Loading...
Logo TinLit
Read Story - A Missing Piece of Harmony
MENU
About Us  

Sebuah amplop coklat dijatuhkan begitu saja di atas meja. Wanita yang menjatuhkan amplop itu berlalu ke dapur, mencari sesuatu di balik pintu-pintu kabinet. Tubuhnya yang semampai, langsing, ditambah mengenakan jas hitam, makin menonjolkan pesona tersendiri pada tubuh moleknya yang sedang membungkuk.

“Duh, di mana ya?” gumamnya, sementara tangannya mencoba meraih sesuatu dari dalam kabinet dapur. Wajahnya berubah cerah sewaktu mengeluarkan sepasang bulatan kecil mirip earpods. “Sebentar,” imbuhnya sembari memasukkan benda kecil itu di telinga.

“Mereka mengundangmu lagi?” kata pria berbahu lebar yang muncul begitu saja di belakang si wanita sambil membawa selembaran kertas dan amplop coklat yang sudah disobek.

“Masih sama. Sangat melelahkan. Banyak yang berlomba ingin mengundangku ke studio mereka,” ucap wanita itu bangkit berdiri, melepas napas panjang.

Si pria bergumam panjang pada diri sendiri, memelototi selembaran kertas dan amplop coklat di tangannya.

“Kali ini dari?” tanyanya pada kertas yang ditatapnya. Dia tidak mengharapkan jawaban, tapi si wanita malah menjawabnya.

“NHK. Kali ini aku berencana datang.”

“Dari NHK, ya?”

Sosok ketiga muncul dari lorong hubung. Anak perempuan yang kira-kira berusia dua atau tiga tahun. “Ayah, ayah, ayo bacakan lagi!” katanya, menarik-narik tangan si pria.

“Baik, baik, sebentar ya Ohana-chan,”

“Cepat, cepat, aku penasaran si tanpa wajah Ayah, kenapa dia melakukannya,” kata sosok mungil itu, merajuk manja.

Entah mengapa anak perempuan itu lancar sekali berbicara. Bahkan dia bisa mengucapkan kata-kata sulit untuk anak seusianya.

Si pria terpaksa diseret-seret menjauhi dapur. Dia setengah berontak setengah tidak.

“Kapan? Apa perlu kutemani?” ucapnya pada si wanita semampai.

“Ini acara aniversary yang ke sepuluh. Jadi aku harus datang. Lagi pula, berkat mereka aku jadi bisa ke titik ini.”

“Ayaah!”

Si pria mengusap puncak kepala Ohana, sebentar menoleh ke istrinya yang berada di dapur. Cara bicaranya lebih lambat, pun mulutnya bergerak lebih jelas. “Tanggal berapa?”

“Oh, kalau itu, minggu depan. Tanggal 12 Januari. Minggu depan.”

Tatapannya masih tertuju pada si wanita berjas. Merasa terus diperhatikan, wanita itu bertanya pada si pria, “Ada sesuatu lagi?” dengan suara aneh seperti sedang ditekan dadanya.

“Sore  barusan, juniormu datang lagi, mencarimu,” jawab sang pria, sementara tangannya ditarik-tarik oleh Ohana.

Dialog berhenti di situ. Mereka berdua cuman saling tatap dalam hening beberapa detik.

“Baiklah,” tatapan si pria beralih pada sosok mungil di kaki kanannya. “Ayo Ohana-chan, Ayah bacakan lagi buku Makluk Pencuri Indra.”

🌸🌸🌸🌸🌸

Festival musik nasional yang disponsori NHK ya? batinku pada lembar poster itu. Mungkinkah Hyuga memintaku mendaftar kompetisi ini?

Sesuatu mencuil bahuku. Buru-buru aku menyelipkan lembar poster di antara halaman buku, menutup buku itu kemudian berbalik. Okuda berdiri di samping meja, tersenyum. Begitu pula dua gadis yang berdiri di belakangnya.

Mau makan siang bareng? Kata Okuda lewat isyarat, mengangkat tas kain yang biasa digunakan untuk membawa bekal. Okuda menoleh pada dua gadis di belakangnya.

Aku mengangguk tanda setuju.

Okuda pun menggeser bangkunya, merapatkannya dengan punyaku. Dua gadis yang memiliki wajah sama itu juga melakukan hal serupa. Mejaku menjadi lebih lapang.

Yang sebelah kiri ini Fujiwara Yuzuki dan yang ini Fujiwara Natsuki, Okuda memperkenalkan mereka padaku. Cara membedakannya lihat saja bintik hitam di kerutan matanya. Yang tidak punya tahi lalat itu Yuzuki.

Senang bertemu denganmu, aku Takasaki Ruriko, kataku lewat isyarat.

Yuzuki menggoret pena di kertas, kemudian menunjukkan buku catatan itu. Panggil Ruri-chan saja tidak apa-apa?

Pandanganku bergeser pada Okuda yang sedang berbicara. Mereka tidak bisa bahasa isyarat.

Sudut bibirku terangkat sedikit, menunjukkan kalau aku tidak keberatan. Lalu pundak si kembar itu turun. Wajah mereka tampak lebih cerah di meja seberang. Berbeda, raut wajahkulah yang kelihatan suram.

Bagaimana kondisimu Ruri? Kamu tidak apa-apa?

Lukanya masih terasa sakit. Agak perih dan terasa berdetak.

Okuda menghela napas, menatapku tajam. Seolah-olah aku habis melakukan kejahatan besar. Pelajaran olahraga setelah ini sebaiknya Ruri tidak ikut dulu. Jangan paksakan diri seperti waktu lalu, oke?

Sementara itu, di sisi seberang, si kembar agak heboh. Gerak tangannya dan mulutnya. Okuda menerjemahkan ucapan mereka.

Mereka bilang semangat.

Yuzuki dan Natsuki memberi dua jempol.

Aku mengangguk singkat. Kemudian, membuka ikatan pita dari kain bercorak kotak-kotak. Isi dari bekal makan siangku tidak semewah luarnya. Hanya sandwich isi yang dibeli dari minimarket dekat pelabuhan.

Sudah memutuskan bakal gabung ekskul mana? Tanya Okuda tiba-tiba.

Masih belum kuputuskan.

Tidak jadi klub kaligrafi?

Tulisanku tidaklah bagus.

Segera putuskan, demo ekskul tidak akan berlangsung selamanya. Kata Okuda lewat isyarat, menjumput nasi daging cincang tiga warnanya menggunakan sumpit.

Aku hanya menanggapi kata-katanya lewat keheningan.

Padahal hanya memilih ekskul, tapi entah mengapa hatiku begitu ragu untuk memutuskan. Dulu aku pasti akan langsung memilih klub musik, atau klub yang dekat dengan musik. Tapi sekarang, rasanya lain. Meski Hyuga tergabung dalam klub musik pun, rasanya ada yang salah bila aku daftar klub musik. Seperti ada yang berada tidak pada tempatnya, padahal tidak ada yang berkata demikian padaku.

Hambar, gumamku pada sandwich isi yang ada di tanganku.

Sudah hampir dua tahun aku hidup dalam kehampaan ini, aku masih belum terbiasa dengan lidah yang tak bisa mengenal rasa. Semua makanan dan minuman yang masuk ke mulutku terasa hambar.

Bila warna dan suara kembali ketika berada dekatnya, apakah rasa juga akan kembali? Tanyaku seorang diri sambil membuat gigitan besar pada roti itu. Mungkin aku sebaiknya bergabung ke klub yang sama dengan gadis itu saja. Berada di dekatnya mengingatkanku pada hal-hal yang hampir kulupakan.

Bicara soal Hyuga, pagi tadi gadis itu sudah menungguku. Dia berdiri cukup lama, menyandar pada pagar sekolah hanya untuk memberikan selembaran poster itu.

“Ambillah, aku yakin Ruri membutuhkannya. Dah, aku harus segera bertemu Kusonuki-sensei, oh ya, jangan lupa janji kita. Gedung timur. Lantai tiga. Filmaker. Sepulang sekolah, datanglah! Sisanya serahkan saja padaku.”

Hyuga mengatakannya sambil berlalu. Suaranya dan dunia berwarnanya perlahan menjauh.

Seperti ketika di kamarku. Gadis itu, aku masih belum bisa memahami jalan pikirannya. Dia selalu berlaku seenaknya dan membawaku ikut dalam ceritanya.

Kemudian, ketika tibalah waktu janjian yang Hyuga sebut, di lantai tiga di ruang klub Filmaker, kesanku padanya makin kuat.

"Kumohon!" ucap Hyuga, membungkuk rendah-rendah.

"Hingga kau bersujud sekalipun, aku tidak akan membantu mewujudkan ide gilamu lagi." Gadis jangkung mengenakan kacamata kotak itu berbicara dengan nada malas.

"Kumohon." Hyuga masih membungkuk rendah-rendah.

Suara mereka agak samar. Mungkin karena aku berdiri cukup jauh dari Hyuga. Mungkin karna alasan yang serupa, gadis jangkung berkacamata itu tidak memiliki warna. Dia menjaga jarak dari Hyuga.

Tak kusangka maksud dari ‘serahkan semuanya padaku’ kata Hyuga tadi adalah seperti ini.

Hyuga lebih membungkuk rendah-rendah.

Sejenak, aku berpikir si gadis jangkung berkacamata akan menghardik Hyuga. Garis-garis wajahnya serius sekali dan tegas, tipikal seorang gadis yang selalu berketus. Tatapannya sangat tajam. Namun, gadis itu malah menggeser pandangannya dari Hyuga ke arahku alih-alih mengata-ngatai Hyuga.

Beberapa detik kami saling bertatap-tatap dalam hening. Lalu dia mendesah dan menoleh pada Hyuga.

"Baiklah, ini akan jadi yang terakhir kalinya aku ikut dalam rencana isengmu Akari. Aku yakin permohonanmu ada kaitannya dengan gadis di sana," katanya dingin, melipat tangan di depan dada.

Hyuga bangkit. Manik matanya sekarang penuh cahaya. "Betul. Yume—oh maksudku, Ketua. Ini dia Takasaki Ruriko, anak kelas satu. Calon anggota baru klub." Dia menarik pergelangan tanganku, menyeretku ke hadapan si gadis jangkung.

Kini gadis jangkung bernama depan Yume itu terisikan warna. Perlahan spektrum warna mulai mengisinya dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Kacamatanya kupikir berwarna hitam, ternyata pink. Sementara rambutnya, berwarna agak kecokelatan rupanya, kukira hitam.

Senang bertemu denganmu. Ungkapku lewat bahasa isyarat. Diselingi senyum kecil. Aku masih belum terbiasa dengan dunia ajaib di sekitar pijakan Hyuga.

Alisnya bertaut. Gadis jangkung itu melirik pada Hyuga seolah meminta penjelasan. Dia tidak tahu bahasa isyarat.

"Oh ya, Ruriko ini sangat unik. Secara ajaib dia tidak bisa mendengar maupun berbicara, indra miliknya tiba-tiba hilang," kata Hyuga di sampingku.

"Ruriko, ya? Hm, lalu?"

"Lalu ... Lalu dia berencana bergabung klub Filmaker. Tidak, sebetulnya aku yang menyarankannya. Bisa jadi pengalaman supranaturalnya membawa sesuatu yang baru pada klub." Hyuga tampak gugup, sesekali dia mengerjap padaku.

Benar, aku berniat gabung klub. Tambahku. Aku juga ikut gugup.

"Dan?" kata gadis jangkung itu menohok.

"Yah, pokoknya, intinya, aku ingin membantu menemukan indra milik Ruri yang hilang. Jadi aku membawanya kemari untuk konsultasi kepada ahlinya soal yokai."

"Konsultasi?" katanya lagi, kali ini dengan tatapan merendahkan.

"Kau terlalu curiga Ketua, itu bukanlah perkara baik. Ruri hanya mau ngobrol sedikit kok!"

"Curigaku ada padamu Akari, bukan pada Takasaki," ucapnya tajam.

"Oh, ya, benar juga." Hyuga hanya bisa menggaruk pipi. Tidak bisa berkomentar.

Beberapa detik berlalu dalam hening yang menuju canggung. Dan berikutnya terdengar samar suara pintu geser yang terbuka. Seorang laki-laki berkacamata memasuki ruang klub sambil membawa berkas-berkas.

"Ketua, berita buruk. Ada wacana dari anggota OSIS kalau dana klub kita akan dipangkas dari tahun lalu. Loh, ada Akari? Apa lagi yang kau inginkan sekarang?" Anak laki-laki itu menatap lekat-lekat Hyuga seolah-olah Hyuga adalah seorang kriminal kelas atas yang patut diwaspadai.

Dari arah lain Yume berkata. "Dia ingin menemuimu untuk konsultasi," Yume yang adalah ketua klub itu pun mengangkat bahu, "Bantulah gadis bernama Hyuga Akari itu, Tatsuya. Aku mau protes kepada ketua OSIS soal dana klub."

"Eh tunggu dulu Ketua—"

"Sampai jumpa!"

Dia berlalu begitu saja. Rambut kecokelatannya perlahan pudar menjadi abu-abu kehitaman dan sekarang punggungnya disiram semburan cahaya abu-abu yang kutebak berasal dari sinar matahari yang menerobos lewat jendela. Rasanya hubungan mereka dengan Hyuga cukup buruk.

Anak laki-laki bernama Tatsuya itu membelalak. Tapi, sebagaimana pun cemberut terlihat di wajahnya, dia tidak bisa menolak perintah ketua klub. Ketua klub tidak memberinya pilihan.

"Baiklah, apa yang ada dalam pikiranmu kali ini Akari?" katanya agak waswas.

"Senang bekerja sama denganmu lagi Tatsuya–san!" imbuh Hyuga.

Kemudian Hyuga menjelaskan panjang lebar soal kondisiku dan keajaiban dunia radius pijakannya yang tiba-tiba berwarna dan berisi suara.

Raut wajah anak laki-laki itu seketika berubah serius. Tatapan matanya mengisyaratkan ketertarikan luar biasa padaku. Hilang sudah raut wajah suramnya. Dia memandangku lekat-lekat.

"Yokai yang mencuri indra manusia, ya?" tanyanya pada diri sendiri sambil mengusap dagu, memejam.

"Bukannya Tatsuya-san dulu pernah cerita padaku soal yokai pencuri indra?" kata Hyuga.

"Hm, ya, dulu pernah. Tapi, aku rasa kasus Ruri dan kakekku sangat berbeda. Kakekku kehilangan suaranya, dia tiba-tiba tidak bisa berbicara padahal kakek tidak mengidap penyakit tertentu yang mampu menghilangkan suara."

Aku mendengarkan saksama. Lelaki itu melanjutkan ceritanya.

"Setelah berobat sana-sini, Kakek didiagnosis oleh dokter bahwa dia sudah mengalami kerusakan bagian pita suara. Suara telah pergi dari hidupnya. Walau begitu nenekku bersikeras kakek bisa disembuhkan. Ada yang tidak beres soal kondisi Kakek. Begitu kata Nenek. Nenek menyarankan sebuah ritual tertentu dan memohon pada Kurogami-sama. Dan benar saja, kakekku bisa kembali berbicara."

"Kurogami-sama? Dewa pelindung pulau yang tinggal di gunung?" Hyuga tampak terkejut. "Sudah lama aku tidak mendengarnya."

"Memang jaman sekarang beliau sudah terlupakan." Tatsuya menoleh padaku yang sedang berkata lewat bahasa isyarat.

Apa yang membedakan kondisiku dengan kondisi kakekmu?

"Yang membedakan?" imbuh Tatsuya setelah Hyuga menerjemahkan kata-kataku. "Yang terjadi pada kakekku hanyalah kehilangan satu panca indra saja. Kalau Takasaki-san hampir semua. Sangat ganjil juga kondisinya. Bila memang indra milik Takasaki-san diambil yokai, seharusnya Takasaki-san benar-benar buta bukannya sekedar buta warna saja." Anak laki-laki itu mengusap punggung kepala. "Maaf, bila menyinggungmu."

Aku menggeleng, melenyapkan rasa bersalah dari wajahnya. Tatsuya mengangguk, bahunya turun. Dia terlihat lebih rileks dari sebelumnya.

Sementara itu, Hyuga yang duduk di sampingku, ekspresinya kian berkerut. Dia begitu sebab berpikir keras. Sejurus kemudian wajahnya kembali gemilang seperti sediakala.

"Bagaimana dengan ceritamu yang lain?" tanya Hyuga agak mendesak.

Dahi anak laki-laki itu mengerucut. Bibirnya juga ikut mengerucut.

"Aku rasa tetap berbeda dengan kondisi Takasaki-san. Di sebelah lain pulau, di tempat kelahiranku dulu ada yang kehilangan indra juga, yang ini penglihatan. Reiko–san namanya. Dia kehilangan penglihatannya di hari pertama musim gugur. Mirip seperti kakek, dari cerita yang kudengar, Reiko–san bisa kembali melihat setelah pergi ke kuil di puncak bukit dan melakukan sebuah ritual di kuil dekat danau untuk mengusir roh jahat. Cerita Takeru-kun juga sama, pria tua itu kehilangan penglihatannya, tapi hanya sebatas penglihatannya saja. Cara menyembuhkannya yaitu dengan pergi ke kuil di atas gunung."

Hyuga duduk membisu. Bergumam lama sambil mengusap dagu.

Aku sedikit bisa mengerti maksud garis-garis wajah Hyuga. Kasusku berbeda dengan cerita dari Tatsuya. Semua yang diceritakan Tatsuya memiliki pola yang sama. Hilang satu indra dan pergi ke kuil untuk mendapatkannya kembali.

"Bagaimana bila begini,” ucap Hyuga tiba-tiba, “ada yokai yang mirip seperti yokai pencuri indra tapi dia tidak mencuri begitu saja, ada syarat tertentu untuk yokai itu mencuri indra. Jadi sebetulnya Ruri bukan indranya dicuri, melainkan indra milik Ruri dipinjam. Maksudnya, Ruri harus memenuhi keinginan yokai tadi untuk mengembalikan indra milik Ruri yang dipinjamnya sebagai balasan yokai itu membantu keinginan Ruri, kurang lebih, begitu maksudku," jelas Hyuga.

Simbiosis mutualisme. Tidak masuk akal. Hal semacam itu mungkin terjadi bila aku melakukan perjanjian dengan yokai. Aku tidak pernah melakukan hal semacam itu. Skenario yang dikatakan Hyuga mustahil terjadi.

Kurasa tidak. Ungkapku lewat isyarat.

Sekilas wajah Hyuga terlihat bersalah. "Hanya asumsi saja kok, aku juga tidak begitu setuju dengan skenario yang aku katakan."

Hening dan denging lagi yang mengisi. Berikutnya terdengar pintu yang bergeser terbuka. Ketua klub, Yume, sudah kembali. Gadis jangkung itu datang bersama pasukannya—anggota klub Filmaker. Seorang gadis pendek rambut bob, dan gadis rambut kucir kuda yang memiliki ekspresi datar seolah senyuman sudah lenyap dari wajahnya.

"Teman-teman, waktunya pertemuan klub dadakan." Si gadis jangkung berkacamata memberi tepukan ramah. "Ada yang harus aku bicarakan pada kalian."

Pandangan Tatsuya kembali padaku. "Begini saja, minggu depan aku akan pertemukan kalian berdua dengan nenekku. Nenek mungkin tahu sesuatu soal ritual itu. Datanglah ke kuil di puncak gunung lusa nanti."

Baik. Kataku lewat bahasa isyarat. Hyuga di sebelahku juga mengangguk setuju.

Lalu aku pun pamit undur diri kepada semua orang. Aku sudah berada di ambang pintu ketika Hyuga tiba-tiba melingkarkan lengannya pada leherku.

“Bagaimana?”

Bagaimana apanya?

“Soal kompetisi NHK, memangnya ada yang lain?” Hyuga mengernyit.

Ternyata memang benar Hyuga ingin aku mendaftarkan diri di kompetisi NHK.

Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Dialog seolah berhenti. Mungkin karena Hyuga yang terlalu sibuk menyapa teman-temannya selagi berlalu hingga lupa aku sedang berada di sisinya, atau karena Hyuga paham maksud dari tatapanku.

Setelah mengganti sepatu ruangan dengan sepatu luar, kami pun tiba di gerbang sekolah. Tanjakan curam menurun, dan langit... tampak berwarna abu sementara dunia pijakan Hyuga memiliki spektrum warna. Barulah setelah melewati parkiran sepeda, aku menjawab pertanyaan Hyuga tadi.

Aku belum memikirkannya.

“Ehh? Mengapa?”

Tidak ada alasan khusus.

"Tidak ada alasan khusus? Padahal ada classical music. Keahlianmu loh." Hyuga menyiku lenganku. “Pemenang kontes internasional Yokohama.” Dia nyengir.

Aku lantas menoleh sekilas padanya. Kemudian kembali menatap jalan. Selanjutnya, berhenti melangkah. Bertepatan dengan terdengarnya gema suara kapal feri yang sangat samar itu, lampu lalu lintas berubah merah. Hyuga tiba-tiba bicara.

"Dengar ya Ruri, segala sesuatu di dunia itu terjadi karena suatu alasan. Semua pasti ada alasan di baliknya. Misalnya saja mengapa kita harus membuka tirai kamar ketika pagi datang atau kenapa aku gagal lulus ujian. Semua pasti ada alasannya. Tidak ada alasan di baliknya juga itu adalah sebuah alasan. Bahwasanya kita belum tahu alasan di baliknya. Mungkin di masa depan kita akan tahu apa." Gadis itu mengambil langkah pertama menyeberang jalan; aku menuturnya dari belakang. "Seperti dunia film bisumu dan dunia pijakanku. Aku tidak tahu kenapa hanya dunia pijakanku yang berwarna di matamu, tapi aku yakin ada alasan kenapa dunia pijakanku. Bila dalam Fisika, ini disebut Hukum Sebab Akibat. Tidak ada akibat tanpa sebab. Tidak ada kejadian tanpa sebuah alasan."

Entah kenapa, perkataannya terdengar seperti benar. Tapi aku merasa ada yang salah di sana. Salah bagian mananya, aku tidak tahu.

Hyuga berhenti melangkah di sebuah toko kue. Menoleh pada koki yang memasak. “Orang-orang hanya menolak diri mereka sendiri.”

Tak lama kami tiba di jembatan antar kota. Kutunjukkan layar ponselku pada Hyuga.

[Aku hanya bingung di mana sekarang aku harus berpijak. Sisi sebelah sini atau sisi sebelah sana?]

"Di mana saja tidak masalah bukan? Pada dasarnya manusia ingin hidup bahagia. Berdirilah di mana kamu dapat hidup bahagia."

[Hal semacam itu, tidaklah memungkinkan bagiku.]

Setelah belokan sehabis tanjakan tadi, kami tiba di taman dekat ceruk. Lalu dunia berwarna itu pun tiba-tiba berhenti. Suara burung gagak berkoak di langit berubah jadi gema dalam air. Dan kelopak bunga sakura meliuk jatuh, dalam dua ruang berbeda. Abu-abu, dan berwarna. Hyuga berhenti di belakangku, beberapa meter jauhnya.

"Ruri, sudah kubilang, serahkan saja padaku. Kau bisa percayakan saja padaku. Aku berjanji, aku akan menghabiskan sisa waktuku membantu mengembalikan indramu yang hilang,” ucap Hyuga dengan nada penuh keseriusan.

Bukan hanya dari suaranya, raut wajahnya, dan tatapannya menunjukkan ketegasan. Dia memang serius. Hyuga berkata, “Kau harus percaya padaku.”

Hening. Setelah mobil sedan melaju, jalanan kembali hening. Aku dan Hyuga berdiri terpisah oleh dunia yang berbeda. Bila orang berlalu melihat kami, kami seperti teman yang sedang berkelahi. Nyatanya tidak, hanya dunia kami berbeda. Hening dan bersuara. Ada dan tidak ada. Berwarna dan hampa.

Hyuga berlari kecil dan merangkul tanganku, membawaku ke arah kuasanya menginginkan.

"Bagaimana kata-kataku barusan? Keren bukan? Apa sudah kedengaran seperti Dumbledore?"

Keren. Sedikit. Jawabku sambil diiringi senyum samar.

Serta merta cemberut menghias wajah Hyuga. "Tanggapan macam apa itu. Tapi, yah,  setidaknya ada kata 'keren'-nya walau hanya sedikit. Rumahku lewat sini. Kita sepertinya berpisah di sini. Dah Ruri, sampai ketemu nanti di kuil."

Pada pertigaan kedua setelah taman dekat ceruk, kami berpisah.

Aku balik melambai pada Hyuga yang punggungnya perlahan menjauh.

Dunianya menyilaukan. Penuh warna dan suara. Bahkan senyum kecil saja seakan menguarkan aura unik tersendiri. Aku ingin ke sisi sana.

Kenapa gadis ini sampai sebegitunya ingin membantuku ya?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
DariLyanka
3051      1048     26     
Romance
"Aku memulai kisah ini denganmu,karena ingin kamu memberi warna pada duniaku,selain Hitam dan Putih yang ku tau,tapi kamu malah memberi ku Abu-abu" -Lyanka "Semua itu berawal dari ketidak jelasan, hidup mu terlalu berharga untuk ku sakiti,maka dari itu aku tak bisa memutuskan untuk memberimu warna Pink atau Biru seperti kesukaanmu" - Daril
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
486      206     1     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...
Sweet Like Bubble Gum
1359      916     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Melody untuk Galang
520      321     5     
Romance
Sebagai penyanyi muda yang baru mau naik daun, sebuah gosip negatif justru akan merugikan Galang. Bentuk-bentuk kerja sama bisa terancam batal dan agensi Galang terancam ganti rugi. Belum apa-apa sudah merugi, kan gawat! Suatu hari, Galang punya jadwal syuting di Gili Trawangan yang kemudian mempertemukannya dengan Melody Fajar. Tidak seperti perempuan lain yang meleleh dengan lirikan mata Gal...
Fidelia
2157      940     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
U&O
21072      2108     5     
Romance
U Untuk Ulin Dan O untuk Ovan, Berteman dari kecil tidak membuat Rullinda dapat memahami Tovano dengan sepenuhnya, dia justru ingin melepaskan diri dari pertemanan aneh itu. Namun siapa yang menyangkah jika usahanya melepaskan diri justru membuatnya menyadari sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing.
Tanda Tangan Takdir
211      175     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Your Moments
9876      2590     0     
Romance
Buku ini adalah kumpulan cerita mini random tentang cinta, yang akan mengajakmu menjelajahi cinta melalui tulisan sederhana, yang cocok dibaca sembari menikmati secangkir kopi di dekat jendelamu. Karena cinta adalah sesuatu yang membuat hidupmu berwarna.
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
14971      2074     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
Tok! Tok! Magazine!
104      92     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...