Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan Takdirku
MENU
About Us  

Beberapa bulan setelah mamak pergi, bapak menyusulnya. Bukan karena penyakit. Bapak pergi dengan cara yang tenang—terlalu tenang.

Ia tidak bangkit dari sujudnya saat salat subuh di masjid. Tidak ada keluhan, tidak ada tanda-tanda sakit. Hanya... sujud yang menjadi perpisahan terakhirnya dengan dunia.

Entah itu kabar baik atau buruk bagiku.

Mungkin ini cara Tuhan menyatukan mereka kembali. Mungkin ini jawaban atas rindu bapak yang tak pernah ia ucapkan.

Tapi tentu saja, aku tetap merasa terpukul.

Sekarang... aku benar-benar sendirian.

Beberapa bulan kemudian tidak ada tanda-tanda kehampaan di hatiku ini akan menghilang, malah yang ada semakin bertambah, langit biru yang cerah terasa seperti abu-abu di mataku, air hujan yang segar terasa seperti air mata yang sudah lama tidak kukeluarkan, bukan karena tidak merasa perih tapi justru kepedihan itu sudah menghabiskan seluruh air mataku. Aku mulai berpikir... apa aku ini pantas bahagia setelah membiarkan mamak dan bapak pergi seperti itu?

Tidak butuh waktu lama aku bisa mendapatkan kerja karena pengalaman yang kupunya cukup banyak dibutuhkan, walaupun itu bukan hal yang sebenarnya kusukai. Aku harus berpura-pura baik-baik saja dan menutupi kehampaan ini dengan tertawa. Sampai akhirnya tuhan mempertemukanku dengannya ‘Rafa Azaela’.

Aku sudah menyangka bahwa ia adalah orang yang asik sejak hari pertama kami bertemu.

Cantik juga nih cewe (ya, aku sudah mulai membuka hati dan berusaha melupakan Tyas), aku sengaja melewatinya kemudian menabrakkan diri ke printer dengan membawa segelas kopi tentu saja agar dia menyadariku.

“Ah, nggak apa-apa, kemeja ini juga udah ketumpahan nasib buruk,” meskipun ini telah direncanakan, tetap saja. MALUUU BANGET YA ALLAH, sekarang dia menatapku seperti sedang menatap orang bodoh.

Tenang Yud!

“Lho, kok ngeliatin Akunya gitu banget? aku ganteng banget ya?” Setelah mengatakan itu aku tertawa kemudian segera pergi, benar-benar seperti orang bodoh

Ia adalah seniorku di tempat ini. 1 bulan menjadi partnernya aku mulai bisa tersenyum dengan tulus lagi. Hari demi hari, waktu demi waktu, tidak terasa kami sudah menjadi partner andalannya bos, hanya butuh waktu satu tahun untuk mencapai posisi itu. Kami adalah pasangan yang sangat cocok.

Suatu hari kami pernah dipanggil bos untuk datang ke ruangannya, ternyata ia meminta kami untuk mencari perabotan, ini tidak termasuk dalam jobdesk kami, karena perabotannya akan digunakan di rumah pribadinya. Enak saja dia menjadikan kami budak seperti itu hanya karena ia adalah bos kami di kantor bukan berarti ai bisa menggunakan kekuasaannya itu untuk kepentingan pribadi.

“Masing-Masing 500 ribu.”

“DEAL BOS!!” aku segera mengambil amplop yang ada di tangan Bos Alija.

Aku dan Rafa langsung segera menuju mall yang terkenal menjual perabotan rumah tangga dengan kualitas yang sangat bagus.

“Mata duitan banget kamu jadi orang Yud.” Ucap Rafa tepat setelah kami keluar dari ruangan itu.

“Kapan lagi belanja sama calon istri terus dapat uang lagi.”

Rafa membeku, duh aku gak salah ngomong kan?, sebelum akhirnya dia menjawab “Ngomong gitu lagi kutendang gigimu, Yud!” Itu artinya ini cinta bertepuk sebelah tangan ya, huhuhu. Habis ini galau nih aku.

Sesampainya di mall, kami langsung naik ke lantai 2, lantai yang terkenal sebagai surganya perabotan rumah tangga. Ini pertama kalinya aku ke sini, dan mataku langsung membulat seperti anak kecil yang baru masuk ke toko mainan. Sepanjang mata memandang isinya perabotan semua—kasur, sofa, kitchen set, sampai perabotan kamar mandi. Tapi target kami hari ini khusus untuk ruang keluarga.

“Rap, itu kayaknya cocok buat bos!” Aku menunjuk sofa biru langit bermotif lingkaran-lingkaran putih. Bonusnya, sofa ini bisa ditarik jadi kasur. Sumpah, ini warna favoritku.

“Hmmm, cerah banget warnanya, tapi bahannya bagus sih.” Rafa mengelus-elus sofa itu serius kayak mau beli buat dirinya sendiri.

“Bagus kaaann... Eh, Rap, coba deh kamu duduk di pojokan situ,” pintaku sambil menunjuk sudut sofa.

“Ngapain?” Wajahnya curiga.

“Udah, nurut aja, masa’ sama calon suami gak nurut.”

“Apaaa?!” Rafa melotot, tapi tetap duduk sambil manyun.

Aku langsung berjalan mengelilingi sofa sambil menirukan bapak-bapak FTV yang baru pulang kerja.

“Lho, si Cia mana?”

“Hah? Cia siapa?”

Aku duduk di sampingnya, memasang senyum kacang-kacang rebus, ala-ala suami penyayang. “Lah, anak Umi, siapa lagi. Abi kangen nih.”

Rafa membeku. Sesaat kemudian wajahnya seperti melihat setan mau ngutang.

“YUDHIIISSS!” Dia langsung meraih bantal dan melempar ke arahku.

“HAHAHAHA IYA IYAA MAAP!” Aku kabur, nyaris tersandung karpet bulu.

Kami kejar-kejaran di lorong sofa, sampai sebuah suara random memanggil.

“Mas... Mba... pengantin baru ya? Hihihi, suami saya juga suka iseng gitu dulu.”

Langkah kami berhenti seketika. Rafa yang masih mau melempar bantal langsung jadi patung. Para pengunjung lain yang tadinya cuma melirik, sekarang tertawa terbahak-bahak.

Aku? Ketawa sampai hampir nyungsep ke bean bag.

Rafa? Cuma bisa cengar-cengir sambil menunduk, pipinya merah kayak habis digodain RT.

Aku suka momen ini. Meski abis itu punggungku langsung dapet ganjaran tonjokan dari Rafa, ketawaku berhenti otomatis. Ya, otomatis karena hampir keselek bantal yang dilempar dari jarak dekat.

***

Sudah satu minggu sejak kepergian Rafa. Satu minggu terberat sepanjang hidupku—bahkan lebih berat daripada saat kedua orang tuaku pergi. Bedanya, kali ini... tidak ada harapan. Tidak ada tawa yang bisa kupaksakan, tidak ada alasan untuk bangkit.

Bos Alija bahkan tak pernah absen mengantariku makanan yang dimasak istrinya. Anehnya, aku juga tak pernah absen mengabaikannya. Tapi dia tetap datang lagi, dengan masakan baru, seolah-olah aku ini sepenting itu. Seberharga itukah aku baginya? Atau jangan-jangan, tanpa aku, dia memang tak bisa menjual satu pun properti?

TOK! TOK! TOK!

“Yud, ini sudah tujuh hari, Yud... kamu belum makan sama sekali. Setidaknya, sesuap saja.”

Itu dia, seperti biasa. Aku hanya mengeraskan volume TV yang bahkan tidak kutonton, hanya untuk memberitahu bahwa aku masih hidup—setidaknya, secara fisik.

“Yudistira Wijaya,” lanjut Bos Alija, nadanya terdengar gusar, tapi juga rapuh. “Entah apa yang kamu pikirkan... tapi kalau kamu mengira ini cuma karena kamu sales-ku yang berharga, kamu salah besar. Aku peduli, Yud. Selama ini kamu menghilang tanpa jejak, tidak memberi tahu siapa pun. Jangan pernah berpikir kamu nggak punya siapa-siapa.”

Hening.

“Sekarang aku bersama orang yang sangat mengenalmu,” tambahnya.

Hatiku berdegup. Aku bisa menerka siapa yang dimaksud, dan itu membuatku... takut. Tapi sekaligus rindu.

“Bang...” Suara itu. Menyayat.

Aku menangis. Tanpa suara.Tanpa air mata.Tapi aku tahu betul, aku sedang menangis.

“PERGIII!!” Itu adalah kata pertamaku selama tujuh hari ini.

Dari balik pintu, suara itu terdengar lagi. “Bang... selama ini aku nyari kamu, Bang.”

“PERGIII!! KAMU GAK BOLEH DEKAT-DEKAT DENGANKU, JAL! AKU PEMBAWA SIAL! SEMUA YANG KUSAYANGI AKAN MATI!”

Sunyi. Tapi aku masih bisa dengar suaranya dari luar.

“Bang... apa abang gak ingat? Waktu SMA... abang beliin aku buku, jadi aku gak perlu lagi lama-lama berdiri di toko buku itu. Abang gak tahu, ya, seberapa berartinya itu buatku?”

Aku memejamkan mata. Suara itu masih di luar pintu. Dia bahkan belum masuk. Tapi kenapa suaranya seolah ada di dadaku sendiri?

“Aku memang gak bisa nunjukkin waktu itu, Bang... aku gak ngerti gimana caranya menunjukkan rasa terima kasih. Aku... hampir gak punya teman saat itu.”

Tanganku terkepal. Dari luar, aku bisa dengar isaknya—tertahan, pelan, tapi nyata.

Dan aku... Aku tetap menatap kosong ke arah pintu yang tertutup rapat.

“Bang... selama ini aku selalu menempatkan abang sebagai orang pertama yang paling berarti setelah ibuku sendiri...” Rizal mulai terisak. Suaranya bergetar, berat.

“Aku mungkin nggak tahu seberapa menderitanya abang selama ini... seberapa sakit yang abang rasakan sekarang... tapi aku mau abang balik, Bang... balik jadi abang yang dulu.”

Tangisnya pecah, tak tertahankan.

“Aku kangen... kangen lihat abang Yudhis yang selalu jahil, sarkas, da—”
Rizal tak mampu melanjutkan kata-katanya. Tangisannya menelannya mentah-mentah.

Sudah satu jam sejak mereka pergi. Dan di sini, aku kembali sendiri. Seperti biasa.Di kamar sempit ini, hanya aku, keheningan, dan pantulan samar dari dinding kusam yang memantulkan bayangan seseorang... yang bahkan sudah lupa siapa dirinya.

Momen-momen bersama Rafa berputar di kepalaku, seperti kaset rusak yang terus menggores, meninggalkan luka yang bahkan tak bisa lagi kutangisi.Tapi yang paling menyakitkan bukanlah ingatan itu—melainkan kenyataan bahwa, tidak akan pernah ada momen baru.

Rafa tidak akan pernah membuka pintu itu lagi.

Tidak akan ada lagi teriakan yang memanggilku, “YUD! DIPANGGIL BOS!”

Tidak akan ada lagi tangan yang menarikku keluar dari sarang kegelapan ini.

Tidak akan ada lagi.

Apa aku benar-benar Yudhis yang dulu? Atau memang dari awal aku adalah Yudhis yang hancur ini? Karena jujur saja… aku bahkan sudah tidak ingat, siapa Yudhis yang pernah tertawa. Yang aku tahu, hanya ada satu Yudhis di sini. Yang gagal. Yang kehilangan. Yang tak punya apa-apa.

Mataku jatuh pada botol kecil itu, masih setia menunggu di atas meja. Sudah berhari-hari ia di sana, seakan tahu bahwa aku pasti akan mencarinya hari ini. Aku meraihnya, berat... entah botolnya, atau justru tangan ini yang terlalu lemah.

“Gak Yud... jangan bodoh.” Suaraku bergetar.

Tapi tidak ada yang menjawab.

Tidak ada Rafa yang akan mengacak rambutku dan bilang, “Yud, aku di sini kok.” Tidak ada Mamak yang akan marah-marah sambil membuatkan teh hangat. Tidak ada siapa-siapa.

“Maafin aku...” Hanya itu yang sanggup aku bisikkan, entah pada siapa. Aku tahu tak ada yang mendengarnya.

Kupeluk botol itu erat, seakan itu satu-satunya yang tersisa di dunia ini. Perlahan kututup mataku... Tapi justru saat mataku terpejam, tawa kecil Rafa terdengar samar,

“Yudhis, kamu kuat kok.”

Air mataku jatuh.

Telat.

Sangat telat.

Botol itu terbuka. Aku meneguknya, menenggelamkan semuanya sekaligus.

Dadaku seperti diremas.

Kepalaku panas, kakiku dingin, mataku berkunang-kunang.

Dan di detik terakhir, sebelum semuanya gelap,

Aku sempat melihat Mamak, Bapak, dan Rafa... berdiri di pintu, menatapku.

Mereka tidak menangis. Mereka hanya... kecewa.

“Aku akan menyusul kalian.” Itu kata terakhirku.

Gelap.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tic Tac Toe
809      653     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Lady Cyber (Sang Pengintai)
2516      993     8     
Mystery
Setiap manusia, pasti memiliki masa lalu. Entah itu indah, atau pun suram. Seperti dalam kisah Lady Cyber ini. Mengisahkan tentang seorang wanita bernama Rere Sitagari, yang berjuang demi menghapus masa lalunya yang suram. Dibalut misteri, romansa, dan ketegangan dalam pencarian para pembantai keluarganya. Setingan hanya sekedar fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama, peristiwa, karakter, atau s...
Call Me if U Dare
6124      1825     2     
Mystery
Delta Rawindra: 1. Gue dituduh mencuri ponsel. 2. Gue gak bisa mengatakan alibi saat kejadian berlangsung karena itu bisa membuat kehidupan SMA gue hancur. 3. Gue harus menemukan pelaku sebenarnya. Anulika Kusumaputri: 1. Gue kehilangan ponsel. 2. Gue tahu siapa si pelaku tapi tidak bisa mengungkapkannya karena kehidupan SMA gue bisa hancur. 3. Gue harus menuduh orang lain. D...
Reality Record
3247      1173     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
Dibawah Langit Senja
1694      990     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.
When Flowers Learn to Smile Again
2084      1347     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Dia yang Terlewatkan
411      285     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
Dream Of Youth
773      502     0     
Short Story
Cerpen ini berisikan tentang cerita seorang Pria yang bernama Roy yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya untuk mengejar mimpinya Roy tidak pernah menyerah untuk mengejar cita cita dan mimpinya walaupun mimpi yang diraih itu susah dan setiap Roy berbuat baik pasti ada banyak masalah yang dia lalui di kehidupannya tetapi dia tidak pernah menyerah,Dia juga mengalami masalah dengan chelsea didala...
Coretan Rindu Dari Ayah
686      490     1     
Short Story
...sebab tidak ada cinta yang lebih besar dari cinta yang diberikan oleh keluarga.
Cecilia
510      285     3     
Short Story
Di balik wajah kaku lelaki yang jarang tersenyum itu ada nama gadis cantik bersarang dalam hatinya. Judith tidak pernah menyukai gadis separah ini, Cecilia yang pertama. Sayangnya, Cecilia nampak terlalu sulit digapai. Suatu hari, Cecilia bak menghilang. Meninggalkan Judith dengan kegundahan dan kebingungannya. Judith tak tahu bahwa Cecilia ternyata punya seribu satu rahasia.