Loading...
Logo TinLit
Read Story - Solita Residen
MENU
About Us  

Hujan turun pelan-pelan sore itu, membasahi atap rumah kecil yang begitu akrab. Rumah itu masih berdiri. Meski gentengnya mulai miring, catnya mengelupas, dan rerumputan liar menguasai teras depannya, ada sesuatu yang tetap bertahan di sana—seperti tulang dalam tubuh yang terlalu lelah untuk rebah, tapi terlalu keras kepala untuk runtuh.

Aku berdiri di ambangnya.
Daun pintunya sudah keropos, angin sore menyusup lewat celah jendela seperti bisikan yang pernah kukenal. Bau kayunya—lembap, tua, dan tanah basah—mengaduk sesuatu dalam dadaku yang tak bisa kusentuh dengan kata-kata.

Ini rumah lamaku.
Rumah yang kutinggali sebelum kami pindah ke Temanggung untuk merawat Nenek yang sakit. Waktu kecil, aku kira rumah ini hanya singgahanku sementara. Tapi kini aku mengerti... rumah ini menyimpan jejak lebih dari yang bisa dilihat.
Ia adalah saksi dua kelahiran.
Milikku.
Dan—dia.
Anak itu.

Mungkin itu sebabnya segalanya terasa begitu dekat.
Kenapa aku melihatnya dalam mimpi.
Kenapa tiap kali namanya—yang bahkan belum sempat dipanggil—terhembus di udara, dadaku terasa nyeri.
Kami lahir dari tanah yang sama. Dari atap yang sama.
Dan hari ini... aku kembali, bukan hanya sebagai Rembulan. Tapi sebagai seseorang yang ingin mengingatkan dunia bahwa dia ada.

Langkahku pelan saat memasuki rumah itu.
Lantai kayunya masih berderit, tapi rumah ini tidak menolakku.
Ia diam. Ia menyambutku seperti seorang tua yang mengenali cucunya yang lama hilang.

Dindingnya masih penuh jejak masa kecilku—coretan dengan spidol merah, gambar makhluk-makhluk tak kasat mata yang dulu hanya muncul saat aku demam atau terlalu lama menyendiri.
Aku ingat ibu memarahiku karena menggambar sembarangan.

“Bulan, jangan gambar yang serem-serem begitu. Orang bisa salah sangka!”

Tapi aku tetap menggambar. Karena aku tahu mereka nyata. Setidaknya, dulu aku yakin. Dan karena takut gambarku digunting dan dibuang, aku menyembunyikan sebagian di tempat yang Ibu tak pernah sentuh—di antara sela bambu yang menyangga genteng di bagian belakang.

Entah kenapa, hari ini aku ingat tempat itu.
Bukan karena ingin melihat gambarku lagi. Tapi karena... mungkin rumah ini sedang menunjukkan arah.
Atau... mungkin karena sesuatu sedang menunggu untuk ditemukan.

Aku mendekat ke bagian atap yang lebih rendah, berdiri di atas kursi tua, dan menyelipkan tangan ke celah sempit antara bambu dan rangka atap yang mulai lapuk.

Dan di sana—terselip di balik debu, dalam lipatan waktu—aku menemukannya.
Bukan gambarku.

Tapi selembar kertas tua, menguning, dilipat rapi.
Tulisannya hampir pudar.

Tanganku gemetar saat membukanya.
bahkan sebelum mataku selesai membaca... hatiku sudah tahu:
Surat ini ditulis bukan untuk siapa-siapa.

Tapi untuk siapa pun yang akhirnya datang.
Dan hari ini, aku datang.

***

Surat itu ditulis tangan, dengan tinta yang mulai luntur. Di ujungnya tertulis nama: Mak Midah.

"Saya tulis ini karena kasihan. Dia menangis waktu anak itu lahir. Tapi bukan tangisan senang—karena takut anak ini bakal diambil.

Anak itu lahir jam dua pagi. Hujan besar. Ibunya pegang tangan saya erat. Dia bilang, anak ini satu-satunya yang hidup.

Dia bilang namanya 'Ditrik Eden Solita'. Saya tulis apa yang saya dengar. Mungkin salah. Tapi dia bisik itu sambil cium dahi anaknya.

Saya nggak bisa tulis nama ibunya. Namanya susah, asing. Tapi dia cantik, kulitnya gelap seperti kopi, matanya kaya orang yang pernah tenggelam tapi masih hidup. Dia bilang dia dulu putri, tapi bukan lagi.

Saya tahu ini anak bukan anak biasa. Bapak-bapak yang datang bawa banyak uang. Dan ibunya peluk anak itu seperti dunia tinggal satu. Saya lihat itu. Jadi saya tulis ini. Biar anaknya nanti tahu, ibunya sayang, walau nggak bisa simpan dia.

Dia bilang, dia nggak bisa kasih apa-apa ke anaknya kecuali nama. ‘Kalau dia tumbuh nanti, dan lihat langit, bilang dia punya nama, dan ibunya pernah sayang’. Itu katanya."

Namanya Ditrik Eden Solita. Itu yang dia bisikkan waktu saya bungkus bayi itu pakai kain putih.”

(Mak Midah, kampung tua di bawah Cisarua, tahun 1981)

Isi surat itu seperti nyanyian dari masa yang terlupakan. Tentang seorang ibu yang hanya sempat menyentuh bayinya sekali. Tentang bayi itu, yang diberi nama di tengah badai malam.
Ditrik Eden Solita.

Nama yang diucapkan seperti doa terakhir.
Nama yang tak pernah dicatat.
Nama yang dunia tolak untuk percaya.

Tanganku menggenggam surat itu erat-erat.
Aku harus tahu lebih banyak.
Aku harus tahu siapa Mak Midah.

***

Dengan surat di tangan, aku menuruni kampung tua di bawah bukit, menembus kabut dan rintik hujan. Kutanya satu per satu tetua desa, sampai akhirnya seseorang berkata:

“Mak Midah masih hidup. Tapi sudah sepuh. Tinggal sendirian di ujung jalan, dekat surau lama.”

Dan di sanalah aku menemukannya.
Seorang wanita tua berkerudung duduk di kursi kayu, kulit wajahnya keriput tapi matanya masih menyimpan cahaya tajam—cahaya orang yang telah melihat terlalu banyak, tapi memilih menyimpannya sendiri.

“Aku Mak Midah, dukun beranak di kampung ini” katanya saat aku memperkenalkan diri.
Suaranya serak, tapi jelas.
“Aku yang menolong persalinan wanita itu.”

Mak Midah menarik napas panjang, memulai kisah yang masih terukir di jiwanya. Kisah yang ia ceritakan... bukan sekadar kisah. Itu luka. Itu warisan.
Tentang malam hujan besar. Tentang rumah sunyi di pinggir hutan.
Tentang perempuan asing berkulit legam, berperut besar, dengan mata seperti orang yang pernah tenggelam tapi tetap hidup.

"Malam itu, hujan turun deras. Seorang pria besar datang ke rumahku, memintaku segera ke rumah wanita itu. Dia tak banyak bicara, hanya bilang: 'Ada yang butuh bantuan melahirkan. Aku dibawa ke rumah tua di pinggir hutan, rumah paling ujung di desa, terpencil, sunyi. . Aku berlari menembus rintik air, tanah licin menggigit kakiku.

Ketika sampai, hanya tangis dan erang yang terdengar dari dalam. Dia sendirian. Saat aku masuk, dia sedang kesakitan luar biasa. Persalinannya berat, mungkin yang paling lama yang pernah aku alami. Persalinan itu... memakan waktu hampir semalaman. Pendarahan dan tentu dengan rasa sakit yang luar biasa. Badannya kecil, tapi kekuatannya—seperti perempuan yang tahu dia tak akan punya kesempatan kedua.

Harusnya wanita itu dibawa ke rumah sakit, tapi sebanyak apa pun aku berteriak memanggil, orang-orang yang berjaga di depan pintu hanya diam. Aku hanya bisa mendampingi dia, mengusap peluhnya, menyemangati dengan doa-doa yang kupanjatkan dari hati "

Mak Midah menggenggam lututnya, suara lirihnya bergulir seperti mantra.

“Anak itu lahir jam dua pagi. Hujan masih deras. Saat ia lahir, dia bersih, utuh, suaranya kecil, kulitnya sempurna. Dan ibunya... mencium dahinya. Lalu berbisik: Ditrik Eden Solita. Itu yang kudengar. Aku yakin dia istimewa”

Aku memejamkan mata.
Nama itu menggema di dalamku.
Lembut. Seperti nyanyian yang tertunda.

“Dia tak punya apa-apa untuk diwariskan... kecuali nama. Maka dia beri itu. Agar kelak, saat anak itu melihat langit... ada sesuatu yang bisa dia panggil miliknya sendiri.”

Mak Midah menangis.
Dan aku ikut menangis bersamanya.

Beliau melanjutkan ceritanya, matanya menatap jauh ke luar jendela. ia menggenggam erat surat lusuh di tangannya.

“Kudengar anak itu dibawa pergi. Ibunya tinggal sendiri di rumah kecil itu. Warga mulai berbisik, mencibir, menjauhi dia karena dia dianggap aneh. Hamil tanpa suami, melahirkan diam-diam, lalu anaknya hilang entah ke mana. Tapi dia tetap diam. Tetap tinggal. Rumah itu jadi sunyi, tapi dia bertahan, entah karena harapan, atau sisa kasih yang tak sempat tumbuh."

Ia melanjutkan ceritanya hingga tiba pada bagian paling menyakitkan—kematian Mari.

"Kabar kematian ibu Ditrik datang tiba-tiba. Saat tuan muda—anak dari keluarga besar di atas bukit—yang dia asuh jatuh terpeleset saat main di air terjun di atas sana, dia meloncat untuk menyelamatkan. Anak itu selamat. Tapi dia... kepalanya terbentur batu saat tubuhnya menghantam sungai dangkal. Darah mengalir. Tak ada yang bisa dilakukan. Keluarga itu terlalu sibuk mengurus tuan muda hingga melupakan wanita yang sudah menyelamatkannya. Beberapa warga menemukannya mengambang di sungai dalam keadaan yang tidak bernyawa."

Aku menutup mulutku. Tenggorokanku tercekat. Kecelakaan itu, yang pernah diceritakan ibu Rita. Mengetahui kebenaran dibaliknya,  hatiku sibuk berbisik...

“Betapa mudah dunia meniadakan mereka. Ibu dan anak. Cinta dan keberanian. Semua dikubur bukan karena mati... tapi karena tak pernah dianggap hidup."

Mak Midah menunduk, suaranya bergetar. "Pemakamannya... sepi. Tak ada upacara. Hanya aku dan satu dua tetangga yang berani datang. Warga kampung menghindar, menggunjing. Orang-orang terlalu takut pada cerita-cerita yang mereka buat sendiri tentang dia.”

Mak Midah menatapku dengan mata penuh kesedihan. " Tidak ada pelukan hangat dari saudara, tidak ada doa merdu dari tetangga. Hanya aku... dan langit yang menangis diam-diam.”

Dan di bawah pohon rambutan itu, katanya, Mari dimakamkan.
Bukan karena dia tidak layak mendapat penghormatan.
Tapi karena dunia menolak mengakuinya sebagai bagian dari cerita.

***

Aku pamit dengan suara pecah, menunduk dalam-dalam di hadapan wanita yang sudah menyimpan kebenaran sendirian selama puluhan tahun.

“Terima kasih karena menyimpan namanya,” bisikku.

Aku kembali ke rumah itu.
Langit senja merunduk, dan angin berhembus pelan—seperti tahu aku membawa nama yang sudah lama menunggu dipanggil.

Di sekelilingku, hanya angin, daun gugur, dan suara gemetar kenangan yang menggantung di udara. Suara Mak Midah masih menggema di telingaku—bukan hanya sebagai cerita, tapi sebagai luka yang diwariskan dari seorang ibu yang tak bisa melindungi, tapi tak pernah menyerah memberi nama dan cinta, meski dunia menolak.

Aku menunduk dalam-dalam. Mataku memerah. Lututku lemas.

Di halaman yang kini terasa hidup oleh kenangan, aku berlutut di bawah pohon rambutan yang kini terasa seperti altar sunyi.
Aku usap tanahnya.

Lalu kuletakkan setangkup bunga liar yang kupetik dalam perjalanan. Liar dan cantik.
Seperti Mari. Perempuan yang tak dikenal dunia tapi menyimpan cinta sebesar langit.

Ku letakkan bunga-bunga itu di akar pohon, dengan jemari gemetar seperti doa yang tak pernah selesai dirapal. Di tempat tanah pertama kali menyambut tubuh perempuan yang terluka tapi tidak pernah menyerah.

Dan saat itu... aku merasakannya.

Ada tangan lain.
Dingin, tapi lembut.
Menyentuh punggung tanganku.
Hangat. Nyata.

Ketika kudongak, aku melihatnya.
Anak itu.
Wajahnya tenang, matanya dalam. Ia tidak bicara, tapi ia tersenyum.
Senyum itu... seperti cahaya yang akhirnya menemukan jalan pulang.

Senyum itu bukan untuk dunia.
Senyum itu untukku.
Untuk siapa pun yang bersedia melihatnya sebagai manusia.

Dan aku memandangnya balik.
Air mataku jatuh.

Lalu, aku memanggilnya. Untuk pertama kalinya.
Dengan nama yang ibunya titipkan pada langit.
Dengan suara yang gemetar, tapi penuh cinta.

“Eden...” Bisikku.

Dan dunia... akhirnya diam.
Untuk memberi ruang bagi satu nama yang selama ini disangkal keberadaannya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
God, why me?
179      148     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
No Life, No Love
897      734     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
GEANDRA
378      299     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
1758      1076     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
My Private Driver Is My Ex
339      209     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Rumah?
47      45     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Perjalanan Tanpa Peta
50      45     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Is it Your Diary?
153      121     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Aku Ibu Bipolar
45      38     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...