Jantungku berdebar kencang, mengingat kami akan berbicara pada bule nanti. Semoga saja ada bule yang berbaik hati mengizinkan kami berbincang-bincang dan berfoto walau dengan banyaknya kekurangan kami dalam berbahasa inggris. Melihat Zura yang terlelap membuatku menghela nafas panjang.
Sudahlah tidak ada gunanya untuk terus mengkhawatirkan hal ini, batinku.
Aku tatap langit yang terasa begitu hangat. Warna biru pada langit selalu berhasil menenangkanku. Awan-awan semakin mempercantik sang nabastala. Aku jadi teringat surah Ar-Rahman ayat 13 yang artinya: “Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)?”. Ayat yang diulang sebanyak 31 kali dalam surah Ar-Rahman itu, membuatku teringat dan bersyukur akan nikmat-nikmat yang telah Allah berikan.
Bus berjalan dengan tenang, para penghuninya pun mulai tertidur kecuali sopir. Kesempatan yang jarang terjadi ini aku ambil untuk ikut tidur dan menelusuri alam mimpi. Tak lama kemudian, Zura membangunkanku. Aku mencoba melawan rasa kantukku dengan mengusap-usap mata. Ternyata, bus telah terparkir.
“Anak-anak sekarang kita sudah berada tempat tujuan kita yaitu candi Prambanan, silakan keluar untuk beristirahat sebentar sembari menunggu teman-teman kita yang berada di bus lain datang,” ucap pegawai bus itu.
Kami keluar dari bus dan duduk di salah satu warung. Tak aku sangka, rasanya matahari begitu bersemangat untuk menyinari kami, hingga berpeluh. Aku memesan es teh dan meminumnya hingga tandas. Perpaduan antara minuman dingin dan teriknya matahari terasa begitu nikmat. Aku agak terkejut dengan harganya yang berbeda jauh dari daerahku. Tak berselang lama, bus-bus yang berisikan angkatan kami telah datang.
“Anak-anak, ayo kita segera masuk untuk melihat candi Prambanan,” ucap salah satu guru yang membuat kami berkumpul dan kemudian berjalan di belakang guru bagai anak ayam yang mengikuti induknya.
Banyak pedagang yang menawarkan sewa payung, tentu saja ini adalah ide bisnis yang cukup bagus untuk wisatawan kecuali kami para pelajar. Uang kami hanya didedikasikan untuk membeli oleh-oleh dan bolak-balik pergi ke WC. Setelah melewati pintu masuk menuju candi Prambanan, aku terkejut bukan main ketika menginjak jalanan yang seperti magma. Kami terus berjalan sembari menahan panasnya jalanan. Hingga tak lama kemudian, aku melihat bangunan tinggi dibalik pagar.
“Anak-anak kita sudah sampai! Sebelum itu mari kita berfoto bersama kemudian kalian berfoto dengan kelas masing-masing yang dimulai dari kelas 8A lalu kelas-kelas selanjutnya,”. ucap salah satu guru yang membuat bibirku mengerucut kesal. Berfoto di tengah teriknya sang mentari? Ide yang sangat brilian. Dengan segala keterpaksaan aku ikut berfoto dan menampilkan senyum yang tidak keluar dari hati.
Setelah selesai berfoto, kami boleh melewati pagar untuk melihat candi yang dibuat oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan sekitar tahun 850M dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu. Sebelum mengetahui hal itu, aku berpikir bahwa candi Prambanan dibuat oleh Bandung Bondowoso untuk perempuan yang ia cintai yaitu Roro Jonggrang. Betapa tragisnya akhir dari kisah cinta sepihak itu.
Setelah melewati pagar, setiap kelompok yang telah dibuat sebelumnya harus berfoto untuk dilampirkan dalam laporan nanti. Segera aku mencari teman sekelompokku, kemudian kami berfoto bersama.
Mantap, satu dari sekian tugas sudah selesai! Sekarang mari kita hadapi tugas untuk berbicara dan berfoto dengan bule! batinku.
Kami berbaris untuk menaiki tangga. Tak lama kemudian, kami disungguhi pemandangan candi yang begitu gagah dan dipenuhi oleh hawa misterius. Para bule berfoto-foto sembari tersenyum senang. Aku terkejut ketika melihat bule yang hanya memakai tank top dan celana yang sangat pendek. Entah kenapa aku merasa tidak nyaman dan aneh saat melihatnya. Baru kali ini aku melihat langsung orang yang berpakaian seperti itu. Mungkin, rasa tidak nyaman dan aneh juga mereka rasakan, saat melihat kami yang memakai pakaian tertutup walau cuaca sangat panas dan mengenakan tudung alias hijab.
“Kita mau berfoto dengan bule yang mana?” tanya Zura yang membuat aku menggaruk-garuk kepala. Para bule memiliki kesibukannya sendiri, entah itu berfoto, berbicara dengan pemandu wisata, dan lain sebagainya. Aku takut mengganggu. Di sini aku datang sebagai Siswa, aku tidak boleh merusak nama baik sekolah. Aku edarkan kembali pandanganku, berharap ada bule yang tidak terlalu sibuk dan dengan senang hati berfoto dengan kami. Tak lama kemudian, aku melihat pasangan bule yang berjalan melewati kami. Tampaknya pasangan bule itu tidak terlalu sibuk dan terlihat ramah.
“Den berfoto dengan mereka aja mau ngga?’ tanyaku kepada Raden, seorang laki-laki yang semua bacaan bukunya berbahasa inggris tanpa terjemahan. Aku berniat menugaskan Raden untuk menanyakan tentang boleh atau tidaknya berfoto bersama.
“Hmm, oke. Tapi kamu yang bilang ya!” Mendengar jawaban dari Raden membuatku tersenyum kesal. Dia yang lebih mengetahui tentang pronunciation dan grammar kenapa jadi dilempar ke aku yang hanya bermodalkan buku pelajaran bahasa inggris?
“Kenapa ngga kamu aja?” tanyaku sembari mengerutkan kening.
“Kamu kan ketua,” jawab Raden yang membuatku menghela nafas berat. Rasanya, ia sengaja ingin mengajak ribut denganku. Aku melihat pasangan bule itu semakin menjauh.
Tidak! Jika aku terus berdebat dengan Raden, pasangan bule itu akan pergi! batinku.
Aku menggigit bibirku sembari membulatkan tekad dan mengumpulkan keberanianku. Kemudian meninggalkan Zura yang sedang membantuku berdebat dengan Raden. Jantungku berdetak dengan kencang. Rasa gelisah menghantuiku.
Deg! Deg! Deg!
“E-excuse me Mister, can we take a photo?” tanyaku sembari berusaha menahan kegugupan. Pasangan bule melihatku dengan tatapan terkejut dan kemudian mereka tersenyum.
“Of course!” Mendengar jawaban itu, aku tersenyum senang dan segera memanggil teman sekelompokku.
“HEI! Ayo ke sini!” teriakku yang membuat pasangan bule itu sedikit terkejut. Mungkin, karena nadaku berubah menjadi tinggi, padahal saat berbicara dengan mereka suaraku rendah bagai anak kucing yang malu-malu.
Sepertinya aku tidak sopan, aduh bagaimana ini? batinku.
Tak lama kemudian, teman sekelompokku menghampiri, Zura menatapku dengan berkaca-kaca seolah mengatakan kepadaku “ Kamu berhasil!”. Melihat Zura yang berkaca-kaca, aku pun hanya bisa tertawa kecil sembari mengacungkan jempol.
Zura memanggil seseorang untuk memfoto kami. Aku lihat teman sekelompokku gugup, aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Ternyata bukan hanya aku yang gugup.
“Satu, dua, tiga!” ucap seseorang yang memfoto kami. Di sela-sela pemotretan, keningku mengerut karena pasangan bule itu berbicara menggunakan bahasa inggris dengan cepat. Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Aku bertekad jika sudah pulang, aku akan belajar bahasa Inggris hingga ke akar-akarnya.
“More?” tanya bule.
“Yes!” jawab Raden.
Setelah kami berfoto bersama, aku bernafas lega. Akhirnya tugas ini sudah selesai, tinggal membuat laporan saja!
“Thank you!” ucapku yang membuat pasangan bule tersenyum kecil.
“You're welcome!”
Aku melihat Raden berbincang-bincang dengan pasangan bule tersebut dan membuat pasangan bule tersebut tertawa bersama-sama. Jujur, aku iri dengan Raden. Tak lama kemudian, aku menampar pipiku sendiri. Aku tidak boleh iri! Aku harus belajar!
“Den, mereka dari mana?” tanya Zura ketika Raden sudah selesai berbincang dengan pasangan bule.
“Dari Jerman, mereka ke sini-“ Aku tidak terlalu penasaran dengan pasangan bule tersebut berasal, aku hanya bersyukur dan berterima kasih kepada pasangan bule tersebut. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan grammar dan pronunciationku yang sepertinya tidak beraturan.
Lelah kurasakan di sekujur tubuhku. Aku memutuskan untuk beristirahat dan duduk di bawah rindangnya pohon.
“Prambanan Temple has a legendary story about Roro Jonggrang and Bandung Bondowoso-“ Perkataan itu berhasil memecahkan lamunanku. Ternyata, ada 2 orang mahasiswi yang sedang menjelaskan tentang candi Prambanan pada bule. Aku melihat perbedaan fisik yang sangat jelas di antara mereka, bule itu berbadan besar dan tinggi, sementara 2 orang mahasiswi itu setengah dari tinggi bule.
“Anak-Anak ayo kita kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan!” ucap salah satu guru yang menggunakan megafon.
“La! Ayo!” ucap Zura. Aku melihat kembali 2 mahasiswi itu dan kemudian pergi menghampiri Zura.
Saat perjalanan menuju bus, aku disungguhi dengan pemandangan puing-puing candi yang sepertinya sudah capai untuk berdiri dengan gagah. Aku penasaran kehidupan 1174 tahun yang lalu bagaimana, apakah waktu itu kerajaan damai dan rakyat sejahtera atau kebalikannya?
Aku berjalan dengan lunglai, sudah lama aku berjalan namun tak kunjung sampai. Aku melihat toko minuman khusus air putih, segera aku ajak Zura untuk membeli air minum.
“Mba, Air putih botol berapa ya?” tanyaku.
“Oh, sepuluh ribu dek!” Mendengar hal itu membuatku terkejut bukan main. Harganya bahkan mengalahkan harga bakso di daerahku.
“Oh gitu ya Mba, gak jadi terima kasih.” Aku menarik lengan Zura dan kembali melanjutkan perjalanan menuju ke bus.
“Harganya membuatku merinding,” ucap Zura sembari melepaskan tanganku dan kemudian bersedekap.
Kami terus berjalan sembari menahan berbagai godaan seperti es gelato yang terlihat begitu nikmat jika di makan, dan godaan es lainnya. Jika tidak karena harganya, kami pasti sedang menikmati semua itu. Tak lama kemudian, aku melihat pelukis yang sedang melukis seseorang, di sebelah pelukis itu terdapat karya-karya yang sudah jadi. Karya-karya itu bergambar berbagai tokoh Indonesia dan bahkan luar negeri seperti, Isaac Newton. Seseorang yang merumuskan tiga hukum gerak yang disebut hukum gerak Newton. Aku berjalan sembari menatap karya-karya itu dengan penuh minat.
Suara gamelan membahana. Candi Prambanan tetap terlihat megah walaupun dari kejauhan. Sungguh, ini adalah pengalaman yang menyenangkan, aku bisa berbicara pada bule walaupun dengan berbagai kekurangan, aku bisa melihat bangunan bersejarah yaitu candi Prambanan yang ternyata begitu megah dan gagah dibandingkan di lihat difoto. Aku sangat bahagia mengikuti study tour ini. Yah walau aku harus berhemat dan menahan godaan untuk tidak membeli sesuatu yang tidak terlalu penting.