Loading...
Logo TinLit
Read Story - A Missing Piece of Harmony
MENU
About Us  

Bukan hanya korban, tapi korban sekaligus pelaku.

Kata-kata dari nenek Tatsuya itu terus berputar bagai piringan hitam usang sebuah gramofon tua. Berulang kali diputar pun, hasil suaranya selalu sama berderitnya. Berkata padaku seolah aku yang salah. Tidak ada simpulan lain.

Mataku masih terpaut pada pasangan muda yang sedang berusaha terbang ke permukaan air sambil saling genggam tangan. Sebuah tajuk berada di atas mereka "Elegy Sonata: Mimpi dan Keputusasaan" tertulis dalam romaji. Rangkaian penjelasan mengikuti di lembar berikutnya. "Filmmaker Mempersembahkan Film Pendek Original".

Sesuatu mencuil bahuku. Ketika aku menoleh, yang menyambut pandanganku adalah selembar kertas dengan kalimat itu.

Ada sesuatu di wajahmu...

Wajah Okuda menyembul dari samping kalimat itu. Alisnya menekuk.

Apa, Okuda? Kataku lewat isyarat, menelengkap kepala.

Sesuatu. Bibirmu.

Aku pun mendorong sudut bibirku ke atas menggunakan telunjuk dan jari tengah. Seperti ini? Kataku kemudian dengan isyarat.

Arahnya terbalik

Hendak aku menanggapinya, ketika tiba-tiba muncul si kembar di belakang Okuda. Melingkarkan lengan mereka pada pundak Okuda yang kecil.

Aku hanya bisa menyaksikan mereka bercakap riang. Berharap saja apa yang mereka bicarakan bukanlah soal diriku.

Okuda menepis tangan Yuzuki. Dia keluar dari rangkulannya, menatapku.

Sehabis ini, mari kita lihat pameran eksul bersama, Ruri

Aku menjawabnya lewat senyum yang kupaksakan menggunakan bantuan kedua telunjukku.

Kemudian tur pameran ekskul itu dimulai setelah jeda istirahat kelas. Kami banyak melewati ruangan-ruangan menarik tata kelola dari masing-masing ekskul. Sebuah komik hitam putih mahakarya anak-anak klub penggemar anime dipajangkan memenuhi koridor di lantai dua. Foto menu masak-memasak pula dideretkan di sebelah. Klub memasak tidak mau kalah. Namun yang paling memikat anak kelas satu adalah ekskul musik.

Cowok kacamata itu menjelaskan pada anak-anak kelas satu beberapa partitur dari buku musiknya. Dia kemudian tersenyum lalu berpaling dan duduk di sebuah kursi piano. Jarinya mulai menekan. Dan.... tidak ada yang terjadi.

Tidak ada suara apa-apa yang keluar. Koridor itu tetap berdengin dalam dasar lautan. Gelap. Hitam putih.

Sesuatu mencuil bahuku. Aku berbalik. Itu Okuda dan di sampingnya berdiri Natsuki.

Bagaimana menurutmu tadi ekskul kerajinan tangan? Kegiatan mereka sepertinya seru sekali. Tapi aku sudah memutuskan bergabung ekskul memasak– Tangan Okuda berhenti bergerak ketika Yuzuki berkata sesuatu padanya dengan tatapan serius.

Kedua ekskulnya menarik kok. Kenapa tidak pilih keduanya? tanyaku lewat isyarat, memecah canggung antara mereka.

Okuda tersenyum hangat. Kalau Ruri bagaimana? Ekskul mana yang ingin Ruri lihat?

Tidak ada. Aku ikut saja kalian. Jawabku.

Meskipun berkata begitu, tapi tatapanku selalu ditarik menuju ruangan itu. Sebelum naik ke lantai tiga, aku melirik sekali lagi ke balik bahu, memandang cowok kacamata itu bermain piano lewat jendela kaca.

Aku berpaling. Lanjut mengekor Okuda dan si kembar.

Tidak ada yang terjadi. Semenjak hari itu pun tidak ada yang terjadi. Duniaku masih hitam putih. Lorong kelas ini sama gulitanya. Dan tawa semua orang hanya denging di telingaku. Aku tetap tidak bisa merasa. Malahan, dunia ini menjadi lebih menyakitkan.

Kemarin lalu, aku dan Hyuga mengunjungi kuil di gunung untuk ritual penyucian. Kami bertemu dengan nenek Tatsuya. Tapi nenek Tatsuya tidak membantu apa-apa. Tidak, dia menolak membantuku lepas dari kutukan ini. Katanya, aku bukan hanya korban, melainkan korban sekaligus pelaku.

Pelaku? Memangnya apa yang membuat dewa pulau marah sehingga aku pantas hidup seperti ini? Bila dia adalah Tuhan, artinya Tuhan terlalu sensitif. Dia hanya bisa marah dan melemparkan kutukan semena-mena alih-alih memberikan kebaikan. Sesuatu yang wajar bila orang-orang menjadi berpaling dari Tuhan untuk pergi ke sesuatu yang lebih bercahaya.

Langkahku terhenti setiba di lantai tiga gedung timur. Koridor di sini berbeda. Di tengah dunia hitam putih dan berdenging yang tiada hentinya, koridor dekat ruang seni tampak bersinar. Pasangan kekasih dalam poster itu kontras dengan dunia sekelilingnya.  Memiliki warna. Dan hidup. Tersenyum pada pengunjung. Padaku.

Sebuah tangan menggupai di pandanganku. Aku menoleh ke samping.

Bagaimana dengan klub itu? Mau lihat? Sepertinya menarik dan Okuda memberhentikan tangannya di udara. Gerakan tangannya berubah lebih lambat. Cocok untuk Ruri

Aku menolehkan pandang pada poster itu lagi. Namun, alih-alih berwarna, kedua pasangan malah jadi pudar. Buram dan abu-abu. Mungkin tadi ada Hyuga di dekat situ.

Jawabanku atas pertanyaan Okuda hanya anggukan kecil.

Lalu kami berempat pun menghampiri kakak kelas yang mana adalah anggota klub Filmaker. Gadis pendek rambut bob dengan blazer kebesaran menempel di tubuhnya. Dia memberikan lembar kertas daftar nama pengunjung untuk kami menuliskan nama kami di sana.

Beruntungnya kami datang tepat waktu. Screening film sebentar lagi dimulai jadi kami tidak perlu duduk menunggu.

Yume yang adalah ketua klub itu pun muncul di hadapan semua orang. Dia menjelaskan sesuatu. Kemungkinan besar isinya terkait film pendek yang sebentar lagi ditampilkan.

Elegy Sonata: Mimpi dan Keputusasaan.

Judul film pendek itu cukup romantis. Aku bisa membayangkan bagaimana isi film hanya lewat judulnya saja. Dan memang benar sesuai dengan perkiraanku. Film itu mengenai seorang siswa yang kehilangan mimpinya menjadi seorang atlit lari akrobat sebab cedera berat. Sesuatu, yang bisa kurasakan secara langsung. Meski tanpa mendengar dialog tokoh, aku bisa merasa. Rasa yang membuat tanganku mengepal di pangkuan.

Tapi, yang membuatku benar-benar kehilangan kata-kata adalah adegan berikutnya ketika tokoh utama hanya bisa memandang kejauhan langit lewat jendela. Di ruangan itu, tampak berwarna. Kamar abu-abu itu perlahan memancarkan pancarona. Sebuah spektrum cahaya tampak. Dan semuanya berasal dari gadis di seberang tokoh utama.

Dia adalah Hyuga. Rupanya Hyuga mendapat peran kecil dalam film.

"Lagi-lagi memandang kejauhan, ya?" ucap Hyuga pada tokoh utama. "Apa tidak bosan soalnya langitnya begitu-begitu saja?"

Tokoh utama berpaling padanya. "Aku ingin tahu apa yang ada di seberang sana. Apakah sesuatu yang bahagia atau sebaliknya?"

"Pasti sesuatu yang baik kok! Soalnya kamu sudah melakukan yang terbaik. Dan juga karena," Ucapan Hyuga itu membuat tokoh utama terkejut. Maka, Hyuga melanjutkan kata-katanya. "Hatimu sangat tulus."

🌸🌸🌸🌸🌸

Suara langkah kaki ringan terdengar mendekat, memecahkan dunia heningku.

"Jadi di sini kau rupanya." Hyuga muncul tiba-tiba dari rak buku di depan sambil membawa dunianya yang berwarna. "Yang lain mencarimu loh!" serunya padaku.

Aku membalikkan halaman buku. Abai saja dengan kehadiran Hyuga.

Merasa diabaikan, Hyuga menarik kursi di seberang. Duduk di sana. "Sedang baca apa? Serius sekali. Oh, rupanya novel Rein-sensei lagi, ya."

Dia menjawab pertanyaannya sendiri. Aku melirik sebentar, mengangguk kecil. Lalu kembali pada buku yang kubaca.

Gadis itu mengistirahatkan punggungnya pada sandaran kursi, menatap langit. "Rein sensei memang pandai dalam merangkai cerita. Aku sangat suku bukunya yang judulnya Berlayar. Seorang nahkoda kapal yang tersesat di segitiga bermuda. Dia dan krunya harus melawan lautan dan seisi makhluk kejamnya. Tapi, cara tokoh utama selamat hanya dengan mengikuti intuisinya seorang kapten kapal. Kalau Ruri senang buku sensei yang mana? Hello? Takasaki Ruriko? Ruri, kalau seseorang tengah berbicara itu pandang matanya."

Hyuga hari ini lumayan banyak bicara. Aku tidak bisa menegurnya karena telah berbuat gaduh di perpustakaan, maka petugas perpustakaan lah yang melakukannya. Datang tiba-tiba sambil berdesis panjang pada Hyuga. Hyuga menangkupkan tangan, merasa bersalah.

Pria berkacamata kotak itu melenggang kembali ke balik meja konter. Seperginya cowok itu, aku pun menutup buku Rein-sensei. Meletakan buku "Makhluk Pencuri Indra" nya di atas meja.

Aku cukup menyukai judul yang ini. Sudah berkali-kali aku baca. Ini salah satu yang paling aku suka setelah buku-buku hitsnya.

Hyuga duduk menopang dagu. Menatapku.

"Begitu kah? Bagiku yang itu agak membuatku bingung. Bukan agak, tapi memang membuatku bingung. Endingnya terutama. Kenapa kisahnya berhenti begitu saja. Sangatlah nanggung sampai-sampai orang-orang berdebat akhir cerita yang sesungguhnya seperti apa. Terdapat tiga teori soal ending cerita ini, tergantung bagaimana kamu menginterpretasikannya. Sedih. Marah. Atau bahagia. Semua bagaimana kamu mempercayainya."

Alisku bertaut. Mataku mengerjap. Aku diam saja di sisi seberang dunia menyilaukan milik Hyuga itu. Menatap lamat-lamat gadis yang poni rambutnya dihias jepit rambut kupu-kupu biru.

Hyuga mengernyit. "Jangan-jangan Ruri belum membacanya?"

Aku suka buku ini dan ini memang salah satu buku favoritku dari Rein-sensei. Tapi, bukan berarti aku sudah membacanya sampai habis.

"Hah? Hidupmu ribet sekali," desah Hyuga. Yang mana menyebabkan cowok kacamata tadi berdesis lagi untuk menegurnya.

Hyuga berdeham dibuat-buat, menolehkan pandang padaku.

Aku berkata lewat isyarat. Buku ini terlalu nyata, berbeda dengan buku sensei yang lain. Gaya tulisannya sangat sederhana tapi kamu bisa merasakan nyawa dalam tiap kalimatnya. Dan itu membuatku takut.

Punggung Hyuga berdiri tegak. Tatapan Hyuga berubah serius sekarang. "Ruri, aku kan sudah bilang, kalau aku akan membantu mengembalikan indramu yang hilang." Terdapat jeda beberapa detik sebelum Hyuga melanjutkan kalimatnya. "Aku sudah bersumpah akan membantu mengembalikan indraku yang hilang. Kau harus percaya padaku."

Dia membaca yang kupikirkan. Meski tidak semua. Hyuga melewati satu hal.

Tanganku mengepal di atas meja. Aku menggerakkan tanganku cukup kasar di udara. Percaya padamu? Bagaimana kamu bisa bicara seyakin itu? Tidak kah kau sadar? Ini mustahil. Nenek Tatsuya bilang kalau aku bukan hanya korban, tapi korban sekaligus pelaku. Dia berkata tidak akan membantuku mendapatkan indraku yang hilang. Jelas-jelas ini tidak bisa. Ini mustahil.

"Dia bilang tidak akan membantu. Artinya pendengaranmu bukan tidak bisa kembali. Indramu bisa kembali hanya saja dia tidak akan membantu. Aku yakin. Karena tidak serta merta indramu diambil hanya untuk kami-sama bersenang-senang dalam kepahitan hidup seseorang."

Kalau memang bisa, lalu bagaimana caranya? Katakanlah padaku, bagaimana caranya?

"Kita coba cara lain. Misalnya saja setelah disogok dan diikat, Hanae-san tetap tidak mau membantu, kita coba ke Pulau Fukue. Kita bisa coba berdoa pada patung bunda maria tersembunyi. Atau parah-parah bila kita sudah berkelana ke sepenjuru Jepang, tetap tidak bisa mendapatkan jawaban, kita akan coba lewat internet. Di internet mungkin kita bisa mendapatkan petunjuk."

Katakan padaku, bagaimana caranya? Napasku terasa sedikit tak karuan.

“Hm. Mungkin untuk saat ini kita bisa mencari petunjuk selagi sabar menunggu,” katanya sedikit ragu.

Katakan padaku, bagaimana caranya?

Hyuga menggeser buku novel Makhluk Pencuri Indra ke tepi meja dekatnya, mengusapkan tangan pada sampul buku. “Ini pasti sulit. Tapi sulit bukan berarti mustahil. Ya, kan?” katanya pada seorang siswa yang kebetulan melintas.

Tanganku bergerak lambat di udara. Katakan padaku, Hyuga-san, bagaimana caranya?

Udara yang mengambang di atas meja ini terasa berat. Di sisi seberang, Hyuga diam saja.

Tolong, jangan beri aku harapan. Dunia ini sudah terlalu kejam. Kata tanganku lemah. Menarik napas dalam. Lirih. Aku mohon berhentilah memberiku harapan.

Bertepatan dengan usainya kalimatku tadi, terdengar dering bel yang samar sekali seolah berada sangat jauh dari duniaku.

Hyuga masih berdiam diri di seberang, menguarkan materi kehidupan ke dunia sekitar pijakannya.

Di sisi sini, aku bangkit dari duduk. Menjejalkan bukuku ke dalam tas lalu lekas pergi keluar perpustakaan sekolah.

Menunggu? Cuman itu yang bisa kamu katakan padaku Hyuga? Menunggu? Kalian bisa berkata begitu karena tidak merasakannya secara langsung. Mudah sekali kalian berkata, "kalau saja dia menunggu sedikit lebih lama, kebahagiaan yang dijanjikan akan datang." Padahal bagiku kebahagiaan yang menurutmu ada itu tidak pernah datang. Sudah berharap bertahun-tahun akan kebahagiaan itu, tapi kebahagiaan itu tidak kunjung datang. Orang-orang sepertiku sudah tidak lagi punya harapan, aku sudah tidak lagi punya harapan. Bahkan kami tidak sanggup lagi menaruh kepercayaan pada harapan. Entengnya kau Hyuga, berkata padaku untuk menunggu.

Hyuga yang tampaknya tidak ada urusan di perpustakaan sekolah itu pun berjalan mengikutiku. Berjalan bersisian di sampingku

"Sudah memutuskan ingin gabung ekskul mana?" tanya Hyuga, mencondongkan tubuhnya kepadaku.

Aku melirik sekilas. [Belum ada rencana] tulisku padanya lewat nota ponsel.

"Heeee, begitu, ya?" gumam Hyuga seorang diri. "Ruri, kau suka film?" tanyanya padaku sembari mengeluarkan ponselnya dari saku.

Aku hanya melirik sekilas.

"Kalau suka, Ruri bisa gabung klub Filmaker. Cukup seru loh! Kita nanti berencana membuat film pendek original lagi seperti tahun lalu. Ruri sudah lihat filmnya, kan tadi?"

Aku menghela napas dalam. [Akan aku pikirkan.] buru-buru aku membuang muka.

"Itu kebiasaan burukmu Ruri," ucap gadis itu dengan senyum banyak arti.

Dialog berhenti di situ. Baik aku atau Hyuga tidak mengatakan apa-apa selama melewati koridor. Kemudian ketika hampir tiba di tangga menuju lantai dua, Hyuga melompat di depanku. Gadis itu tersenyum lembut sambil mencondongkan tubuh, menunjukkan layar ponselnya padaku. Layar LCD yang terukir sebuah kata-kata di situ.

Aku terdiam.

Hyuga menurunkan ponselnya. "Dah Ruri! Sampai jumpa lagi nanti!"

Kami berpisah. Hyuga jalan cepat menuju gedung sayap timur.

Aku pun kembali ke kelasku. Duduk di bangkuku di dekat jendela. Langit saat pelajaran berikutnya dimulai tampak begitu cerah. Langit musim semi di sore hari. Aku bisa tahu karena kisi cahaya mentari berwarna abu-abu yang menyorot buku catatanku; tidak ada awan.

Pada lembar abu-abu buku catatan yang tersiram oleh cahaya mentari, tertulis kata-kata yang sewaktu tadi Hyuga tunjukkan.

Dunia itu sangatlah menyenangkan, kamu hanya perlu membuka matamu.

Dunia itu indah bila aku membuka mataku? Omong kosong. Kamu bisa mengatakannya karena kamu tidak merasakannya, seberapa hampa dunia ini. Semua hanya berisi kekejaman saja.

Kamu tidak tahu apa-apa, Hyuga Akari.

Aku sudah bermain musik sebelum memasuki SD. Kali pertamaku bermain piano adalah ketika berkunjung ke rumah Okuda untuk bermain. Alih-alih bermain, aku lebih tertarik pada grand piano milik kakak Okuda. Tatapanku tak henti-hentinya tertuju pada piano itu. Diriku yang masih belum paham akan dunia, iseng menekan-nekan tuts piano itu. Jiwaku bergema ketika mendengar nada yang biasanya hanya dapat kubayangkan itu menjadi nyata. Aku iseng lagi menekan tutsnya, dan nada yang ini beberapa tingkat lebih rendah dari nada yang kuharapkan. Lalu. aku terus menekan tuts piano, mencari nada-nada yang sering bersenandung dalam pikiranku.

Pikiranku tiba-tiba terbang dalam sebuah pusaran nada. Tanganku lihai menekan tuts piano. Aku bermain mendalami. Dan permainanku tiba-tiba terhenti ketika aku salah menekan tuts piano. "Bunyinya kurang tinggi setengah," gumamku waktu itu.

"Wah, keren, bagaimana caranya Ruri memainkannya? Ruri ajari aku, boleh?" tanya Okuda yang sedari tadi duduk di sampingku sambil memperhatikanku bermain.

"Tidak tau. Aku belum pernah bermain ini. Aku cuman menekan saja."

Ibu Okuda yang rupanya memperhatikanku bermain piano itu datang menghampiri. "Wah, Ruri-chan punya perfect pitch!"

Ibu Okuda bukanlah seorang musisi, tidak ada bakat musik mengalir dalam darahnya, tapi dia paham sedikit dari kakak Okuda bahwa perfect pitch adalah bakat luar yang biasa untuk seorang musisi. Sebuah kemampuan untuk mengenali nada-nada dengan absolut.

Sebuah kesia-siaan bila Ruri-chan tidak mengasah kemampuannya bermusik. Kata ibu Okuda pada Ibu di satu pagi di bulan April. Ibu bahagia mendengarnya, yang mana sore setelahnya aku langsung diikutsertakan pada les musik. Aku mulai belajar banyak soal musik di situ, mulai dari membaca not balok, mempelajari tangga nada pentatonik hingga tangga nada kromatik, dan banyak lagi yang kupelajari di sana. Karna sering diagung-agungkan oleh teman-teman yang lain dan sering dikatakan kalau aku sangat cocok jadi musisi, di saat itulah impianku jadi seorang musisi muncul. Mekar perlahan dalam diriku. Masalahnya, adalah ayahku.

"Ayah, aku ingin jadi musisi," kataku pada Ayah di malam yang dingin pada awal tahun baru.

Wajah Ayah yang ceria mendadak berubah suram. "Musisi? Musisi hanyalah pengemis dengan keahlian main alat musik saja. Aku tidak menginginkan Ruri jadi pengemis!"

“Tapi—“

Ayah tidak setuju ketika dengar keinginanku dan menyebabkan Ayah dan Ibu bertengkar hebat suatu waktu. Ayah melarang keras aku bermain musik, sementara Ibu sangat ingin aku bermain musik.

"Ruri punya bakat luar biasa dalam musik sayang, kita tidak boleh menyia-nyiakan mimpinya.”

“Itu mimpimu bukan mimpi Ruri.”

“Ruri adalah anak ajaib dengan segudang bakat," kata Ibu berkeras membelaku.

“Kalau Ruri memang anak ajaib, tidak perlu buang-buang waktu ikutan les musik. Ruri lebih baik mempersiapkan diri jadi pengusaha hebat, masa depannya lebih jelas. Main musik bisa jadi sampingan saja.”

Ayah berkeras aku tidak boleh menjadi musisi. Namun, Ayah akhirnya mengalah tatkala mendengar permainan pianoku. Permainan pianoku menghubungkan perasaan semua yang ada di ruangan itu. Nada-nada itu berpusar keluar dari rongga piano, menyebar ke segala arah. Namun, berbaris kembali untuk mengalir mengitari Ayah.

“Dengarkan permainan musiknya sayang, Ruri sangat berbakat bermain piano. Dengarkan.”

Ayah sedikit melunak. Berikutnya Ayah hanya mengangguk dan tersenyum kecut.

Hari-hari selanjutnya aku menghabiskan banyak waktuku untuk bermain musik. Ayah tidak lagi menolak tapi juga tidak menerima keinginanku itu. Maka dari itu, mulai hari itu dan seterusnya, setiap kegiatan yang berhubungan dengan musik, Ibu-lah yang menjadi penanggung jawabku. Baik dari uang hingga tenaga. Ibu semua yang melakukannya. Ayah hanya abai melihat Ibu seperti itu.

Semasa SD, setelah sekolah usai, aku segera mengikuti kursus musik. Sabtu dan minggu juga aku habiskan lebih banyak di rumah untuk melatih ritme tangan kiriku dan melodi di tangan kananku dalam bermain piano. Tidak jarang aku menolak ajakan teman-temanku bermain.

"Tidak bisa, jam 4 aku harus latihan piano," ujarku serius.

"Oh begitu ya, kalau begitu semangat latihannya."

Begitu kata mereka sopan. Namun aku tahu aslinya mereka mencibirku di belakang. "Gadis piano." Itu julukan mereka padaku.

Tanganku mengepal di atas pangkuan. Tapi, itu saja yang bisa kulakukan.

Aku tidak mengacuhkannya. Aku tetap bermain piano seakan-akan piano adalah bagian hidupku yang tidak bisa dipisahkan. Musik tidak bisa dipisahkan dari hidupku dan hidupku tidak bisa dipisahkan dari musik. Aku sangat menyukai mendengarkan frekuensi-frekuensi yang enak didengar itu ketika jemariku menekan tuts piano.

Permainanku begitu dalam. Arpegio, legato, staccato. Harmonic 5th. Aku hanya bisa ini, menekan tuts dan menginjak pedal piano.

Kedua tanganku melayang di atas tuts piano.

Aku cuman punya piano ini. Piano berkata jujur, tidak seperti mereka.

Berikut-berikutnya aku semakin menghabiskan banyak waktuku untuk bermusik. Selalu soal musik, dan musik, dan musik. Semua agar aku bisa meraih mimpiku. Ibu mulai membelikan piano baru. Kali ini piano mahal orisinal Steinsway & Sons. Kemudian permainanku makin baik. Telingaku makin peka terhadap nada-nada karena piano yang ini bukanlah piano bekas.

Tanpa disadari, waktuku di SD hampir habis. Aku sudah memenangkan tiga kali ajang bermain piano. Aku makin dikenal banyak oleh penduduk dua pulau setelah permainan pianoku di panggung dekat jembatan. Banyak anak kelas sebelah yang mengenalku meski aku tidak mengenal mereka. Dan di situlah letak masalahnya. Aku kian hari kian merasa terisi, tapi kosong dalam lain hal karna orang-orang hanya melihatku bukan melihatku. Bagi orang-orang, aku adalah gadis piano yang bisa dengan mudah melakukan segalanya. Bagi mereka, duniaku berpijak dan dunia mereka berpijak adalah tempat yang berbeda bagai langit dan bumi. Mereka segan berteman denganku karena merasa tidak layak bersamaku.

“Aku ingin main piano.”

Begitulah kata-kata yang pertama kali terlintas di benakku ketika mendengar liburan musim panas dan festival obon tinggal sebentar lagi.

“Piano tidak bisa berbohong.”

Hidupku dalam bermusik tidak berhenti sampai di situ. Karena sudah beberapa kali memenangkan ajang bermain piano, Ibu semakin mendukung bakatku ini sampai-sampai Ibu menyekolahkanku ke sebuah SMP kejuruan di Tokyo yang berfokus pada bidang hiburan, salah satu fokusnya adalah musik.

Langkahku terhenti ketika keluar dari peron kereta. Tokyo, berbeda dengan kota kecil di suatu kepulauan di Prefektur Nagasaki. Terdapat aura berbeda ketika aku berpijak di kota ini. Kota gemerlap yang penuh sisi gelap dan terang kehidupan di dunia. Mimpi-mimpi dan kenyataan keras sangat pekat berasa di sana.

“Tenang saja, Ruri, Ibu akan menemani Ruri di Tokyo sampai Ruri terbiasa. Lagi pula di sekolah barumu, Ruri akan bersama dengan anak-anak yang punya kesukaan yang sama dengan Ruri. Ruri pasti tidak akan kesulitan berbaur.” Begitu kata Ibu ketika tiba di sekolahku yang baru.

Aku hanya mengangguk saja. Percaya pada perkataan Ibu. Tapi faktanya, sama seperti waktu SD, di sini juga aku tidak memiliki teman di SMP. Dalam kota penuh glamor itu, tidak banyak yang bisa kulakukan di Tokyo selain main musik, musik, dan musik. Tahu-tahu ujian sekolah telah usai dan selanjutnya aku, seperti waktu SD-ku dulu, selalu dipandang oleh anak yang lain sebagai gadis maniak piano, mencibirku di belakang dan memberi julukan yang sama denganku dulu di SD. Aku dipandang sebagai gadis ajaib.

Bahkan di sekolah khusus musik saja aku dianggap ajaib. Aku mampu mengalahkan anak-anak lain dengan mudahnya. Bukan hanya dalam permainan piano, aku juga bisa bermain alat musik yang lain. Akibatnya guru-guru di sana sangat menyukaiku dan ini membuat banyak orang iri melihatku.

Kemudian, tatapan-tatapan tidak menyenangkan itu berubah menjadi tatapan sendu ketika aku kehilangan pendengaranku di akhir SMP kelas dua. Ketika itulah semua dunia berwarna itu berubah menjadi abu-abu. Musim semi di tahun kemudian aku kembali ke Minamigoto.

Wajahku di dasar wastafel tampak terbelah dua. Aliran air yang mengucur dari keran membelah wajahku menjadi setengah tersenyum dan setengah lagi cemberut.

Tanpa musik, aku bukanlah siapa-siapa, kataku pada mereka. Kamu tidak tahu apa-apa, Hyuga Akari.

🌸🌸🌸🌸🌸

Sudah dalam balutan pakaian kerja, Ibu menantiku di ruang makan sambil tersenyum.

Maaf,ya, Ruri, Ibu harus meninggalkan Ruri sendirian. Kemarin Ibu harus menginap di Nagasaki karena kerjaan yang menumpuk.

Tidak apa-apa kok Ibu. Aku sudah terbiasa hidup sendiri. Anggap saja seperti waktu sedang di Tokyo. Jawabku lewat isyarat ketika sudah tiba di meja makan.

Pagi itu kami makan bersama setelah melewatkan beberapa hari tidak bertemu. Meski tadi malam pulang larut malam, Ibu masih sempat-sempatnya tadi menyiapkan sarapan pagi. Menu sarapan pagi hari itu adalah kare.

Cahaya putih mengerjap di langit-langit. Waktu bergulir secepat angin berlalu. Tidak ada percakapan di atas meja ini sedari tadi. Walau begitu aku bisa merasakan sorot mata Ibu yang ingin sekali mengatakan sesuatu.

Soal ‘itu’, benar Ruri tidak apa-apa?

Aku mengangguk.

Maksud Ibu soal ‘mainan’-mu.

Ibu sedari dulu selalu menggunakan kata ‘mainan’ untuk alat-alat musik punyaku di rumah.

Tidak apa-apa Ibu, aku sudah tidak membutuhkannya. Lebih baik dijual saja untuk membayar utang itu. Aku lanjut menyerokkan sendok ke nasi kare. Memakan sesuap.

Tangan Ibu menggupai di atas meja. Pandanganku kembali kepada Ibu. Memang benar, bila dijual akan lumayan membantu Ibu. Jadi Ibu bisa lebih banyak di rumah tidak perlu mengambil dua pekerjaan dan tidsk harus pulang pergi Nagasaki-pulau. Itu bisa membantu.  Jeda sebentar yang diiringi senyum hangat Ibu. Tapi, rasanya pulang pergi Nagasaki dan pulau lebih baik daripada Ruri kehilangan mereka.

Aku sudah tidak akan lagi memainkannya. Dengan kondisiku yang sekarang. Jadi lebih baik dijual saja.

Atmosfer di dalam ruang makan terasa sedikit canggung. Beberapa saat.

Ibu mendesah. Baiklah, Ibu mengerti, Ibu akan coba menjualkannya ke seseorang. Tapi, Ibu tidak akan menjual piano itu, biarlah gitar dan ‘mainan’ lain saja yang dijual. Piano itu, Ibu tidak akan menjualnya.

Aku diam saja menatap manik mata wanita paruh baya yang duduk di seberang. Dia mengatakan sesuatu lagi.

Ibu tahu kalau Ruri dan piano tidak akan bisa lepas. Soalnya piano adalah teman baik Ruri sejak kecil.

🌸🌸🌸🌸🌸

Tidak ada yang terjadi. Hari-hariku selalu berulang. Pagi. Siang. Malam. Kemudian pagi lagi. Dan kembali malam. Keajaiban yang dikata orang-orang akan datang padaku bila aku menunggu sedikit lebih lama itu tidak pernah datang.

Pagi hariku selalu terbangun dengan kepala pening seakan ada piston menekan kepalaku. Ketika aku mencoba duduk di tepian ranjang lalu membuka notifikasi ponsel, rasa hangat yang lama-lama menjadi panas bergejolak-jolak di hatiku. Menantikan apa yang akan terjadi hari ini dengan penuh semangat. Begitu bersemangat seolah-olah kakiku melayang dan aku bisa menari selihai dan seelegan idol di ibukota.

Tapi, ketika sudut mataku menangkap penampakan piano Steinsway & Sons itu yang teronggok depan jendela disirami cahaya abu-abu, rasa-rasa tadi menghilang seketika. Lenyap begitu saja ke atmosfer bumi. Meninggalkan cangkang ini berjalan dalam dunia yang tanpa ada apa-apa. Tidak ada rasa. Tidak ada warna. Juga tidak ada suara.

Aku pun menjatuhkan ponselku. Dan juga tubuhku. Aku kembali berbaring menelungkup miring ke samping. Terus berulang. Pagi semacam itu terus berulang. Siklus. Pagi bergelora dan detik-detik berikutnya yang hampa hingga matahari terbenam lagi.

Beberapa saat aku dan Hyuga terus mencari petunjuk mengenai bagaimana mengangkat kutukan Kurogami-sama. Berhari-hari di dalam perpustakaan sekolah. Hanya untuk kembali tangan kosong. Bahkan Hyuga meminta bantuan anggota klub filmaker untuk ikut mencari petunjuk. Sudah pula memohon sangat pada nenek Tatsuya. Semua usaha kami berakhir sia-sia. Tidak ada yang berubah dari duniaku yang monokrom. Sama sekali tidak ada yang terjadi.

Lalu, satu pagi di awal bulan Mei. Langkahku terhenti di tanjakan curam menuju sekolah. Tugu sekolah menengah atas Minamigoto terlihat di puncak. Lalu bunga ajisai yang bermekaran di sekitarnya.

Seseorang mencuil bahuku. Aku menoleh. Yang berdiri di sana adalah Okuda.

Ada apa Ruri?

Tidak terasa sudah mau UTS saja, ya. Waktu berlalu begitu cepat. Kataku  lewat isyarat. Tersenyum untuk yang pertama kalinya.

Benar. Tidak aku sadari, siklus tiada akhir itu terhenti sejenak. Untuk dewa mengatakan padaku bahwa sekarang musim penghujan di Minamigoto.

Sore hari itu, di pertengahan Mei, aku tidak langsung pulang sebab hari itu adalah kamis. Kamis adalah jadwalku piket. Cowok yang jadi rekan piket hari itu adalah Maehara. Kami membagi tugas. Aku yang membersihkan papan tulis juga jendela dan Maehara yang membersihkan meja.

Penghapus papan tulis itu berhenti bergerak. Tanganku berhenti bergerak. Tepat di atas kalimat itu.

....seekor burung kecil, lupa cara mengepak.

Mataku terpaku pada kalimat itu, penggalan tanka yang dibuat Bu Yukino. Beberapa kali aku mengulang kalimatnya dalam benak. Ketika tiba-tiba dingin merangsang pipi kananku. Aku terlonjak kaget.

Cowok itu tersenyum sambil memberikanku sekaleng minuman kaleng dingin.

Mau? Tadi mesin otomatisnya rusak jadi aku dapat dua. Kata Maehara lewat isyarat.

Kau membuatku terkejut.

Iya, kah? Maaf, habisnya kamu berdiam saja sedari tadi.

Dikata berdiam saja dari tadi, tapi sekarang dia juga berdiam saja sedari beresnya kalimatnya yang terakhir.

Mataku mengerjap-ngerjap. Kami masih saling diam. Merasa aku memperhatikannya, Maehara membuka kaleng soda.

Maehara, menurutmu apa yang harus dilakukan oleh seekor anak burung walet yang tidak bisa terbang seperti saudara-saudara yang lainnya?

Cowok itu memandang langit-langit beberapa detik. Kemudian menaruh minumannya di meja guru. Tidak bisa terbang karena sayapnya patah atau tidak bisa terbang karena takut itu dua hal berbeda. Tapi menurutku, bila aku adalah burung malang itu, aku akan berhenti mencoba terbang karena itu hanya akan melukai diriku sendiri.

Benar, masuk akal juga. Aku pun membungkuk tiba-tiba. Maaf kalau membuatmu resah karena bertanya hal aneh-aneh. Tambahku lewat isyarat.

Tidak masalah.

Lalu aku pun membereskan pekerjaanku yang sempat terhenti sebentar. Setelah itu beranjak pulang.

Benar, aku harus melupakannya. Burung yang tidak bisa terbang, sebaiknya berhenti untuk mencoba terbang.

Ketika aku hendak mengganti sepatuku menjadi sepatu luar ruangan, sepucuk surat meluncur jatuh dari lokerku. Aku memungutnya dan membacanya.

Halo Gadis Tanpa Warna dan Suara! Sudahkah Anda memutuskan daftar ekskul? Kalau belum, datanglah ke ruang klub paling gelap sejagat raya waktu istirahat pertama! Kami menantimu Gadis Tanpa Warna dan Suara! Ini kesempatan terakhirmu menjadi anggota klub filmaker!

-Dari Gadis Yang Membuat Dunia Berwarna dan Bersuara.

Satu sore di bulan pertengahan Mei. Surat itu menyambutku. Kemudian kata-kata Hyuga kembali terngiang dalam benakku.

Dunia itu menyenangkan, kamu hanya harus membuka matamu....

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
I am Home
557      389     5     
Short Story
Akankah cinta sejati menemukan jalan pulangnya?
You Are The Reason
2279      934     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
190      156     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
CLBK: Cinta Lama Belum Kelar
5369      1628     20     
Romance
Tentang Edrea Lovata, yang masih terjebak cinta untuk Kaviar Putra Liandra, mantan kekasihnya semasa SMA yang masih belum padam. Keduanya dipertemukan kembali sebagai mahasiswa di fakultas yang sama. Satu tahun berlalu dengan begitu berat sejak mereka putus. Tampaknya, Semesta masih enggan untuk berhenti mempermainkan Rea. Kavi memang kembali muncul di hadapannya. Namun, dia tidak sendiri, ada...
Koude
3582      1275     3     
Romance
Menjadi sahabat dekat dari seorang laki-laki dingin nan tampan seperti Dyvan, membuat Karlee dijauhi oleh teman-teman perempuan di sekolahnya. Tak hanya itu, ia bahkan seringkali mendapat hujatan karena sangat dekat dengan Dyvan, dan juga tinggal satu rumah dengan laki-laki itu. Hingga Clyrissa datang kepada mereka, dan menjadi teman perempuan satu-satunya yang Karlee punya. Tetapi kedatanga...
Ketos in Love
1132      646     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
My Reason
719      474     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."
Kini Hidup Kembali
80      70     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
The Accident Lasts The Happiness
568      393     9     
Short Story
Daniel Wakens, lelaki cool, dengan sengaja menarik seorang perempuan yang ia tidak ketahui siapa orang itu untuk dijadikannya seorang pacar.
Without End
1360      597     1     
Mystery
Di tahun akhir masa SMA nya, atas ajakan dari sahabat baiknya, ia ikut kencan buta dan bertemu dengan pria tampan dengan perilaku yang sangat sopan. Ia merasa bahwa pria tersebut memiliki sisi lain dan tak bisa tak menjadi tertarik, hingga mengantarkan dirinya sendiri terjebak ke dalam lubang yang ia gali sendiri. Kebahagiaan, ketakutan, perasaan terbelenggu, tercekik, sesak nafas, dan ha...