Garut, 2013.
"Ayo semangat, Dek. Jangan capek!"
Saat itu, aku hanya merindukan suara yang selalu menyemangatiku saat terapi di poli syaraf. Tapi itu menghilang, hanya ada Mama yang menemani dengan senyuman dan mata lelah.
Namaku Esya--- Zafira Nalesya Kirana. Keluargaku biasa memanggil 'Dede'. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Berbeda dengan kakakku yang sehat, aku terlahir membawa penyakit.
Spina Bifida... itulah namanya. Kelainan bawaan lahir langka berupa benjolan tumor ganas di tulang belakang.
"Ayo, Dek. Sekali lagi latihan. Jangan menyerah. Dede pasti bisa."
Dengan menggenggam pegangan yang kuat di sisi kanan-kiri, juga kaki yang dibalut penyangga ortotik, aku berusaha memenuhi harapan Mama.
Tapi aku lelah ....
Memangnya apa yang diharapkan dari anak sembilan tahun?! Saat anak seusianya berlari lincah, aku terpenjara tongkat kruk.
Dengan kekanakan, aku duduk bersimpuh di lantai. Tidak peduli itu dingin, tidak peduli dengan perawat dan dokter yang bertugas, aku tetap merengek.
“Tapi Dede capek, Mah. Udahan aja ya?”
Aku memelas, berharap Mama luluh. Tapi wanita berusia 42 tahun itu malah berjongkok sejajar denganku. Gestur saat menasehati, memberi pengertian bahwa pengobatan ini wajib .
"Lho, katanya mau jalan lagi?!"
Mama mengingatkan tujuan utama kami datang ke RSU Kasih Mulia Garut. Yaitu mengembalikan fungsi kakiku agar syarafnya tidak lemah. Tapi aku bosan menjalani prosesnya.
"Iya," jawabku lesu, "tapi capek, Mah. Dede gak kuat."
"Capek sekarang aja, kok. Nanti kalau udah sembuh, gak capek lagi," ujarnya.
“Tapi kapan sembuhnya?” Aku merengek menahan tangis. "Kata Mama sebentar lagi, tapi ini dede mau naik ke kelas 4 juga gini-gini aja. Apa jangan-jangan Dede bakal pake tongkat selamanya?"
"Enggak, sayang." Mama mengelus puncak kepalaku dengan lembut. "Mama bakal mastiin kalau Dede pasti bisa jalan lagi. Mama janji!"
"Tapi kapan?"
"Sabar, ya."
Lalu, wanita berhijab putih itu membantuku berdiri untuk melanjutkan prosedur pengobatan yang kuanggap sebagai penyiksaan.
Tapi Mama seakan menyalahkanku dengan berkata, "makanya kalau Dede mau cepet sembuh, terapinya harus giat. Jangan males kayak gini."
Ingin aku menjelaskannya, aku tidak malas. Aku hanya perlu rehat dari bau rumah sakit. Dari obat yang diminum tiga kali sehari. Dari pengobatan menyesakkan ini.
Aku ingin lepas sehari saja...
Tapi aku tidak bisa. Aku tidak boleh manja, karena aku harus menjadi anak yang baik, seperti yang mereka harapkan.
Jadi, aku hanya bisa memastikan satu hal:
"Mama gak bohong kan?"
"Enggak, Sayang."
Dan seharusnya aku tidak percaya. Karena di masa depan kruk itu justru berganti roda .
Kenapa memberiku harapan palsu, Mah?
***
Setelah Dokter Sopian meresepkan obat vitamin syaraf , beliau mengizinkan kami pulang. Saat melewati koridor rumah sakit, aku melihat seorang anak digendong pria dewasa--mungkin ayahnya.
Aku tidak iri, karena dulu pun aku begitu. Bapak menggendongku di pundaknya, saat aku mengeluh tidak bisa memakai kruk di hari pertama.
Tapi beberapa minggu ini, keakraban itu lenyap. Merasa penasaran, aku bertanya pada Mama saat kami menunggu becak yang akan mengantar ke terminal.
"Mah, Bapak kemana? Kok gak ikut kita lagi?"
Aku pikir, Mama juga rindu Bapak, karena sorot matanya berubah hampa saat menjawab, “Bapak sibuk, Dek.”
"Sibuk apa?"
"Ya, sibuk kerja di pabrik kayu."
“Tapi biasanya masih sempet nemenin ke rumah sakit kok.”
Aku bodoh--tak peka, padahal sikapnya jelas menunjukkan kegelisahan, tapi dengan cerewet, aku terus menuntut jawaban.
"Tapi kenapa sekarang gak bisa, Mah? Apa Bapak gak sayang Dede lagi? Karena suka nangis pas di terapi, ya?" desakku. “Dede nakal ya, Mah?”
“Enggak, Dek. Dede anak baik.” Mama mengusap sudut mataku yang berembun.
Sesak, Mah ...
"...Bapak juga sayang sama Dede. Tapi kerjaannya lagi banyak aja. Bapak bilang mau jualin tanah H.Isman biar dapat persenan."
“Karena itu Bapak jarang pulang ke rumah?”
"Iya."
"Tapi Bapak bilang----"
"Mang Becak!" Mama berteriak memanggil tukang becak, lalu membantuku berdiri--mengambil tongkat dan memposisikan keduanya agar dijepit di ketiak.
“Ayo, Dek. Kita pulang,” ajak Mama.
Andai tidak ada gangguan, mungkin aku bisa menemukan makna itu lebih awal.
Karena masih anak-anak, fokusku pun mudah teralihkan, apalagi saat tiba di terminal, mobil elf yang akan kutumpangi sudah penuh penumpang, hanya tersisa kursi di bagian belakang.
Dengan bertumpu pada lutut, aku menggeser tubuhku melewati penumpang lain, sedangkan tongkatku di pegangi Mama. Tapi...
"Ma, kaki Dede kejepit."
... hidup sebagai penyandang disabilitas itu sulit.
Gegas, Mama menarik kaki kiriku pelan, tapi sandalnya malah terlepas. Sangat merepotkan.
"Gak papa, Dek. Nanti sampe rumah Mama ambil. Sekarang susah keselap-selip. Nanti penumpang lain keganggu."
"Tapi takut hilang."
"Gak bakal."
Dengan ragu, aku mengangguk dan membiarkan Mama duduk di sampingku. Angkutan umum itu pun bergerak ke Kampung Ciherang Kaler --rumahku.
Selama perjalanan, aku mencoba membuka topik tentang Bapak, tapi Mama selalu mengalihkan pembicaraan, terkadang pura-pura tidur.
Sesekali, aku memergokinya melamun menatap ke luar jendela. Mungkin menikmati semilir angin yang meniup lembut wajahnya.
Tapi raut wajah itu tetap sama. Penuh kesedihan...
Aku ingin menghibur Mama, tapi tidak tahu apa yang salah. Aku berpikir, itu karena kejenuhan berobat ke rumah sakit.
Mama pasti capek nganter Dede berobat, tapi gak sembuh-sembuh.
Pada akhirnya aku memendam perasaan kalut itu sendirian.
***
Saat tiba di rumah, kakak pertamaku--Saga Rizkya Pratama. Kami biasa memanggil 'A Saga'.
Saat melihat mobil elf berhenti di depan warung, A Saga membantuku turun, terkadang langsung digendong ke rumah kami agar aku dapat rehat.
“Gimana hasil periksanya, Dek?” tanya A Saga.
Pria berusia 22 tahun yang sedang menempuh pendidikan di STIE Mitra Bakti Garut itu bertanya kepada aku yang ada digendongannya.
Mama sendiri mengikuti di belakang sambil membawa kruk besi, berkas rumah sakit dan jajanan yang dibeli di alun-alun depan rumah sakit.
"Kata Dokter Sopian, Dede masih belum boleh lepas tongkat," jawabku.
"Berarti kakinya belum kuat ya?!"
"Iya."
A Saga tidak bertanya lagi, selepas mendudukkanku di amben warung, dia kembali melayani pembeli bersama Teh Syakira.
Kakak keduaku-- Syakira Nindya Maharani. Remaja berusia 15 tahun yang sedang menempuh pendidikan akhir di SMPN 1 Citra Raya Garut.
Kami berasal dari keluarga sederhana, dengan Bapak-- Galuh Maulana . Yang bekerja sebagai buruh serabutan.
Sedangkan Mama-- Ratih Anggraeni. Ibu rumah tangga yang mengelola warung kelontong bersama A Saga.
Secara keseluruhan, kami hidup damai. Meski ekonomi terhimpit, tapi tidak sampai kelaparan, kami pun memiliki rumah sepetak di atas tanah sendiri.
Jika saja penyakitku tidak kambuh, stigma itu tidak akan berubah. Padahal aku sudah sembuh selepas Operasi Spina Bifida di usia empat tahun.
Tapi saat usia delapan tahun, kakiku tiba-tiba lemas, tidak bisa bergerak. Aku mengira itu akibat kelelahan di sekolah, tapi saat periksa ke Puskemas malah dirujuk ke Poli Syaraf.
Sampai sekarang ....
Terapi itu belum berhasil, aku masih harus menggunakan kruk sebagai penompang hidup.