Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah Tanpa Dede
MENU
About Us  

Setiap aku bertanya tentang ketidakhadiran Bapak, Mama akan selalu menjawab, bahwa itu karena kesibukan kerja---mencari uang banyak untuk biaya pengobatanku.

Tapi berapa lama waktu yang dibutuhkan? Sampai sudah hampir seminggu, aku tidak melihatnya.

Saat dilanda rindu, aku hanya bisa menatap foto Bapak di album usang. Aku melihatnya bermain kejar-kejaran bersama balita kecil yang tertawa ceria.

Saat itu, aku berpikir ... mungkinkah Bapak menjauh karena aku berubah menjadi anak yang membosankan?

Kaki lemah ini membuatku tak berdaya, tak bisa lari mengejarnya seperti dulu. Tapi bukan aku yang menginginkan ini terjadi.

Dalam sunyi---sehabis pulang sekolah, aku menulis surat kerinduan untuk Bapak.

Meski tulisannya tidak rapi. Meski kotor terkena air mata, aku mencoba meluapkan sesak di dada, berharap Bapak tidak akan pergi lagi saat membaca keluh kesahku.

Aku menuliskan ...

| Bapak, kenapa jarang pulang? Apa Bapak marah sama Dede karena suka nangis pas di terapi?

Dede janji deh, gak nangis lagi. Asal Bapak tetap di rumah.

Dede pengen di kontrol ke rumah sakitnya bareng Bapak lagi, gak mau sama Mama doang. Mama juga kayaknya kangen sama Bapak, soalnya sering ngelamun.

Kalau Bapak baca surat ini, jangan pergi lagi ya, Pak. Dede Sayang Bapak. |

Setelah selesai menulis, aku bangkit berdiri untuk pergi ke kamar satu---kamar Bapak dan Mama. Tapi baru akan membuka handle pintu sebuah suara mengagetkan. 

"Mau ngapain masuk ke kamar Mama?"

Gegas, aku menurunkan tangan yang memegangi surat tadi, dan  menyembunyikannya di belakang tubuh, lalu menatap si penegur.

"Enggak ngapa-ngapain, Teh. Dede cuma mau ngambil jepitan kuku. Soalnya kuku Dede udah panjang."

Bukan tanpa alasan aku berbohong, tapi aku malu, takut disangka anak manja karena merindukan Bapak.

Apalagi teman sekolahku pun sering mengejek 'Anak Mami' hanya karena aku sering mengadu pada Mama. 

Tapi mungkin gerak-gerikku meragukan, karena Teh Syakira menuding. "Itu apa yang Dede sembunyiin?"

Aku mengelak mundur. "Enggak ada."

"Jangan boong! Itu di balik baju Dede."

Teh Syakira mencoba merebut benda di tanganku, tapi aku tidak pasrah. Dengan susah payah---karena memegang kruk, aku menepis tangannya.

"Teteh ngapain, sih? Udah Dede bilang enggak ada apa-apa. Kan sakit, jangan ditarik-tarik tangannya," protesku.

"Ya kalau gitu tunjukin, dong! Ngapain pake disembunyiin segala," cetusnya. "Jangan-jangan Dede habis ngambil uang Mama, ya?"

Aku melotot. Hatiku sesak oleh tuduhan itu, tega sekali dia berpikir buruk tentang adiknya sendiri. Aku mungkin nakal, tapi bukan jahat.

"Enak aja. Kata Bu Guru gak boleh ngambil uang orang tua tanpa izin, nanti masuk Neraka," ujarku.

"Sama, bohong juga gak boleh, Dek." Teh Syakira menasehatiku, lalu meminta suratnya. "Jadi sini kasih ke Teteh."

Keinginan menjadi anak baik, selalu membuatku lemah. Dengan patuh, aku memberikan apa yang diminta. Teh Syakira pun membacanya dalam diam, sesekali melirik padaku melalui ujung mata.

“Ngapain sih, Dek? Udah gede juga pengen main sama Bapak mulu. Enggak malu?" ketusnya yang terasa menyentil ulu hati.

"Ya, kan Dede cuman pengen Bapak pulang aja, Teh. Biar kita bisa sama-sama lagi kayak dulu," lirihku. 

"Enggak bisalah. Orang Bapak jarang di rumah juga karena Dede."

"Karena Dede?" ulangku. "Tapi Dede enggak pernah nyuruh Bapak pergi."

"Emang enggak, tapi biaya pengobatan kamu itu mahal. Uang dari mana kita? Kalau enggak Bapak yang nyari."

Aku terbungkam oleh fakta terang, tapi gelap bagiku.

"Jadi mending Dede cepet sembuh, deh. Biar uang keluarga kita kekumpul, enggak habis terus buat terapi."

Aku ingin sekali menjawab, bahwa aku pun menginginkannya. Ingin cepat sembuh. Ingin bisa berjalan lagi. Tapi itu bukan ranahku.

Aku tidak memiliki kuasa ... 

Aku tidak bisa mengaturnya sesuka hati. Hanya sekadar berusaha, meski dalam prosesnya, aku pun muak.

Tapi yang tidak mengalami, tak akan mengerti. Mereka hanya bisa menghakimi, tanpa peduli. Apakah mentalku kuat atau mati?! 

Setelahnya, Teh Syakira pergi keluar rumah---mungkin membantu A Saga dan Mama di warung. Dia pergi sambil membawa suratku. Suara hati yang tak sampai. 

Apa benar ini karena Dede, Pak?

***

Sore itu---saat libur sekolah, aku melihat ada tamu duduk di teras rumah mengobrol bersama Mama. Beliau adalah Bu Afnah, istrinya Bapak Kepala Desa.

Dengan bersandar pada sekat dinding yang memisahkan teras dan ruang keluarga, aku mengamati gestur tubuh Mama yang gelisah. Wajahnya kaku, bibir bawah di digigiti, seakan gugup.

“Jadi gimana ini solusinya, Teh Ratih? Kapan mau bayar hutang? Dari kemarin-kemarin bilangnya besok terus, tapi setiap ditagih enggak ada mulu," omel Bu Afnah.

Aku sedih karena Mama dimarahi. Tapi Mama tetap bersikap ramah. Matanya mungkin merah, seperti terselimut duka. Tapi senyum di wajah tak luntur.

"Iya, Bu. Nanti suami saya pulang, langsung dilunasi," jawab Mama.

"Bener ya saya tunggu. Jangan ada alasan lagi. Soalnya saya butuh buat bayar arisan," katanya.

"Iya, Bu. Insya Allah."

"Bagus. Jangan sampe saya nyesal ngasih hutang ke keluarga Teh Ratih."

Suara tajam itu turut menyakiti hatiku. Tidak tega rasanya melihat Mama diperlakukan tak hormat, lebih lagi oleh yang lebih muda.

Tapi anak kecil ini bisa apa? Untuk tahu permasalahan orang dewasa saja, aku harus menguping, karena mereka enggan memberitahu.

"... Niat saya kan hanya membantu sesama tetangga, Teh. Tapi kalau melunjak gini, saya enggak terima." Bu Afnah memberi peringatan pada Mama yang tersenyum aneh.

Senyum paksa, mungkin.

"Iya, maaf sudah merepotkan, Bu. Terima kasih pinjaman uangnya."

Bu Afnah mengangguk, lalu melengos pergi meninggalkan Mama yang menghela napas, terlihat gusar.

Dalam hati, aku bertanya:

"Apa kalau Dede berhenti terapi, keluarga kita enggak bakal miskin? Tapi Dede pengen bisa jalan lagi."

Aku tidak bermaksud menyalahkan diri, tapi pemikiran itu datang saat melihat kondisi keluarga ini.

Mama murung dan sering melamun. Teh Syakira, si pemaksa yang bersikap sinis. A Saga, sibuk mengelola warung tanpa libur. Dan Bapak yang tak tahu rimbanya.

Aku sendiri ... berdiri dengan kaki gemetar, menggenggam erat pegangan tongkat kruk. Dengan hati hampa, berharap ada solusi yang membuat semuanya baik-baik saja.

Tapi doaku tak terjawab.

***

Malamnya, seperti biasa, aku menonton televisi bersama Mama yang menanyangkan siaran sinetron favorit kami. 

Saat jeda iklan tiba, sambil mengelus rambutku yang tidur di pangkuannya, Mama membuka topik pembicaraan mengenai hal yang selalu kuhindari.

"Dek, besok bangun pagi, ya. Kan ada jadwal terapi," titah Mama.

Aku mendongak menatapnya. Meski diterjang badai masalah, tapi semangat untuk menjemput kesembuhan tak kunjung pudar.

“Kalau terapinya libur dulu gimana, Mah?" tanyaku.

Sontak, Mama menarik tubuhku untuk bangun, hingga kini duduk sejajar saling berhadapan. Sorot itu ... terlihat kecewa.

Namun, aku kecil menganggapnya kemarahan. Terlebih saat Mama membalas, "Dede nakal lagi. Mau males-malesan terapinya, ya?"

Aku menggeleng panik. "Enggak."

"Terus kenapa enggak mau terapi?"

"Biar uangnya bisa dipake bayar studi tour teteh aja."

Mama terkekeh kecil. "Dede tuh, Mama bilang kan enggak usah di pikirin. Uang buat teteh lagi dicari sama A Saga, tenang aja."

Aku terdiam.

"Jadi enggak ada alasan buat gak terapi," kata Mama.

"Tapi Dede mau ditemenin Bapak, Mah."

Giliran Mama yang membisu. Lama sekali. Sampai akhirnya dia menjawab, "Liat besok, ya."

Tapi sampai hari itu, Bapak tak pernah datang.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kertas Remuk
110      91     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Monday vs Sunday
112      97     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Me vs Skripsi
1851      764     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Penantian Panjang Gadis Gila
272      215     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
When Flowers Learn to Smile Again
838      623     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Nuraga Kika
32      29     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
MANITO
1065      761     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
40 Hari Terakhir
564      446     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Lantunan Ayat Cinta Azra
815      535     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Happy Death Day
561      308     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...