Hari sudah menujukkan pukul enam lebih. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam walaupun langit masih memancarkan sedikit warna jingga kemerahan di ujung langit. Kafe yang tadinya cukup lengang, kini justru semakin ramai saat malam mulai tiba.
Selepas azan maghrib selesai, mereka memutuskan untuk pulang karena sudah menyelesaikan tugas dari Pak Dipo.
"Eh, lo berani pulang sendiri, Ra?" Sheyna bertanya dengan nada yang mengandung sedikit kekhawatiran. Hal itu terlihat jelas dari sorot matanya.
Nara tersenyum tipis, mencoba menenangkan temannya. "Ini belum malem kok, Na. Tenang aja, berani-berani," jawab Nara mantap.
Namun, Sheyna tetap tampak gelisah. "Tapi tetap hati-hati ya, Ra," katanya. Nada suaranya lebih lembut, seolah tak ingin melepaskan Nara begitu saja.
"Van, rumah lo sama Nara searah nggak sih?" tanya Ardya, mencoba mengalihkan perhatian dari kekhawatiran Sheyna.
"Iya, searah," jawab Zevan santai, sedikit tersenyum. "Gue bareng dia. Tenang aja."
Sheyna mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya masih sedikit ragu entah karena apa. "Oh gitu ... yaudah, kita duluan, ya! Thanks guys!" kata Sheyna. Ekspresinya terlihat ceria, tetapi sebenarnya ia sedang mencoba menyembunyikan kecemasannya. Ia lalu dengan cepat mengenakan helm dan melompat ke motor. Ardya pun sudah siap, memberikan lambaian tangan sebelum mereka berdua berangkat, meninggalkan Nara dan Zevan.
Setelah melihat mereka pergi, suasana tiba-tiba terasa lebih sunyi dan canggung bagi mereka berdua. Zevan di atas motornya yang terletak bersebelahan di sampingnya, menatap sejenak sebelum akhirnya membuka suara.
"Lo duluan," kata Zevan dengan santai, memberi isyarat agar Nara melajukan motornya terlebih dahulu.
Nara mengangguk pelan, sedikit merasa canggung. Dengan suara mesin motor yang mulai menyatu dengan udara malam, Nara melajukan motornya perlahan. Zevan, tetap menjaga jarak beberapa meter di belakangnya, mengikuti dengan tenang. Hanya deru mesin yang terdengar di sepanjang jalanan yang masih ramai.
Meskipun rumah mereka searah, jarak rumah Nara sedikit lebih jauh dari Zevan. Namun, tanpa mengatakan apa-apa, Zevan tetap mengikutinya dengan sabar, memastikan bahwa Nara sampai rumah dengan aman.
Sesampainya di depan rumah Nara, suasana semakin hening. Nara memperlambat laju motor, kemudian berhenti di depan pagar rumahnya. Begitupun Zevan yang langsung mengurangi kecepatan motornya dan berhenti tepat di samping Nara.
"Harusnya nggak perlu sampe sini, Van. Lo jadi harus muter lagi kan?" kata Nara sambil turun dari motor dengan perasaan tidak enak, merasa bersalah karena membuat Zevan harus memutar kembali.
"Nggak masalah," jawab Zevan dengan senyum tipis. "Yaudah, gue balik dulu."
Nara mengangguk pelan, merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata Zevan. "Makasih," ucapnya tulus.
Zevan mengangguk sekali lagi, senyumnya tetap terpasang di wajahnya. Tanpa berkata banyak lagi, ia memutar motor dan mulai berbalik arah.
Sementara Nara masih berdiri di depan pagar rumahnya, menatap ke arah Zevan yang pergi, suara motornya sudah tidak terdengar lagi, tetapi bayangannya masih tertinggal di kepalanya.
Kenapa gue harus ngerasa senang? Kenapa gue harus ngerasa nyaman?
Nara menghela napas. Ia menepis perasaan aneh yang kembali muncul dalam dirinya setiap kali bersama Zevan.
Gue nggak boleh kayak gini.
Mengingat perasaan nyaman itu justru membuatnya semakin resah. Ada satu hal yang terus mengganjal di pikirannya, sesuatu yang baru saja menyadarkan dirinya.
Melva.
Kenapa ia bisa lupa bahwa Zevan dulu bersama Melva? Terakhir yang Nara tahu, mereka masih berpacaran sebelum Zevan pindah ke Jakarta. Saat itu, Nara bahkan sempat melihat sendiri bagaimana Melva memeluk erat Zeva seolah tidak ingin melepasnya.
Mereka masih pacaran, nggak sih?
Pertanyaan itu menghantam pikirannya, membuat hatinya terasa semakin sesak. Ia tidak tahu jawaban pastinya, tapi ... entah kenapa, ia takut untuk mencari tahu.
Nara menggigit bibirnya, mencoba mengusir berbagai kemungkinan yang mulai bermunculan di kepalanya. Ia sadar, ia tidak pantas untuk menyukai Zevan. Bahkan, jika Zevan sudah tidak bersama Melva lagi, masih ada Sheyna, sahabatnya, yang menyukai Zevan sekarang.
Gue nggak mungkin nyakitin Sheyna.
Memikirkan itu membuat perasaan bersalah menyelimutinya. Sheyna adalah sahabatnya sejak lama, dan ia tahu betapa Sheyna selalu berbinar-binar setiap kali menyebut nama Zevan. Ia juga tahu bagaimana Sheyna selalu mencari alasan untuk bisa lebih dekat dengan Zevan. Walaupun terbilang Sheyna baru saja mengenal Zevan, tapi Nara merasa Sheyna sungguh-sungguh dengan perasaannya.
Jika Sheyna tahu bahwa Nara memiliki perasaan yang sama terhadap Zevan, apakah Sheyna akan kecewa? Meskipun dirinyalah yang terlebih dahulu memiliki perasaan itu? Namun, setelah dipikir-pikir, Nara tidak pernah menceritakan perasaannya kepada siapapun termasuk Sheyna. Jadi, ia tidak berhak merasa demikian.
Nara memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napasnya. Ia harus mengabaikan perasaan ini. Ia tidak bisa membiarkan hatinya bergerak ke arah yang salah.
Dengan langkah berat, Nara akhirnya membawa motornya masuk ke halaman rumah, menutup dan mengunci pagar, lalu masuk ke dalam rumah. Namun, meskipun ia berusaha mengabaikannya, bayangan Zevan tetap bertahan di pikirannya.
Di sisi lain, di bawah langit malam yang sunyi, Zevan masih memacu motornya dengan kecepatan sedang. Matanya sesekali menatap kaca spion, seolah masih berharap melihat sosok Nara di sana.
πππ
Malam itu, Nara berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang penuh sesak. Perasaan gelisah yang ia pendam seharian membuatnya sulit memejamkan mata. Dengan helaan napas berat, ia lagi-lagi meraih buku diary-nya yang tergeletak di atas meja kecil di samping kasur.
Nara meluapkan pikirannya di sana. Sejak Zevan dikabarkan berpacaran dengan Melva, ia sudah menyerah. Ia bertekad untuk melupakan Zevan. Bahkan, saat hari terakhir Zevan di Samantha, mereka hanya melakukan perpisahan singkat di kelas saja.
Nara pikir ia sudah berhasil melupakan sosok Zevan dari hatinya karena sudah dua tahun mereka tidak berkomunikasi. Ia pun tidak pernah mencoba mengingat Zevan karena ia tahu, itu hanya akan melukai hatinya sendiri.
Namun, ternyata jauh di dalam lubuk hati Nara, nama Zevan tidak pernah benar-benar hilang. Dan ketika sosok itu muncul kembali secara nyata di hadapannya, perasaan itu kembali tanpa permisi.
Oleh karena itu, tangan Nara bergerak lincah, menuangkan segala kegundahan yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun karena memang tidak ada satu pun orang yang tahu bagaimana perasaannya kepada Zevan, bahkan teman dekatnya di Samantha dulu sekalipun.
Setelah selesai menulis, Nara mamandangi tulisannya sendiri beberapa detik sebelum menutup buku itu. Sayangnya, rasa resah masih enggan pergi.
Nara kemudian menatap ponselnya dan berpikir sejenak. Dengan ragu, ia akhirnya mengambil ponselnya. Sudah lama ia menonaktifkan Instagram, tapi entah dorongan dari mana, jari-jarinya mengetikkan kata sandi dan masuk kembali ke akunnya.
Halaman beranda dipenuhi unggahan yang tak lagi familiar. Namun, satu hal menarik perhatiannya—akun yang sudah lama ia ikuti.
ganeswara.zvn
Tanpa sadar, ia mengunjungi profil itu, menatap foto-foto terbaru yang diunggahnya. Ada perasaan asing yang kembali menyelinap dalam hatinya-perasaan yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam.
Tiba-tiba, layar ponselnya berkedip. Sebuah notifikasi DM masuk. Dari Ardya. Nara lalu membuka notifikasi itu.
_______________________________________________
ardyana.m
Tumben bgt on?
09.47 p.m.
Iya, iseng aja:)
09.48 p.m.
Oh kirain lagi ngestalk someone haha..
09.48 p.m.
Ihh nggak lah!
09.48 p.m.
Yaudah si jangan ngegas gitu dong kalo emang nggak:v
09.48 p.m.
_________________________________________________
Nara tidak membalasnya. Ia merasa kesal juga sedikit tersinggung karena apa yang dikatakan Ardya benar. Matanya kembali ke layar, dan saat itulah ia melihat sesuatu yang membuatnya tersentak. Tanda online di akun Zevan.
Jntungnya berdetak lebih cepat. Seolah tersadar dari lamunannya, ia buru-buru menutup aplikasi, meletakkan ponselnya, dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Jangan lagi!
πππ
"Naraaa!" seru Sheyna saat memasuki kelas dengan langkah cepat, hampir berlari.
Nara yang sedang merapikan bukunya mendongak, menatap sahabatnya dengan ekspresi datar.
"Coba tebak!" kata Sheyna sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi di sebelah Nara. "Tadi malam Zevan follback gue dong!" lanjutnya dengan nada yang penuh semangat.
Nara menghela napas. "Gue kira apaan," komentarnya, kembali memeriksa jadwal pelajaran hari ini.
Sheyna menepuk lengan Nara. "Ini kemajuan besar tahu, Ra! Zevan itu kan cuek banget! Kalau dia udah follback, berarti ada harapan!"
Sebelum Nara bisa menanggapi, suara ramai dari pintu kelas menarik perhatian mereka. Ardya dan Rama baru saja tiba, keduanya berjalan beriringan.
Seperti biasa, Ardya langsung menghampiri meja Sheyna dan Nara, dengan senyum miring khasnya. "Ekhemm, pasti lagi ada yang heboh cuma karena di-follback seseorang," ucapnya, suaranya sarat dengan godaan.
Sheyna melotot. "Apa sih lo! Udah sana deh!" sentaknya, jelas kesal.
Nara menggeleng pelan, tersenyum kecil melihat tabiat si kembar yang selalu bertengkar setiap kali bertemu. "Udah, udah. Nggak usah berantem pagi-pagi," kata Nara, mencoba mendamaikan.
Ardya mengangkat bahu. "Gue cuma heran aja. Cowok cuma follback, tapi hebohnya kayak menang undian seratus juta."
Sheyna mendengus. "Beda! Ini soal perasaan! Lo nggak akan ngerti!"
"Oh, iya?" Ardya menyilangkan tangan di dada, menatap Sheyna dengan penuh tantangan. "Jadi, kalau Zevan nggak sengaja ke-like salah satu postingan lo, artinya dia suka sama lo, gitu?"
Sheyna terdiam sejenak, lalu mendesis, "Terserah lo, pokoknya ini spesial buat gue!"
Nara tertawa pelan. Seperti biasa, kelas belum benar-benar dimulai, tapi dia sudah disuguhi pertengkaran kecil yang seolah tak ada akhirnya.
Kemudian, Zevan datang dan membuat Sheyna yang tadinya tampak marah, dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya. Ia tersenyum lebar ke arah Zevan.
"Pagi, Zevan," sapanya dengan suara dibuat-buat agar terdengar lembut.
Nara di samping Zevan mengalihkan pandangannya ke buku pelajaran yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas.
Zevan langsung duduk di tempatnya tanpa mengatakan apapun.
"Sumpah, Zevan gantengnya nggak ngebosenin ya, Ra?" bisik Sheyna di telinga Nara.
Mendengar itu, Nara menggelengkan kepalanya.
"Eh, Ra," panggil Ardya.
Nara yang sedang menatap bukunya menoleh. "Apa?"
"Lusa ada bazar buku di dekat alun-alun. Mau kesana nggak?" tanya Ardya dengan nada santai.
"Sama Sheyna?" Nara melirik Sheyna yang duduk di sebelahnya.
Sheyna mendengus kecil. "Nggak, lah. Gue mending nonton drakor daripada baca sih," sahutnya sambil menggulung tali earphone di jari telunjuknya.
Nara tersenyum tipis. "Kan nggak harus baca, Shey. Bisa aja jalan-jalan, lihat-lihat suasana."
"Ya terus? Gue harus ngeliatin kalian sibuk milih buku gitu? Ihh, mending di rumah nonton. Lebih seru," jawab Sheyna sambil mengibaskan tangannya seolah membayangkan kebosanannya sendiri.
Ardya tertawa kecil dan menaikkan bahunya. "Ya udah, berarti tinggal kita aja, Ra. Jadi gimana?"
Nara berpikir sejenak. Sebenarnya, dia memang sedang mencari beberapa buku, dan kalau beruntung, harganya bisa lebih murah di bazar.
"Boleh deh," akhirnya ia menjawab. "Kebetulan ada buku yang mau gue cari. Semoga aja ada dan lebih murah."
"Oke, gue ke rumah lo dulu atau langsung ketemuan?" tanya Ardya memastikan.
Nara menggeleng. "Eh jangan, kan rumah gue nggak searah."
Ardya mengangguk-angguk, lalu tampak berpikir sebelum akhirnya memberikan saran, "Atau gini aja, motor lo taruh di rumah gue, terus kita naik satu motor ke sana. Jalan ke alun-alun kan ramai, mending bareng biar aman."
Nara sempat ragu, tapi masuk akal juga. "Iya, gitu aja juga boleh. Makasih ya," katanya sambil tersenyum.
"Aman aja," jawab Ardya ringan, tapi ada sedikit nada puas dalam suaranya.
Dari samping, Sheyna mendelik kecil melihat interaksi mereka. "Cieee, nge-date nih," komentarnya dengan nada menggoda.
"Apaan sih, Shey," Nara reflek mendorong lengan Sheyna dengan sikunya pelan.
Ardya hanya tersenyum tipis, sementara Sheyna tertawa geli.
"Nggak usah didengerin, Ra," ujar Ardya.
Nara pun hanya menatap ke arah Ardya singkat lalu kembali menatap ke arah Sheyna dengan tatapan tajam. Tanpa ia sadari ada seseorang yang sedari tadi mendengarkan rencananya.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past