Di kantin sekolah, Julie duduk di meja bundar paling pojok sendirian sambil menikmati secangkir es kopi. Jujur dia maunya kopi hangat tapi kantin tidak menyediakan. Dari arah pintu masuk dua anak laki-laki berjalan ke arah mejanya kemudian duduk.
"Tadi kita ke perpustakaan, nyariin kamu, ternyata kamu di sini Jul."
"Oh..." balasnya kemudian kembali mengisap es kopinya dengan sedotan, pandangannya tetap lurus.
"Apa ada petunjuk dari foto yang aku kirim semalam?" tanya Ezra.
"Ada. Foto itu benar foto hari terakhirnya."
"Wah serius?" Irgie melirik ke arah Ezra.
"Untung ada Alexa."
"Kakakmu nggak tenggelam, dia meninggal di daratan," Julie memicingkan mata, "bersama seseorang."
Raut wajah Ezra menegang. "Siapa?"
"Aku nggak mengenali wajahnya, tapi dia laki-laki."
"Bentar Jul...bersama seseorang di sini maksudnya, dia meninggal bersama orang itu?"
Julie menggeleng. "Orang itu yang bawa Alexis ke daratan, sebuah pulau kecil. Dia menekan-nekan perutnya, memberikan napas buatan. Alexis sempat membuka matanya sebentar. Dia memegang tangan pria itu dan mengatakan sesuatu kemudian dia menghembuskan napas terkahirnya."
“Mengatakan sesuatu? Apa?”
“Aku nggak tahu, penampakan yang muncul cuma visual.”
"Tapi ada yang aneh," Irgie memicingkan matanya. "Kenapa orang itu nggak lapor polisi? Terus bagaimana dengan jasad Al, dia tinggal gitu aja?"
"Nggak mungkin," kata Ezra. "Kalau ditinggal di sana pasti udah ada yang nemuin."
"Jadi?"
Ezra tertegun. Beberapa teori muncul di kepalanya. Beberapa terlalu mengerikan untuk dia ungkapkan.
"Kalau lihat usaha orang itu buat nyelamatin kakakmu, aku yakin orang itu bukan orang dengan niatan buruk," kata Julie seolah bisa menangkap kegelisahan Ezra. Dia tahu di tangan orang jahat, mayat-mayat tanpa identitas bisa diperjual belikan organ-organnya.
"Terus dia kemanain jasad Al? Dikubur?" Irgie bingung total.
"Bisa jadi atau..."
"Dia tenggelamkan di laut," tambah Ezra dingin.
"Firasatku dia menguburnya."
"Kalau firasatmu benar, berarti kemungkinan besar dikuburnya di sekitar sana Jul?"
Julie mengangguk.
Irgie menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Mungkin orang itu takut berhubungan sama polisi, makanya dia nggak lapor?"
"Gak tahu," Julie menggeleng. "Tapi di pulau itu ada sebuah vila."
"Vila sewaan?"
"Mungkin."
"Di mana lokasi pulau itu?" tanya Ezra. “Aku harus ke sana!"
"Susah digambarkan, arahnya nggak jelas. Mungkin aku harus ada di lokasi langsung biar jelas arahnya."
"Berarti kamu harus ikut," Ezra menatap lurus Julie. "Aku minta tolong. Semua biaya aku tanggung. Kalau kamu bu—"
"Oke..." Julie memotong kalimat Ezra yang menggebu-gebu.
"Gue juga ikut Zy, " Irgie menepuk pundak Ezra dan menatapnya tajam seolah mengisyaratkan keikutsertaanya tidak bisa ditawar menawar.”Nggak apa-apa gitu Jul. Kita ngerepotin terus?"
Julie tersenyum samar. "Aku kan pernah bilang aku cukup terhibur kemampuanku bisa bantu orang lain."
Irgie tersenyum. "Makasih banyak."
"Weekend kita ke sana," kata Ezra mantap.
Irgie mengangguk siap.
"Aku nggak bisa."
"Oh ada acara ya?"
"Bukan. Aku nggak bisa pergi jauh sampai bulan depan."
Ezra dan Irgie bertukar pandangan. "Kenapa emang?"
Julie menghela napas, bingung menjelaskan. Sebagai jalan pintas dia mengeluarkan kertas di sakunya. Dan menaruhnya di meja.
Irgie membuka lipatan kertas itu dan mengernyitkan dahinya. "Ini...?"
Julie mengangguk. "Ramalan bintang tapi karena aku yang terima jadi bisa dipastikan ini bukan ramalan bintang biasa. Kemungkinan besar ini peringatan yang bisa berujung pada kematian."
"Kematian?" Mata irgie membesar.
"Kematian siapa? Kamu?" tanya Ezra datar.
"Mungkin." Julie Kembali menikmati es kopinya yang es sudah cair.
Irgie menatap kembali kertas di tanganya dan membacanya nyaring.
"Dear Cancer... ," Irgie mulai membaca, "bintang kamu Cancer yah Jul? sama kayak Ezra."
"O ya?" Pandangan Julie langsung mendarat ke Ezra. "Bintang kamu Cancer?"
"Ada masalah?" Ezra mengerutkan dahinya.
"Iya dia Cancer, nama tengahnya ‘kan Julian karena lahir tanggal 1 Juli."
Julie tertegun dia tidak antisipasi kalau akan ada Cancer lain di sekitarnya.
"Kakakmu Aries?"
"Dia lahir awal April.”
Julie tersenyum. Pantas saja dia seperti sulit menemukan benang merah dari ramalan bintang ini meski sudah paham isinya. Ramalan itu mungkin bukan untuknya. "Ramalan ini mungkin berlaku untukmu juga."
"Tapi ramalannya 'kan kamu yang terima berarti buat kamu," balas Ezra santai.
"Nggak selalu begitu. Malah seringnya nggak begitu."
Ezra mulai fokus membaca. Entah kenapa ramalan itu memang seperti berbicara kepadanya. Beberapa kali dia tertegun berusaha menerjemahkan metafora dalam ramalan itu.
"Coba aku lihat," Irgie penasaran. Dia pun membacanya. "Aries di bait satu ini Al?"
"Bisa jadi. Awalnya aku pikir ibuku."
Irgie mengernyitkan dahinya. "Maksudnya rembulan meninggalkan Aquarius?"
"Itu mengacu pada fase bulan mengelilingi bumi," jawab Ezra. “Satu fase kurang lebih 28 hari. Bumi sendiri mengelilingi matahari sehingga bulan seolah lewat di masing-masing Zodiak dalam kurun waktu itu.”
Julie mengangguk. "Dalam satu fase, bulan transit di setiap zodiak selama kurang lebih 2 setengah hari."
"Ooh. Sekarang bulan ada di mana?" tanya Irgie.
Julie menyodorkan ponselnya. "Bisa cek di kalender Astrologi."
Irgie menatap layar ponsel Julie. "Sekarang tanggal 14 April, bulan lagi mampir di Cancer."
"Dua hari kemudian akan pindah ke Leo kemudian ke Virgo dan seterusnya."
Irgie kembali melihat kembali layar ponsel Julie. "Tanggal 30 April bulan baru masuk ke Aquarius berarti keluarnya 2 hari kemudian yah."
"Tanggal 2-3 Mei," balas Julie.
Irgie mengangguk paham. "Kalau Jupiter menghampiri Taurus?"
"Sama-sama mengacu pada periode waktu," balas Ezra. "Satu kali mengorbit matahari, Jupiter makan waktu 12 tahun. Planet ini ngabisin waktu satu tahun di setiap Zodiak." Ezra mengecek ponselnya sebentar. "April tahun kemarin Jupiter mulai masuk ke Aries berarti..."
"April tahun sekarang Jupiter akan meninggalkan Aries dan masuk ke Taurus tepat pada 1 Mei," tambah Julie.
Irgie mengangguk kembali membaca ramalan bintang itu.
"Tapi aku bingung, Pluto di sini maksudnya apa?" tanya Ezra kepada Julie. "Sepertinya nggak ada hubungannya sama pergerakannya mengelilingi matahari."
Julie tersenyum sendiri. Pluto di situ memang tidak ada kaitannya dengan Astronomi.
"Dalam Astrologi Pluto dikenal sebagai simbol kematian atau malapetaka."
"Hemh…"
"Jadi kematian akan menghadangmu kalau kamu berusaha mencari kakakmu sebelum bulan memasuki Mei," kata Julie datar.
"Atau kamu. Lupa ya kamu juga Cancer."
"Atau kalian berdua?"
Ezra dan Julie melirik ke arah Irgie bersamaan.
"Eh sori. Maksudnya begini, nih ramalan kan berlaku buat Cancer. Jadi kalian berdua harus waspada supaya terhindar dari bahaya. Dengerin peringatan ramalan ini baik-baik."
"Karena itu, aku bilang nggak bisa ke sana sampai bulan depan."
"Berarti kita harus nunggu Zy."
Ezra hanya terdiam kemudian kembali membaca ramalan itu. Lagi, dadanya seperti ditusuk-tusuk tapi dia berusaha menahannya. Dia mengambil kertas di atas meja dan menyelipkan ke sakunya. Tanpa basa-basi dia berdiri dan bergegas ke luar.
Irgie melihat ke sekitar kantin yang sudah mulai kosong. "Saking intensnya kita ngobrol, sampe nggak sadar bel udah bunyi dari tadi."
Julie beranjak dari kursinya. Bersama-sama mereka berjalan menuju kelas. Koridor pun sudah lenggang tapi mereka berdua tetap berjalan santai.
Namun, saat ingin menaiki tangga, Irgie mulai berlari panik bukan karena melihat guru yang akan masuk ke kelas. Tapi dia melihat sepupunya berdiri agak sempoyongan di puncak anak tangga, satu tangan menempel ke tembok seperti menumpukan berat badannya di sana, satu lagi memegang dadanya sambil terbatuk-batuk.
Untunglah sebelum Ezra ambruk, Irgie berhasil menangkapnya kalau tidak dia bisa tergelincir ke bawah dan cedera.
Julie memeriksa napas dan denyut nadi Ezra. Semua masih berjalan.
"Bentar lagi ambulans datang!" kata Irgie sambil memasukan ponsel ke sakunya. Wajahnya tidak kalah pucat dengan yang pingsan.
Setelah menunggu beberapa menit di ruang UKS, ambulans datang. Irgie ikut masuk ambulans, sementara Julie kembali ke kelas.
Kali ini cewek itu yakin ramalan bintang itu memang bukan untuknya.
******
Dengan membawa map cokelat, Irgie menghampiri Julie yang tengah menulis di buku catatan biru tuanya.
"Jul kamu baca berita nggak?" Irgie membalik kursi kosong di depannya supaya bisa duduk berhadap-hadapan.
Julie menutup bukunya kemudian menggeleng.
"Di laut tempat Al menghilang dikabarkan ada pusaran air besar raksasa yang menyeret perahu kecil bermuatan 5 orang."
"Kapan?"
"Sabtu kemarin. Sampai saat ini mereka belum ditemukan, yang tersisa hanya kepingan-kepingan perahu yang porak poranda."
"Mungkin mereka terpental dan," Julie tertegun sebentar, "banyak kemungkinan sepertinya."
Irgie mengangguk dan memicingkan matanya.
"Untung kita nggak ke sana. Berarti ramalan itu bener! Kita harus nunggu. Laut di sana lagi nggak aman buat kita jelajahi."
Julie tersenyum. "Tanpa ramalan itu pun, kondisi sepupumu nggak memungkinkan kita untuk ke sana."
"Oh iya, “Irgie mengeluarkan beberapa lembar foto yang ada di map cokelat kemudian menyodorkannya kepada Julie. "Ezy nyuruh aku kasihin ini ke kamu."
Julie lihat satu persatu foto tersebut. Semua foto menunjukkan bangunan vila.
"Di rumah sakit kerjaannya liatin ramalan dari kamu. Dia juga mulai browsing pulau-pulau kecil sekitar lokasi menghilangnya Al yang ada vilanya.”
"Sakit apa dia?" Julie masih memperhatikan foto demi foto dengan seksama.
"Pnemonia."
"Paru-paru?"
"Ya. Ini yang ke dua kalinya dia dirawat. Dokter udah lakuin beberapa prosedur. Nggak tahu kapan diizinin pulang."
"Oh.”
“Kayaknya semenjak masuk kelas 8 dia jadi sering sakit-sakitan.”
“Sejak kakaknya meninggal?”
Irgie mengangguk. “Sikap cueknya udah ada sejak dulu. Tapi semenjak Al menghilang dia kayak kurang semangat.”
“Hemh…”
"Pulang sekolah aku mau ke sana, mau ikut? Kali aja kamu mau nengok."
Julie terdiam satu setengah detik, kemudian menggeleng. "Sepertinya dia bukan orang yang suka ditengokin."
Irgie tersenyum. "Mau titip salam gak?"
"Ehm?"
"Becanda Jul.."
"Oh."
Julie mengembalikan lembaran-lembaran foto beresolusi tinggi itu ke Irgie. "Vila itu nggak ada di foto-foto ini."
Irgie tersenyum sambil menatap lekat Julie. "Tahu nggak, orang dengan kemampuan unik kayak kamu cocok kerja di bidang forensik. Kayaknya seru dan menantang."
Julie tersenyum. "Bersama mayat dan kematian. Kemampuanku memang kompatibel dengan dua hal itu."
"Ya gak gitu juga Jul. Mayat-mayat itu juga punya keluarga, punya teman, punya cerita. Sebenarnya, kamu nggak sekedar ngurusin kematian tapi juga kehidupan orang-orang yang ditinggalkanya."
Irgie menarik napas dalam sebelum melanjutkan. "Seperti kamu bantu aku sama Ezra. Selama ini kami ngerasa ambigu karena kematian Al yang nggak pasti. Di satu sisi kami berduka di sisi lain kami berharap. Dua sisi ini saling tarik menarik sama kuat."
“Dan meski kekuatan harapan melemah seiring berjalannya waktu namun gak pernah benar-benar hilang. Tapi karena itu juga, kami nggak bisa benar-benar move on seperti masih terbelenggu dengan ketidakpastian.
“Tapi berkat kamu, belenggu itu pecah. Dan jujur meski terpukul aku lega. Ezra juga kayaknya ngerasa hal yang sama."
"Tinggal 1 misi lagi," lanjut Irgie mengepalkan kedua tangannya, "dan itu pun bakalan mustahil tanpa kemampuan kamu."
Sorot mata Irgie sedikit menerawang. "Al emang gak bisa hidup lagi, yang udah nggak ada tetep nggak ada. Tapi kamu bikin perbedaan besar bagi kami yang masih hidup."
Julie tersenyum kecil tatapannya ke mendarat di buku catatn biru dongkernya. “Sepupumu pernah bilang hal yang sama. Kurang lebih.”
Irgie tersenyum. “Anak itu memang cepet tanggep.”
Julie menyandarkan punggungnya. Dia merasa ada yang aneh, untuk pertama kalinya dia merasa tidak sendiri.
Ini nggak ada tombol reply ya?
Comment on chapter Bab 6@Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...