Pagi itu sejuk. Udara membawa aroma basah dari tanah yang belum lama diguyur hujan malam. Embun masih menempel di ujung daun singkong dan bayangan pepohonan jatuh panjang di jalan-jalan kecil desa.
Aku keluar rumah tanpa rencana. Tanpa tujuan. Hanya mengikuti langkah kakiku sendiri. Seperti sesuatu di dalam diriku yang tak ingin duduk diam lagi. Rumah terlalu penuh dengan tanda tanya. Aku butuh menjauh, walau hanya sebentar.
Langkahku menuntunku ke arah sekolah tua di ujung desa.
Sekolah dasar itu tampak sepi. Gerbangnya setengah terbuka, cat dindingnya mulai memudar, tapi aku mengenali setiap retaknya. Aku pernah berdiri di halaman ini, anak kecil dengan rambut dikepang dua, mengenakan seragam yang kebesaran dan tatapan yang selalu waspada. Waktu itu, tidak banyak orang yang mau duduk di sebelahku.
Kecuali satu orang.
“Lho... Rembulan?” suara berat menyapaku dari arah pos kecil di sisi gerbang.
Aku menoleh. Pak Dirman, penjaga sekolah, berdiri dengan termos teh di tangan, kemeja lusuhnya terbuka di bagian kerah. Wajahnya masih sama: berkerut, tapi hangat. Aku tersenyum kecil, spontan.
“Pagi, Pak.”
“Kok pagi-pagi udah keluyuran? Libur, kan?” Ia duduk di bangku kayu di depan pos jaga dan menepuk sisi bangku satunya. Aku duduk di sana, seperti dulu.
Kami mengobrol ringan. Tentang tanaman yang makin sulit tumbuh. Tentang anak-anak zaman sekarang yang lebih sering menunduk ke layar ketimbang menatap langit. Tapi seperti biasa, obrolan dengan Pak Dirman tidak pernah hanya tentang hal-hal biasa.
“Aku dulu suka ke sini,” kataku pelan. “Kalau lagi nggak kuat di kelas. Kalau teman-teman mulai bilang aku aneh lagi.”
Ia mengangguk pelan. “Aku ingat. Kamu suka bawa buku gambar. Duduk diem di bawah pohon.”
Aku tertawa, meski rasanya pahit.
“Dulu Bapak satu-satunya orang yang nggak takut ngobrol sama aku,” ujarku.
Pak Dirman mengangguk lagi. Tapi kali ini matanya menatapku dalam.
“Kamu tahu, Bulan... hal-hal yang datang dari dalam, tidak akan ke mana-mana. Mereka bukan untuk disembuhkan. Tapi untuk diajak kenalan.”
Aku diam. Tapi aku mendengarkan.
“Jawaban dari semua pertanyaanmu,” lanjutnya, “kadang justru udah ada... bahkan sebelum kamu sempat bertanya.”
Ia memandangi langit sebentar, lalu menatapku lagi. “Yang penting, jangan hilang dari dirimu sendiri. Pegang apa pun yang kamu tahu bisa membuatmu bahagia. Yang bikin kamu merasa utuh. Jangan lepas.”
Kata-kata itu masuk pelan-pelan ke dalam dadaku. Bukan seperti petuah, tapi seperti kunci. Seolah ada pintu di dalam diriku yang baru saja terbuka.
Aku pamit tak lama setelah itu. Pak Dirman menepuk bahuku saat aku pergi. Genggamannya kasar, tapi menenangkan. Seperti tangan seseorang yang pernah menanam sesuatu dan tahu bagaimana caranya menunggu.
***
Langkahku kembali tanpa tujuan. Tapi kali ini, hatiku seperti tahu ke mana ia ingin pergi.
Aku mengikuti jalan ke arah utara desa,
Langkahku terus menuntunku melewati jalan-jalan kecil, lalu menyusuri pematang sawah yang mulai mengering. Dari kejauhan, hamparan ilalang bergoyang tertiup angin pagi. Di baliknya... tempat itu menunggu. Seolah tidak pernah benar-benar pergi.
Kebun itu tersembunyi. Tak ada jalan setapak yang jelas. Harus menyingkap ilalang, hati-hati supaya tidak tergores batang tajamnya. Tapi aku masih ingat arah langkah kami dulu. Tubuhku ingat, bahkan saat pikiranku ragu.
Dan di sanalah dia—Kebun Bunga Awan.
Hamparan bunga liar tumbuh bebas di antara rerumputan. Putih, ungu pucat, biru muda. Bunga-bunga kecil yang dulu kami yakini sebagai bunga dari langit, jatuh saat awan melimpah di malam hari. Aku dan Ethan dulu sering bersembunyi di baliknya, mengarang cerita tentang negeri lain, tentang penyihir dan penjelajah waktu. Di tempat itu, segalanya mungkin.
Aku mengusap kelopak salah satu bunga. Rasanya hangat, seolah menyimpan sinar matahari.
Dari sana aku lanjut ke bukit yang kalau sudah mencapai puncak, aku bisa melihat bangian belakang SD tempatku bersekolah dulu.
Aku melangkah lebih dalam, dan di sana... pondok itu masih berdiri. Tersembunyi di antara pohon randu dan semak yang mulai menjalar di tiangnya. Atap rumbia sudah hampir habis. Bambu-bambunya berdebu. Tapi pintunya masih bisa dibuka.
Pondok itu bukan milik siapa-siapa. Dulu mungkin digunakan petani, atau seorang pembuat gula yang sudah lama pergi. Tapi bagi kami, tempat itu adalah markas. Ruang rahasia. Tempat kami menyimpan peta imajiner, kode sandi, dan janji-janji kecil yang tidak pernah sempat diucapkan keras-keras.
Aku masuk pelan-pelan. Bau tanah lembap dan kayu tua memenuhi hidungku. Tak ada perabotan, hanya papan bambu di lantai dan jendela kecil yang terbuka ke arah ladang. Tapi di sinilah kami dulu duduk berjam-jam, menggambar bintang-bintang, mencatat cerita yang tak akan dimengerti orang dewasa.
Dan sekarang, untuk pertama kalinya setelah sekian lama... aku kembali ke tempat yang mengingatku.
Aku duduk bersandar di dinding pondok. Tubuhku terasa ringan. Tak ada suara lain selain desir angin di luar dan sesekali suara jangkrik dari balik ilalang. Waktu berjalan pelan di sini. Tak ada pertanyaan, tak ada bayangan. Hanya aku... dan kenangan yang baik.
Aku memejamkan mata.
Dan tertidur.
Tidur yang dalam. Bukan karena lelah, bukan karena ingin kabur. Tapi karena tubuhku tahu: di sinilah ia bisa benar-benar istirahat.
Meski lantainya berdebu, meski bajuku kotor, tak ada tempat tidur yang terasa lebih nyaman daripada ini. Seolah pondok ini menyambutku kembali. Seperti seorang ibu yang diam-diam menunggu anaknya pulang.
Dan untuk pertama kalinya sejak hari-hari menjadi gelap... aku tidur tanpa rasa takut.
Tanpa mimpi buruk.
Hanya keheningan.
Dan perlindungan yang tak terlihat.
***
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur.
Tapi aku terbangun bukan karena suara keras, bukan karena mimpi buruk seperti biasanya. Aku terbangun karena sesuatu yang lembut—suara... nyanyian.
Suara itu pelan, seolah berasal dari sela-sela dedaunan dan bayangan dinding pondok yang retak. Lirih, tapi penuh hangat. Seperti benang suara yang menarik jiwaku pelan-pelan dari tidur.
Bahasanya tidak sepenuhnya kupahami. Tapi aku mengenalnya.
"…bintang turun, bulan pulang, anak kecil dalam peluk sayang…”
Aku pernah mendengarnya dulu. Dari seorang perempuan dengan rambut hitam legam dan suara yang nyaris seperti kabut. Ayunda. Ibu Ethan. Lagu ini dinyanyikannya waktu kami bermain di halaman belakang rumah Ethan, sambil mengayun ayunanku pelan.
Kupikir aku sudah melupakannya.
Tapi sekarang... lagu itu kembali.
Dan suara itu... bukan milik ibunya. Bukan suara perempuan. Suara itu... suara Ethan.
Aku membuka mata perlahan. Cahaya pagi masuk dari celah dinding pondok, menghangatkan kulitku. Tubuhku terasa ringan, seolah semua beban tertinggal di antara lantai bambu yang berdebu. Aku duduk perlahan, menyeka mata.
“Ethan...?” bisikku.
Tidak ada jawaban, tapi udara di sekitarku terasa penuh dengan kehadiran.
Aku melangkah keluar dari pondok, melewati pintu yang setengah patah. Dan di luar...
Rumput tumbuh liar, lembut di telapak kaki. Angin pagi menyentuh pipiku seperti tepukan halus seorang ibu. Dan entah dari mana datangnya, aku merasa ingin... menari.
Aku berputar pelan di antara rerumputan, seolah tubuhku bergerak sendiri mengikuti sisa lagu yang masih berputar dalam kepala. Aku tidak berpikir. Tidak meragukan. Hanya merasa.
Dan saat aku berhenti, terengah, tersenyum... aku melihat mereka.
Anak-anak.
Berdiri di ujung rerumputan, sebagian duduk di dahan pohon, sebagian lagi mengintip dari balik semak. Mata mereka bersinar. Wajah mereka... ada yang jelas, ada yang kabur. Tapi semuanya tampak ramah, dan entah kenapa—sedih.
Aku tersentak pelan, tapi tidak takut. Jantungku tetap tenang. Justru ada rasa haru yang aneh menjalar dalam dada. Seperti melihat teman lama yang nyaris terlupa.
Dan di tengah mereka, Ethan berdiri. Tersenyum kecil.
“Mereka teman-temanku,” katanya pelan.
Aku menatap mereka satu-satu. Beberapa membalas dengan anggukan, beberapa hanya diam, tapi tatapan mereka hangat. Seolah mereka... mengenalku. Atau menungguku.
Rambut Ethan sedikit lebih panjang dari terakhir aku melihatnya. Tapi sorot matanya masih sama. Tenang. Penuh cahaya.
“Sejak kecil... aku tidak pernah benar-benar sendirian, ya?” tanyaku, lebih pada diriku sendiri.
Ethan mengangguk pelan. “Tidak. Kau hanya... satu dari sedikit orang yang bisa melihat dunia seperti ini.”
Aku menghela napas. Angin bergerak di antara kami, membawa aroma tanah, bunga liar, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—seperti bau masa kecil, yang muncul sebentar lalu hilang.
“Apakah mereka…” aku ragu melanjutkan. “…seperti kamu?”
Ethan menatap mereka sebentar, lalu kembali padaku. “Tidak semua. Tapi kami... terhubung. Dalam cara yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang seperti kita.”
Aku memandang sekeliling. Ladang ilalang. Pondok tua. Anak-anak yang setengah cahaya. Ethan.
Dan untuk pertama kalinya... dunia ini terasa lengkap.
Bukan karena segalanya masuk akal. Tapi karena aku berhenti mencoba memisahkan yang nyata dan yang tidak. Aku hanya... menerima.
Dan di dalam penerimaan itu, ada ruang yang luas.
Ruang untuk hidup.
***
Perlahan, aku melangkah ke arah anak-anak itu. Mereka tidak mundur. Tidak sembunyi.
Mataku berkaca.
Aku berlutut, menatap mereka satu per satu. Suara dalam dadaku nyaris pecah ketika aku bertanya:
“Kenapa kalian datang padaku?”
Suaraku serak. “Kenapa aku bisa lihat kalian… tapi aku malah dijauhi semua orang?”
Angin berhenti sejenak, seolah ikut mendengarkan.
Anak-anak itu mendekat perlahan. Tanpa suara, tanpa gerakan yang tiba-tiba. Hanya langkah kecil di atas rumput, dan kemudian mereka duduk—satu per satu—di sekelilingku.
Mata mereka lembut. Tak ada jawaban dalam kata, tapi tatapan mereka berkata lebih banyak dari kalimat mana pun.
Karena kamu satu-satunya yang mau melihat kami apa adanya.
Aku menggigit bibirku. Ada rasa asing di dada. Bukan perih, bukan luka. Tapi hangat. Hangat yang membuka. Seperti tirai yang pelan-pelan tersingkap. Seperti pintu dalam diriku yang lama terkunci, dan kini—akhirnya—dibuka perlahan.
Selama ini aku mencoba menutupnya. Menyangkalnya. Berusaha “waras”, menjadi seperti yang diminta orang lain. Tapi sekarang...
Aku tidak merasa menjadi orang aneh. Tapi seperti seseorang yang... dibutuhkan.
“Aku tahu…” bisikku. “Kalian tidak ingin menakut-nakuti. Kalian cuma… ingin diakui. Kalian kesepian.”
Suara terdengar pelan tapi jernih. Aku menatap wajah-wajah samar itu, dan senyum mulai terbentuk. Tulus. Penuh rasa sayang yang tiba-tiba tumbuh begitu saja.
Mereka tidak menjawab. Tapi tubuh-tubuh kecil itu sedikit lebih bercahaya. Seolah ucapanku adalah pelukan pertama yang mereka terima setelah sekian lama.
Dan aku, untuk pertama kalinya, tidak menunduk.
Aku menatap mereka. Lurus. Penuh penerimaan.
“Aku berbeda, ya...” kataku pelan, tapi tegas. “Tapi mungkin memang aku harus berbeda. Karena kalau aku tidak mendengarkan kalian, siapa lagi yang mau?”
Tak ada angin, tapi daun-daun bergoyang pelan.
Tak ada musik, tapi udara terasa penuh nada.
Saat itu, aku merasa sesuatu dalam diriku... utuh. Tak sempurna. Tapi utuh. Seperti puing-puing yang akhirnya tahu ke mana harus kembali.
Bukan oleh jawaban dari dunia luar, bukan oleh penerimaan orang lain—tapi oleh diriku sendiri.
Aku tahu ini bukan akhir dari semua pertanyaanku. Masih banyak yang akan kutemui, masih banyak luka dan teka-teki yang belum selesai. Tapi...
Sekarang aku tahu dari mana aku harus mulai.
Dari diriku sendiri.