi, aku mengangkat kepalaku, menarik napas, lalu—

“Aku sih nggak pernah mimpiin Rafa.” Aku menatap Rizal penuh arti. “Tapi aku pernah mimpi buruk soal Rizal.”

Rizal yang lagi suapan langsung berhenti. “HAH?!”

Aku mengangguk dramatis. “Sumpah, Jal. Parah banget mimpinya. Aku mimpi kamu jadi artis TikTok terkenal. Joget-joget tiap hari. Terus... pas lagi joget di lampu merah, tiba-tiba ada angin kencang.” Aku mendramatisir dengan gerakan tangan. “Dan... WUSH! Rambutmu terbang, Jal. TERBANG. Dan ternyata selama ini kamu BOTAK!”

“KAMPRET!!” Rizal hampir menyemburkan nasinya. Bapak dan mamak langsung ngakak. Rafa menutup mulutnya, berusaha menahan tawa. Tapi aku bisa lihat matanya berbinar, jelas dia juga menahan ketawa.

“Eh, jangan ketawa dulu,” lanjutku dengan nada serius. “Mamak yang pertama sadar waktu itu. Dia bilang, ‘Lah, kok mirip bapak pas SMA?’”

Mamak langsung melepas sendoknya. “HAHAHAHA ASTAGHFIRULLAH YUDHIS!!”

Bapak ikut tepuk meja sambil ngakak. Rafa akhirnya nggak bisa menahan diri lagi dan ketawa lepas.

Rizal mencak-mencak. “Sumpah bang, gue balas dendam abis ini!”

Aku nyengir puas. “Sabar, Jal. Ini buat kebaikanmu juga. Siapa tahu setelah ini kamu jadi kepikiran buat investasi minyak rambut yang bagus.”

Obrolan meja makan jadi lebih santai. Rafa udah nggak segugup tadi. Sekarang dia malah nimbrung, nambahin cerita-cerita lucu tentang teman sekelas yang absurd. Aku dan Rizal saling lempar lawakan, bikin semua orang makin ngakak.

“Eh, dulu di kelas aku pernah ada kejadian kocak.” Rafa tiba-tiba bersuara setelah sempat diam sebentar, matanya berbinar.

Aku dan Rizal langsung fokus. “Ceritain, ceritain!”

Rafa nyengir. “Jadi, ada satu anak ini, kan, dia sering bawa bekal dari rumah. Nah, suatu hari, dia kaget banget pas buka kotak bekalnya. Isinya... nasi doang.”

“Hah?” aku mengernyit.

“Terus lauknya mana?” tanya Rizal.

“Nah, itu dia! Dia tanya ke mamanya, ‘Mah, laukku mana?’ Terus ibunya jawab, ‘Laukmu? Oh, tadi mama lupa naro. Udah dimakan sama kucing!’”

Sekejap, seisi meja makan meledak ketawa. Aku sampai kepalaku nyungsep ke meja saking nggak kuat.

“Bayangin aja buka bekal, isinya nasi doang! Itu mah bukan bekal, itu nasib!” Rizal masih tertawa sambil tepuk-tepuk meja.

Bapak dan mamak udah nggak bisa berhenti ketawa. Mamak sampai harus minum supaya nggak keselek.

Rafa yang tadi kaku, sekarang udah lepas sepenuhnya. Tawanya renyah, matanya berbinar. Dia udah nggak canggung lagi.

“Eh Bang, aku juga pernah mimpiin Abang, lho,” celetuk Rizal tiba-tiba.

Semua mata langsung tertuju padanya.

“Abang jadi pengamen di lampu merah, hahaha! Aku yang mungutin uangnya.”

Seketika, satu meja makan pecah dalam tawa. Bapak sampai harus menepuk meja, Mamak tertawa sambil geleng-geleng kepala, dan Rafa menutup mulutnya, berusaha menahan tawa.

Tapi aku? Aku cuma bisa ketawa kecil, berusaha menyesuaikan diri. Walaupun sebenarnya, detak jantungku melonjak.

Jadi, bukan cuma aku yang melihatnya?

Apa mungkin… mimpi itu lebih dari sekadar bunga tidur?

Aku melirik Rizal, dia masih sibuk ngakak. Sepertinya dia nggak sadar seberapa besar arti ucapannya buatku. Sama halnya dengan Rafa. Kalau mereka benar-benar melihat hal yang sama, kenapa mereka santai saja? Apa yang mereka lihat berbeda denganku? Atau… mereka hanya mengingat sebagian?

Aku buru-buru membuang pikiran itu. Nggak sekarang. Bukan waktu yang tepat buat mikirin ini.

Aku harus tetap ikut dalam obrolan ini, tetap jadi Yudhis yang mereka kenal.

“Hahaha! Padahal lebih cocok kalo lu yang jadi lampu merahnya, Jal,” timpalku, mencoba menormalkan suasana.

“Sialan!” Rizal memukul lenganku.

“Tapi iya sih,” tambah Rafa santai.

Dan sekali lagi, tawa meledak di meja makan.

Bapak sampai harus menepuk punggung Rizal yang hampir keselek. Mamak sampai mengusap air mata di sudut matanya karena terlalu banyak ketawa. Rafa? Rafa sudah benar-benar lepas. Aku bisa melihat matanya berbinar, senyum yang benar-benar tulus.

Mamak kembali dengan senyum keibuannya, lalu mengingatkan kami untuk tidak bercanda lagi. “Udah, udah, nanti malah keselek semua,” katanya sambil menggeleng geli. Kami saling pandang, masih terkekeh, sebelum akhirnya kembali melanjutkan makan malam dengan lebih tenang.

Suasana ini… terasa sangat hangat.

Aku ingin menyimpannya lebih lama.

Nanti, saat ada waktu, aku akan mencari tahu lebih dalam tentang mimpi mereka. Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati momen ini.

Karena setelah sekian lama… ini pertama kalinya aku merasa benar-benar hidup.

Makan malam akhirnya selesai. Rafa berterima kasih kepada Mamak, Bapak, juga kepadaku dan Rizal. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal—buku yang dia cari ternyata belum dia dapatkan. Karena sebenarnya buku tersebut masih ada di kos Rizal.

“Jadi dari tadi kamu nipu aku ya?!” seru Rafa, menoleh tajam ke Rizal.

Rizal mengangkat tangan, seolah membela diri. “Gak nipu, Raf. Lagian, yang bikin kamu ke sini tuh bukan aku.” Dia menunjuk ke arahku.

Rafa mengernyit. “Hah?”

Aku nyengir. “Hehehe, sebenarnya ada yang mau kutanya ke kalian berdua.”

Rizal menyela, “Aku juga, Bang?”

“Iya, Jal.” Aku mengangguk santai. “Udah ah, masalah buku gampang. Kamu ikut aja si siluman merak ini ke kosnya, kan kalian searah.”

Rafa menatap Rizal kemudian manatap motor ibunya yang terparkir di halaman “Boncengan gitu?” Rafa menatapku curiga.

“Iya lah. Gapapa, Rap, nggak bakal dimakan kok sama dia… paling digigit.”

“Hahahah, awas kamu gigit aku ya, Jal!” Aku dan Rafa tertawa, sementara Rizal hanya bisa cemberut.

Akhirnya merekapun berangkat, dengan Rafa yang membonceng Rizal. Rizal kan gak bisa bawa motor.

“Pamit ya Yud… Kamu kalo beneran gigit aku, ku tabrakin ni motor ke truk.”

Hahaha bahkan sampai detik terakhir mereka masih bercanda.

***

Besok malamnya, kami bertiga kembali berkumpul di sebuah kafe dekat rumah Rafa. Jaraknya ternyata cukup jauh, sekitar 20 menit dari rumahku dan Rizal. Pantas saja kemarin Rafa sempat protes.

Begitu masuk, aku langsung paham kenapa kafe ini dipilih. Suasananya harmonis, desainnya menyatu dengan alam. Setiap sudut dihiasi tanaman hijau yang sengaja diberi ruang tersendiri, berpadu dengan lampu-lampu kuning hangat yang memberi kesan mewah dan nyaman.

Dan itulah awal mula penderitaan kami.

“Pasti mahal nih menunya.” Rizal sudah curiga duluan.

“Sekali-sekali, Jal,” sahutku, mencoba menenangkan.

Rafa ikut menimpali sambil melihat-lihat sekitar. “Sebenarnya ini pertama kalinya juga aku ke sini.”

Kami mulai membuka menu. Rizal yang awalnya santai tiba-tiba membelalakkan mata.

“ASTAGHFIRULLAH—” dia buru-buru menutup mulut, melihat sekeliling memastikan tidak ada yang mendengarnya. Lalu, dengan suara lebih pelan, dia berbisik, “Setara makanku tiga kali!”

Aku melirik ke menu dan…

ALLAHU AKBAR. Nasi goreng 40 ribu?!

Beginilah nasib siswa kere yang nekat masuk tempat mewah.

Sementara aku dan Rizal masih shock melihat harga di menu, Rafa justru hanya tertawa kecil, menikmati ekspresi kami berdua yang masih belum menerima kenyataan.

Padahal, awalnya Rafa tidak berniat ikut. Dia harus melanjutkan belajarnya. Tapi Rizal—yang entah sejak kapan merasa jadi ahli dalam memahami wanita—bersikeras membujuknya. Dengan satu iming-iming sakral: traktiran.

Dan kini, di sinilah kami, terjebak dalam kafe yang menuntut dompet lebih tebal dari iman.

Rizal melotot ke arah Rafa, ekspresinya penuh penyesalan. “Eh, nenek lampir, kamu sengaja ya?!”

Yang dipelototi malah semakin ngakak.

“Hahahaha, sumpah, aku juga nggak tahu kalau semahal ini. Makanya, jangan sok-sokan mau traktir!”

Aku hanya bisa menghela napas. Keputusan bodoh sudah dibuat. Yang tersisa sekarang hanya satu pertanyaan besar: apakah kami bisa pulang dengan dompet masih utuh?

“Yaudah deh gak papa, tapi minumnya air mineral aja ya?” ucapku menengahi.

Rafa mengangguk pelan, Rizal juga sepakat—tentu saja, ini pakai uang kita berdua.

Dan di sinilah kesialan semakin menumpuk.

“Permisi, Mbak.” Rafa memanggil pelayan dengan gaya percaya diri, seolah-olah dia bosnya. Tapi lihatlah outfit anak ini, kayak lagi nge-date aja.

“Pesan nasi goreng biasa tiga, air mineral dua, terus… satu jus alpukat.”

DAGGER STRIKE!

Mbak-mbak pelayan dengan cekatan mencatat pesanan. Sementara itu, aku dan Rizal saling tatap.

SIALAN.

Begitu Mbak-mbak itu pergi, aku ingin langsung protes. Tapi Rizal lebih cepat.

“Heh! Jus alpukat?! Udah dibilang air mineral aja!” bisiknya setengah berteriak.

Rafa? Dia malah santai. Senyum tipisnya makin menyebalkan.

“Hahahaha, aku cuma becanda kok. Aku bayar makananku sendiri.”

Aku dan Rizal masih diam. Lalu kami berpaling ke satu sama lain.

“Jal, gue laper, lo laper?” tanyaku dengan wajah penuh penderitaan.

“Laper banget, bang…” Rizal menatap kosong ke depan.

Perutku sudah berbunyi minta makan. Tapi otakku berpikir keras. Harus hemat.

Aku menoleh ke Rizal dan berbisik, “Jal, kita tungguin orang sebelah dulu. Kalau mereka nggak habis, kita sikat.”

“SETUJU.”

Kami berdua pun mulai memperhatikan meja-meja sekitar, berharap ada pelanggan yang menyisakan makanan.

Sementara itu, Rafa menatap kami dengan tatapan penuh hina. “Seriusan, kalian?”

Kami tidak peduli. Harga nasi goreng ini tidak main-main.

Tak lama kemudian, pesanan datang. Aku dan Rizal menatap nasi goreng di depan kami dengan ekspresi dilematis.

Aku ingin makan… tapi aku juga ingin besok masih punya uang buat beli pulsa.

Di saat itulah, aku mendapat ide brilian. Aku mendekatkan piringku ke Rizal dan berbisik, “Jal, kita makan nasi gorengnya pelan-pelan aja. Satu butir nasi, satu tegukan air.”

Rizal mengangguk dengan penuh keseriusan. “Cerdas. Harus bertahan sampai magrib.”

Kami pun mulai makan dengan teknik slow motion. Rafa, yang melihat tingkah kami, sudah tidak kuat lagi dan langsung tertawa sampai nyaris jatuh dari kursinya.

“HAHAHAHA, SUMPAH KALIAN GILA!!”

Aku hanya tersenyum pahit.

Sambil menikmati nasi goreng, aku mulai membuka percakapan penting ini. "Jal, Rap..." Mereka berdua kompak menoleh. "Aku mau nanya," suaraku serius, tatapanku bergantian ke mereka.
"Kalian beneran mimpi ketemu aku?"

Rafa langsung bereaksi. "Eh, iya lho, Yud. Padahal aku belum kenal kamu sama sekali, tapi aku kayak pernah mimpiin kamu gitu. Mirip doang kali, ya..." Lalu dia menambahkan dengan mata menyipit curiga. "Jangan ge-er lu."

"Yeee, siapa juga yang ge-er, itu namanya tanda jodoh."

UHUK! Rafa tiba-tiba keselek dan hampir jatuh dari kursinya. "Gitu lagi ku tendang bibirmu, Yud!"

"Hahahah, bercanda! Galak bener," kataku sambil mundur sedikit, takut beneran ditendang.

Rizal yang sejak tadi mengunyah dengan santai, akhirnya buka suara. "Kalau aku sih memang mimpi gitu, Bang. Cuma keliatannya di mimpi aku, Abang kayak lebih tua."

DEG! Aku langsung freeze di tempat.

"Seriusan, Jal?"

"Iya, Bang. Rambutmu kayak ada uban gitu."

UBAN!. Aku refleks langsung meraba-raba kepalaku, panik. "Uban? Uban di mana?! Jal, jangan ngadi-ngadi! Aku masih muda!"

Rizal dan Rafa langsung ngakak. Rafa sampai tepok jidat. "Itu di mimpi, BEGO! Tapi kalau lo stres kayak gini sih, uban beneran bisa muncul."

Aku mendengus. "Cih, mimpi apaan itu... Kalian inget nggak kejadian-kejadian di mimpi itu?"

"Ya enggak lah, namanya juga mimpi," jawab Rizal santai sambil menyendok nasi gorengnya lagi. "Mana mungkin sedetail itu."

Aku menghela napas, tapi dalam hati masih kepikiran. Jadi mereka juga mimpiin aku? Apa ini cuma kebetulan...?

“Memangnya kenapa Yud, kok tiba-tiba nanya gituan, gabut banget ya hidupmu.”

“Pengen tau aja... Eh, Rap, kamu beneran mau masuk kedokteran, kan?”

Sebenarnya, tujuanku bukan cuma soal mimpi tadi. Ada hal yang lebih penting. Aku harus memastikan Rafa nggak salah pilih jurusan.

“iya, makanya kau harus belajar mati-matian buat UTBK.”

“Aku juga mau UTBK, lho, Rap. Btw, kita belajar sama si sok pinter ini aja gimana?” Aku menoleh ke arah Rizal.

Rafa mengangkat alis. “Kalau sama Rizal aku mau sih, tapi kemarin-kemarin aku minta dia ngajarin, nggak mau tuh.”

Eh?! Buset! Si sok pinter ini ternyata pelit ilmu ya?!

Rizal buru-buru membela diri. “Bukan nggak mau ya, tapi nggak bisa.”

Aku melotot. “Oalah, lebih parah lagi! Berarti kemarin-kemarin kita ketipu doang sama citra kutu buku!”

Rafa ngakak, sementara aku menggeleng-geleng tak percaya.

Rizal mendengus. “BUKAN GAK BISA KARENA BODOH YA! Aku yakin aku lebih pinter dari kalian kalau perihal akademik.”

Aku langsung mendongak ke langit-langit kafe, mengangkat tangan seolah memohon sesuatu.

“Ya Allah, cabutlah kepintarannya ya Allah. Atau nggak, pindahin ke aku aja. Orang sombong sebaiknya dibuat bodoh aja. Amin.”

Rafa yang lagi minum hampir keselek. “Hahahaha! Yudhis, kau doain kawan sendiri kek gitu!”

Aku tetap memasang wajah suci. “Nggak apa-apa, ini demi keseimbangan dunia. Kalau Rizal pinter dan sombong, kita yang bodoh makin menderita.”

Rizal mendengus lagi. “Aku tetap nggak mau ngajarin, takut ilmunya nurun ke kalian.”

Aku menatapnya penuh hina. “Ilmu itu bukan sinyal WiFi, Jal.”

Rafa menggebrak meja sambil ngakak. “Ya Allah, aku nggak kuat!”

Sekarang giliran Rizal yang mengangkat tangan, mendongak ke langit dengan ekspresi penuh penderitaan. “Ya Allah, besarkanlah kesabaran hamba-Mu ini, ya Allah… soalnya aku bakal ngajarin dua makhluk yang sudah Engkau kasih sedikit kepintaran ini.”

Aku dan Rafa saling tatap. Sejenak terdiam.

Lalu, serempak, kami menjura seperti murid di hadapan guru besar. “MAKASIH JAALL!”

Rafa bahkan menangkupkan kedua tangan di dada, ekspresi terharu. “Aku janji, aku bakal jadi murid yang baik, Jal! Nggak bakal ngecewain guruku!”

Aku ikut mengangguk-angguk dengan penuh drama. “Iya, iya! Nanti aku beliin kau gorengan lima biji tiap kita belajar. Dijamin energinya nggak habis buat ngadepin kebodohan kami.”

Rizal memejamkan mata, menghela napas panjang seolah sedang menerima takdir berat. “Astaghfirullah… coba kalau aku ini anak Sultan, udah nggak perlu repot-repot ngurusin kalian.”

Aku langsung merangkul bahunya. “Tapi kan kamu bukan.”

Rafa menepuk bahu Rizal sok simpati. “Iya, makanya syukuri aja nasibmu yang harus ngajarin kami.”

Rizal kembali mengangkat tangan, seperti akan berdoa sungguh-sungguh “Ya Allah, nggak jadi ya allah.”

Kami bertiga serempak tertawa “HAHAHAHA, MANA BISA DIRALAT GITU.” Rafa ngakak sambil memukul bahu Rizal.

***

Besoknya, kami kembali berkumpul di ruang tamu rumahku. Biasanya cuma ada aku dan Rizal, tapi kali ini jadi lebih rame gara-gara ada Rafa. Awalnya aku kira bakal seru, tapi ternyata malah makin berisik.

Kami duduk melingkar, buku-buku berserakan di meja, dan yang paling semangat belajar jelas bukan aku. Rizal, sang jenius yang tiba-tiba berubah jadi dosen killer, mulai menjelaskan dengan penuh semangat. Saking semangatnya, aku nyaris menyerah dengan cara ngajarnya yang brutal.

Sekarang kami sedang belajar matematika. Aku menatap kertas coretanku dengan penuh kebanggaan, lalu menyerahkan jawabanku ke Rizal.
“Nih, bener nggak?” tanyaku dengan senyum penuh harapan.

Rizal mengambil kertas itu, meneliti sebentar, lalu… JEDAR! Dia langsung ngegebrak meja “BEGOOOO! Mana bisa sin X sama sin Y DITEMBAK?!”

Aku terlonjak kaget. “Astaghfirullah, kenapa harus gebrak meja?! Aku mau kena serangan jantung, tau nggak?!”

Rizal tidak peduli. Dia mengangkat kertas jawabanku tinggi-tinggi, ekspresinya mirip hakim yang siap menjatuhkan vonis mati. “Dengerin baik-baik, wahai makhluk kurang gizi… ini tuh harus diubah dulu bentuknya, bukan asal nembak kayak lagi main basket!”

Aku menghela napas panjang, lalu berbisik pada Rafa. “Rap, aku rasa aku sudah cukup hidup selama ini. Kalau aku mati di tangan Rizal, tolong bilang ke mamakku, aku sayang dia.”

Rafa pura-pura terharu. “Tenang, Yud. Aku bakal mengenangmu sebagai pahlawan yang gugur di medan perang… melawan matematika.”

Aku mengangguk penuh syukur. Tapi Rizal malah ngelempar penghapus ke kepalaku. “WOY, FOKUS NGGAK?! KALIAN BELAJAR APA NGAJI TAHLILAN?!”

Rafa dan aku langsung membenarkan posisi duduk, pura-pura serius.

Aku menatap soal di depanku. “Jal, kayaknya otakku mulai panas. Ini nggak bisa dipermudah gitu?”

Rizal nyengir licik. “Bisa.”

Aku menghela napas lega. “Hah, syukurlah.”

“Tapi nanti abang gak lulus UTBKnya,” jawab Rizal dengan santainya.

Aku langsung ambruk ke meja. “YA ALLAH KENAPA KAWANKU BEGINI?!”

Sementara itu, Rafa udah nggak kuat nahan ketawa, sampe tersedak minumannya.

Belajar sama Rizal? Bisa sih… tapi umurku mungkin bakal berkurang sepuluh tahun lebih cepat.

“Begini kan, Jal?” Kali ini Rafa yang menyerahkan jawabannya.

Mata Rizal menilik kertas itu dengan penuh perhatian. Beberapa detik kemudian, dia mengangguk pelan dan beralih menatap Rafa.

“Nah, sampai di sini udah bener, Rap. Tapi yang bagian ini lebih baik disederhanakan aja, biar nanti waktunya nggak keburu habis pas ujian,” jelasnya lembut, dengan suara selembut kapas.

Aku melongo. Aku nyubit lenganku sendiri. Ini aku masih di dunia yang sama kan?

Rafa mengangguk, tersenyum puas. “Oh gitu ya, makasih, Jal!”

“Sama-sama,” kata Rizal, masih dengan senyum ramah ala guru privat yang baru dapet murid kesayangan.

Aku langsung merosot di kursi, menatap langit-langit penuh penderitaan. “Ya Allah… aku sudah melihat kezaliman di depan mataku sendiri.”

Rizal menoleh santai. “Kenapa bang?”

Aku menunjuknya penuh tuduhan. “Tadi aku jawabanku salah dikit aja udah gebrak meja kamu, Jal! Sampe jantungku hampir loncat ke meja! Kenapa pas Rapa yang salah, kamu malah jadi guru privat baik hati?!”

Rizal mengangkat bahu tanpa dosa. “Ya beda lah. Rafa niat belajar, abang kan malah mau mati di medan perang.”

Aku menatapnya dengan penuh kebencian. “Kamu ini… benar-benar gambaran dosen mata keranjang.”

Rafa ngakak, hampir jatuh dari kursinya. “HUAHAHAHA! YUDHIS GILA!”

Rizal langsung ngelempar penghapus ke arahku. “WOY, FITNAH ITU DOSA! AKU INI HANYA GURU YANG PEDULI!... BANG MULAI HARI INI KAMU DIHUKUM BEDIRI DI HALAMAN SAMBIL HORMAT KE ARAH MATAHARI, SELAMA 3 TAHUN.”

“MATILAH AKU KOCAK,” aku balas melemparnya dengan bantal.

Rafa masih terpingkal-pingkal sambil megang perut. “HAHAHA! YA AMPUN, AKU NGGAK NGIRA PELAJARAN MATEMATIKA SEBERISIK INI!”

Rizal memijat pelipisnya. “Astaghfirullah… ya Allah, kuatkan hamba dalam menghadapi dua spesies ini…”

Aku dan Rafa langsung berseru bersama, “AMIIIIIIIN!”

Kami pun melanjutkan belajar dengan metode empat puluh menit belajar, sepuluh menit istirahat. Siklus ini berulang terus sampai tiba waktunya makan siang dan makan malam. Setelah itu, kami lanjut lagi besok paginya.

Masih ada tiga bulan sebelum UTBK dimulai, dan kami tetap konsisten belajar bersama selama itu. Kadang-kadang, kami pergi jalan-jalan buat refreshing, karena kalau belajar terus tanpa hiburan, otak kami mungkin bakal gosong.

Jujur, awalnya aku masih khawatir kalau Rafa bakal gap year, tapi setelah melihat hasil belajarnya, kayaknya aku nggak perlu cemas lagi. Menurut analisa Rizal, Rafa hampir pasti lolos di salah satu perguruan tinggi negeri top sepuluh.

Kami pernah mencoba simulasi UTBK melalui platform resmi pemerintah. Tentu saja, Rizal yang jadi mentor sekaligus algojo yang siap menghancurkan mental kami kapan saja.

Dan hasilnya…

Rafa mendapatkan skor 854.

Aku dan Rizal menatap angka di layar laptop itu, lalu perlahan menoleh ke Rafa yang masih duduk santai sambil nyemil keripik.

Aku langsung megangin kepala. “GILA KAMU, RAP! INI SKOR ATAU HARGA MOTOR SPORT?!”

Rafa nyengir, masih ngunyah santai. “Oh, lumayan ya?”

Aku nyaris melempar botol minum ke arahnya. “LUMAYAN KAMU BILANG!”

Rizal menghela napas, lalu menepuk pundak Rafa seperti seorang guru bijak yang menemukan murid berbakat. “Dengan skor segini, kamu nggak perlu belajar lagi, Rap. Langsung daftar jadi rector aja.”

Rafa cuma ngakak. “Alaah, beruntung aja kali.”

Aku makin emosi. “BERUNTUNG! KAMU BARU BELAJAR DUA BULANAN, RAP! SEMENTARA AKU BELAJAR BERTAHUN-TAHUN DAN LIAT HASILKU!”

Dengan penuh percaya diri (dan sedikit rasa takut), aku menyerahkan skorku ke Rizal.

468.

Aku menunggu komentar dari Rizal. Dia membaca angkaku, diam beberapa detik, lalu mengangguk pelan.

“Bang…” katanya akhirnya.

Aku menelan ludah. “I-iya?”

Dia menepuk pundakku dengan tatapan penuh simpati. “Ini sudah bagus…”

Aku mulai tersenyum. “Serius?”

Rizal tersenyum lembut. “Bagus buat jadi pengangguran sih, Bang.”

Aku terdiam. Jiwa dan ragaku tercerabut dari tubuhku. Aku memandang langit, bertanya pada Tuhan apakah sebaiknya aku mulai bisnis ternak cacing tanah saja.

Sementara itu, Rafa sudah nggak bisa nahan ketawa dan nyaris tersedak keripiknya.

Aku meratap. “YA ALLAH, APA SALAHKU SAMPAI DITEMANIN SETAN BEGINI?!”

Rizal cuma nyengir. “Tenang, Bang. Masih ada waktu satu bulan. Kalau abang belajar lebih giat, mungkin bisa naik 20 poin.”

Aku langsung menyapu buku-buku di meja. “NGAPAIN SUSAH-SUSAH KALO CUMA NAIK 20?! MENDING AKU JUAL CIRENG AJA!”

Rafa makin ngakak, Rizal cuma geleng-geleng, sementara aku mulai mempertimbangkan untuk mengasingkan diri ke gunung dan hidup sebagai petapa.

Aku sudah tidak lagi takut mimpi itu menjadi nyata. Aku telah menambahkan sesuatu yang tidak ada dalam mimpi itu—sebuah perubahan kecil yang mengalir seperti riak di danau, mengubah arus kehidupan mereka. Aku masih tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi, bagaimana mimpi itu bisa menjelma seakan nyata. Tapi satu hal yang pasti, perasaan Yudhis di tahun 2045 perlahan memudar. Kehampaan itu, kepedihan itu… seperti kabut yang perlahan menghilang saat fajar menyingsing. Kini, aku menggantinya dengan sesuatu yang lebih berharga—rasa nyaman, kehangatan, dan keluarga. Bukan hanya dari mamak dan bapak, tapi juga dari dua orang yang kini duduk di hadapanku. Kurasa sekarang aku mengerti apa yang dimaksud Pak Erwin. Membantu orang lain sejatinya adalah cara kita menyembuhkan diri sendiri—membantu hati kita agar lebih terbuka menerima hal-hal baik.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Sweety Girl
11570      2615     6     
Romance
Kenarya Alby Bimantara adalah sosok yang akan selalu ada untuk Maisha Biantari. Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya waktu salah satu dari keduanya perlahan terlepas. Cinta yang datang pada cowok berparas manis itu membuat Maisha ketakutan. Tentang sepi dan dingin yang sejak beberapa tahun pergi seolah kembali menghampiri. Jika ada jalan untuk mempertahankan Ken di sisinya, maka...
Stay With Me
202      169     0     
Romance
Namanya Vania, Vania Durstell tepatnya. Ia hidup bersama keluarga yang berkecukupan, sangat berkecukupan. Vania, dia sorang siswi sekolah akhir di SMA Cakra, namun sangat disayangkan, Vania sangat suka dengan yang berbau Bk dan hukumuman, jika siswa lain menjauhinya maka, ia akan mendekat. Vania, dia memiliki seribu misteri dalam hidupnya, memiliki lika-liku hidup yang tak akan tertebak. Awal...
Let Me Go
2687      1122     3     
Romance
Bagi Brian, Soraya hanyalah sebuah ilusi yang menyiksa pikirannya tiap detik, menit, jam, hari, bulan bahkan tahun. Soraya hanyalah seseorang yang dapat membuat Brian rela menjadi budak rasa takutnya. Soraya hanyalah bagian dari lembar masa lalunya yang tidak ingin dia kenang. Dua tahun Brian hidup tenang tanpa Soraya menginvasi pikirannya. Sampai hari itu akhirnya tiba, Soraya kem...
Dear Diary
645      432     1     
Short Story
Barangkali jika siang itu aku tidak membongkar isi lemariku yang penuh buku dan tumpukan berkas berdebu, aku tidak akan pernah menemukan buku itu. Dan perjalanan kembali ke masa lalu ini tidak akan pernah terjadi. Dear diary, Aku, Tara Aulia Maharani umur 25 tahun, bersedia melakukan perjalanan lintas waktu ini.
Sarah
496      358     2     
Short Story
Sarah, si gadis paling populer satu sekolahan. Sarah yang dijuluki sebagai Taylor Swift SMU Kusuma Wijaya, yang mantannya ada dimana-mana. Sarah yang tiba-tiba menghilang dan \'mengacaukan\' banyak orang. Sarah juga yang berhasil membuat Galih jatuh cinta sebelum akhirnya memerangkapnya...
Sebelas Desember
4835      1403     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Iblis Merah
9803      2613     2     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
REGAN
10188      3050     4     
Romance
"Ketika Cinta Mengubah Segalanya." Tampan, kaya, adalah hal yang menarik dari seorang Regan dan menjadikannya seorang playboy. Selama bersekolah di Ganesha High School semuanya terkendali dengan baik, hingga akhirnya datang seorang gadis berwajah pucat, bak seorang mayat hidup, mengalihkan dunianya. Berniat ingin mempermalukan gadis itu, lama kelamaan Regan malah semakin penasaran. Hingga s...
Musyaffa
144      126     0     
Romance
Ya, nama pemuda itu bernama Argya Musyaffa. Semenjak kecil, ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang manga artist profesional dan ingin mewujudkannya walau profesi yang ditekuninya itu terbilang sangat susah, terbilang dari kata cukup. Ia bekerja paruh waktu menjadi penjaga warnet di sebuah warnet di kotanya. Acap kali diejek oleh keluarganya sendiri namun diam-diam mencoba melamar pekerjaan s...
Daniel : A Ruineed Soul
577      339     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...