Pagi itu, rumah Pakde Raka mulai bergerak pelan dari keheningan. Ibu belum pulang dari rumah sakit, dan aku sedang duduk di meja makan ketika Ayah datang—menggendong ransel kecil dan dua kotak bekal.
"Ayah pulang sebentar buat jemput anak-anak," katanya sambil menaruh tas di kursi. "Mau antar mereka ke rumah sakit. Ibumu butuh bantu jaga."
Aku mengangguk pelan. Anak-anak Pakde sudah rapi di sofa ruang tamu, siap berangkat.
Ayah menatapku sebelum melangkah pergi. “Kamu sendiri hari ini?”
“Aku mau ketemu Ibu Rita nanti sore,” jawabku. “Mau balik ke rumah tua itu, Yah.”
Ayah berhenti sejenak. Pandangannya berubah.
“Rumah di bukit?”
Aku mengangguk. “Ada sesuatu yang harus aku cari.”
Beberapa detik ia hanya diam. Tapi aku tahu yang dipikirkannya.
“Ayah ingat kamu sempat pingsan waktu ke sana dulu,” katanya akhirnya. “Kamu yakin mau ke sana sendirian?”
Aku ragu menjawab. Tapi kemudian aku mengangguk lagi. Pelan. “Tapi aku nggak apa-apa. Sekarang aku tahu yang harus kulakukan.”
Ayah tak langsung bicara. Ia menarik napas panjang. Lalu—dengan suara yang lebih tenang, ia berkata:
“Kalau begitu, nanti sore Ayah balik lagi. Temani kamu ke sana.”
Aku ingin menolak. Tapi sebenarnya... aku lega.
“Terima kasih, Yah.”
“Selama kamu tahu kenapa kamu harus ke sana,” katanya, “Ayah akan di sampingmu.”
Itu sebabnya kami berdiri sekarang—di depan rumah yang tak pernah selesai menceritakan kisahnya.
Aku, Ayah, dan Ibu Rita.
Dan di dadaku, kalung giok itu kembali berdenyut.
***
Rumah itu lebih sunyi dari yang kuingat. Udara di dalamnya seolah tertahan, seperti napas panjang yang enggan dilepas. Langkah kakiku menggema di lorong-lorong kayu yang sudah mulai rapuh. Ayah berjalan di belakangku, membawa senter dan kotak peralatan kecil. Ibu Rita menuntun kami sampai ke ruang depan, lalu menyerahkan satu ikat kunci tua.
"Sebagian bisa dibuka dengan ini," katanya. "Tapi beberapa kamar memang sudah lama tak disentuh. Kalau kuncinya rusak, kita cari cara lain."
Aku mengangguk. Mataku menelusuri setiap ukiran, setiap retakan tembok, setiap suara samar yang seperti berasal dari masa lalu.
Hari mulai sore. Cahaya dari jendela kaca besar menyusup masuk dengan warna keemasan. Kalung giok di leherku terasa hangat.
Aku tahu... waktunya sudah tiba.
***
Kami memeriksa satu per satu.
Ruang musik di lantai bawah masih dipenuhi debu dan potongan lembaran notasi. Di dekat dinding, piano tua berdiri angkuh dalam bisu. Ketika aku menyentuh tutsnya, suara rendah terdengar—retak dan tua, tapi hidup.
Dan seketika, aku melihatnya: seorang gadis kecil duduk di bangku piano. Rambutnya dikepang dua. Ia memainkan lagu perlahan sambil sesekali menoleh ke arah pintu, seolah menunggu seseorang datang menonton.
Bayangan itu memudar saat aku mengedipkan mata.
Ruang berikutnya adalah perpustakaan kecil. Ibu Rita membuka pintunya dengan susah payah. Rak-rak tinggi dipenuhi buku berbahasa Belanda, Latin, dan tulisan tangan tua. Beberapa masih utuh. Di lantai, ada mainan kayu yang sudah kehilangan catnya.
Aku melihat diriku sendiri melangkah ke sana. Tapi bukan sebagai Rembulan.
Aku seperti menjadi ruang itu. Menyimpan. Menyaksikan.
***
Ayah berhasil membuka salah satu kamar di lorong timur yang terkunci—kuncinya patah, jadi ia harus mencungkilnya perlahan.
Begitu pintu terbuka, aroma kayu tua dan lemari berlapis kamper menyambut kami. Dindingnya dihias panel kayu setinggi pinggang, dan di atas meja, ada setumpuk buku-buku tulis. Kamar ini... terasa lebih hidup dari yang lain.
Aku melangkah masuk.
Dan dunia berubah.
Aku melihat seorang anak laki-laki—rambutnya tersisir rapi, matanya tajam tapi dalam. Ia duduk di meja belajar, membalik halaman demi halaman buku dengan fokus luar biasa. Sesekali ia berdiri, menoleh ke jendela. Dari sanalah ia melihat anak-anak lain bermain di halaman—tertawa, berlarian.
Tapi ia tidak bergabung.
Ia hanya mengamati, lalu kembali duduk.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita datang—membawa nampan berisi susu dan biskuit.
Wanita itu... Mari.
Aku mengenali garis wajahnya, gaun biru tuanya, dan cara ia menunduk pelan saat menyajikan nampan.
Anak itu memandangnya dengan mata berbinar.
"Terima kasih, Ibu," katanya riang.
Tapi wanita itu hanya tersenyum, lalu menjawab dengan lembut, "Jangan panggil saya Ibu, tuan muda."
Hatiku terhentak. Itu Daniel. Mungkin usia 13. Dan tatapan mata itu... menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kerinduan.
***
Kami pindah ke kamar berikutnya—letaknya tepat di sebelah.
Ini adalah kamar terakhir.
Pintu kayunya reyot. Ibu Rita sudah mencoba membukanya tadi, tapi gagal. Kali ini, Ayah mencungkilnya dari sisi engsel. Butuh waktu lima menit, tapi akhirnya pintu itu terbuka perlahan, mengerang seperti perut yang menahan rahasia.
Ruangan itu gelap dan kosong.
Debu menebal di setiap sudut. Laba-laba membuat rumahnya di pojok langit-langit, dan jaring mereka menari di udara yang nyaris beku.
Tapi yang paling aneh adalah... rasa hampa.
Tak ada furnitur. Tak ada lukisan. Hanya satu pintu kaca di ujung ruangan, pecah sebagian, dibiarkan terbuka ke arah luar.
Aku mendekat perlahan.
Balkon kecil menyambutku. Tidak beratap. Hanya pagar besi rendah yang membatasi lantainya dari jurang kebun belakang yang dalam dan rimbun. Angin sore masuk dari celah itu, membawa suara-suara yang tak bisa kudefinisikan.
Aku berdiri di sana. Lama. Mencoba merasakan apakah ini tempatnya.
Tapi hatiku berkata belum.
Aku kembali masuk, dan saat keluar kamar—di dinding luar, aku melihatnya.
Sebuah lukisan abstrak. Warnanya pudar, goresannya tidak berbentuk. Seperti coretan emosi yang gagal diterjemahkan.
Tapi ketika cahaya senja mulai memudar, lukisan itu berubah.
Goresannya... mulai bercahaya.
Samar. Tapi nyata.
Dan perlahan, siluet bunga flamboyan muncul dari dalamnya.
Aku mendekat. Mengulurkan tangan.
Di balik lukisan itu—tersamar rapi oleh bingkai kayu dan panel dinding tua—ada lubang kunci.
***
Tanganku gemetar saat menyentuh liontin di leher. Kalung giok itu ikut bergetar pelan, seolah ikut mengenali tempat ini. Aku membuka saku jaketku. Kunci besi hitam itu... berat. Dingin. Tapi juga hangat. Seperti sesuatu yang sudah lama menunggu dipegang.
Di belakangku, Ayah dan Ibu Rita masih menunggu di lorong. Mereka percaya aku hanya mengenang masa lalu. Mereka tidak tahu—tidak boleh tahu—bahwa di balik lukisan ini mungkin tersembunyi ruang yang menyimpan jejak dunia yang bahkan sejarah pun menolaknya.
Aku menoleh sekali lagi ke arah koridor. Sunyi.
Lalu aku mendengar suara itu. Pelan. Lirih.
Suara anak laki-laki itu.
Entah menyambut. Entah memperingatkan.
Bukan jawaban, hanya pilihan.
Aku berdiri di ambang ruang gelap—pintu belum terbuka, tapi semua dalam diriku sudah tahu: jika aku maju, tidak ada jalan untuk kembali menjadi seperti dulu.
Kalau aku mundur sekarang, semua luka ini akan sia-sia.
Tanganku memutar kunci perlahan.
Dan saat klik kecil itu terdengar, aku melangkah masuk. Sendiri.
***
Langkahku bergema pelan di ruangan gelap itu. Cahaya dari lorong memudar perlahan, tertelan oleh udara dingin yang mengalir dari dalam. Debu di lantai mengepul ringan di setiap jejakku—seolah tak ada satu pun yang pernah masuk ke sini dalam waktu yang sangat lama.
Ruangan ini... bukan gudang. Bukan kamar. Tapi lebih seperti ruang simpan untuk sesuatu yang tidak ingin diingat, tapi juga tidak bisa dibuang.
Langit-langitnya rendah, dindingnya dilapisi panel kayu gelap. Aroma tanah lembap dan besi tua memenuhi udara. Tidak ada jendela. Hanya satu lampu kecil yang tergantung dari kawat panjang di langit-langit, menyala redup.
Di dinding sebelah kiri, ada lemari arsip logam berdiri sendirian. Kunci kombinasi sudah berkarat. Di atasnya, ada tulisan yang hampir terhapus: "Privat. Tidak Untuk Disimpan Ulang."
Dan di tengah ruangan, ada meja kayu tua. Di atasnya, satu kotak kayu kecil dengan ukiran flamboyan di bagian penutup. Sama seperti yang ada di kalung, di surat, di kunci.
Aku melangkah mendekat, perlahan. Jantungku berdebar seiring derit ubin di bawah kakiku. Tanganku menyentuh permukaan kotak. Dingin. Padat. Nyata.
Dan saat kubuka penutupnya, aku melihat sesuatu yang langsung membuat tenggorokanku tercekat.
Foto.
Bukan cetakan modern. Ini cetakan gelap terang di kertas buram, foto polaroid yang warnanya mulai luntur. Di dalamnya:
Seorang bayi laki-laki dengan mata tertutup dan tangan mungil yang menggenggam jari seseorang—wanita berambut hitam gelombang, mengenakan gaun putih. Mari.
Dan di belakangnya... sosok pria. Wajahnya tidak sepenuhnya jelas, tapi garis rahangnya—matanya—terasa familiar. Mungkin... Daniel dewasa? Atau... ayah Daniel?
Foto berikutnya: beberapa bayi berbaring berdampingan di inkubator. Salah satu labelnya hanya tertulis angka: “#04”.
Aku menahan napas.
Ini... bukti.
***
Di bawah tumpukan foto, ada dokumen tua—kertas karbon, tulisan mesin ketik, sebagian sudah nyaris tak terbaca. Catatan rumah sakit yang kemudian kusematkan di pangkuan. Dalam dokumen itu kutemukan kalimat lain yang merobek akal sehatku:
“Subjek cadangan lahir dalam kondisi prima. Akan disimpan sesuai prosedur.”
“Akses dibatasi. Objek tidak boleh dilampaui oleh objek utama.”
Cadangan.
Bukan nama. Bukan manusia.
Hanya subjek.
Dan wajahnya—wajah itu, begitu mirip Ethan meski masih bayi. Tapi memiliki luka yang tak terlihat di kulit. Luka yang hanya bisa diwariskan oleh mereka yang tidak mengakui keberadaanmu sebagai nyata.
Tanganku gemetar saat membaca kalimat selanjutnya:
"Ibu biologis non-resmi, klasifikasi eksternal: Mari. Status: tidak diakui."
Dan di bawahnya, tulisan tangan mencoret dua kata: “Tidak dicatat.”
Kalung giok terasa berat di dadaku. Udara di ruang rahasia ini berubah: tidak hanya pengap, tapi seperti menekan pikiranku dari dalam.
Lalu aku membuka halaman terakhir dari dokumen itu—lampiran tambahan yang sempat kulupakan.
Dan di sanalah, tertulis dua kata yang membuat tubuhku membeku:
“Teror halus.”
Disebut sebagai gejala residu psikologis yang kadang menyertai subjek cadangan yang mengalami isolasi jangka panjang.
Tapi yang kutahu, teror itu sama sekali tidak halus.
Ia kini menjadi nyata.
***
Aku menutup kotak itu dengan tangan yang bergetar. Pandanganku buram oleh air mata yang tak sempat kutahan. Di sekelilingku, udara terasa lebih padat. Ruangan ini seperti menyimpan napas terakhir seseorang yang terlupakan.
“Maaf,” bisikku, tak tahu kepada siapa.
“Maaf karena kalian harus hidup di antara bayangan dan diam.”
Dan di balik bisikanku sendiri, aku mendengar suara.
“Bukan dari luar. Dari dalam.”
Pelan. Jernih. Seperti gema dari dasar ingatan yang bukan milikku.
“Namanya bukan angka. Tapi ia belajar menjawab jika dipanggil #04.”
Air mataku jatuh.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa... aku bukan sekadar pencari. Aku adalah penyaksi.
Dan mungkin, satu-satunya yang bisa membuka pintu pulang bagi seseorang yang tak pernah diberi kesempatan hidup sepenuhnya.
Dan aku tahu...
Langkahku berikutnya bukan mencari. Tapi membawa.
Membawa namanya kembali ke dunia.