Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah Tanpa Dede
MENU
About Us  

Kala hujan tiba ... selalu membawa kesedihan, saat melihat anak-anak seusiaku berlarian di jalanan yang becek. 

Mereka tertawa, saling kejar, lalu melompati genangan air. Tak peduli itu kotor, tak peduli jatuh sakit karena hujan. Yang mereka pikiran hanya cara bersenang-senang.

Salahkah jika aku ingin bergabung? 

Tidak salah, tapi sulit.

Aku hanya bisa menatap pilu dua tongkat yang bersandar di dinding warung A Saga. Rasanya sungguh tidak adil, seakan aku tengah dihukum karena nakal.

“Dek, ayo makan dulu. Dede kan harus minum obat." 

Suara Mama terdengar saat berjalan keluar rumah sambil membawa nampan berisi makanan, segelas air dan obat-obatan yang diletakkan di meja teras. 

"Iya, Mah. Sebentar Dede kesitu." 

Aku mengambil tongkat, mengapitnya di ketiak dan melangkah perlahan menuju tempat Mama berada. Sebisa mungkin menata langkah agar tidak tergelincir tanah basah bekas hujan. 

Tapi itu pun sulit, saat ujung karet tongkat menjadi licin setiap terkena air. Tidak terhitung, berapa kali aku jatuh sampai akhirnya terbiasa. 

Atau mungkin ... terpaksa ikhlas. 

"Dede Esya ... tadi pagi mau kemana naik mobil sama Mama?"

Tapi begitu akan naik ke teras, tetangga samping rumah---Bi Imas, yang biasa belanja ke warung A Saga menegurku. 

Dengan susah payah, aku berbalik menatapnya dan menjawab sopan khas anak kecil. “Kontrol ke rumah sakit, Bi."

"Oh, masih sering kontrol, toh? Kirain udah enggak."

Aku mengernyit dalam tanya. Memang apa yang salah? Toh, aku cek up pun karena ingin bisa berjalan normal lagi. 

Tapi kenapa respon orang sekitar seakan menegaskan jika pengobatan itu tindakan yang salah?

Mereka seakan berkata: Itu sia-sia ...

Saat dilanda krisis itu, Mama datang sebagai penyelamat dengan menyapa ramah Bi Imas.

"Mau belanja ke warung, Teh?" tanyanya. 

"Iya, nih. Si Dini pengen makan mie kuah," jawab Bi Imas. "Habis hujan-hujanan, laper katanya. Maklumlah, dia tuh anaknya aktif, gak bisa anteng di rumah."

Bi Imas pun membangga-banggakan putrinya, seakan aku yang tidak bisa ikut bermain ini, karena malas dan bukan sakit

Padahal itu dua perbedaan yang kontras. Meski sudah dewasa, tapi wanita paruh baya ini seakan tak mengerti.

Sungguh, ceritanya hanya membuatku cemburu. Tanpa pamit, aku naik ke teras dan duduk di kursi---mulai menyantap makanan yang dibawa Mama.

Sedangkan Mama, masih meladeni Bi Imas yang mengajak bergosip ria, sampai tibalah dia membahas topik tabu. 

"Si Galuh kemana, Ratih?" tanya Bi Imas. "Kok, akhir-akhir ini saya jarang lihat?"

Sama seperti di rumah sakit, raut wajah Mama penuh kepalsuan saat menjawab, "biasalah. Kerjaan di Pabrik Kang Afnan lagi banyak orderan."

"Oh, berarti cek up tadi pagi, Galuh gak ikut?"

"Enggak, Teh."

"Wah, hebat kamu. Bisa ngurus anak penyakitan sendirian."

Penyakitan ... seharusnya aku tidak merasa pahit, karena itu kenyataan. Tapi bagi anak sembilan tahun, tak ubahnya sembilu.

"Dede gak penyakitan, cuman enggak bisa jalan doang, kok."

Sangat menyedihkan ...

Dengan manik berkaca, dan mulut penuh makanan, aku menyangkal penghakiman dunia. Lirih suaraku bergema, seakan takut jika lebih keras, berujung duka. 

Selepas Bi Imas pergi, Mama menghampiriku. Gegas, aku memalingkan wajah dan menghapus luka itu. Bukan karena kuat, tapi takut dimarahi karena cengeng.

Aku takut ... Mama pun akan jarang di rumah seperti Bapak. Karena aku berpikir, alasan ketidakhadiran Bapak karena aku manja, sehingga dia lelah.

Aku tidak tahu, bahwa ada masalah rumit lain yang menimpa keluarga, dan itu terbongkar karenaku.

Apa aku memang salah?

***

Saat malam tiba, di temani Mama yang sedang menghitung uang sisa dari rumah sakit, aku duduk di depan televisi yang menyala.

Tapi aku tidak menontonnya, melainkan sibuk belajar untuk menghadapi ujian akhir semester genap di sekolah.

"Mah, tadi guru teteh nanyain. Katanya uang study tour harus dibayar paling lambat bulan depan."

Tiba-tiba dari arah kamar, Teh Syakira datang menagih uang iuran. Aku cukup kesal mendengarnya.

Teh Syakira egois ...

Padahal keuangan keluarga sedang carut-marut, tapi dia malah memaksa ikut rekreasi ke Taman Safari Bogor. Tapi aku menutup mulut rapat, cukup mawas diri untuk tidak berkomentar.

"Iya, Teh. Nanti kalau ada uangnya, Mama bayar," jawab Mama.

"Kapan, Mah?" Teh Syakira merengek. "Yang lain udah pada lunas, cuman teteh yang belum."

"Iya, Sabar. Kan ini juga lagi di usahain."

Mama berkata sambil menyimpan uang yang tadi dihitung ke dalam dompet dan memasukannya ke tas lusuh, yang warnanya pun pudar.

"Itu uang apa?" Teh Syakira menunjuk tas tersebut. "Pake uang itu aja, Mah."

"Jangan, ini uang buat Dede terapi Minggu depan."

Sontak jawaban itu membuat sikap Teh Syakira berubah. Mulutnya kembang-kempis dengan wajah memerah, seperti menahan amarah.

"Tuh kan, uang buat Dede ada. Kalau buat keperluan teteh aja, selalu enggak ada," rajuk Teh Syakira yang membuatku terkejut.

Apa dia menyalahkanku?

"Hust, Teh. Enggak baik ngomong gitu. Dede kan adiknya teteh, harus mau ngerti," tegur Mama, sesekali melirik ke arahku yang bungkam.

Tapi mungkin aku memang nakal, karena dengan jumawa---merasa dibela oleh Mama yang ada di pihakku---menganggap jika aku lebih disayang.

"Tahu, tuh. Padahal studi tournya kan enggak nambah nilai, Teh. Enggak ikut juga gak papa," ujarku.

"Diem, deh. Dede itu enggak tahu apa-apa sekolah aja jarang," cetusnya pedas.

"Ya, makanya Dede terapi. Biar bisa jalan kayak teteh, bisa sekolah lagi setiap hari," sahutku tak mau kalah.

"Tapi Teteh juga butuh uang, Dek!" Teh Syakira membentakku. "Bukan cuman Dede anak Bapak dan Mama. Teteh juga anak mereka. Kenapa semuanya Dede-dede terus?!"

Aku tak peka, karena mengabaikan sorot mata anak lain yang terluka. Selalu menganggap diri paling terluka, karena aku sakit, dia sehat.

Padahal hidup dengan posisi tidak dianggap pun, itu luka ... sama pedihnya seperti penyakit Komplikasi Spina Bifida. 

Tapi selayaknya anak kecil, aku tak paham. Hanya tanya yang memenuhi pikiranku, kala melihat Teh Syakira berlari masuk ke kamar kami sambil membanting pintu.

Dede itu duka untuk Teteh, kan?

***

Selepas Teh Syakira meninggalkan ruang televisi dengan emosi menggebu-gebu, Mama pergi ke luar rumah.

Mungkin menemui A Saga untuk meminta uang. Sedangkan aku masih terjebak dalam lara rasa bersalah.

Di satu sisi, aku merasa benar. Karena uang itu diperuntukkan untuk hal yang lebih bermanfaat---kesembuhanku. Tapi di sisi lain, Teh Syakira pun berhak atas uang tersebut.

Rasa tak nyaman pun membuatku kewalahan. Aku sampai nekat latihan jalan sendiri. Agar malam itu, aku langsung bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. 

"Pelan-pelan ... Dede pasti bisa."

Aku meletakkan tongkat kanan bersandar di nakas meja televisi, sedangkan yang kiri, masih menjadi penompang utama.

"Bisa-bisa ... sedikit lagi."

Aku menghentakkan kaki pelan, menumpu pijakan yang lebih kuat, lalu menyingikirkan kruk yang tersisa. Namun, kakiku bergetar, tubuhku oleng, dan ...

Bruk! 

... jatuh tersungkur ke lantai, dahiku pun terbentur.

"Ya Allah ... Dede ngapain?"

Dari arah pintu masuk, Mama tergopoh-gopoh menghampiriku, kemudian saat sudah dekat, membantuku duduk dan mengusap-usap kakiku yang lembab.

"Kamu tuh kalau main hati-hati," tegurnya. "Jangan sampe celakain diri."

Aku menunduk. "Dede bukan lagi main, Mah. Tapi lagi belajar jalan."

"Jangan gegabah atuh, Dek. Kan harus ada prosedurnya, enggak bisa sembarangan gini," nasehat Mama. "Sing sabar, ya."

Aku menengadah menatapnya sendu. "Tapi lama. Kapan Dede bisa jalan lagi, Mah? Kasian Teteh perlu uangnya, jadi enggak kekumpul karena dipake terus ke rumah sakit."

Lantas, Mama mengusap rambutku lembut. "Dede enggak perlu mikirin uang. Itu tugas Mama dan Aa."

"Bapak?" Aku menyeru. "Bapak gimana? Enggak cari uang juga buat Dede?"

Usapan di rambutku terhenti. Senyum aneh itu kembali ke permukaan saat Mama membalas, "iya, Bapak juga."

"Tapi, Mah. Kalau Dede bisa jalan, Bapak pasti pulang, kan?"

Tapi Mama abai, dia malah menyuruhku tidur karena besok sekolah. Dalam sepi, aku berdoa minta dikuatkan bukan disembuhkan.

Karena aku takut, sakit ini membuatku menjadi anak nakal.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kainga
1458      836     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3191      1172     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Bilang Pada Lou, Aku Ingin Dia Mati
1029      565     4     
Horror
Lou harus mati. Pokoknya Lou harus mati. Kalo bisa secepatnya!! Aku benci Lou Gara-gara Lou, aku dikucilkan Gara-gara Lou, aku dianggap sampah Gara-gara Lou, aku gagal Gara-gara Lou, aku depression Gara-gara Lou, aku nyaris bunuh diri Semua gara-gara Lou. Dan... Doaku cuma satu: Aku Ingin Lou mati dengan cara mengenaskan; kelindas truk, dibacok orang, terkena peluru nyasar, ketimp...
PESAN CINTA
6379      1389     33     
Romance
Bagaimana jadinya jika kita mendapat amanah dari orang yang tidak kita kenal? Itu pulalah yang terjadi pada Nasya. Dalam pejalanan pulang menuju kampung halamannya, Nasya berkenalan dengan seorang wanita. Mereka menjadi akrab. Dan wanita itu menitipkan sebuah amanah yang kenyataannya menjadi titik awal perubahan hidup serta jalan cinta Nasya.
Diary of Rana
220      184     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Andai Kita Bicara
690      522     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Ameteur
95      83     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
478      319     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Manusia Air Mata
1225      729     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
BestfriEND
44      38     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...