“Akan kuadukan!”
Aku memejamkan mata ketika Tera sudah mengeluarkan senjata cepunya. Seharusnya aku tidak mengucapkan tiga kata cinta pada Layden sebelum menutup telepon tadi. Memang gila, jatuh cinta membuatku lupa akan dunia sampai lalai kalau kamar ini milik tiga kepala.
Tera sebenarnya bukan tipe anak yang update akan segala hal, tapi dia bisa tahu semuanya dengan amat mudah. Seakan SMA kami dan SMP-nya hanya berseberangan saja.
“Silakan saja, kau tidak punya bukti!” Aku malah menantang.
“Mbak Mili pikir aku tidak pernah melihat Mbak di toko kelontong Ko Joni? Toko itu berseberangan dengan Gramedia, jadi semua orang tahu.” Dia bahkan memutar bola mata di balik bingkai lensa tebalnya. Aku menahan napas dengan tangan terkepal.
“Jangan coba-coba adukan ini.” Meski penuh penekanan, kupelankan suaraku agar Mbak Esla yang sedang mandi tidak ikut campur. “Ini cinta pertamaku!”
Sebetulnya aku tidak tahu dari mana tolok ukur untuk menetapkan Layden sebagai cinta pertamaku. Ini bisa saja karena Layden juga pacar pertamaku. Namun biarlah, dia orang paling suportif yang pernah kukenal. Begitupun keluarganya.
Tidak seperti keluarga ini, yang isinya orang pengadu dan tukang atur.
“Akan kuadukan kecuali kau belikan Doritos setiap hari,” gertak Tera sambil mengedik.
“Kau sinting? Doritos harganya dua belas ribu dan sudah tidak dijual lagi di Indo.” Aku berjalan kembali ke ranjang. Dapat kurasakan Tera mengikuti langkahku dan berceloteh mengenai merek lain yang menyerupai Doritos.
Kubuka nakas dan mengambil beberapa stiker chibi. “Aku tidak bisa mengeluarkan dua belas ribu setiap hari. Transmusi saja biayanya naik sejak pandemi.” Kutarik tangan Tera dan memberikan beberapa stiker. “Ini, aku akan memberikan beberapa stikerku.”
Tera mengerjap malas dan menatapku datar. “Mbak mengeluh tentang saldo Transmusi, tapi mengeluarkan banyak uang untuk tempelan konyol ini?”
“Oh, ayolah. Itu BTS, semua cewek suka BTS. Lihat yang ini namanya Sehun.” Meskipun terkesan percuma, aku berusaha mengelabui Tera yang sama butanya mengenai hallyu.
“Seingatku tidak ada member BTS bernama Sehun.”
Aku menggelengkan kepala dan menuntunnya pergi. “Masa bodoh! Sekarang pergi, tutup mulut dan berpura-puralah tak terjadi apa-apa.”
“Tunggu, aku maunya Doritos, bukan Sehu—”
“Jangan bilang Tera tahu semua ini?”
Kepala kami otomatis menoleh ke arah pintu kamar mandi. Mbak Esla yang masih handukan, menatap kami bergantian sebelum terhenti padaku dengan sorot gusar. Aku menelan ludah dan menghela napas panjang.
“Mbak Esla tahu hal ini?” Tera kini mendatanginya. “Mbak seharusnya kasih tahu Ayah!”
“Mili, aku sudah memintamu untuk putus dengannya,” tuding Mbak Esla. Dia mendekat dengan sorot mata ala-ala Ibu dan mengencangkan lipatan handuk.
“Bisakah Mbak berpakaian dulu?” pintaku dengan suara berat.
“Katakan kau sudah putus dengannya. Jika sudah, liliput ini tidak akan bisa mengadukan apa pun.” Dia masih menatapku serius meski Tera terlihat memarahinya karena menggunakan julukan diskriminatif itu.
Aku memejamkan mata dan mendesah. Keluargaku benar-benar support system yang bermasalah. Mereka lebih seperti control system yang mengatur semua lini kehidupan. Dibandingkan menjadi dosen, teknisi, ataupun calon dokter, kurasa semua keluargaku lebih layak menjadi hakim. Ibu dan Ayah pemegang kasta teratas.
Ibu adalah hakim final yang selalu menjatuhkan hukuman mati. Ayah termasuk jenis hakim yang bisa ditawar untuk melakukan mediasi. Bang Joule pengacara payah. Mbak Esla saksi ahli yang terkesan manipulatif. Sementara Tera, dia saksi mata yang selalu minta sogokan—uang tutup mulut. Hanya Miko yang selalu netral meski radarnya sudah mulai mengikuti kecepuan Tera.
“Aku mendengar keributan, ada apa ini?” Ibu tiba-tiba mengetuk pintu dan kami saling adu pelotot. Mbak Esla setengah menganga, sementara Tera mengulum senyum.
“Ibu—”
Aku spontan melompat dan membekap mulut Tera dari belakang. Kutarik rambutnya sampai kami berdua bergulingan di lantai dan menimbulkan suara benturan yang amat keras. Selagi kutahan Tera yang bergeliat, kutatap tajam Mbak Esla yang kebingungan.
“Suara apa itu?” Ibu setengah berteriak dan mengetuk-ngetuk pintu lebih keras.
“Mbak!” Aku memohon bantuan Mbak Esla dengan gemetar. Tanganku rasanya tak mampu lagi membekap mulut tajam Tera.
“Ibu jangan masuk!” tahan Mbak Esla. “Esla masih handukan.”
“Baik, Ibu tunggu di sini.”
Napasku tertahan mendengar hal itu. Telingaku menangkap Tera bergumam Doritos terus-terusan sementara mataku tertuju pada Mbak Esla yang menelanjangi ponselku. Dahiku carut-marut saat dia memeriksa sesuatu dan menunjukkan layar panggilan yang menyambung ke kontak Layden.
“Apa yang Mbak lakukan?” Astaga, dalam posisi meringkuk seperti ini, aku dipaksa membuat keputusan final mengenai kehidupanku.
“Sekarang, katakan pada Lay untuk mengakhiri hubungan kalian.”
“Aku tidak bisa melakukannya!” Ya Tuhan, aku rasa aku sedikit buang air di celana.
“Lakukan saja dan akan kucarikan laki-laki lain untukmu,” tekannya.
“Tidak untuk seribu tahun!” Bekapan tanganku melemah sehingga Tera berhasil menjerit keras.
Aku dan Mbak Esla terkesiap. Belum lagi suara Layden terdengar dari ujung sambungan.
“Ada apa ini?” Ibu menerobos masuk dan mendapati kami dalam posisi tak lazim. Dia terperanjat beberapa detik sambil melotot. “Katakan apa yang terjadi?!”
Tera mendorongku dan berteriak. “Mbak Mili—”
“AKU BERPACARAN!” Seketika aku menjerit dalam posisi tersungkur. “Dengan anak Cina nonmuslim,” tambahku setengah meringis.
Ketika aku membenarkan posisi duduk, ternyata tak hanya Ibu yang berdiri di ambang pintu. Ayah, Bang Joule, bahkan Miko ikut mengintip dari belakangnya.
Keenam pasang mata itu kini tertuju padaku. Anak tengah yang tak pernah mendapat lampu sorot sebelumnya.
***
Karena keluarga kami adalah keluarga hakim, maka ruang keluarga adalah ruang sidang. Terdapat sofa beludru safir yang merupakan tempat para hakim, diisi oleh dua orang. Ayah sebagai hakim kedua sudah mengenakan kacamata emas rantainya. Dia sebenarnya seorang dosen Kimia di salah satu universitas swasta di Palembang. Ayah mungkin mampu mengatasi puluhan mahasiswa, tapi mengurusi lima anak bandel justru membuatnya kewalahan. Terlihat dari panen uban di kepala tuanya.
Ibu, hakim utama, yang sebenarnya dosen Matematika. Sudah jelas dia suka perhitungan dan senang memberi perhitungan. Setiap sidang, dia selalu mengenakan hijab spandeks jumbo. Katanya hijab membuat kepala tetap dingin ketika menghadapi permasalahan panas. Namun menurutku, itu hanya alasannya agar dia terlihat lebih suci dan benar dibandingkan anak-anaknya.
Di sofa single sebelah Ibu, Bang Joule duduk dengan tatapan teduh. Dia kakak pertamaku, namanya Mega Joule dan sekarang bekerja sebagai teknisi PLN. Lucu sekali ketika nama dan nasibnya sesuai dengan harapan Ayah. Kadang aku merasa butuh perlindungannya, tapi Bang Joule sama payahnya dengan bocah warnet. Menurutnya semua yang dikatakan Ayah dan Ibu harus dicerna baik-baik. Tak heran dia menjadi anak kesayangan.
Berseberangan dengan Bang Joule, Mbak Esla melirikku dengan tatapan membunuh. Dia kakak kedua. Namanya Tesla Watt dan menjadi kebanggaan seluruh orang. Otaknya super encer dengan wajah yang ciamik. Kadang aku sulit membedakan dia dengan Minami Hamabe. Namun, aku lebih sulit memahami mengapa Tuhan begitu boros dalam memberikan mbakku kelebihan. Seharusnya kalau sudah cantik, paling tidak berotak kambing. Ini sebaliknya, Mbak Esla justru menjadi calon dokter—semua umat yakin dia masuk kedokteran tahun ini.
Di sebelah Bang Joule, duduk di sofa kaki tanpa sandaran seraya menahan geli, adalah adik sialanku. Namanya Tera Byte. Aku tahu, keluarga ini hilang akal ketika memberikan kami nama. Namaku saja Mili Gram. Kerjaan Tera hanyalah membual, bicara panjang tentang sains dan ensiklopedia yang ia temukan di perpustakaan. Saking sering bicara, mulutnya tidak punya tombol pengatur. Kurasa dia nanti akan menjadi ilmuwan biologi atau presenter gosip. Sayangnya penampilannya tidak mendukung.
Dan terakhir, yang duduk di sebelahku sambil mengemil susu bubuk. Si bungsu yang menjadi pusat dunia, Mikro Farad. Dia masih TK, tapi sudah tidak bisa dikibulin lagi. Dia satu-satunya orang yang bisa kuajak kerja sama.
“Siapa dia?” Hakim pertama mulai mengajukan pertanyaan.
Aku melirik Mbak Esla ragu-ragu sebelum coba menatap Ibu. “D-dia teman satu angkatan. Namanya Lay. Layden Giovani.”
“Anaknya Susuk Joni?”
Aku mendelik mendapati Ibu justru mengenalnya.
“Yang punya toko kelontong?” tanya Ayah pada Ibu, tapi aku yang mengiyakan. “Bukankah dia….”
“Yap, nonmuslim.” Entah kenapa jauh di lubuk hatiku, tak ada sedikit pun keraguan untuk memperkenalkan pacarku yang berbeda keyakinan. Maksudku, entah Layden muslim atau tidak, itu bukan urusan mereka.
“Sudah berapa lama?”
Aku mengedik. “Baru lima bulan.”
Ibu menggigit bibir dan menggeram. Alis tebalnya bertaut dan kerutan di dahinya membentuk sebuah simbol matematika yang bagiku merupakan lambang peperangan.
“Sebenarnya di mana kau menggadaikan otakmu?” tanya Ibu penuh intimidasi.
Kelima dari kami terlihat menegangkan bahu.
“Kau jual di Pasar 16? Atau menggadaikannya di Pegadaian? Besok kita ke sana dan beri tebusan.”
“Bu, dia anak yang baik.” Sialnya suaraku terdengar seperti rengekan.
“Anak yang baik?!” Suara Ibu meninggi.
“Keluarga mereka orang baik-baik, Bu. Susuk dan A'i sering membantu Paman Hamid.” Pengacaraku, Bang Joule, angkat suara dan membela. Aku menghela napas karena dia akan kena getahnya.
“Kita tidak membicarakan masalah moral, Joule! Ini masalah agama. Berpacaran saja tidak boleh, apalagi sama orang nonmuslim.”
Ayah langsung menenangkan Ibu yang semakin kesetanan. Dia kemudian memberikan wejangan padaku tentang seberapa buruknya berpacaran dan menetapkan batasan tentang toleransi. Intinya, Ayah juga memintaku putus dengan Layden secara halus.
“Aku tidak mau putus,” decakku bebal. “Lagi pula kenapa kalian tiba-tiba harus memperha—”
“Ini semua salahmu Joule!” tuding Ibu yang sukses mengagetkan persidangan. Bang Joule melotot tak mengerti, lalu bergeser gusar. “Jika saja kau memperhatikan adik-adikmu, menjaga adik-adikmu secara baik, maka tidak ada yang bersikap bandel.”
Aku mengecutkan bibir masam. “Kenapa Ibu malah menyalahkan Bang Joule?”
Ibu tak menghiraukanku dan langsung menunjuk Mbak Esla. “Kau juga! Aku tahu selama ini kau diam-diam berpacaran. Lihat, kan? Jadinya adik-adikmu ikutan berpacaran bahkan sampai melirik orang nonmuslim.”
Mbak Esla membuka mulut. “Tapi, Bu—”
“Diam! Mulai sekarang, kalian semua diwajibkan salat di masjid sampai semua menyesal dan menyadari dosa masing-masing.”
Semua orang menahan napas. Tera dan Bang Joule sempat protes, sementara Mbak Esla menunjuk-nunjuk dan mengancamku dengan tatapan tajamnya. Yah, aku tidak tahu jika ancaman satu keluarga menjadi ustaz dadakan benar adanya.
“Bagaimanapun aku tidak akan putus.” Aku bersikukuh. Namun, tampaknya kali ini tak ada yang menghiraukan. Ibu terlalu sibuk menanggapi protes dari Bang Joule dan Mbak Esla. Ayah kewalahan mengatasi rengekan Tera dan Miko.
Tanganku perlahan mengepal.
“Sampai semua tidak ada yang berpacaran, uang jajan dipotong lima puluh persen.” Ibu justru semakin memperburuk suasana. Kali ini Mbak Esla turut menitikkan air mata, sementara Tera sudah meraung-raung.
Baik, aku tidak akan mundur meski tidak ada uang stiker dan komik. “Pokoknya aku tidak akan putus!” pekikku sekali lagi. Dan sekali lagi juga, tak ada yang menghiraukan. “Aku pergi saja.” Aku mendengus, kemudian memanjat tangga dan mengunci pintu kamar tanpa ada yang tahu jika terdakwa persidangan sudah berhasil melarikan diri.