Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Aku diajari untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Tapi tak seorang pun pernah memperingatkanku bahwa yang paling menyakitkan justru datang dari apa yang diyakini tidak ada. Tapi di rumah ini—di tanah ini—dia datang sebagai yang terbuang, dilupakan. Sesuatu yang terlalu nyata... hingga membuatku nyaris tak percaya aku masih hidup.

***

Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelah itu. Sejauh yang aku ingat, aku keluar dari ruangan itu. Sendirian. Tanpa membawa apa-apa. Aku kembali ke rumah, mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Apa yang kutemukan dalam ruangan itu tampaknya terlalu berat untuk dimengerti tubuhku.

Di kamar yang kutempati di rumah pakde Raka, aku berbaring.

Aku tidak sedang tidur.

Tapi dunia kembali lenyap di sekelilingku. Seperti layar ditarik perlahan dari depan wajahku. Udara berubah berat. Sunyi. Dan hangat yang tidak berasal dari api atau tubuh manusia—melainkan kenangan.

Lalu, suara itu datang. Bukan dari luar. Tapi dari kedalaman yang baru sekarang bisa kubuka.

“Kau ingin tahu siapa aku?”

“Maka lihatlah lewat mataku.”

Lalu cahaya menyala—dan aku menjadi dia.

Mari.

Perempuan yang dibawa ke negeri asing untuk tujuan yang ia tak sepenuhnya mengerti.
Disambut bukan sebagai tamu, bukan sebagai pelayan, tapi sebagai tubuh. Sebagai wadah.

Aku melihat lewat matanya: malam-malam di ruang steril yang bau antiseptiknya menusuk dada. Dokter-dokter berbicara seolah aku tak ada. Kertas kontrak dibacakan dengan bahasa asing yang sudah dipelintir.

“Anak ini akan jadi harapan,” kata mereka.
Tapi tak seorang pun bertanya apakah aku berharap.

***

Namaku bukan Mari, sebetulnya. Tapi hanya itu nama yang mereka izinkan dipakai di dokumen. Aku lahir dengan nama panjang yang diwarisi dari ibuku, dan ibu dari ibuku—perempuan penjaga angin dan air dari tepi pantai Somalia, tempat rumah kami dulu berdiri menghadap samudra.

Tapi ketika rumah itu dibakar, dan orang-orangku menghilang satu per satu, yang tersisa hanyalah tubuh ini.

Dan tubuh ini... dijual.

Bukan di pasar kotor. Tapi dalam ruangan berpendingin, di antara anggur putih, jubah sutra, dan mata-mata yang menilai seperti memilih perabot antik. Pelelangan manusia kelas elit. Hanya untuk yang tahu apa yang mereka cari: darah bersih. Gen langka. Materi biologis eksklusif.

Di sinilah aku berdiri, di bawah langit asing. Angin berembus dari padang kering yang jauh dari rumah, jauh dari laut tempat keluarga kami biasa membaca bintang dan menulis doa di atas pasir.

Kawasan itu bernama Seringe, salah satu dari sedikit tempat yang tidak ada di peta resmi, tapi dikenal di kalangan orang-orang berduit sebagai arena yang lebih tenang dan “terkontrol” dibandingkan pelelangan gelap.

"Dia tenang...
Kulitnya bersih. Tingginya proporsional. Mata... eksotis."

"Cocok untuk proyek penyelamatan garis Eropa."

Mereka bicara seolah aku tidak di sana.

“Dia adalah yang keempat,” salah satu dari mereka berbisik.
“Yang sebelumnya gagal.”
“Tapi dia berbeda. Lihat matanya... Dia tidak tunduk saat dijemput.”

Mereka menyukai itu. Keberanianku dianggap sebagai tanda—bahwa tubuh ini siap membawa “masa depan”.

"Dia akan dibawa. Ke lokasi cadangan. Brandon yang urus. Salah satu investor paling setia kita."Bagian Bawah Formulir

Aku dibawa ke tempat yang tak kukenal. Dinginnya seperti ruang tanpa jendela. Di sanalah aku bertemu dia. Seorang pria yang terlalu halus, terlalu rapi. Bibirnya selalu tersenyum kecil, tapi tangannya tak pernah gemetar saat menunjuk perintah.

“Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Tapi tubuhmu akan berarti banyak.”

Brandon Van Der Maes.

Aku hanya melihatnya sekilas di pelelangan. Ia tidak bicara banyak, hanya menandatangani dokumen. Tapi sejak hari itu, hidupku bukan milikku lagi. Aku dibawa jauh dari tanah tempat namaku lahir, dan diturunkan di desa kecil bernama Cisarua, Indonesia.

Di situlah tubuhku diprogram untuk jadi kandungan.
Bukan ibu.
Bukan istri.
Tapi perangkat biologis.

Dia tidak menyentuhku secara kasar. Tidak. Ia terlalu pintar untuk itu. Yang menyentuhku adalah protokol. Suntikan. Persetujuan yang tak pernah kumengerti. Lalu, pada akhirnya: kehidupan di dalam rahimku.

Mereka menanam benih, lalu menyebutnya mukjizat.

Dan aku diasingkan.

***

Rumah itu terletak di ujung desa, dikelilingi hutan pinus dan ladang kopi yang dibiarkan tumbuh liar. Tidak ada yang menyapaku di minggu pertama. Warga hanya lewat, mengangguk singkat atau pura-pura tak melihat. Bagiku, itu lebih baik daripada tatapan jijik yang kuterima saat perutku mulai membesar.

Satu-satunya yang mau bicara padaku adalah Raka.

Mahasiswa KKN dari universitas negeri. Bahasa Inggrisnya fasih—canggung tapi hangat. Ia memperkenalkan diri saat datang membawa alat tensimeter dan timbangan.

“Saya Raka. Mahasiswa medis. Boleh saya periksa tekanan darahmu?”

Aku tak menolak. Untuk pertama kalinya, ada suara manusia yang tidak mengandung perintah.

Kami mulai sering bicara. Tentang langit, tentang buku. Kadang ia membawa buah tangan kecil—roti singkong, atau buku lusuh yang ia temukan di perpustakaan desa.

“Kenapa kamu selalu sendirian?” tanyanya suatu sore.
“Karena mereka percaya aku tidak layak duduk di tempat yang sama,” jawabku pelan.

Raka tidak pernah menanya terlalu jauh. Tapi aku tahu, ia mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan. Mungkin ia tahu kehamilanku tidak biasa. Tapi ia tidak menanyakan siapa ayahnya. Mungkin karena ia tahu... jawabannya hanya akan membuat luka.

Anak itu tumbuh dalam tubuhku—lima bulan, tujuh bulan, sembilan bulan. Ia bergerak setiap malam. Ia selalu merespons saat aku menyanyikan nada-nada dari tanah kelahiranku. Seolah ia tahu, nadanya berasal dari darah yang sama. Ia juga sering menendang pelan seolah mengingatkanku: “Aku nyata, aku hidup.”

Anak itu lahir di malam badai.

Tidak di rumah sakit. Tidak dengan fasilitas medis lengkap. Tapi di ruang gelap dengan lampu minyak dan seprai yang dibakar setelahnya. Aku sempat menyentuh dahi anakku, menyusuinya sekali. Ia hangat. Matanya belum membuka.

“Namanya…” aku hendak berbisik, tapi seseorang menarik tubuhku menjauh.

Aku pingsan.

Dan saat sadar, anak itu tidak ada lagi.

Dan pada malam kelahiran itu, aku hanya sempat menyusuinya sekali. Hanya sekali.

“Kami akan rawat dia baik-baik.”
“Kau sudah melakukan bagianmu.”

Mereka memisahkan kami. Karena perjanjian. Karena katanya dia akan disimpan. Untuk menyelamatkan Daniel, anak utama yang lahir cacat. Daniel lahir lebih dulu, tapi tubuhnya lemah. Mereka panik. Mereka buat cadangan.
Aku. Adalah pabriknya.

Beberapa minggu kemudian, aku melihat anakku lagi.

Bukan dalam pelukan, tapi di balik kaca, dalam kunjungan yang dijadwalkan seperti tahanan. Ia sudah punya label: #04.

“Dia hanya akan dipanggil kalau Daniel butuh sesuatu,” bisik salah satu perawat.
“Tapi selama ini... Daniel makin kuat. Mungkin cadangan ini tidak akan dibutuhkan.”

Bagiku, itu harapan. Tapi juga ironi. Anakku akan hidup—tapi tanpa nama, tanpa hak.

***

Hari-hari selanjutnya setelah aku dipisahkan dari anakku, aku diberi kamar kecil di rumah utama di atas bukit. Mereka menyuruhku merawat anak itu—anak utama. Daniel. Setiap kali dia datang ke desa ini untuk liburan.

Anak itu lemah. Badannya rapuh. Tapi dia dipaksa untuk terus belajar. Dan setiap kali aku menyentuh tubuhnya… aku merasakan sesuatu yang familier.

Darah yang sama. Denyut yang pernah tumbuh di dalamku. Karena tubuh Daniel… menyimpan bagian dari anakku.

Mereka bilang aku pelayan. Tapi hatiku tahu lebih dari itu. Aku bukan sekadar pengasuh. Aku ibu bagi dua anak—satu yang mereka puja, satu yang mereka sembunyikan.

Cinta itu terdistorsi. Tapi nyata. Aku menyayangi Daniel… bukan karena dia pewaris mereka. Tapi karena tanpa ia sadari, ia membawa jejak saudara kandung yang tidak pernah bisa ia kenali.

Tapi aku juga tahu… kelak wajahnya akan digantung di dinding-dinding rumah besar ini. Dielu-elukan. Difoto. Diabadikan. Sementara anakku sendiri tidak akan punya potret. Tidak akan punya nama.

Maka aku menyelipkan sesuatu.

Di balik kanvas lukisan besar Daniel—yang tergantung di ruang utama rumah itu, kutempel kertas kecil. Hanya satu kalimat:

“Kau lihat? Di balik wajah yang mereka banggakan... tersembunyi anak yang tak pernah mereka akui. Wajah ini hanya bayangan dari yang mereka sembunyikan.”

Mereka tak pernah tahu. Tapi aku tahu. Aku, yang mencintai keduanya, bahkan saat mereka ditakdirkan untuk tidak pernah berdiri di tempat yang sama.

***

Aku tahu waktu untukku tidak lama.

Tubuhku mulai melemah. Luka dalam tubuh ini bukan dari jahitan, tapi dari kehampaan. Jadi aku menulis.

Kutulis semua dalam lembar-lembar surat rahasia. Lagu. Nama yang tidak pernah sempat kuberikan. Aku simpan surat terakhirku di tempat kecil yang dulu pernah kubangun dengan satu-satunya teman.

Kalung giok itu—kuselipkan dalam kotak kecil. Ukirannya unik. Warnanya sama dengan mata anakku. Itu warisan. Itu penanda. Bukan milikku, tapi miliknya.

Suatu hari, jika ada yang bersedia melihatnya, mereka akan tahu ke mana mencari dia.

Aku tidak mati sebagai ibu.
Aku mati sebagai subjek.

Dan sampai akhir, aku tetap berharap: akan ada yang menyebut namanya untuk pertama kalinya. Sebagai manusia.

Bukan angka.
Bukan objek.
Bukan bayangan.

Tapi anak.

Anakku.

"Kalau kau mendengarku sekarang... itu artinya janjiku tidak hilang.”

***

Aku membuka mataku. Kembali dari perjalanan panjang menembus kenangan.

Tanganku gemetar. Di dadaku, kalung giok itu berdenyut hangat—seperti sedang bernapas bersamaku.

Di tengah dokumen yang kubaca di ruang rahasia itu, di antara kertas-kertas yang sudah menguning dan tulisan tangan yang bergemetar, terselip sebuah surat. Tidak berjudul. Tidak bertanggal. Tidak bertanda nama.

Tapi ditulis dengan ketulusan yang membuat jantungku mengecil saat membacanya.

"Aku menulis ini karena aku pernah melihatnya—anak itu. Yang kamu cari. Yang semua orang pura-pura tidak tahu namanya."

"Dia tidak ingin ditemukan... kecuali kau benar-benar ingin membawanya ke dunia yang mengakuinya sebagai manusia."

"Kalau kamu hanya ingin mengungkapkan rahasia... lebih baik jangan cari dia. Tapi kalau kamu ingin memberikan tempat—memberi nama—maka mungkin... kau adalah yang terakhir yang bisa membawanya pulang."

Tanganku gemetar saat surat itu selesai kubaca.

Air mata jatuh begitu saja—bukan karena sedih. Tapi karena akhirnya... aku tahu.

Tugas ini bukan untuk menjelaskan segalanya.
Tugas ini bukan untuk membuktikan sejarah.

Tugas ini... adalah memberi nama.
Sesuatu yang belum pernah dia punya. Sesuatu yang membuatnya nyata.

Dan tiba-tiba, aku tahu apa yang harus kulakukan.

Aku—Rembulan—tidak dituntun ke sini untuk membongkar semua dosa masa lalu.
Tapi untuk menjemput satu jiwa.
Yang terlalu lama ditinggalkan di lorong rahasia sejarah.

Wanita itu—Mari. Hanya ingin anaknya dipanggil dengan nama, diakui sebagai manusia.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Halo Benalu
689      331     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Konfigurasi Hati
422      296     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
No Life, No Love
893      733     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Sebab Pria Tidak Berduka
101      87     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
62      54     1     
True Story
Temu Yang Di Tunggu (up)
19251      4016     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Surat yang Tak Kunjung Usai
600      410     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
To the Bone S2
348      244     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
Return my time
305      260     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
590      279     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...